CERITA RAKYAT REJANG: PERMUSUHAN BAUNG DAN PELUS
Di Air Musi di balik Bukit Barisan, tepatnya di Tanah Lintang hiduplah seekor ikan pelus sakti. Ikan pelus—seekor sidat tua berwarna hitam berkilat dengan mata menyala merah saat bulan purnama— selain Air Musi, dia juga menjadi penunggu sungai-sungai kecil yang mengalir dari kaki gunung hingga ke muara di Palembang.
Tak hanya dikenal kuat dan panjang umur, pelus ini juga bisa berpindah antar dunia air: dari sungai pedalaman, ke rawa, ke muara, bahkan ke laut. Ia bahkan beberapa kali mendatangi samudra.
Namun, satu hal ia belum miliki: pasangan hidup.
Pada suatu malam, saat bulan menggantung bulat dan terang di atas pucuk hutan, Pelus bermimpi tentang seekor ikan mungil bersisik emas yang menari di dalam pusaran air. Cahaya sisiknya memantul seperti sinar rembulan di permukaan embun.
Saat terbangun, Pelus berkata dalam hati, “Itu bukan mimpi biasa. Itu wahyu dari arus gaib. Dia jodohku.”
Ia pun berenang menuruni sungai, menyusuri celah-celah batu, melawan arus deras, hingga akhirnya tiba di hulu Sungai Musi di Tanah Rejang, tempat tinggal Ikan Baung yang perkasa. Baung adalah ikan besar berkumis panjang, hidup tenang di dasar sungai yang dalam. Adiknya, si Seluang Sisik Emas, adalah makhluk terindah di seluruh perairan pedalaman.
Dengan membawa sesaji: bunga teratai hitam, untaian mutiara air, dan seuntai benang cahaya dari ubur-ubur dalam, Pelus muncul di hadapan Baung.
“Baung yang mulia,” ucapnya sambil menunduk hormat, “aku datang bukan untuk menantang, tapi untuk melamar. Izinkan aku meminang adikmu, Seluang Sisik Emas, menjadi pasanganku.”
Baung menatap Pelus dengan mata tajam. Ia tidak langsung menjawab. Ia memandangi benda-benda persembahan yang berkilau di permukaan air.
“Kau memang kuat dan sakti, Pelus. Tapi sebelum kujawab, katakan padaku… apakah kau siap meninggalkan kebiasaanmu? Aku tahu engkau pengelana. Hari ini di hulu, esok di muara. Kau bahkan pernah hilang berminggu-minggu ke laut,” ujar Baung penuh selidik.
Pelus tersenyum tenang.
“Benar. Aku pengelana arus. Tapi untuk cinta, aku bisa berubah. Aku rela hidup di sini. Menjadi pelindung arus Musi, bersanding dengan Seluang selamanya.”
Tiba-tiba Seluang muncul dari balik batu karang. Ia cantik seperti dalam mimpi. Sisinya bersinar keemasan, dan suaranya selembut gerimis di pagi hari.
“Benarkah itu yang kau inginkan, Pelus? Tinggal di pedalaman selamanya? Tak kembali menari bersama ombak dan aroma laut?”
Pelus terdiam sejenak. Dalam dadanya berkecamuk keraguan. Tapi ia menepisnya. “Ya. Untukmu, aku akan bertahan,” ujarnya dengan penuh keyakinan.
Namun Baung tak luluh. Ia menatap Pelus dengan pandangan tajam. “Maafkan aku, Pelus. Tapi aku tak percaya pada janji yang melawan sifat alamiah. Kau akan kembali ke muara saat naluri memanggilmu. Kau bukan makhluk yang bisa tinggal di satu tempat. Adikku bukan batu penambat. Ia bunga yang tumbuh di arus tetap, bukan di ombak berubah.”
Seluang memandang ke bawah. Ia tahu kakaknya benar. Ia mencintai ketenangan, bukan ketidakpastian. Ia tak sanggup menanti kekasih yang bisa hilang ke samudra tanpa pesan.
Pelus marah. Harga dirinya tercabik. “Kalau begitu, kita tentukan lewat kekuatan. Adu sakti!" teriak Pelus. "Jika aku menang, aku akan bawa Seluang. Jika aku kalah, aku akan pergi dan tak kembali.”
Baung menyetujui. “Aku tak akan biarkan kehormatan sungai ini dipermainkan.”
Di hari yang ditentukan, langit berubah kelam walau mentari masih tinggi. Angin membungkam. Burung-burung menghilang dari langit. Pertempuran mereka mengguncang dasar sungai.
Pelus memanggil pusaran arus dari muara, membentuk pusaran hitam yang menyeret bebatuan. Tubuhnya memanjang hingga menyerupai ular naga, sisiknya menyala merah.
Baung menggeram dan dari dalam tanah muncul dua roh harimau sungai. Mereka menyatu ke dalam tubuhnya, membuat tubuh Baung berkilat perak dan dua ekor bayangan harimau menjaga di kanan kirinya.
Pertarungan berlangsung hingga air mendidih. Gelombang menggulung ke tepian. Seluang hanya bisa menangis menyaksikan dua makhluk sakti bertarung karena dirinya.
Akhirnya, Pelus kalah. Tubuhnya terhempas jauh, hingga ke bawah sebatang pohon kundur di tepi sungai Musi Lintang. Darahnya menetes dan berubah menjadi batu bercahaya merah—yang oleh masyarakat Rejang akan disebut sebagai Batu Sumpah Pelus.
Dalam nafas terakhirnya di sungai itu, Pelus bersumpah, “Aku kalah, tapi aku tak hina. Mulai hari ini, aku dan keturunanku tak akan lagi masuk ke Tanah Rajang. Biarlah aku berhulu di tempat aku jatuh ini.”
Baung pun berkata lantang, “Dan aku bersumpah. Aku dan keturunanku tak akan pernah menyusuri Musi di balik Bukit Barisan. Kita punya hulu masing-masing. Pohon kundur di tempat kau jatuh itu adalah batasnya."
Sejak hari itu, masyarakat Rejang percaya: Ikan pelus (sidat) tak pernah terlihat di Sungai Musi Tanah Rejang, dan sebaliknya Ikan baung atau ikan lundu tak pernah muncul di air Musi di Tanah Lintang. Jika ada yang menangkap keduanya di satu tempat, berarti ada pertanda bahwa sedang terjadi pelanggaran gaib.
Post a Comment for "CERITA RAKYAT REJANG: PERMUSUHAN BAUNG DAN PELUS"
Berkomentarlah dengan bijak. Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus