CERITA RAKYAT REJANG: PUNGGUK MERINDUKAN BULAN
Suatu sore, ketika kabut mulai turun dari bukit, ibu belum juga kembali. Perasaan rindu dan cemas menguasai hati Pungguk dan Bulan. Mereka sepakat untuk menyusul ibunya ke ladang meski hari hampir gelap. Dengan langkah kecil dan perasaan waswas, mereka menyusuri jalan setapak yang biasa dilalui ibu.
Namun malam turun lebih cepat dari yang mereka perkirakan. Dalam kegelapan, bayang-bayang pohon tampak seperti raksasa, dan suara hutan menjadi nyanyian menakutkan. Mereka tersesat.
![]() |
Pungguk dan Bulan ketakutan dalam hutan |
“Pungguk, aku takut…” kata Bulan dengan suara bergetar.
“Jangan takut. Aku di sini,” jawab Pungguk sambil menggenggam tangan adiknya erat-erat. Tapi hatinya sendiri juga diliputi rasa takut dan penyesalan.
Mereka terus berjalan, menyusuri semak belukar, masuk hutan keluar hutan, menyeberangi padang yang luas, lalu ke rimba yang lebat. Tapi ibunya tak juga terlihat, dan jalan pulang telah hilang dari ingatan.
Langit kian pekat. Suara burung malam bersahut-sahutan. Di tengah hutan, mereka tiba di hadapan sebuah pohon tua yang sangat besar. Akar-akarnya mencuat ke mana-mana dan batangnya melintang seperti tembok. Mereka mencoba memanjat, tapi tubuh kecil mereka tak mampu.
![]() |
Pungguk dan Bulan tersesal dalam hutan |
Pungguk memeluk adiknya. Keduanya menangis dalam pelukan malam.
“Pungguk, aku lelah... kita tidak akan pernah menemukan Ibu, ya?” tanya Bulan pelan, hampir seperti bisikan.
Pungguk tak sanggup menjawab. Matanya merah, dadanya sesak. Ia merasa bersalah karena telah mengajak adiknya menyusul ibu. Seharusnya mereka menunggu saja di rumah.
Setelah lama diam, Pungguk berkata lirih, “Mungkin kita memang tak bisa pulang… Kita tinggal di sini saja, ya…”
Bulan menatap kakaknya, lalu tersenyum pilu. “Kalau begitu, daripada tinggal di hutan gelap ini, biarlah aku menjadi lampu langit. Jadi engkau bisa melihatku walau dari mana pun kau berada.”
Pungguk terperangah. “Apa maksudmu, Bulan?”
“Aku akan menjadi lampu bersatu dengan bulan di langit yang akan kau lihat di malam hari. Bukan bulan itu juga sama dengan namaku, Bulan? Engkau berubah saja menjadi burung malam yang bisa terbang mencariku. Tapi ingat ya, jangan hinggap di pohon bergetah. Dan panggil aku setiap malam saat kita berpisah, yakni malam kelima belas. Artinya kita akan bertemu 30 malam lagi mulai malam ini. Malam itu nanti aku akan ikut bersinar bersama bulan dan membuat bulan semakin tampak besar. Saat itulah cahaya bulan menjadi bulat dan paling terang dan agar kita pun bisa saling menyapa.”
Air mata mengalir di pipi Pungguk. Ia tak ingin berpisah dengan adiknya, tapi ia juga tahu bahwa mereka tak bisa bertahan lama di hutan itu. Akhirnya ia mengangguk, memeluk Bulan untuk terakhir kalinya, dan dengan kesedihan yang dalam, mereka berdua berubah.
Bulan naik ke langit dan bersatu dengan bulan yang melayang di angkasa. Wajahnya yang dulu ceria kini bersinar pucat dan sendu. Sementara Pungguk berubah menjadi burung kecil yang terbang gelisah di antara pohon-pohon, mencari-cari cahaya sang adik.
Sejak saat itu, setiap malam Pungguk akan memandangi langit. Ketika malam tanggal lima belas tiba dan Bulan bersinar terang, ia akan bersuara lirih dari atas dahan, seakan menangis memanggil-manggil Bulan, tetapi bukan lagi dalam suara manusia, melainkan hanya suara sedih: “Kuk... Kuuuk... Kuk...."
Namun Bulan hanya bisa menatap dari kejauhan, diam dan tak mampu membalas panggilan itu. Ia hanya bisa bersinar, berharap Pungguk tahu bahwa ia masih ingat dan merindukan kakaknya.
Pungguk, yang kini menjadi burung malam, tak pernah lagi hinggap di pohon bergetah, sesuai janjinya. Ia terus terbang, malam demi malam, mencari cahaya Bulan. Setiap malam lima belas, ia menunggu dan menangis dalam sunyi.
Orang-orang yang mendengar suara burung itu berkata, “Itu suara burung pungguk menangis yang merindukan bulan.” Tapi mereka tak tahu, itu bukan hanya cerita rakyat. Itu adalah kisah cinta dua saudara yang terpisah oleh nasib dan waktu—kisah tentang rindu yang tak pernah terbalas.
Dan sampai hari ini, burung itu masih menatap langit, dan bulan masih bersinar dari kejauhan. Mereka terikat oleh janji yang tak mungkin lagi diubah, dan oleh cinta yang tak bisa disatukan kembali.
Penaifan: versi asli cerita rakyat ini sangat pendek. Disajikan di sini adalah hasil reinterpretasi dan pengembangan peristiwa. Aku berjanji akan menggenapi cerita ini kelak, dari sudut pandang seorang ibu yang kehilangan anaknya, Pungguk dan Bulan.
Post a Comment for "CERITA RAKYAT REJANG: PUNGGUK MERINDUKAN BULAN"
Berkomentarlah dengan bijak. Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus