Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

POLEMIK BENGKULU SEPI PENYAIR, 1993-1997

Ilustrasi. Artikel di Merdeka, 1993 
*Sarwo Ferdi Wibowo

Pada tahun 1993, Koran Semarak memuat suatu artikel yang berjudul “Bengkulu Sepi Penyair” demi melihat minimnya geliat kegiatan sastra di Bengkulu. Isu ini dimunculkan dalam artikel berseri yang ditulis oleh wartawan Semarak yaitu Lekat S. Paguci, Sofyan Ardi, dan Azmaliar Zaros. Kondisi sepi penyair di Bengkulu itu merujuk pada minimnya sastrawan Bengkulu yang menerbitkan karyanya di media nasional atau buku oleh penerbit nasional. Klaim tersebut sontak membuat panas para pelaku sastra di Bengkulu termasuk yang tergabung dalam Forum Sastra Bengkulu (FSB). Klaim tersebut dinilai tidak berdasar karena beberapa sastrawan Bengkulu sudah banyak menerbitkan karya mereka di media cetak nasional seperti Republika dan koran Merdeka. Para penulis ini bereaksi dengan mengirimkan artikel mereka ke Semarak sebagai jawaban atas klaim itu. Hal ini berkembang menjadi saling kritik antara kubu wartawan dan sastrawan di Bengkulu. Kutipan artikel dari Emong Reka (Emong Soewandi) berjudul "Penyair Bengkulu dalam Upaya Pengukuhan Eksistensinya" yang terbit di mingguan Merdeka minggu kedua Desember 1993 sedikit banyak menggambarkan keadaan saat itu.

Lepasnya Bengkulu dari isolasi sekitar dua dasawarsa lalu, tenyata tidak diiringi dengan lepasnya isolasi kegiatan berkesenian. Dimana kegiatan ini hanya tinggal sebagai kegiatan pada kelompok tertentu atau individu tertentu. Dan ‘ketinggalan’ ini dirasakan sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan, sebagaimana yang dirasakan oleh pekerja-pekerja seni Bengkulu, dalam hal ini para penyairnya.

Mungkin sebagai rasa dari keterasingan ini, maka motivasi penulis Bengkulu lebih banyak motivasi egoisme tanpa dibarengi dengan keinginan untuk menunjukkan diri dengan kepentingan sastra di daerahnya. Hal ini kemudian menimbulkan suatu isu, Bengkulu sepi Penyair, sebagaimana yang pernah dilontarkan oleh beberapa orang di suatu media di Bengkulu hingga beberapa orang dari luar daerah. Seperti Emel Namin Prahana dari Lampung dan Syamsu Indra Usman penyair (?) dari Palembang juga ikut mengeluarkan pendapatnya yang semakin mengangkat isu tersebut menjadi sebuah polemik.

Catatan Emong Reka di atas masih memiliki nuansa yang serupa dengan polemik pada tahun 1984 antara Naim Emel Prahana dan Amril Chanras: ada ketidakseimbangan antara pembangunan fisik dan pembangunan mental/kebudayaan di Bengkulu. Sastra cenderung dibiarkan berkembang sendiri tanpa ada perhatian dari pemangku kepentingan. Refleksi dari para pelaku seni sendiri mengungkap masalah lain yaitu adanya sikap mendahulukan kepentingan pribadi atau kelompok saja dibanding kepentingan dunia sastra Bengkulu. Pendapat ini, meskipun harus dicurigai merupakan asumsi pribadi, namun pasti berangkat dari kondisi tertentu di Bengkulu saat itu. Hal ketiga yang menarik dicatat adalah sejak masa awalnya, banyak penyair luar yang mengamati sastra Bengkulu baik dari Lampung, Palembang, maupun Sumatera Barat. Gesekan dengan pekerja sastra yang berdomisili di Bengkulu menimbulkan sentimen ‘orang dalam-orang luar’ dalam konteks sastra Bengkulu.

Dari sudut pandang yang tersirat dalam tulisan Emong Reka, hal yang disebut terakhir inilah yang menjadi penyebab adanya isu Bengkulu sepi penyair. Kesenjangan antara keterlibatan para penyair luar dengan penyair yang memang berakitivitas di Bengkulu menyebabkan kriteria penyair yang digunakan menjadi bias, semisal kurangnya publikasi dari sastrawan Bengkulu di media (khususnya media nasional). Hal ini dinilai melukai para sastrawan yang berkegiatan di Bengkulu meski diakui bahwa proses tersebut masih belum bermuara pada karya nyata. Pada sisi lain, kurangnya komunikasi antara wartawan dengan sastrawan di Bengkulu disinyalir menjadi sebab tidak terpantaunya aktivitas sastra di Bengkulu seperti penerbitan antologi Riak I dan Riak II pada 1990 dan 1991.

Ruang Dialog

Emong mencatat beberapa hambatan dalam perkembangan sastra Bengkulu saat itu, yaitu ketiadaan otoritas, ketiadaan kritikus yang berwibawa, dan sikap negatif masyarakat. Masalah ini sendiri tidak spesifik merupakan masalah sastra di Bengkulu, melainkan dialami sastra secara nasional. Namun harus dicatat di Bengkulu, sebagai provinsi yang baru berkembang secara kebudayaan, masalah ini betul-betul adalah ketiadaan atmosfer kekaryaan bagi sastrawan di Bengkulu. Dalam kondisi demikian, seperti yang diungkapkan Emong, dialog barangkali masih merupakan wadah yang efektif untuk melihat kehadiran seseorang sebagai penyair di Bengkulu. Hal lain yang menjadi indikator sastrawan di Bengkulu bagi Emong adalah kepedulian individu itu pada perkembangan sastra daerah dan obsesinya untuk mentas di dunia sastra secara nasional sebagai penyair Bengkulu disamping konsistensinya dalam berkarya.

Terlibatnya Emong Reka (seorang mahasiswa) dalam polemik ini membuktikan bahwa diskusi pada harian Semarak tersebut berimbas pada mahasiwa di Universitas Bengkulu yang memiliki ketertarikan pada bidang sastra. Imbas itu menumbuhkan inisiatif dari mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia untuk mendirikan suatu forum untuk mendiskusikan isu-isu kesastraan di Bengkulu. Dari kepedulian itu lahirlah Forum Diskusi Bahasa dan Sastra (Fusi Bahtra) di kalangan mahasiswa Universitas Bengkulu. Fusi Bahtra ini pula yang kemudian menginisiasi pertemuan antara sastrawan (khususnya anggota FSB) dan wartawan RB. Pertemuan ini kemudian digelar di Universitas Bengkulu. Pertemuan ini kemudian melahirkan kolom Sastra dan Budaya di Harian Semarak sebagai media bagai sastrawan Bengkulu untuk berproses dan berkreasi dan undakan untuk melangkah ke pentas nasional.

Blok Penyair Bengkulu

Pertemuan di Universitas Bengkulu tersebut menjadi pembahasan dalam kolom Sastra dan Budaya Semarak hingga tiga minggu selanjutnya. Salah satu yang menjadi sorotan adalah pengelompokkan sastrawan di Bengkulu. Sebagai latar belakang mesti dijelaskan bahwa Emong dalam diskusi yang diinisiasi Fusi Bahtra membagi pelaku sastra Bengkulu ke dalam tiga blok, yaitu blok Pelangi Sastra/RKPD (Radio Komunitas Pemerintah Daerah) dengan tokohnya Herman Suryadi, blok Riak/FSB dengan tokohnya Asrul Thaib, dan blok Semarak yang diisi oleh para wartawan Harian Semarak. Blok RKPD merujuk pada para penulis puisi yang dibacakan karyanya dalam suatu program radio pemerintah daerah bernama Pelangi Sastra yang diampu oleh Herman Suryadi. Blok ini banyak diisi oleh penulis populer dan kalangan guru bahasa. Blok Riak secara umum merujuk pada forum diskusi Taman Budaya dengan inisiator utama Azrul Thaib yang merupakan pegawai di Taman Budaya Bengkulu. Sementara blok Semarak merupakan penulis yang bekerja sebagai wartawan di harian Semarak Bengkulu. Apa yang luput dari pembagian Emong adalah terdapat blok baru yaitu blok mahasiswa (Fusi Bahtra) yang bercorak akademis. Faktanya para anggota pada masing-masing blok ini sebenarnya beririsan satu dan lainnya, namun memiliki kriteria berbeda bagi kualitas suatu karya sastra.

Selain kualitas, di sini juga terjadi perdebatan awal mengenai identitas sastra Bengkulu: antara penyair asal Bengkulu dan yang berkarya di Bengkulu. Syamsu Indra Usman cenderung mengelompokkan penyair yang berasal dari Bengkulu, sementara Emong Reka lebih cenderung pada seniman yang berkarya di Bengkulu. Namun pada saat itu ada kesadaran bahwa menemukan jati diri sastra Bengkulu dibanding siapa yang menjadi sastrawan Bengkulu.

Polemik ini dapat dikatakan berdampak positif karena setelah polemik ini dunia sastra Bengkulu jadi semakin semarak. Forum-forum diskusi bermunculan dimana-mana. Diskusi sastra mulai dilakukan secara berkala di Taman Budaya Bengkulu untuk mendiskusikan karya-karya penulis Bengkulu melalui pengelolaan Azrul Thaib dan Mulyadi. Kritik secara akademik dilakukan secara berkala di kampus Universitas Bengkulu baik melalui momen bulan bahasa atau momen lain dengan mendatangkan pembicara dari luar provinsi oleh dosen dan mahasiswa Universitas Bengkulu. Kolom sastra di harian Semarak pun secara rutin disii oleh karya-karya sastra Bengkulu dan kritik apresiatif terhadap karya-karya yang dimuat di sana. Kesemarakan forum-forum ini perlahan-lahan menghilangkan berbagai sentimen seperti sentimen kesukuan, penulis lokal dan pendatang, dan penulis akademik dan non-akademik. Ketiga forum yang ada berhasil menjadi wadah meleburnya sastrawan dari berbagai kalangan di Bengkulu.

Sementara melalui munculnya kolom di harian Semarak adalah berpartisipasinya penulis-penulis dari Kota Curup ke kancah sastra Bengkulu. Sebelumnya sastrawan Kota Bengkulu dan Kota Curup seperti dua kutub yang tidak saling terhubung. Nama-nama seperti Tunjang Sastra (Sartoni) dan Pasiran A.R. mulai berpartisipasi dalam menggeliatkan dunia sastra Bengkulu. Melalui pengiriman karya pada kolom sastra harian Semarak. Namun nama yang paling konsisten dari Kota Curup adalah Pujangga S.S. (Sahidi Sojata) yang rutin mengirim karyanya antara tahun 1994-1999. Keberadaan kolom sastra di media massa mengatasi hambatan jarak dan membuka kemungkinan sastrawan dari daerah di luar ibu kota Bengkulu untuk terlibat dalam membangun corak sastra Bengkulu. Salah satu puisinya yang memberi warna baru dalam sastra Bengkulu dimuat dalam Semarak Minggu No. 38 tahun VIII 7 Agustus 1994 dapat disimak di bawah ini.

Dara Manis Sebatang Kara

Mataku menatap lepas
Sekelompok tanaman liar
Usahkan tangan yang menggapai
Angin pun tiada menepis

Semut-semut menggerogot
Rayap-rayap bercanda ria
Belalang hinggap bertopang kaki
Rama-rama terbang mengawan
Kumbang haram
Mau mendekat

Rasakan badan hidup sendiri
Suratan tangan indah berukir
Sayang
Buta hati
Buta pandangan
Mengapa nasib yang disesalkan?

Puisi di atas dapat dikatakan sebagai puisi yang berangkat dari akar kebudayaan Bengkulu, khususnya Rejang. Meski harus diakui bahwa keputusan untuk berangkat dari akar membuat penulis susah keluar dari kebakuan struktur sastra tradisi seperti yang dapat disimak pada bait pertama puisi tersebut. Dapat dikatakan bahwa puisi ini memiliki pola persajakan pantun namun telah lepas dari asosiasi persamaan rima. Namun bait dua memperlihatkan kecenderungan ke arah sastra tradisi Rejang yaitu Sambei/sambai. Sambai sendiri merupakan puisi tradisional Rejang yang merupakan ungkapan isi hati melalui bahasa yang halus (perumpanaan). Sambai secra struktur dekat dengan puisi modern karena tidak terikat rima dan jumlah bait, namun makna referensial yang dikandung dan analogi-analogi alam pada bait kedua sebagai transisi ke bait berikutnya merupakan hal yang menjadi ciri sambai sebagai sastra tradisi.

Dampak Positif dari Polemik

Berkenaan dengan corak ini, kolom sastra Koran Semarak membuka peluang yang tidak dimiliki para penulis pada masa sebelumnya. Peluang yang dimaksud adalah bereksperimen dengan nuansa lokal Bengkulu. Ruang ini akan sangat terbatas jika mengirim ke koran nasional. Nuansa lokal tidak hanya dimiliki oleh para penulis yang berasal dari etnis asli Bengkulu, melainkan juga mulai diakrabi oleh para penulis yang datang dari luar Bengkulu. Dapat dikatakan bahwa para sastrawan di Bengkulu mulai mengakrabi akar budaya mereka dan menggali inspirasi dari sana, sementara para pendatang yang memiliki latar belakang berbeda mulai memperkuat kebudayaan Bengkulu dengan menemukan nilai-nilai universal dalam kebudayaan Bengkulu. Pada praktiknya, kebanyakan latar budaya Bengkulu baru digunakan pada tataran atributif saja (hanya sebagai latar, nama tokoh, dan adaptasi cerita daerah) dan secara kualitas belum berhasil mencapai tahap kualitas sastra serius.

Berkembangnya forum-forum diskusi sastra memiliki implikasi lain bagi dunia sastra Bengkulu yaitu tumbuhnya sikap kritis pada kondisi sosial saat itu. Hal ini juga tidak terlepas dari arus pemikiran yang berkembang saat itu berkenaan dengan dominasi Orde Baru terhadap media komunikasi massa. Tumbuh kesadaran bahwa kesenyapan akibat pembangunan diakibatkan oleh konstruksi dunia pemerintah melalui propaganda-propaganda. hal ini dimungkinkan karena keberadaan orang-orang yang memiliki akses ke sastra regional/nasional. Bengkulu menjadi terhubung dengan situasi kesastraan nasional saat itu. Di sinilah ‘orang luar’ memberikan peran penting bagi dunia sastra Bengkulu. Puisi-puisi sastrawan Bengkulu dalam Riak III dan Besurek memperlihatkan kecenderungan untuk kritis pada keadaan dibanding kembali pada diri seperti warna puisi Barlian. Dominasi kata yang lugas, meninggalkan bahasa-bahasa ‘berbunga’, serta mengemban fungsi kritik sosial dapat disimak pada puisi Azrul Thaib berikut.

Sebatas Kata

Berjuta kata telah kita telan
Tiap hari, tanpa makna
Berjuta kata telah kita ucapkan
Tiap hari, tanpa nurani

Di negeri bisu, masih terasa
Kebisingan kata menyergap kita
Namun ketidakberdayaan kita
Selalu menjadi alasan untuk berlari ke balik nyata

Siapa di antara kita yang berani
Mengiris hati yang berjelaga
Karena kita tak mau menang
Dan selalu mengalah
Lalu menangis dalam pedih
Dalam kekalahan panjang
Takkan negeri jadi ngeri
Karena kata

Sebagai seorang PNS pada Departemen Penerangan, terdapat pergulatan batin di dalam sajak-sajak Azrul Thaib. Sajak tersebut menggambarkan dunia yang bising dengan informasi, namun bertentangan dengan akal sehat. Manusia tidak diperhitungkan keinginannya, hanya harus menerima apa yang didiktekan pemerintah. Apa yang diperbuat berbeda dengan apa yang ada dalam hati nurani, puisi kemudian menjadi jalan untuk mengungkapkan apa yang tidak tersampaikan itu.

Puisi protes lain ditulis oleh Wijang Wharek Al-Mauty yang pada tahun 1994 berkarir di Museum Negeri Bengkulu. Sebelum ke Bengkulu, Wijang telah dikenal sebagai penyair di daerah asalnya, yaitu Jawa Tengah melalui karya-karyanya yang dimuat di media Jawa dan Sumatera. Dia membawa perspektif humanisme dalam karya-karyanya termasuk yang dilahirkannya di Bengkulu, seperti pada puisi Obituary Sebuah Negeri Tanpa Kemerdekaan yang dimuat dalam Antologi Puisi Penyair se-Sumatera (1996) berikut.

Obituary Sebuah Negeri Tanpa Kemerdekaan

Ketika sebuah negeri telah menjadi ladang belati
Dan kemerdekaan hanya menjelma retorika kata-kata
Masihkah berharga bait-bait puisi
Yang dimuntahkan lidah luka

Dengan mimpi kubangun kembali negeri baru dalam tidurku
Tetapi hasrat kematian yang engkau tegakkan di sepanjang malam
Hanya mengibarkan bendera hitam di sana, hari demi hari
Berlumur kabung: bau sangit mesiu, amis darah, dan pedih air mata.

Betapa mahal harga sebuah kemerdekaan yang harus diperjuangkan
Tajam bambu runcing, sajak bedil, pecahan mortar, dan dentuman meriam
Masihkah menyimpan sejarah dendammu di pusara-pusara berdebu
Akupun tak henti membangun sebuah negeri baru dalam igauku
Tetapi lima puluh almanac tahunan yang kurobek di sana
Hanya melahirkan seribu tanda tak terbaca di kening-kening anakku
Dan kenangan dari seluruh masa silam itu mendadak menjadi perjudian

Ajal: angka-angka maut berlepasan dari kalkulator duka
Menanamkan makam-makam tanpa nisan di atas warisan

O, ini negeri tiada bertanah air dan lagu kebangsaan!

Dalam lelapku yang setia dijaga selimut jaring baja
Sebuah negeri baru itu hanya menghuni kotak-kotak kaca televise
Dan mikrofon-mikrofon radio menyiarkan iklan-iklan ketakutanku
Sementara di sisi pembaringan Koran-koran pagi mengabarkan
Ritus pesta pora dari kesaksian mimpiku yang dipalsukan
Dengan abjad-abjad rahasia yang engkau sendiri tak pernah dapat
Memahaminya: di sini sebuah puisi tiba-tiba menjelma api
Menghanguskan derita panjang kecemasan ranjangku

Puisi Wijang Warek di atas juga menyangkut penguasaan Orde Baru pada media seperti radio dan surat kabar. Dia membawa makna kemerdekaan pada tataran yang lebih luas, bukan pada tatanan formal saja. Arogansi kekuasaan menafikan kemanusiaan, kejujuran, dan hak-hak asasi. Retorika dan propaganda yang mengancam dan retorika-retorika yang menyamarkan kebohongan merupakan sesuatu yang harus diterima tanpa bertanya. Media tak bisa menjalankan fungsi kontrolnya, melainkan menjadi corong pemerintah untuk menyebarkan ketakutan demi melanggengkan kekuasaannya. Kondisi negeri yang dirujuk Wijang saat itu merupakan negeri yang dikuasai televisi, radio, dan surat kabar yang penuh propaganda pemerintah.

Baik Azrul Thaib maupun Wijang Wharek AM masih terhubung dengan isu sastra nasional. Puisi mereka menyoroti isu-isu besar (nasional) yang dilatarbelakangi posisi mereka sebagai pegawai negeri dan sastrawan yang terhubung dengan gambaran lebih luas tentang kondisi sosial Indonesia. Meski demikian puisi mereka ini menghubungkan sastrawan asli Bengkulu dengan isu yang lebih besar. Pengaruh ini yang sangat penting bagi perkembangan sastra dan sastrawan Bengkulu.

Pengaruh ini terlihat pada puisi Herman Suryadi, sastrawan yang juga berprofesi sebagai seorang guru. Interaksai dengan para sastrawan yang berkiprah di nasional, puisi-puisi Herman Suryadi menjadi peka dan mampu menangkap semangat zaman dengan kuat. Herman Suryadi juga menangkap kemunafikan pada masa itu dengan mengoposisikan antara tukang (semen, pasir, cat, kembang bahkan semua tukang) yang merupakan representasi buruh yang secara actual bekerja di tengah tuntutan zaman dengan ‘tukang’ yang bermodal tepuk tangan, cacian, dan perintah (merujuk pada kaum birokrat) yang justru terlena oleh tuntutan zaman. Secara serba samar dan referensial, puisi ini merujuk pada ketidakadilan akibat korupsi dan nepotisme pada masa itu. Sifat kepenyairannya yang, menurut Amril Chanras, antitragik, memberikan nuansa yang berbeda dari puisi sebelumnya. Nuansa itu adalah nuansa optimisme dalam mengahadapi persoalan zaman (merujuk pada frasa zaman tetap menuntut kita). Dua ciri itu tergambar dalam sajak satire Tukang-Tukang yang dimuat dalam Riak III berikut.

Tukang-Tukang

Hoi…!
Tukang batu tukang pasir tukang semen tukang cat
Tukang ukir tukang kembang
Tukang tonton dan tukang semua tukang

Berdiri aku di antara kalian
Yang melamunkan masa depan
Berpaling aku menjenguk kalian
Yang tak bisa menjawab teka-teki zaman

Perut menuntut aku menuntut kalian menuntut zaman
Zaman menuntut aku menuntut kalian menuntut pot
Pot menuntut tanah menuntut air menuntut kembang
Kembang menuntut tanah menuntut air menuntut angina
Menuntut matahari menuntut kupu-kupu
Menuntut pot menuntut tukang

Tukang pergi sebentar menuntut rajawali
Yang sendag mengunyah bangkai
Di kukunya ada sedikit sisa
Buat kamu makan kalau ingin
Buat kamu makan kalau kebagian

Hoi…!
Tukang tonton tukang caci tukang puji
Tukang tepuk tangan tukang leceh tukang perintah
Tukang cipta dan tukang rusak

Zaman tetap menuntut kita

Mengenai sikap positif ini, Amril Chanras memberikan mencatat warna yang kontras dengan dua penyair berstatus pegawai negeri sebelumnya, yaitu Azrul Thaib dan Wijang Wharek AM. Catatan tersebut dapat disimak pada kutipan berikut.

Berbeda dengan penyair umumnya, Herman seorang penyair yang cendrung memandang suatu persoalan secara positif, optimis, ada kecenderungan ia antitragik sebagaimana penyair lainnya. Ungkapan zaman tetap menuntut kita adalah buktinya. Kondisi seperti ini, meski tidak selalu, cenderung pada puisi-puisi Herman Suryadi. Pandangan seperti ini secara sosiologis berhubungan dengan profesi utamanya sebagai pegawai negeri dengan bermacam aturan, birokrasi atau kultur dalam dunia pegawai negeri.

Warna berbeda dari tiga pegawai negeri yang dibahas di atas mencerminkan bagaimana masing-masing penyair menyikapi budaya birokrasi yang mencengkram mereka saat itu. Harus diakui isolasi yang terjadi di Bengkulu membawa berkah. Terdapat ruang-ruang ekspresi yang cukup besar di Bengkulu akibat pengawasan pemerintah pusat tidak terlalu ketat di wilayah ini. Ini yang memungkinkan Azrul Thaib dan Wijang Wharek dapat mengekspresikan idenya. Memang ketiganya tetap menggunakan makna referensial dalam puisi-puisi mereka untuk menghindari sensor dari pemerintah, yang sedikit banyak dipengaruhi status mereka sebagai pegawai negeri. Perbedaan terletak pada rasa frustasi yang ditampilkan dua yang berlatar belakang luar Bengkulu dengan penyair berlatar belakang lokal yang bercorak optimis.

Harus dicatat, optimisme adalah corak pribadi Herman bukan mewakili penyair berlatar belakang lokal. Secara umum corak pada masa itu menunjukkan rasa frustasi akibat ketidakberdayaan menghadapi arogansi pemerintah. Rasa perih karena ketidakberdayaan melawan upaya membunuh kemanusiaan pelan-pelan. Puisi penyair berlatar belakang lokal yang memiliki corak yang kuat dari zaman ini adalah Harlisman Fasa. Selain menangkap makna zaman, kelebihan lain dari Harlisman Fasa adalah puisinya yang lekat pada isu-isu lokal masyarakat Bengkulu. Kelebihan lain yang berbeda dengan penyair pegawai negeri adalah keberanian untuk menggunakan kata-kata yang lugas, alih-alih referensial, yang langka pada saat itu. Dapat dikatakan bahwa puisi Harlisman Fasa berhasil mencapai bentuk baru dari puisi kritik dalam konteks lokal karena tidak hanya berisi keresahan-keresahan, melainkan gugatan-gugatan tentang keadilan sosial. Puisi Air Mata Darah berikut sangat mewakili capaian tersebut.

Air Mata Darah

Tangis apalagi yang akan kita pekikkan
Setelah air mata darah kita tumpahkan
Lalu merasuk ke kantong-kantong para cukong
Sementara
Kita semakin terseok di sudut jalan
Di bawah keangkuhan gedung-gedung menjulang
Yang dulu pusara bunda

Tangis apa lagi yang akan kita pekikkan
Ketika sawah lading dan pohon-pohon tumbang
Menyimpan kebohongandi televise dan Koran-koran
Bagai serdadu Jepang memperkosa perawan desa
Di pematang entah milik siapa
Tangis apalagi yang kita pekikkan
Kala asap kematian mencemari dari cerobong-cerobong pabrik
Nafas kita pun semakin sesakdan kuping jadi pekak
Hingga mata kita menjadi kabur menatap kebenaran
Yang syah diperjualbelikan
Sementara,
Kita berdiri makin ke pinggir
Ke tepi kali-kali tak berikan lagi

Tentang penulis
Sarwo Ferdi Wibowo, M.Pd.
Pegawai negeri dan peneliti di Kantor Bahasa Bengkulu. Aktif melakukan penelitian tentang sastra daerah Bengkulu untuk seminar-seminar atau jurnal terakreditasi.
Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "POLEMIK BENGKULU SEPI PENYAIR, 1993-1997"