Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DRAMA: HANYA KARENA SECANGKIR KOPI

HANYA KARENA SECANGKIR KOPI

Karya: Emong Soewandi



ADEGAN I

Keke dan Wanita I di dapur.
Keke duduk di kursi meja makan, sedangkan Wanita I menyeterika.

Keke :
Sudahlah, Yuk. Ayuk tidak perlu menutupi keadaan yang sebenarnya.

Wanita I :
(tertawa) Keadaan apa, Ke?

Keke :
Ya, keadaan kalau Ayuk selalu mendapat perlakuan kasar dari suami.

Wanita I :
Ah, siapa yang bilang itu?

Keke :
Semua orang juga sudah tahu, Yuk.

Wanita I :
Jangan percaya omongan oranglah.

Sunyi

Keke :
(kesal) Kenapa Ayuk selalu menutupi keadaan yang ada?
Ayuk malu?
Ayuk malu kalau semua orang tahu, jika ayuk selalu mendapat perlakuan kasar dari suami.

Wanita I :
Perlakuan kasar? Perlakuan kasar seperti apa?
Ah, tidak benar itu, Ke.

Keke :
Untuk apa Ayuk malu?
Dan untuk apa Ayuk juga menutup-nutupi keadaan ayuk.
Ayuk takut suami Ayuk kan marah?

Wanita I :
Sudahlah. Kami baik-baik saja.
Tidak ada apa-apa antara aku dengan suamiku.

Keke :
Ayuk bohong!
Yuk, Ayuk tidak perlu merasa malu. Aku tahu, Yuk, kalau dirimu sudah begitu menderita.
Ayolah, Yuk, keluarlah dari keadaan yang membuatmu menderita itu.
Ayolah, Yuk.....

Wanita I :
(mendekati Keke sambil tersenyum)
Terima kasih, Ke, kalau kau sudah memberikan perhatikan ke aku.

Diam.

Wanita I :
Sudahlah, ini urusan keluarga ayuk, kau tak perlu mengkuatirkan diriku.
Semuanya... baik-baik saja.
Lagi pula.... dia...dia (memaksakan diri menahan tangis) sa..sa... sayang kami semua di rumah ini.

Wanita I memaksakan diri tersenyum dan mencoba menenangkan dirinya

Wanita I :
Dia sayang kepadaku, juga kepada Lola.
Dan apa yang dikatakan kau, juga orang-orang itu tidak benar.
Biasa saja ‘kan kalau dalam rumah tangga ada pertengkaran. Kau dan suamimu juga ‘kan?

Keke :
Yuk, pertengkaran memang biasa, tapi....

Wanita I :
(memotong cepat)
Hari sudah siang, sebentar lagi Kakakmu pulang.

Keke menghela napas, kemudian berdiri.

Keke :
Ya, sudahlah.

Diam

Keke :
Aku pulang dulu, Yuk.
Assalamu’alaikum.

Wanita I :
Wa’alaikumsalam

Keke bergerak keluar. Di tepi panggung Keke menghentikan langkahnya.

Keke :
Yuk, ayuk memerlukan bantuan, Yuk.

Wanita I mengangguk sambil tersenyum.
Keke bergerak keluar kembali dengan diiringi tatapan Wanita I.
Wanita I berdiri termangu, menerawang, lalu duduk dan menangis pelan terisak-isak. Setelah menghela napas beberapa kali Wanita I memberesi dapur.

ADEGAN II

Lelaki masuk dengan muka masam, lalu duduk.
Wanita I masuk dengan wajah tertunduk

Wanita I :
Pulang, Pak.

Diam

Wanita I :
Pak Romi datang tadi.

Diam

Wanita I :
Dia menagih cicilan motor. Besok siang, kalau tidak dibayar, katanya tadi terpaksa dia akan mengambil lagi motor itu.

Suami berdiri, lalu bergerak gelisah.

Suami : Halah, motor bekas saja.

Diam

Suami : Kau beri uang dia tadi?

Wanita I : Tidak.

Suami :
Tidak? Mengapa tidak?

Wanita I :
Mau bayar pakai apa, Pak? Aku tidak punya uang lagi.

Suami :
Lha, katanya kau kerja, mau bantu suami. Mana buktinya?
Ah, dasar kau saja yang tidak punya akal.
Kau ‘kan bisa jual dulu kalungmu itu.

Wanita I :
Kalung yang mana lagi, Pak? Sudah tak ada lagi yang melekat di badanku.

Wanita I bergerak ke meja dan menyiapkan kopi untuk suami.

Wanita I :
Semua habis hanya untuk utangmu, yang bahkan sering aku tidak tahu kau berutang entah untuk apa.

Suami :
Haaaaah, banyak omong!
Urusanku. Tak perlu ikut campur.

Suami tiba-tiba menjadi kesal sendiri.

Suami :
Hah! Selalu saja aku pulang tidak pernah tenang di rumah ini. Ada-ada saja yang membuat aku marah!
Bisa tidak sekali-sekali kau buat aku tenang kalau pulang ke rumah ini.
Dasar kau yang memang sudah tidak becus!

Wanita I :
Pak, aku selalu mencoba membuatmu tenang, juga senang di rumah ini.

Diam

Wanita I :
Setiap kau pulang, selalu saja seperti ada masalah di luar rumah. Cobalah kita bicarakan bersama.
Tapi kau hanya marah dan marah setiap berada di rumah ini. Selalu saja ada yang bisa membuatmu marah.

Suami :
Diamlah!

Suami mengambil cangkir kopi lalu meneguknya. Suami kaget, karena kopinya terasa pahit, lalu dengan cepat disemburkannya kembali.

Suami :
Kopi apa ini?

Wanita I :
Gula habis, Pak.

Suami :
Gula habis? Gula habis? Kenapa tidak kau bilang dari tadi, ha!

Wanita I :
Bukannya kau sendiri memang biasa minum kopi pahit, Pak?

Suami :
Tanya dulu! Aku mau pahit, apa mau manis, kau ‘kan bisa tanya dulu.
Terus kalau habis, ya belilah!

Wanita I :
Aku tidak pegang uang lagi.

Suami :
Tidak pegang uang? Tidak pegang uang! Cuma untuk gula saja!
Dasar boros!

Wanita I :
Boros bagaimana, Pak?
Sudah dua hari ini kau bahkan tidak memberiku uang sama sekali. Tadi Lola juga sudah minta uang untuk sekolahnya. Belum lagi tadi Ibu Evi juga datang menagih utang rokokmu yang sudah menumpuk di warungnya. Ya, terpaksa aku bayar, karena dia sudah marah-marah dan ngomong kasar.

Suami :
Halaaah, kau pikir mudah cari duit!

Wanita I :
Mana uang hasilmu mengojek itu? Kau keluar dari pagi, pulang siang cuma untuk makan, keluar lagi sampai malam, tapi mana, mana, Pak, hasilnya?

Suami :
Oh, jadi kau bilang aku keluar tiap hari itu cuma untuk bersenang-senang, bukan untuk cari duit. Begitu?

Wanita I :
Bukan begitu, Pak.

Suami :
Sekarang kau saja yang pergi ngojek, biar aku yang ngurus rumah, kalau kau anggap mudah cari duit itu.

Suami berjalan mondar-mandir dalam keadaan gelisah.

Suami :
Bikin pusing saja kau ini! Aku ini sedang banyak masalah, tau tidak!

Wanita I :
Terserahlah dirimu, Pak!
Pulang ke rumah tidak pernah tenang, selalu marah, banyak masalahlah. Ada pernah kau sekali-sekali pulang untuk kami, Pak?
Pernah, Pak?

Suami melotot menatap Wanita I dengan napas yang memburu.

Suami :
Pintar ngomong kau kini ya?

Wanita I : Maaf, Pak.....

Suami :
Maaf, maaf, maaf....
Makan maaf olehmu!

Suami menyiramkan kopi ke Wanita I.

Suami :
(geram) Aaaaaah, kau ini!

Wanita I :
Pak, kasarnya kau, Pak!

Suami :
Menantang? Kau menantang aku!

Lalu melompat dan memegang leher Wanita Inya, kemudian dengan kasar didorong hingga terjatuh.

Suami :
Dasar Wanita I tidak becus!
Goblok!
Bodoh!

Suami memukul Wanita I.
Setelah itu, Suami terduduk dengan napas yang terengah-engah.

Wanita :
Sudah, Pak?

Lelaki diam

Wanita :
Sudah puas kau, Pak?
Jika belum, puaskan saja dirimu, carilah bagian tubuhku yang belum kau jadikan sasaran amarahmu.

Lelaki :
Diam! Diam! Diam kau, perempuan sial!

Wanita I :
Pak! Apakah salahku hingga kau sebut aku begitu, Pak?

Lelaki : Mau tahu salahmu?
Salahmu?
Kau bodoh, goblok dan tidak becus!

Wanita :
Ya, aku mungkin memang bodoh. Aku juga mungkin goblok, Pak.

Lelaki : Memang!

Suami merogoh kantongnya, kemudian mengeluarkan uang lembaran-lembaran seribu, lalu melemparkannya ke arah Wanita I

Suami :
Beli gula!
Ngomong kalau uang habis.
Hah, Cuma tahu menghabiskan uang saja!

Suami keluar

Suami :
Kau pikir gampang apa cari duit.

Sunyi.

Wanita I memungut uang yang berhamburan dengan perlahan sambil menangis


Wanita I :
Bukan ini, bukan ini yang aku butuhkan, Pak.
Bukan ini.

Sunyi

ADEGAN III

Lola masuk dengan kondisi pakaian yang kacau.

Lola :
Ibu!

Wanita I kaget melihat kondisi Lola.

Wanita I :
Anakku! Kau... kau kenapa, Nak?

Lola :
Ibu.........

Lola kemudian menangis kuat dan memeluk ibunya

Wanita I :
Kenapa? Kenapa, Nak?

Lola :
Bapak... Bapak....

Wanita I :
Kenapa Bapak, Nak? Kenapa?

Lola :
Ibuuuuuu.......

Wanita I :
Kau dipukul Bapak?

Lola tidak menjawab, hanya menangis tersedu-sedu.

Wanita I memperhatikan wajah Lola.

Wanita I :
Mana kalungmu, Nak? Anting-antingmu juga?

Lola :
Diambil Bapak.

Wanita I :
Diambil Bapak?

Lola :
Tadi aku tidak mau memberikannya, tapi Bapak memaksa lalu memukulku.

Wanita I :
Tuhanku!

Wanita I terjatuh pingsan. Lola kemudian menangis tersedu.

Lola :
Ibu... Ibu!
Tolong..... Tolong...

ADEGAN IV

Lola lari berputar-putar di atas panggung dalam bentuk tarian yang menggambarkan kegelisahan, kesepian dan rasa sakit yang dalam.
Sambil menari, lalu dengan gerakan perlahan Lola keluar.

ADEGAN V

Di luar panggung terdengar keributan. Wanita I tersadar, lalu mencoba bangun dengan lesu.

Suara I :
Tolonglah, Yuk, kasih aku kesempatan seminggu lagilah. Aku janji akan melunasi motor itu.

Suara II :
Tidak! Aku sudah cukup bersabar. Utang motor, belum lagi utang-utangmu yang lain di warungku sudah membuat aku pusing.
Sekarang motor akan aku ambil!

Ayuk Evi masuk, diikuti Suami Wanita I.
Langkah Ayuk Evi terhenti lalu menggeleng-geleng melihat kondisi Wanita I.

Diam.

Ayuk Evi :
Tidak tega aku melihatmu begini!

Diam.

Ayuk Evi :
Ya, sudahlah. Aku pulang dulu.

Di tepi panggung Ayuk Evi tajam menatap Suami Wanita I.

Ayuk Evi :
Dasar laki-laki tidak punya hati nurani!

Ayuk Evi keluar.
Sunyi dan koda musik

ADEGAN VI

Suami emosional. Menatap buas ke Wanita I. Lalu dengan napas memburu dia mendekati Wanita I.
Wanita I menjadi ketakutan.

Wanita I :
Pak... Pak... kau mau apa lagi, Pak?

Suami :
Diam!

Suami menyeret Wanita I ke belakang panggung. Pakaian Wanita I dengan kasar dilepaskannya.

Wanita I :
Pak... Pak... Jangan, Pak!

Suami :
Diam!
Jangan melawanku!

Wanita I :
Pak... Pak... Jangan, Pak!
Aku sedang berhalangan, Pak!
Jangan, Pak!

Suami : Diam!

Wanita I :
Aku sedang halangan, Pak!
Jangan... Jangan, Pak!
Ingat Tuhan, Pak... Ingat Tuhan, Pak.
Ini dosa, Pak.
Dosa, Pak!

Suami :
Diaaaaam!

Wanita I :
Ingat Tuhan, Pak!

Hanya suara erangan, tangisan dan dengusan napas.

Koda musik.
Sunyi.

Wanita I :
(Teriak kuat) Tidaaaaak!

Gerakan Suami terdorong kuat ke sisi panggung, lalu terjatuh.

ADEGAN VII

Keke masuk dengan berlari-lari diikuti Lola dan langsung mendekati Wanita I yang sedang menangis terisak-isak dengan posisi tubuh telungkup di lantai.
Lola duduk dengan lesu di kursi.
Sementara suami terduduk lesu di lantai di sisi panggung.

Keke : Ayuk!
(Mendekati Wanita I) Ayuk... Ayuk!

Keke membangunkan Wanita I.

Keke :
Kak? Kau apakan lagi Ayuk, Kak? Kau apakan Ayuk?

Wanita I duduk tersimpuh di lantai.
Keke mengambil segelas air, lalu mengusap-usapkan ke kepala Wanita I.
Wanita I sadar, dengan cepat memeluk Keke dengan erat, kemudian menangis tersedu-sedu.

Keke :
Sampai kapan, sampai kapan ini akan terus terjadi?
Kapan ini akan berakhir?

Wanita I :
Tuhan, Tuhan, aku takut, Tuhan.
(Melihat ke Lola)
Kasihan anakku.
Lola.....
Sini, Nak.

Lola menggeleng pelan sambil menahan tangis.

Wanita I :
Sini, Nak.....

Lola kembali menggeleng. Keke kemudian mendekati Lola, memegang bahunya lalu perlahan membawanya ke Wanita I.
Lola dengan cepat memeluk Wanita I dan kembali menangis tersedu-sedu.

Lola :
(Menangis) Ibuuu.....

Diam.

Suami :
Keluar kalian.....

Keke :
Kau memang tidak punya hati, Kak!

Suami :
Keluar...

Keke berdiri lalu menantang mata suami Wanita I.

Keke :
Tidak! Aku tidak akan keluar dari rumah ini.

Suami menatap Keke dengan tajam.

Keke :
Dan... dan aku tidak akan diam lagi sekarang, Kak.
Jika Ayuk tidak pernah melawanmu, maka sekarang aku akan melawanmu untuk Ayuk.

Lola bangkit dengan pelan

Lola :
(Lemah)Dan... aku.. aku juga akan melawanmu, Yah.

Suami menatap Lola, tangannya bergerak seperti ada yang akan dikatakan.

Diam

Lola :
Cukuplah, Yah, cukup!
Cukup sampai di sini saja aku telah dibesarkan dalam kekerasanmu.

Suami melakukan gerakan seperti orang yang pasrah dan menyerah

Sunyi

Lola :
Ah, aku kira Tuhan pun akan memaafkanku jika aku melawanmu.
Karena... karena.... karena memang harus aku dan ibu melawanmu, melawan kekasaranmu, melawan kekerasanmu dalam rumah ini, Yah.

Wanita I mendekati Suami dan memegang bahunya, tetapi dielak oleh Suami.

Diam.

Lola :
Oh, betapa aku merindukan kemesraan dalam rumah ini.
Betapa aku merindukan kelembutan dari seorang ayah.

Koda musik.
Lola mendekati Suami.

Lola :
Aku selalu merindukanmu, Ya.
Apakah kau tahu itu?

Ibu Evi masuk bersama Wawa. Suami ketakutan melihat Wawa.

Ibu Evi :
Nah, itu orangnya, Bu!
Lelaki kasar!

Wawa mendekati Wanita I kemudian membimbingnya untuk duduk.

Diam

Suami :
(Kepada Wawa) Siapa kau? Polisi?

Wawa :
Mengapa Bapak mengira saya polisi. Bapak takut kepada polisi?
Mengapa Bapak takut?
Bapak punya kesalahan?

Suami menggeleng pelan.

Suami :
Saya tidak punya salah apa-apa.

Diam.

Wawa :
(Tersenyum) 
Tapi bukan, Pak. Saya bukan polisi.

Suami :
Jadi siapa kau?

Wawa : Saya tetangga keluarga Bapak. Sekedar simpati saja untuk keluarga Bapak, karena itu saya menyempatkan diri untuk singgah.

Suami :
Mau apa kau?

Diam.

Wawa :
Bapak tidak keberatan ‘kan saya di sini?

Diam.

Wawa :
Sebenarnya Pak, saya dari Lembaga Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang ada di desa kita ini.

Diam

Wawa :
Tadi Keke dan Ibu Evi sudah bercerita banyak kepada saya. Dan memang, semula mereka berniat melaporkan Bapak ke pihak kepolisian.

Suami menatap Keke dengan tajam.

Keke :
Ya, tadi aku ke kantor lurah dan mengadukan Kakak. Bahkan aku memang berniat melaporkan Kakak ke polisi. Apalagi setelah mendengar penjelasan dari tetangga, jika yang sering Kakak lakukan terhadap Ayuk itu adalah kejahatan.

Wawa :
Pak Lurah tadi membawa Keke menemui saya. Karena itulah saya datang dan ingin berbicara dengan keluarga ini, sebelum semuanya berlarut hingga harus berhadapan dengan pihak penegak hukum.

Keke :
Kak, jika kau memang tak bisa mendengar kami lagi, tapi aku harap kau masih mau mendengarkan kata-kata ibu ini.

Suami :
(Pelan) Ini urusan rumah tanggaku. Apa yang aku lakukan memang hakku sebagai kepala rumah tangga.

Wawa tersenyum dan mengangguk-angguk.

Suami :
Dan lagi pula aku tidak mengganggu orang lain ‘kan?

Wawa mengangguk pelan.

Wawa :
Pak, bukan aku yang ingin ikut campur dalam urusan rumah tangga Bapak. Justru sebaliknya, keluarga Bapaklah yang mengharuskan saya dan juga masyarakat ikut campur, karena apa yang terjadi di keluarga ini telah memberikan banyak gangguan kepada yang lain.

Diam.

Wawa :
Jadi, salah sekali kalau Bapak mengatakan tidak mengganggu siapa pun.

Suami :
Yang aku lakukan itu di dalam rumah saya sendiri, kepada istri dan anak sendiri, lalu mengapa pula aku dikatakan mengganggu orang lain.

Wawa menatap tajam kepada Suami.

Wawa :
Bapak sudah mengganggu tatanan, bahkan merusaknya!

Diam.

Wawa :
Tatanan keluarga, tatanan masyarakat, tatanan agama, bahkan tatanan hukum.
Apakah Bapak sadar, apa yang Bapak lakukan selama ini adalah salah?
Begitu mudahnya Bapak memainkan tangan dan kaki. Begitu tebalnya telinga bapak hingga tak mendengar lagi tangisan mereka.
Begitu kerasnya hati bapak hingga tak merasakan lagi sakit mereka.

Diam

Wawa:
Atau Bapak tak mengerti apa yang saya katakan
Ya, bapak tak perlu mengerti apa yang saya katakan, tapi yang lebih penting bapak menyadari, apa yang bapak lakukan itu salah
Bapak tahu, jika yang Bapak lakukan itu salah?
Apakah Bapak terpaksa menikahi istri Bapak dulu?
Apakah istri Bapak terpaksa menikah dengan Bapak dulu?
Bapak masih ingat ‘kan jika dulu Bapak berjanji akan selalu menjaganya dengan cinta?
Bapak masih ingat ‘kan janji suci perkawinan Bapak dulu?
Bapak masih ingat ‘kan akan selalu menyayanginya?

Diam

Wawa :
Bapak masih menyayangi istri Bapak?
Bapak masih menyayangi anak Bapak, Lola?
Bapak menyayangi mereka?

Suami :
Iya, saya masih menyayangi mereka.

Wawa :
Lalu bagaimana bapak bisa menyayangi mereka dengan cara yang bapak lakukan mereka?

Suami :
Aku masih menyayangi mereka?

Wawa :
Belum terlambat, Pak. Mereka masih menunggu Bapak pulang dengan segala kerinduan.

Suami :
Aku sayang mereka!

Wawa :
Mereka masih sayang kepada Bapak.

Suami menangis.

Istri dan Lola masuk.
Suami mendekati mereka, lalu menggenggam tangan istri dan menciumnya.

SELESAI
Kepahiang, Tengah April 2013




Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "DRAMA: HANYA KARENA SECANGKIR KOPI"