SEJARAH RINGKAS DWI TUNGGAL - CURUP (KISARAN 1942 - 1960-AN)
Di mana aku dilahirkan, menjalani hari-hari bocah yang bergaul dengan lumpur sawah, ikan betok, mandi di sungai dan cubitan ibu, juga di kehidupan remaja yang penuh dinamis dan kenaifan romantisme. Berada di pinggir kota, hingga membuat diriku agak "kampungan" yang sedikit banyak jauh dari gaya hidup urban. Itu dulu, sekarang siapa menyangka rumah kami yang sederhana telah berada di salah satu kawasan elit di Kota Curup. Ya, Dwi Tunggal. Dan, di Dwi Tunggal juga kini tempat ibu berkubur.
Kelurahan Dwi Tunggal berada di sudut Kota Curup, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Curup sendiri, berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 4 Tahun 1956, dan diperkuat dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1959, Curup menjadi ibukota Daerah Tingkat II/Kabupaten Rejang Lebong, menggantikan Kepahiang.
Jalan Basuki Rahmat, Dwi Tunggal, Curup |
Pada masa Belanda, batas kota Curup adalah Pasanggerahan dan Markas Belanda (GOR pada hari ini). Ada dua dusun bermarga Bermani Ulu setelah keluar kota, yakni Dusun Air Rambai dan Dusun Air Putih. Setelah dusun Air Rambai ini, di pinggir Dusun Air Putih, terdapat dua hutan belantara, yang dikenal dengan nama Rimbo Jepo dan Rimbo Penyamun.
Pada akhir 1937, Belanda mulai membuka Rimbo Jepo untuk dijadikan pusat administrasi dan lapangan terbang, menyusul rencana perpindahan ibu kota Onderafdeling Redjang, dari Kepahiang ke Kota Curup. Di bekas-bekas hutan itu, Belanda membangun lapangan terbang, Alasan Belanda membuat lapangan terbang ini, karena memperhatikan, wilayah bekas Rimbo Jepo adalah wilayah yang paling datar di daerah Curup. Namun, kegiatan ini tak bisa dilanjutkan, karena Pemerintah Hindia Belanda harus menyerah kepada Militer Kekaisaran Jepang, pada 1942, yang kemudian membuat mereka harus meninggalkan kota Curup.
Pada masa pendudukan Jepang, melanjutkan kegiatan Belanda yang ditinggalkan itu. Selain melanjutkan pembangunan lapangan terang, Jepang juga membangun komplek perkantoran dan rumah sakit kecil (dalam areal RSUD Curup sekarang).
Di dekat kompleks perkantoran sipil dan militer itu, dibangun juga rumah komandan militer. Setelah kemerdekaan rumah itu menjadi markas Badan Keamanan Rakyat, pernah juga sebagai rumah dinas Bupati Rejang Lebong, terakhir pada hari ini menjadi rumah dinas Wakil Bupati Rejang Lebong.
Pada 1943 Jepang membangun perkebunan murbai dan peternakan ulat sutra, yang berada di sisi lapangan terbang itu (komplek RSUD Curup hari ini) hingga ke tepi Rimbo Penyamun (Dwi Tunggal Ujung sekarang). Sementara untuk kilang tenun yang bernama Teikoku (yang artinya Kerajaan) dibangun di Air Putih Lama (berada di Lapangan Tenis Jalan Soekowati sekarang). Ini sedikit bisa menjelaskan, mengapa di Dwi Tunggal pada masa-masa berikutnya hingga akhir 1990-an banyak ditemui pohon murbai.
Perkebunan murbai dan peternakan ulat sutra ini diberi nama Katakura, yang selanjutnya sempat lama menjadi pula nama wilayah. Katakura sendiri diambil dari nama sebuah klan samurai di Jepang pada masa Kaisar Fujiwara.
Katakura secara adat termasuk dalam wilayah marga Bermani, namun ada keunikan yang dimiliki oleh Katakura yang membedakannya dengan Dusun Air Putih dan Air Rambai, wilayah Katakura tidak memiliki masyarakat adat, karena dulunya memang bukan pemukiman/dusun, melainkan hutan belantara.
----------------------------------------------
Bapak Zainal Arifin Djamil, seorang tokoh Pejuang 45, mantan Komandan TKR Curup, menceritakan, pada 1944, sebuah pesawat Curen Jepang dari Bengkulu jatuh di persawahan Talang Benih. Kejadian itu disebabkan karena dengan adanya persamaan warna hijau, maka pilot pun mengira persawahan itu adalah lapangan terbang. Keadaan itu baru disadari pilot, setelah dekat dengan darat, namun tak ada lagi kesempatan untuk menaikkan pesawat. Pilot dan satu orang penumpang dilaporkan selamat.
---------------------------------------------
Sepeninggal Jepang, hingga menjelang 1950-an, kawasan Katakura menjadi semak belukar. TNI sendiri telah pindah ke markas baru di Air Putih. Gedung-gedung peninggalan Jepang banyak yang terbengkalai dan areal perkebunan murbai telah jadi hutan kecil, sebagian digarap sebagai talang-talang orang-orang dari Dusun Air Putih dan Dusun Air Rambai.
Pada 1960-an, ada migrasi beberapa keluarga suku Jawa dari Rimbo Recap dan Batang Gelang. Dengan izin dari Ginde Dusun Air Putih, mereka membuka ladang dan mendirikan pemukiman di ujung Katakura. Mereka mengusahakan kebun-kebun palawija, kacang tanah, bengkuang, jagung dan sedikit kebun kopi.
Berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 4 Tahun 1956, dan diperkuat dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1959, Curup ditetapkan menjadi ibukota Kabupaten Rejang Lebong menggantikan Kepahiang. Dengan kondisi ini, Dwi Tunggal direncanakan kembali jadi pusat administrasi Kabupaten Rejang Lebong. Gedung-gedung pemerintahan, termasuk kantor DPRD memakai bangunan-bangunan bekas markas militer Jepang.
Wilayah sepanjang jalan Basuki Rahmat (hari ini) masuk dalam wilayah Dusun Air Rambai, sementara wilayah di Jalan Santoso (hari ini) masuk dalam wilayah Dusun Air Putih. Pada 1963-1964 atas usul dari Bupati Burhan Dahri, kedua wilayah ini kemudian disatukan untuk menjadi dusun baru. Wilayah yang disatukan ini kemudian dinamakan Dwi Tunggal, dengan Bapak Harun (?), seorang penggawa di Kegindean Air Rambai sebagai pejabat ginde pertamanya.
Mengapa Dwi Tunggal?
_________________________________
Sebelum resmi menjadi nama dusun, Dwi Tunggal telah dipergunakan secara umum untuk penyebutan dua bagian dari Catur Tunggal Pemerintahan Daerah, yakni Kantor Pemda dan Kantor Polisi yang berdiri wilayah Katakura.
__________________________________
Catur Tunggal adalah gagasan Presiden Soekarno tentang kemanunggalan unsur-unsur pemerintahan. Catur Tunggal terdiri atas Bupati, Komandan Kepolisian, Komandan Militer dan Kepala Kejaksaan. Pada 1964 dengan Keputusan Presiden Nomor 71 Tahun 1964, Catur Tunggal diubah menjadi Panca Tunggal, dengan memasukkan unsur Front Nasional.
Dengan Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 1967 Panca Tunggal dibubarkan. Ulasan secara lengkap tentang Catur Tunggal dan Panca Tunggal dapat dilihat pada artikel berjudul Catur Tunggal Diubah Jadi Panca Tunggal di sini. Lihat juga artikel dengan judul Pejabat Presiden Soeharto Membubarkan Panca Tunggal di sini.
Di rencanakan keempat unsur itu akan dibangun semua gedungnya di Katakura. Tetapi hingga menjelang akhir 1964, hanya 2 unsur yang dibangun gedungnya, yakni Kantor/kompleks Pemda dan Kantor Polisi. Sementara Komando Militer (Kodim) telah menempati permanen markasnya di wilayah Pasar Tengah dan Kantor Kejaksaan masih menempati kantor sementara di Jalan Kartini. Front Nasional untuk Rejang Lebong juga baru didirikan pada awal 1965, dan berkantor di komplek Pemda.
Karena hanya ada 2 unsur ini saja, situasi ini disebut sebagai Dwi Tunggal. Sejak saat itu, sebagai penanda tempat atau nama sementara wilayah Katakura pun umum disebut sebagai Dwi Tunggal.
Karena hanya ada 2 unsur ini saja, situasi ini disebut sebagai Dwi Tunggal. Sejak saat itu, sebagai penanda tempat atau nama sementara wilayah Katakura pun umum disebut sebagai Dwi Tunggal.
________________________________________________
Aslinya penyebutan "Dwi Tunggal" sebagai metamorfosis dari Katakura hanyalah untuk wilayah di sepanjang Jalan Basuki Rahmat pada hari ini.
______________________________________________________
Masa kepemimpinan Pak Harun sebagai pejabat ginde tidak berjalan lama, hanya 2 bulan, karena ada protes dari orang-orang Dusun Air Putih, yang menganggap penunjukkan ginde itu menyalahi adat pemerintahan marga. Hasil kesepakatan Camat, Datuk Pasar Curup, Ginde Air Rambai dan Ginde Air Putih, diputuskan Dwi Tunggal secara administratif dinyatakan berdiri sendiri, lepas dari Dusun Air Rambai dan Dusun Air Putih.
Keberadaan Dusun Dwi Tunggal tidak memiliki masyarakat adat asli (Rejang) menjadi salah satu dasar penting keputusan itu. Dwi Tunggal berkembang sebagai wilayah yang majemuk masyarakatnya, walaupun memang populasi awalnya (terutama di Jalan Santoso) sebagian adalah orang Rejang, namun mereka adalah pendatang, yang justru berasal dari luar wilayah Curup, seperti dari Bengkulu Utara, Lebong dan Kepahiang.
Untuk sementara, Dusun Dwi Tunggal secara administratif merupakan bagian dari Marga Pasar Curup. Camat dan Datuk Pasar Curup menunjuk seorang punggawo (penggawa) yang bernama A. Latief sebagai pelaksana tugas pemerintahan sementara, sebelum adanya pemilihan dan penetapan ginde.
Sesuai dengan tata cara pemerintahan tradisional mengikuti Undang-Undang Simbur Cahaya yang masih dipakai oleh Provinsi Sumatera Selatan dan Keresidenan Bengkulu pada waktu itu, tugas Punggawo Latief disamakan dengan kondisi pasirah/datuk tidak berada di tempat. Artinya Punggawo Latief menjalankan tugas sama dengan kedudukan dan tugas seorang Kepala Dusun atau Ginde.
Masa kepemimpinan Punggawo Latief selesai pada 1975, dengan penetapan Pak Siddik sebagai Ginde Dwi Tunggal. Pada masa pemerintahan Ginde Siddik, untuk tata cara adat, Dwi Tunggal tidak lagi menerapkan aturan-aturan Marga Pasar, namun kembali ke tata cara tradisional Rejang dan wilayahnya masuk dalam marga Bermani.
Bisa dikatakan, Pak Siddik merupakan ginde pertama, sekaligus juga ginde terakhir Dwi Tunggal. Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa yang menghapus tata pemerintahan lokal, maka selanjutnya Dwi Tunggal pun berubah statusnya dari Dusun Tradisional menjadi Desa. Jika sebelumnya kepala pemerintahan secara lokal disebut sebagai Ginde, maka dengan perubahan status itu, mengikuti istilah yang berlaku secara nasional, kepala pemerintahannya disebut Kepala Desa.
Pada hari ini, Dwi Tunggal statusnya telah menjadi sebuah kelurahan, yang dipimpin oleh seorang Lurah.
Sebagian Dwi Tunggal dalam citra satelit |
____________________________________________________
Perhatian!
Apa yang tertuang dalam tulisan ini belumlah menjadi semacam teks sejarah, namun masih merupakan sebuah rencana wacana, sebuah hipotesis yang masih memerlukan banyak kritik. Mohon kepada pembaca, keluarga dan sahabat di Kota Curup dapat memberikan saran dan masukan
____________________________________________________
.
Bertanda kotak merah adalah rumahku di: Jl. Prof. DR. M.Yamin II, Kelurahan Dwi Tunggal, Curup, Kabupaten Rejang Lebong |
----------------------------------------------
Keluarga kami sendiri masuk ke Dwi Tunggal pada 1966. Rumah yang dibangun ayah kami pada 1967, tak lama setelah menikah dengan ibu, merupakan rumah pertama di pangkal hingga pertengahan Jalan Prof. DR. M. Yamin II. Sementara di ujung, kurang lebih 500 meter dari rumah kami dengan kiri-kanannya masih berupa kebun-kebun jeruk dan bengkuang, semak belukar dan sebuah hutan kopi kecil, sebelumnya pada 1965 telah dibangun perumahan untuk pegawai Pemda Rejang Lebong. Menyusul selanjutnya, 1968, di sebelah rumah kami dibangun rumah milik Pak Burhan Wahab.
Burhan Wahab, setelah purnawirawan dari anggota Polri, menghabiskan masa-masa tuanya hingga meninggal di Bengkulu. Sejak masih anggota polisi aktif, dia telah banyak menciptakan lagu-lagu berbahasa Melayu Bengkulu dan lagu-lagu Pramuka. Dia terkenal sebagai pencipta lagu-lagu daerah Bengkulu populer, seperti Pantai Panjang, Di Tepi Pantai Bangkahulu dan Yo Botoi-Botoi. Darah seninya telah terasah sejak kecil. Dia pernah menjadi anggota sanggar tonil Monte Carlo, yang didirikan oleh Bung Karno saat dibuang di Bengkulu. Burhan Wahab adalah pemain termuda di kelompok itu. Pada 2007 mendapat penghargaan budaya "Bencoolen Award" dari Gubernur Bengkulu dan pada 2008, untuk pengabdiannya di kebudayaan Bengkulu, dalam rangka ulang tahun Provinsi Bengkulu ke-40 dianugerahi penghargaan dari Gubernur Bengkulu. Istrinya sendiri adalah seorang Polisi Wanita (Polwan) pertama di Provinsi Bengkulu.
Apa yang samar-samar yang saya kenang dari Dwi Tunggal adalah deretan pohon-pohon damar raksasa, berbaris di sisi jalan sepanjang Jalan Basuki Rahmat. Raksasa, karena memang pohon-pohon itu menjulang tinggi, dan raksasa dalam pandangan saya yang pada waktu itu masih seorang bocah kecil yang sore-sore diajak jalan dibonceng di belakang sepeda oleh ayah atau kakek. Pohon-pohon berdaun runcing itu ditanam oleh militer Jepang saat pembukaan Katakura. Sekitar 1976-1977, pohon-pohon itu kemudian harus ditebang untuk pelebaran jalan.
Dua batang pohon terakhir masih sempat kulihat ada di samping SMAN 1 Curup dan dekat kantin Mapolres Rejang Lebong. Namun, kedua pohon ini pun sekarang tak ada lagi, juga telah ditebang.
Tentang tulisan ini sendiri, saya telah memulai menggarapnya sejak 2000 lalu. Pada tahun itu, saya diminta oleh Pemda Kabupaten Rejang Lebong untuk menulis buku "Sejarah Perjuangan Rakyat Kota Curup". Di sela-sela penulisan buku itu, saya menyempatkan diri untuk menelusuri sejarah tempat kelahiran saya, yakni Dwi Tunggal, karena selama kurun penulisan buku itu, saya melihat bagaimana Dwi Tunggal telah memiliki "ruang" tersendiri dalam sejarah Kota Curup.
Saya berbahagia sekali, karena saya masih bertemu dengan tokoh-tokoh masyarakat yang masih bisa bercerita tentang Dwi Tunggal di masa lalu, salah satunya adalah ayah saya sendiri, Soewandi DS. Dari mereka saya menerima potongan-potongan kisah, di mana dengan dukungan beberapa dokumen, saya kemudian mencoba untuk menyatukannya menjadi sebuah "sejarah" tentang Dwi Tunggal, sebagaimana yang ada dalam tulisan ini.
Namun, saya yakin, masih ada serakan potongan-potongan lain yang belum saya temukan.
----------------------------------------------
Referensi:- Kepolisian Daerah Sumatera Selatan Dari Masa Ke Masa. Palembang: Polda Sumbagsel. 1996
- Soewandi, Emong. Perjuangan Rakyat Kota Curup. Curup: Pemda Rejang Lebong, 2001
- Undang-Undang Darurat Nomor 17 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-Kabupaten dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Selatan.
- Wawancara dengan Bapak Zainal Arifin Djamil, Mantan Komandan TKR Curup, domisili Talang Rimbo-Curup
- Wawancara dengan Bapak Djirat, sesepuh masyarakat, domisili Dwi Tunggal-Curup
- Wawancara dengan Bapak Harun Wahab, sesepuh masyarakat, domilisi Dwi Tunggal-Curup
- Wawancara dengan Bapak Soewandi DS, Purnawirawan Polri, domisili Dwi Tunggal-Curup
Mantaap... Terus telisik sejarah kita
ReplyDeleteTerima kasih telah berkunjung
Deletewah saya baru tau ini pak.. hehe.. salam rindu pak.. dri alumni smk 1 seberang musi alumni 2013
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkunjung...
DeleteBangga mnjadi asli dwi tunggal, ambo asli dwi tunggal dgn nma ayah yetno, ibu yanti, mbah tino alm. musiyem mbah lanang alm. zahari ratam, buyut ambo alm. Abd. Latief,. 🙏
ReplyDeleteDwi Tunggal memang penuh kenangan. Terima kasih telah berkunjung :)
DeleteMantaappp
ReplyDeleteTerima kasih ya udah mau berkunjung ke blog aku :)
DeleteMasya allah. Semoga Allah selalu limpahkan berkahnya kepada suhu emong. Aamiin
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkunjung. Kalau dari gaya bahasanya ini pasti sahabat saya Rizani Oktaviansyah :D
Deletebangga jadi warga 2-1, tempat yang penuh sejarah rupanya
ReplyDeleteTerima kasih Kak Emong,walau sy bukan asli tanah Rejang,tapi menetap disini. Senang sekali ada orang hebat yang menghimpun sejarah yang berserak, akan berguna untuk anak cucu kita atau generasi yang akan datang..teruslah berkarya Kak ,kami bangga padamu
ReplyDelete