CERITA RAKYAT REJANG: KUCING NAIK HAJI
Dulu, di sebuah rumah, atapnya sirap kayu durian, tiang dan papannya kayu rambung, di kampung sebelah timur laut, sebelah barat gunung, ulunya Air Musi, ilirnya lubuk panjang, depannya berbaris batang pinang, belakangnya batang-batang kelapa, ada seekor kucing jantan belang hitam di atas, putih bagian badan ke kaki belakang, yang sepanjang hari berjalan ke sana ke mari untuk mencari tahu apakah ada tikus yang berlarian di dalam rumah. Berjuluklah kucing itu Bujang Itam Atas Putih.
Pada suatu siang panas menyengat, di serambi rumah yang sejuk, si kucing berpikir dalam hatinya: “Oh, mungkin telah banyak saya berbuat dosa; ya, itu pasti! Sejak masa muda saya hingga sekarang, saya belum pernah melakukan tobat atas pembunuhan yang saya lakukan pada tikus-tikus itu. Pastilah saya telah melakukan banyak dosa; sekarang saya akan melakukan tobat. Saya memohon ampun pada-Mu, Ya Allah!”
Kucing jantan tersebut kemudian merenungkan lebih lanjut tentang dosa-dosanya, akhirnya memutuskan untuk pergi ke Mekah untuk melakukan tobat, dengan harapan bahwa Tuhan akan mengampuni banyak dosanya. Dia tidak berpikir tentang apa pun lagi, termasuk memikirkan ke arah mana ia harus pergi. Sama sekali dia tidak tahu jalan ke Mekah.
Sejak kucing jantan itu menghilang tanpa diketahui kemana ia pergi, semua tikus di rumah tempat tinggal kucing jantan tersebut merasa senang. Mereka bermain-main tanpa takut dengan apapun. Pagi dan malam, tikus-tikus tersebut berkumpul di rumah; mereka merasa senang karena kucing telah meninggalkan mereka.
Ada enam atau tujuh bulan keadaan itu berlangsung, hingga pada suatu pagi, seekor tikus besar berlari dengan menemui teman-temannya, seraya berteriak, “Berhati-hatilah! Tetap diam! Mari kita mencari tempat bersembunyi yang baik, karena si pemilik yang suka merenggut nyawa kita telah kembali.”
Segera saja, rumah pun menjadi sunyi, karena semua tikus melarikan diri, menuju tempat persembunyiannya di sudut dapur. Mereka berkumpul dan berdiskusi.
Tikus besar berkata, “Hei, kalian semua! Kita bisa menganggap diri kita beruntung karena mengetahui kembalinya musuh kita dengan cepat. Kalau tidak, pasti banyak dari kita yang mati hari ini.”
Semua tikus bertanya, “Apa yang terjadi?”
“Kalian semua sangat bodoh,” jawab tikus besar. “Si kucing jahat dari sebelumnya telah kembali; itulah sebabnya saya berteriak, 'Hati-hati, hati-hati!' Tapi saya kaget dengan sesuatu. Bayangkan, musuh kita telah kembali dengan penampilan dan kepribadian yang berbeda. Sekarang, dengarkan baik-baik, saya akan menceritakan semuanya.”
Semua tikus diam untuk mendengarkan cerita dari tikus besar. Kemudian tikus besar itu kembali berkata, “Barusan saya berjalan-jalan di kamar rumah untuk mencari makanan enak, dan kemudian saya bertemu dengan si kucing, tetapi ia tidak bergerak.”
Para tikus memotong, “Apa! Bertemu dengan kucing? Beruntung sekali kau tidak mati!”
Dengan pongah, tikus besar menjawab, “Ya! Saya juga pikir itu akan menjadi akhir hidup saya. Ini membuat saya benar-benar terkejut bahwa kucing itu tetap diam dan bertindak seperti seorang alim. Oh, betapa anehnya itu! Saya melihat kucing itu duduk membungkuk, mengenakan jubah panjang dan mengenakan turban besar, sambil memegang tasbih. Dia tidak bergerak, tidak melihat ke kiri atau ke kanan, dan hanya mulutnya yang bergerak, seperti seorang alim yang membaca buku agama.
Ketika para tikus mendengar cerita itu, mereka diam dan terbenam dalam pemikiran. Sesaat kemudian, para tikus itu berkata sambil tertawa dan senang: “Ha! Dia sudah jadi seorang haji, dia sudah pergi ke Mekkah; dia tidak akan membunuh kita lagi, dia sudah melakukan penebusan. Betapa beruntungnya kita!”
Tikus besar menjawab: “Saya juga berpikir begitu, tetapi bagaimanapun juga, kita tidak dapat tahu apa yang dipikirkannya!”
Tikus menjawab: “Oh, kami tidak takut untuk itu! Pasti dia tidak akan membunuh kita lagi, karena dia sudah melakukan penebusan di hadapan Tuhan.”
Setelah berdiskusi satu sama lain, para tikus pergi ke tempat di mana kucing itu berada tanpa menunjukkan sedikit pun ketakutan. Mereka mendorong-dorong kucing, bermain-main di dekatnya, sementara kucing itu tetap diam dan tidak memperhatikan hewan-hewan itu.
Tikus kemudian berpikir: “Pasti dia sudah melakukan penebusan, pergi ke tanah suci, karena dia tetap sama sekali tidak peduli bagaimana kami mendekatinya atau bermain-main di dekatnya. Bisa jadi dia telah memperoleh ilmu yang tinggi; mungkin juga dia akan menjadi guru bagi semua kucing.”
Ha, betapa nikmatnya itu! Dan bayangkan jika semua kucing di dunia menjadi orang alim seperti kucing ini! Pasti cucu-cucu kita akan hidup tanpa kekuatiran lagi, karena mereka tidak akan memiliki musuh lagi.
Bayangkan juga, jika semua tikus juga melakukan ziarah dan banyak dari mereka akhirnya menjadi guru atau menjadi imam masjid! Sejak hari itu, tikus tidak lagi takut pada kucing, sebaliknya mereka menganggapnya sebagai teman mereka.
Suatu hari, datanglah kadal cerdik yang bernama Bengkarung. Kepada tikus dia berbicara dengan nada marah: “Hei, kalian tikus! Bagaimana bisa kalian semua tampaknya tidak berpikir? Apakah kalian ingin tetap hidup atau ingin mati? Jika kalian ingin tetap hidup, maka lari dari sini; jika kalian ingin mati, maka bertindaklah sesuai dengan keinginan kalian. Jika saya tidak datang, maka kalian akan dimakan oleh kucing jahat itu.”
Lalu tikus menjawab, “Hei, Kakek! Kamu tidak boleh langsung marah pada kami, karena lihatlah kucing ini tidak seperti kucing lainnya; dia adalah orang yang belajar dan sudah melakukan ziarah ke Mekah. Kami sudah mengujinya; kami bermain di dekatnya tanpa wajahnya berubah, dan kami berpikir, mungkin dia akan menjadi seorang guru atau sebagai imam masjid.”
Kadal itu berkata, “Kalian semua! Apakah kalian tidak percaya padaku? Nah, akan aku uji dirinya itu dan lihatlah apakah dia berubah pikiran atau tidak!”
Kadal itu kemudian mendekati kucing yang sedang tidur, sementara tikus mengintai dari kejauhan, untuk melihat bagaimana kucing itu akan bersikap terhadap kadal itu.
Dari tempat persembunyiannya, kadal perlahan memunculkan kepalanya dan membuat sedikit suara, untuk menarik perhatian kucing. Suara itu membangunkan kucing. Dengan mata mengantuk ia melihat ke arah kadal. Namun, tanpa menaruh perhatian, segera ia kembali memejamkan matanya untuk kembali tidur.
Kadal kembali mendekati kucing, sambil tetap bersiap untuk melarikan diri. Namun, kucing sama sekali tidak tertarik, dia tetap menerusnya tidurnya dengan nikmat.
Kadal itu semakin mendekati kucing, sambil kadang-kadang mengangkat kepala dan membuatnya terlihat, kemudian menghilang lagi di bawah lantai. Dia pun semakin membuat suara keributan, agar kucing terpancing untuk menangkapnya.
Akhirnya, kucing pun menjadi kesal. Mata terbuka lebar, dia menatap kadal itu dengan marah. Katanya kemudian: “Aku mengerti maksudmu, Kadal. Kau ingin aku mengejar dan menangkapmu, lalu kau akan kembali kepada tikus-tikus dan berkata, bahwa aku sesungguhnya aku hanya berpura-pura tobat dan masih buruk hatinya. Dengarlah, kadal, sesungguhnya hatimulah yang jahat, karena telah berprasangka buruk kepadaku dan tindak-tandukmu memancing aku menjadi marah. Kau akan mengatakan kepada tikus, sifatku tidak berubah, tetapi tanpa kau sadari jika kaulah yang sebenarnya membuat aku marah.”
Kadal tertunduk mendengar kata-kata kucing. Dengan perasaan malu dia pun kembali ke tikus-tikus yang ramai menyaksikan semua peristiwa itu. Semua yang dikatakan kucing pun didengar oleh mereka.
Kucing kembali berkata: “Aku bertanggung jawab untuk menjaga keamanan rumah yang dimiliki juragan yang baik hati ini. Tak akan kubiarkan siapa pun merusaknya. Betapa rusaknya rumah ini ketika aku pergi, dan adalah tikus pelakunya. Tapi aku maafkan. Sekarang dengar, kalian aku biarkan untuk memakan padi-padi yang tersimpan dalam lumbung, tapi tak kubiarkan merusak barang-barang atau memakan makanan manusia dalam rumah itu. Aku akan menghukum kalian, kalau kata-katku ini kalian langgar. Nah, cukup bicaraku kepada kalian.”
Kucing pun memejamkan matanya, kembali tidur.
Tanpa berkata-kata, kadal pergi meninggalkan rumah itu dengan perasaan malu. Sementara tikus-tikus pun dengan perasaan bersalah pergi keluar rumah. Mereka hidup bertebaran. Ada yang di dalam lumbung padi, ada pula yang membuat liang-liang persembunyian di sekitar sawah-sawah.
O.L. Helfrich (1927)
Post a Comment for "CERITA RAKYAT REJANG: KUCING NAIK HAJI"
Berkomentarlah dengan bijak. Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus