Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CERITA RAKYAT REJANG: IBU PUNGGUK DAN BULAN

Ibu cemas, Pungguk dan Bulan tak ada di rumah

Di sebuah kampung terpencil yang diselimuti rimba dan bukit-bukit sunyi, hiduplah seorang ibu bersama dua anaknya, Pungguk dan Bulan. Mereka hidup sederhana, bersandar pada hasil ladang dan hutan. Sejak sang ayah meninggal, ibu menjadi segalanya bagi Pungguk dan Bulan. Ia bangun lebih pagi dari embun dan pulang saat kabut turun dari bukit, membersihkan ladang-ladang orang, membantu memetik padi, menjerat burung, dan mencari daun obat untuk dijual ke pasar.

Suatu hari, saat hendak kembali dari ladang, Ibu tersesat dalam kabut yang lebih tebal dari biasanya. Ia berputar-putar, kehilangan arah, hingga akhirnya ia menemukan jalan pulang menjelang malam. Tubuhnya lelah dan kaki-kakinya dipenuhi goresan semak, tapi hatinya lega. Ia membayangkan anak-anaknya akan menyambutnya dengan tawa kecil dan cerita tentang hari mereka.

Namun, begitu tiba di rumah, keheningan menyambut. Rumah yang biasanya ramai oleh suara adik dan kakak itu kini sunyi. Tikar belum digulung, tungku belum dinyalakan, dan lampu damar masih mati. Ibu bergegas ke belakang rumah, memanggil, “Pungguk! Bulan! Nak, Ibu pulang!”

Tak ada jawaban. Hanya suara malam dan desah angin.

Ibu mulai panik. Ia menyusuri jalan setapak menuju ladang lagi, memanggil-manggil nama anak-anaknya. Tapi yang terdengar hanya gema suaranya sendiri. Ia berlari ke rumah tetangga, bertanya, tapi tak ada yang melihat ke mana anak-anak itu pergi.

Ibu duduk di depan rumah, menggigil bukan karena dingin, melainkan karena takut. Dalam dadanya, tumbuh kekuatiran yang mencengkeram. Ia tahu, hutan di sekeliling kampung bisa menjadi tempat yang mematikan bagi anak-anak. Di hatinya penuh sesal telah meninggalkan Pungguk dan Bulan di rumah, mengapa mereka tak dibawanya saja pergi bekerja. Membayangkan itu semua, ia pun kembali menangis tersedu-sedu.

Dusun dikejutkan oleh suara jerit tangis perempuan. Tangis seorang ibu yang mencari anaknya. Warga kemudian berbondong-bondong membantu mencarinya. Mereka membawa obor dan anjing pemburu, masuk ke hutan, ke ladang, ke sungai, hingga ke gua hingga pagi harinya. Tapi tidak ada jejak Pungguk dan Bulan. Hanya dedaunan yang basah dan bisikan angin yang seakan menyimpan rahasia.

Hari demi hari, tak ada kabar tentang Pungguk dan Bulan. Orang-orang pun telah menghentikan pencariannya. Tetapi, Ibu tak menyerah. Ia terus mencari, bahkan saat orang-orang mulai menyuruhnya ikhlas. Ia menolak. Ia percaya anak-anaknya masih hidup—atau setidaknya, jiwanya belum tenang jika belum tahu apa yang terjadi.

Pada malam kelima belas, Ibu duduk termenung di halaman mengenang kedua anak-nya yang tak tentu rimbanya. Ia menatap bulan di langit yang bercahaya putih gemilang. Dan saat itu itu juga ia mendengar suara lirih dari atas pohon tua dekat rumah. Kuk... kuk... kuk..., begitu lirih dan menyayat suara burung itu.

Setiap malam Ibu duduk di serambi rumah, berharap dan berharap anak-anaknya akan pulang.

Begitulah, hingga pada malam kelima belas, di langit bulan penuh menggantung di langit, ibu duduk di halaman. Ia menatap bulan dengan mata sembab. Dari sebatang pohon tua dekat rumah lagi-lagi ia mendengar suara lirih dari atas pohon: "Kuk... Kuuuk.... Kuk...." Suara itu menyayat, penuh rindu. Namun, ia mengira itu suara burung malam biasa.

Mungkin karena perasaan rindu, Ibu seperti melihat wajah Bulan di permukan bulan di langit. Perasaan rindu itu pun semakin dalam karena irama lirih burung di atas pohon. Ia pun menjadi terisak-isak. 

Bulan berikutnya pun terjadi lagi, di malam kelima belas, di bulatan bulan di langit ia kembali seperti melihat wajah anaknya, Bulan yang cantik. Pun, kembali pula ia mendengar suara burung yang menyayat dari pohon tua dekat rumah. Ia menyadari, jika di pendengarannya suara burung itu seperti menyebut-nyebut nama anaknya: "Bulan... Bulan... Bulan.....".

Tiba-tiba hatinya jadi tergetar. Jangan-jangan.....

Malam itu juga, ketika Ibu tidur, ia bermimpi. Dalam mimpinya, Bulan datang dengan senyum sendu. “Ibu, jangan menangis. Aku dan Pungguk tak hilang. Kami berubah agar tak membebani Ibu. Aku kini ikut bersama bulan menerangi malam, dan Pungguk menjagaku dari bumi. Bergembiralah, Ibu, kami masih ada dan akan selalu mengunjungimu”.

Dalam mimpi itu Bulan juga memberi pesan, agar setiap malam kelima belas ibunya menyajikan makanan yang dulu disukai olehnya. Semua benda-benda itu diletakkan di kaki pohon tua dekat rumah, tempat mereka berdua dulu sering bermain bersama dan sekarang tempat Pungguk selalu hinggap.

Ibu menatap bulan dan mendengar iram lirih burung malam

Ibu terbangun sambil menangis. Ia segera berlari keluar rumah, menengadah, menatap Bulan yang telah condong ke ufuk pagi.

Ia benar-benar melihat wajah anaknya, yang ia rasakan juga melihatnya dari kejauhan. Semakin yakinlah dia kalau anaknya sekarang telah bersama bulan bercahaya gemilang di langit, dan burung yang bersuara lirih itu juga adalah Pungguk. Dua anaknya yang begitu ia rindukan. Tetapi sekarang ia tidak sedih lagi, karena ia merasa benar, bahwa anak-anaknya tidak hilang, ia menganggap anak-anaknya masih selalu ada, walaupun dalam rupa yang lain.

Sejak itu, setiap senja menjelang malam lima belas, sesuai pesan Bulan, Ibu dan warga-warga dusun akan mendatangi pohon tua tempat Pungguk selalu hinggap. Mereka membawa sesaji kecil, makanan yang dulu adalah kesukaan Pungguk dan Bulan, berupa nasi putih dalam daun pisang, semangkuk gulai pakis bakar, beserta dua cangkir dari bambu berisi air putih. Dibawanya juga seuntai kalung dari rangkaian bunga raya, yang dulu sering dibuatkannya untuk Bulan.

Di bawah pohon tua itu, Ibu bernyanyi pelan, seperti sedang meninabobokan Pungguk dan Bulan. Ia tahu, tubuh anak-anaknya telah menyatu dengan alam, tapi cinta dan rindu mereka masih bergema dalam cahaya bulan dan suara burung malam.

Dan di langit, Bulan bersinar redup namun setia. Di pohon tinggi, seekor burung kecil bersuara lirih. Di bumi, seorang ibu menatap keduanya dengan cinta yang tak lekang oleh waktu.

Ikuti cerita sebelumnya: Pungguk Merindukan Bulan

Penaifan:
Ini adalah janji saya, untuk menggenapi cerita Pungguk Merindukan Bulan, dengan sudut pandang dari seorang ibu yang kehilangan anaknya, Pungguk dan Bulan. Kisah ini murni karangan saya, sebagai hasil refleksi dan interpretasi terhadap cerita tersebut.
Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "CERITA RAKYAT REJANG: IBU PUNGGUK DAN BULAN"