Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CERITA RAKYAT REJANG: ASAL-USUL BUNGA KIBUT

Putri Remas Bingit dengan kebug penumbuk sirih

Di dataran tinggi yang sejuk dan subur di pesisir Sungai Musi, pernah berdiri sebuah kerajaan bernama Kerajaan Belek Tebo. Rajanya, Rio Das Nangei, dikenal sebagai penguasa bijak yang menaklukkan banyak wilayah. Dia tak didampingi permaisuri lagi, yang telah meninggal beberapa tahun lalu. Sekarang dia ditemani anak satu-satunya yang sangat disayanginya, Meterei Kelikip Puteh, yang artinya Putri Anggrek Putih.

Putri tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Wajahnya bening seperti embun pagi, kulitnya cerah seperti cahaya rembulan, dan senyumnya mampu menghentikan langkah prajurit di medan perang. Namun sayang, kecantikannya tidak sebanding dengan kelakuannya. Sebagai anak satu-satunya yang hidup tanpa kasih sayang seorang ibu, dia sangat dimanja oleh raja. Sejak kecil hingga besar, dia tumbuh menjadi gadis yang sombong, keras kepala, dan sering dengan mudah menjatuhkan hukuman pada pelayan-pelayannya hanya karena kesalahan kecil. Tak seorang pun, termasuk raja. yang berani menentangnya.

Mengapa sirihku tak ditumbuk halus!” teriak sang Putri suatu pagi sambil melemparkan sebuah kebug, tabung kayu kecil tempat menghaluskan sirih, ke wajah pelayan perempuan tua. “Dasar bodoh! Kau dihukum menyapu seluruh taman hingga petang!

Pelayan itu hanya menunduk dan menerima hukuman, walau pipinya sudah memerah akibat lemparan benda keras itu. 

Putri memang memiliki kebiasaan unik: setiap hari, ia mengunyah sirih yang telah ditumbuk halus menggunakan kebug warisan ibunya. Ia percaya bahwa dengan mengunyah sirih dengan cara itu, maka bibirnya akan tetap merah dan giginya kuat. Tetapi, orang-orang berbisik-bisik, dia mengunyah sirih tumbuk hanya karena malas menggerakkan rahangnya saja untuk mengunyah.

Ketika sang Putri menginjak usia dewasa, Raja mulai cemas. Ia berpikir, sudah saatnya mencari pendamping hidup bagi putrinya.

Anakku, sudah waktunya engkau bersuami. Telah banyak pangeran dari kerajaan lain menyampaikan kepadaku ingin meminangmu,” kata Raja lembut suatu pagi.

Namun, Putri tertawa keras. Ayah, mereka semua laki-laki bodoh! Tapi, bila mereka ingin meminangku, biar aku buat sayembara! Siapa pun yang bisa membawakan daun sirih selebar daun pisang, akan kujadikan suami. Tapi kalau tidak bisa, mereka harus pulang dengan malu.

Raja hanya bisa menggeleng, namun ia tak kuasa menolak keinginan putrinya.

Sayembara pun diumumkan ke seluruh penjuru negeri. Namun, tak seorang pun mau mencoba ikut sayembara itu, karena sudah merasa tidak mungkin akan berhasil.

Daun sirih selebar daun pisang? Itu mustahil!” kata seorang pangeran dari satu kerajaan tetangga. “Ini hanya cara Putri itu mempermainkan kami!

Tahu tak seorang laki-laki bisa memenuhi kehendaknya, Putri menertawakan mereka.

Huh, bodoh semua! Laki-laki ternyata hanya bisa bicara besar. Dasar pengecut!

Syahdan, di sebuah lembah jauh dari pusat kerajaan, ada seorang pemuda miskin bernama Bujang Gading. Ia hidup sebatang kara, menumpang di sebuah pondok reyot milik almarhum kakeknya. Meski miskin, Bujang Gading terkenal baik hati, pekerja keras, dan mencintai alam. Ia sering menolong orang-orang tua yang tinggal di desa-desa sekitar. Kebaikannya  menyentuh hati Batara Guru Tuo Sakti, pemimpin para dewa, yang diam-diam telah lama memperhatikannya.

Suatu malam, Bujang Gading tengah duduk sendiri di serambi rumahnya. Sambil memandangi bulan purnama yang cemerlang di langit, dia termenung-menung mengenang nasibnya. Tetapi, bibirnya tersenyum, karena ia yakin suatu saat kelak, dewa akan membuat kehidupan lebih baik lagi, asal saja ia tetap tabah menjalani kehidupannya.

Saat itulah, dia mendengar nama dipanggil-panggil dari arah hutan tak jauh dari rumahnya. Suara panggilan itu mula-mula sayup-sayup, kemudian berubah menjadi begitu jelas menyebutkan namanya.

"Bujang Gading...! Bujang Gading...! Kemarilah kau, Nak!" seru panggilan itu.

Bujang Gading menjadi ketakutan. Tubuhnya gemetar. Ia menyangka itu adalah hantu yang menghuni hutan. "Siapa itu?" tanya dengan gugup dan suara bergetar.

"Jangan takut, Nak," ujar suara di hutan itu kembali. "Aku adalah Diwo Pinang Sekampung, pesuruh petinggi para dewa, Batara Guru Tuo Sakti. Aku ditugaskan untuk menemuimu. Kemarilah."

Dengan rasa takut, Bujang Gading mendekati arah suara itu. Saat dia memasuki hutan, cahaya benderang meneranginya. Di sebatang pohon pinang hutan tegak seorang laki-laki tua dengan tubuh yang bercahaya putih.

"Aku bukan manusia, anak muda," jawab si nenek. "Aku dewa yang menjaga hutan ini. Batara Guru Tuo Sakti sudah lama mengamati hatimu yang tulus. Untuk itu ada tugas suci yang akan diberikan kepadamu. Kau akan melawan kesombongan dengan niat yang lurus. Ikutilah aku."

Laki-laki tua menuntun Bujang Gading masuk ke dalam sebuah celah batu besar yang ternyata menyimpan taman sirih ajaib. Di sana tumbuh sebatang pohon sirih raksasa. Di antara daunnya yang biasa, ada satu daun yang luar biasa: lebar seperti daun pisang.

"Petiklah daun sirih. Satu saja," kata Laki-laki tua. "Bawalah ke putri anak raja Rio Das Nangei. Kalau dia menerimanya, maka kau akan menjadi suaminya."

Bujang Gading mengambil satu daun dan membungkuk hormat. “Terima kasih, Diwo Aku akan menjaga daun ini baik-baik.”

Keesokan harinya, Bujang Gading datang ke istana dengan hati yang tenang. Ia menyerahkan daun sirih lebar itu kepada para penjaga. Saat sang putri melihat daun itu, wajahnya berubah. Syaratnya terpenuhi. Namun saat mengetahui siapa yang membawanya, ia berkerut jijik.

Putri menatap sinis. “Kau... siapa kau? Anak penggembala? Tukang menangkap ikan?

Bujang Gading menunduk sopan. “Ampun, Tuan Putri, hamba hanyalah seorang seorang anak dusun tak punya orang tua lagi. Tapi hamba ingin ikut serta dalam sayembara. Ini daun sirihnya.

Para dayang dan penjaga terperangah. Memang, daun sirih itu sungguh luar biasa, lebarnya setara dengan daun pisang!

Namun Putri tidak senang. Ia merasa dipermalukan karena syarat yang dianggapnya mustahil ternyata bisa dipenuhi oleh seorang miskin.

Hmm, dengan  membawa daun ini kau berharap aku akan menerimamu menjadi suami? Begitu?" tanya Putri dengan nada mengejek. "Dengar, aku belum puas! Kalau memang kau hebat, bawakan aku daun sirih selebar daun pisang, tapi terbuat dari emas! Kalau kau bisa, baru aku mau menikahimu!” ujar Putri dengan sombong.

Orang-orang terkejut mendengar kata-kata Putri yang begitu sombong itu. Semuanya menahan marah dalam hati. Mereka beranggapan tak pantas Putri ingkar janji. 

Tak ada sedikit pun niat di hati Putri untuk melihat lebih dekat daun sirih itu. "Kalau kau benar-benar hebat, bawakan padaku daun sirih selebar ini, tapi dari emas! Nah, bawa kembali daun sirih buruk itu!" Putri kemudian tertawa-tawa mengejek Bujang Gading.

Bujang Gading tidak berkata banyak. Ia hanya mengangguk, lalu pergi diam-diam meninggalkan istana diikuti mata orang yang yang penuh kasihan kepadanya. Tertegun dan terluka oleh penghinaan itu, dia membawa pulang kembali daun sirihnya dan kesedihannya ke lembah.

Di jalan sepi di luar pusat kerajaan, di bertemu dengan Diwo Pinang Sekampung, utusan Batara Guru Tuo Sakti.

Kepada dewa itu Bujang Gading menceritakan semua penghinaan yang diterimanya dari sang putri. Dewa ini mendengar semua cerita Bujang Gading sambil tersenyum. 

Dewa Pinang Sekampung menatapnya lama. "Kau masih ingin memenuhi keinginannya setelah semua penghinaan itu?"

"Ampun, Dewa, aku tidak ingin menang karena dendam. Aku ingin menunjukkan bahwa rendahnya kedudukan tidak membuat niat menjadi kecil," jawab Bujang Gading lirih.

Dewa tersenyum bijak. "Hatimu begitu lurus, Bujang Gading." Lalu dengan mengerdipkan mata, tiba-tiba daun sirih yang dipegang oleh Bujang Gading berubah menjadi emas murni yang berkilauan. Bujang Gading terkejut melihatnya. Namun, ia segera merasa gembira, karena bisa memenuhi kehendak putri. Ia berjanji, jika putri itu nanti telah menjadi istrinya, dia akan mengubah prilaku putri menjadi lebih baik.

Kairul membawakan daun sirih emas untuk Putri Remas Bengit

Beberapa hari kemudian, Bujang Gading datang kembali. Kali ini ia membawa daun sirih yang benar-benar terbuat dari emas murni, dan ukurannya selebar daun pisang.

Semua orang di istana terperangah.

Ini... ini mustahil! Darimana kau dapatkan ini?!” teriak Putri, matanya membelalak.

Bujang Gading menjawab, “Bukankah ini yang Tuan Putri minta? Sirih dari emas, selebar daun pisang.

Namun bukannya menepati janjinya, sang Putri justru mencibir dan menghina pemuda itu di depan seluruh hadirin.

Kau pasti mencuri! Mana mungkin seorang miskin sepertimu memiliki emas sebanyak ini?! Dasar penipu!” serunya, lalu mengusir Bujang Gading dengan kasar. “Keluar dari sini! Aku tidak akan menikahi laki-laki miskin macam kau! Tapi daun emas ini tetap milikku, karena sudah kau serahkan!

Bujang Gading terdiam. Matanya memerah menahan amarah dan kecewa. Ia menggenggam erat kain bajunya, lalu berbalik dan berjalan pergi dengan hati hancur. Sebelum keluar dari istana, dengan menahan marah Bujang Gading berkata pelan: "Putri, dengarlah, daun sirih itu adalah hadiah dari Batara Guru Tuo Sakti kepadaku untuk kuberikan kepadamu. Berhati-hatilah dirimu...."

Orang-orang dalam istana terkejut mendengar kata-kata Bujang Gading. Mereka menjadi ketakutan, membayangkan hukuman apa yang akan diberikan dewa kepada putri, dan jangan-jangan juga kepada mereka.

Tetapi, Putri tidak mendengar kata-kata Bujang Gading, karena dia asyik mengagumi daun sirih emas itu. Dia tak sabar lagi juga ingin mencicipi rasa daun sirih itu pasti akan terasa sangat lezat. Segera disobeknya sedikit daun sirih emas itu, dan diperintahkannya kepada pelayan agar menumbuk sirih itu dalam kebug, sebagaimana biasa dia mengunyah sirih.

Petang harinya, Putri tiba-tiba jatuh sakit. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat, dan ia mulai sering mengigau. Sakitnya sungguh aneh, tubuhnya panas, lidahnya membiru, dan tubuhnya mengeluarkan aroma tidak sedap.

Tabib terbaik dipanggil, namun tak satu pun yang tahu sakit apa yang diderita oleh putri.

Ayah... kenapa aku begitu letih... Kenapa tubuhku terasa berat...” bisiknya lirih pada malam hari.

Esok paginya, sang Putri pun meninggal dunia. Tangis pun pecah di seluruh kerajaan. Raja Rio Das Nangei terpukul luar biasa. Putri satu-satunya kini telah tiada.

Putri dimakamkan di taman istana, di dekat pohon pinang tempat ia biasa duduk sambil mengunyah sirih. Namun keanehan terjadi...

Bunga kibut bentuk mirip dengan kebug penumbuk sirih

Beberapa hari setelah pemakaman, tumbuhlah sebuah tanaman aneh dari pusara sang Putri. Daunnya besar-besar, namun dari tengah batangnya muncul bunga yang begitu besar—besar dan indah luar biasa—namun baunya menyengat, busuk seperti bangkai. Bentuk bunga itu seperti tabung untuk menumbuk sirih dengan tongkat kecil penumbuknya.

Rakyat heran dan takut. Mereka belum pernah melihat bunga seperti itu sebelumnya.

Apa ini...? Tanamannya indah, tapi baunya mengerikan...” ujar seorang penjaga taman.

"Bentuknya seperti... tabung sirih kayu milik sang putri..." kata seorang pelayan tua.

"Ya, serupa dengan kebug," jawab yang lain.

Seorang tetua yang bijak pun datang dan berkata, “Tentu itulah kutukan dari hati yang penuh kesombongan. Tanaman itu berasal dari jiwa seorang putri yang tak tahu berterima kasih dan suka menghina orang lain. Bentuk bunga ini seperti "kebug", sebagaimana dahulu ia tak pernah jauh dari alat penumbuk sirihnya.

Bunga Kebug...

Lama kelamaan, sebutan itu berubah dalam lidah rakyat menjadi Bungai Kibut. Bunga yang cantik, tetapi baunya busuk. Sebuah simbol akan keindahan fisik yang tak sejalan dengan hati yang baik.

Raja pun menyesali semua perlakuannya pada anak tunggalnya. Ia memerintahkan agar kisah ini disampaikan dari generasi ke generasi, agar tiada lagi gadis yang tumbuh menjadi cantik namun berhati kotor, dan agar tiada lagi orang yang menghina sesama hanya karena tampaknya miskin.

Hari-hari berlalu, sejak putri tak ada lagi, raja selalu murung. Istri tiada, anak satu-satunya telah pergi pula, ia pun benar-benar merasa sebatang kara hidup di dunia. Tak ada semangatnya lagi untuk mengurus kerajaan. Juga dengan meninggalnya putri, maka tak ada lagi penerus untuk memimpin di Kerajaan Belek Tebo.

Raja lebih banyak duduk diam berjam-jam di depan jendela kamarnya, menatap kosong halaman istana. Walaupun ia menyadari, kematian putri adalah hukuman bagi putrinya, tetapi tetap saja ia merasa sedih, karena putri adalah anak satu-satunya. 

Sampai akhirnya, di pagi yang sunyi, raja mengembuskan napas terakhirnya.

Tanpa pemimpin, kerajaan itu perlahan-lahan hancur. Para pelayan dan pengawal pergi satu per satu, rakyat mencari tempat yang lebih damai, dan istana dibiarkan kosong. Rerumputan menjalar di tiang-tiang istana, lumut tumbuh di dinding-dindingnya dan semak belukar mulai mengambil alih halaman.

Tahun berganti tahun. Tempat yang dahulu adalah pusat kerajaan telah menjadi hutan kecil yang terlupakan. Di antara semak belukar itu, pada waktu-waktu tertentu, tempat di mana putri dikuburkan, selalu tumbuh bunga kibut, atau bunga bangkai, kata orang-orang. Sayangnya, walaupun bentuknya indah, tetapi karena berbau busuk, tak ada orang yang mau menanamnya di halaman rumah.

Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "CERITA RAKYAT REJANG: ASAL-USUL BUNGA KIBUT"