Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TENTANG JARAK PALING SEBATANG ROKOK LAGI

Tentang Jarak Paling Sebatang Rokok Lagi

Secara umum, pengukuran asli orang-orang di nusantara tidak memiliki nilai tetap. Banyak nilai ukuran sangat fleksibel dan bersifat sementara, tidak valid, tidak pula reliabel. Ukuran waktu, berat, isi dan jarak semuanya bersifat subyektif.

Ah, paling sebatang rokok! Tidak jauh, cuma 2 pematang lagilah, terus cus sampai!

Beberapa tahun lalu, aku dan kawan yang tergabung dalam sebuah kelompok pencinta alam Kota Curup melakukan pendakian Gunung Bungkuk (1162 mdpl), sebuah gunung karang yang hampir tegak vertikal di Bengkulu Utara (Kabupaten Bengkulu Tengah sekarang). Sehari setelah pendakian, kami sepakat mengambil jalan lain dari jalan berangkat. Informasi yang kami terima dari masyarakat desa di kaki gunung itu, jalan yang akan kami tempuh itu lebih singkat untuk tiba ke tepi jalan lintas provinsi di Desa Ujan Mas. Di mana dari jalan lintas itu nanti kami bisa menumpang mobil (istilah umum anak-anak alam adalah mengompreng mobil), biasanya truk atau mobil-mobil bak terbuka, untuk menuju Kota Curup. Gratis, tentu saja.
Ilustrasi. Orang desa mengisap klobot
Perjalanan pulang itu melalui hutan-hutan kecil, perladangan dan kebun-kebun kopi serta menyeberang beberapa sungai besar-kecil. Keluar dari hutan yang sejuk, melalui perladangan terbuka atau jalan setapak di antara semak belukar, rayapan matahari di langit telah mulai meninggi. Kami mulai kegerahan disusul pula dengan datangnya rasa haus. Tidak mudah untuk menemukan sumber air di perladangan di punggung bukit. Sumber air biasanya hanya ada di pinggang atau di kaki bukit.

Kalkulasi lelah karena pendakian kemarin, haus, ditambah ketidaktahuan kami tentang medan dan jarak tempuh, membuat kami terus bertanya kepada orang-orang yang sempat kami temui tengah bekerja di kebun-kebun atau ladang-ladang itu, berharap-harap kami mendapat jawaban yang menyenangkan. Masih jauh ke Desa Ujan Mas, Pak?

Sebatang Rokok Lagi

Sebatang rokok. Bukan kilometer, bukan sekian jam, tetapi sebatang rokok. Paling sebatang rokok lagilah...!

Bagi mereka yang telah biasa petualangan alam sudah sering mendengar dengan ukuran jarak yang kerap kali cuma PHP (Pemberi Harapan Palsu) ini. Jarak antara satu tempat ke tempat lainnya dihitung berpatokan dengan berapa lama sebatang rokok dihabiskan.

Mula-mula kita bayangkan saja seseorang tengah berjalan dengan kecepatan konstan, di jarinya terjepit sebatang rokok yang tiap 20 detik diisapnya. Secara kasar, diukur dalam waktu sebatang rokok dihabiskan, itu bisa jadi tidak lebih dari 15-20 menit. Waktu tempuh kemungkinan setara dengan jarak tempuh sekitar 0,5-1 km.

(Kalaulah memang benar berjarak 1 km, itu juga tidak bisa dibilang dekat, karena untuk kondisi jalan setapak di wilayah berbukit-bukit jarak itu bisa menjadi 2 kali lipat atau lebih)

Tetapi tunggu dulu, belum selesai masalah penghitungan ini. Ini hanya perkiraan kasar saja, tidak ada standar pasti. Orang-orang juru ukur di kantor Dinas Pekerjaan Umum (PU) atau kantor pertahanan (agraria), bahkan orang-orang di Dewan Standardisasi Nasional sendiri akan pusing tujuh keliling jika kita minta mengkonversikan "sebatang rokok" itu ke ukuran normatif, misalnya menurut Peraturan Pemerintah Nomor 2/1989 Tentang Standar Nasional untuk Satuan Ukuran.

Sebatang rokok tidaklah boleh disamakan dengan 1000 m = 1 km. Sebatang rokok tidaklah boleh disamakan dengan sebuah speedometer. Sebatang rokok tidak akan pernah dapat diselesaikan dengan rumus V=S/T (Kecepatan rata-rata adalah jarak tempuh dibagi waktu tempuh)

Pertama, harus disadari, bahwa yang mengisap rokok dan berjalan itu adalah orang dusun. Orang yang kakinya sudah terbiasa di jalan-jalan setapak tanah yang penuh dakian dan turunan. Bahkan, sering pula mereka masih berjalan cepat sambil memikul karung penuh kopi atau sekeranjang durian. Kecepatan mereka berjalan bisa 6 km/jam. Artinya dengan ukuran sebatang rokok, atau dalam waktu 15-20 menit mereka bisa mencapai jarak tempuh 2-4 km. Ya, jarak ini untuk betis dan napas mereka serta penguasaan medan relatif dekat.

Tentu saja pengukuran yang rasanya tidak akan pernah diuji di BIPM (Bureau International des Poids et Mesures; Biro Internasional untuk Ukuran dan Timbangan) yang berpusat di Paris-Perancis itu, akan sangat berbeda hasilnya ketika diaplikasikan ke kaki kami. Sebatang rokok bagi orang dusun, bagi kami adalah "berbatang-batang rokok", itu juga belum dihitung banyak berhenti untuk istirahat dan tidak konstannya kecepatan berjalan.
BIPM
Bureau International des Poids et Mesures; Biro Internasional untuk Ukuran dan Timbangan
Berpusat di Paris-Perancis, biro yang dianggap memiliki otoritas satu-satunya
untuk standardisasi pengukuran internasional
Ada juga yang memberikan jawaban: PALING dua pematang lagilah. Pakai "paling" dan "lah", yang maknanya bapak itu mengatakan bahwa tujuan kami sudah cukup dekat.

Tahukah anda apa maksud dua pematang itu?

Di perbukitan, pematang adalah sebutan lazim untuk jalur memanjang di puncak perbukitan. Untuk menuju dua pematang, artinya kita harus turun bukit dulu, lalu mendaki lagi untuk tiba di pematang pertama. Dari pematang pertama kita turun lagi lalu mendaki lagi, baru tiba di pematang kedua. Pun masih ada pematang-pematang rendah lainnya. Kesimpulan kami, masih jauh tujuan akhir itu!

Alhasil, karena betis kami adalah betis-betis manja orang kota, setelah "berbatang-batang rokok", sore harinya kami baru tiba di Desa Ujan Mas. Kesalnya lagi, di desa kami bertemu lagi dengan orang yang kita tanyai di pematang pertama tadi. Dia terlihat sudah mandi dan ganti baju, santai-santai duduk di teras rumahnya sambil menikmati kopi panas. Bagaimana dia bisa lebih cepat tiba? "Rokok" apa yang ia isap?

Rupanya dia mengambil jalan lain untuk pulang, yang katanya justru lebih jauh lagi dari jalan yang kami lalui. "Lambat nian kamu jalan," sapanya sambil tertawa.

Asem....

Pengukuran Asli

Secara umum, pengukuran asli orang-orang di nusantara tidak memiliki nilai tetap. Banyak nilai ukuran sangat fleksibel dan bersifat sementara, tidak valid, tidak pula reliabel. Ukuran waktu, berat, isi dan jarak semuanya bersifat subyektif.

Sebatang rokok, selempar batu, sepenanak nasi, sepenginang sirih, sepenggalah matahari, sebelum ayam berkokok dan lain sebagainya merupakan ide matematis kearifan lokal orang-orang nusantara. Semua frasa itu adalah bentuk asosiatif untuk menyatakan waktu; berapa lama waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan sebuah kegiatan. Namun, asosiasi ini juga memiliki ambiguitas, karena frasa itu bisa juga dipergunakan untuk menyatakan jarak tempuh.

Untuk pengukuran jarak, orang-orang nusantara banyak menggunakan patokan ukur adalah anggota tubuh, seperti jari, kaki dan tangan. Untuk pengukuran menggunakan jari ada jari dan jengkal, berdasarkan tangan ada depa dan hasta, sedangkan berdasarkan kaki ada kaki dan jenjang.

Jika standardisasi pengukuran global, misalnya meter, yang selalu dijaga ukurannya oleh BPIM pada 1889 dengan sebuah batang platinium-iridium, yang saat ini tersimpan di Sevres-Perancis, maka alat ukur berdasarkan tubuh manusia sangat relatif sekali, karena akan berbeda hasilnya ketika diterapkan pada orang yang berbeda. Untuk mendapatkan nilai tetap ini, banyak raja-raja di nusantara dulu menunjuk seorang atau beberapa juru ukur kerajaan, yang bertugas untuk melakukan pengukuran-pengukuran resmi, sekaligus tubuh juru ukur itu sendiri yang menjadi standar pengukurannya.

Namun, dengan semua kesederhanaan dan nilai tetapnya yang sangat relatif alat-alat ukur itu, bagaimana leluhur-leluhur di nusantara dulu mampu membangun struktur-struktur besar yang berpresisi tinggi. Candi-candi, istana atau fasilitas ibadah telah dibangun memiliki simetrisitas dengan ketepatan hingga ke skala terkecil. Belum banyak diketahui bagaimana orang-orang dulu menjaga nilai-nilai pengukuran, baik waktu, bobot atau jarak, tetapi dengan local genius yang dimiliki, maka kita hari ini masih bisa melihat kemegahan abadi matematika mereka.

Ukuran panjang Berdasarkan Anggota Tubuh

Jari
panjang jari telunjuk.
Konversi modern (BIPM) 1 Jari = 1,85 cm

Depa
antara dua ujung jari tangan yang direntangkan ke samping, diukur melintasi dada.
Konversi modern (BIPM) 1 Depa = 183 cm atau 1,8 m

Jenjang
Antara kaki kiri yang ditarik ke belakang melewati badan dengan tangan kanan direntangkan ke depan dalam garis lurus yang sama.

Kaki
Jarak antara dua kaki terentang, ujung tumit kanan sejajar pinggang depan, ujung jari kiri sejajar punggung.
Konversi modern (BIPM) 1 Kaki = 0,31 m

Sebelah dada
Setengah depa. dari tengah dada ke ujung jari tangan yang terulur

Hasta
dari tengah dada ke panjang lengan bawah.
Konversi modern (BIPM) 1 Hasta = 45 cm

Jengkal
Ujung jari kelilingking dan ke ujung ibu jari, telapak tangan ditekan pada permukaan datar.
Konversi modern (BIPM) 1 Jengkal = 23 cm

Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

2 comments for "TENTANG JARAK PALING SEBATANG ROKOK LAGI"

  1. Karena jarak cuma "sebatang rokok lagilah", lebih baik kita duduk-duduk dulu, baru lanjut lagi...hihihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. karena kebanyakan duduk, jarak sebatang rokok bisa jadi berbatang-batang rokok :)

      Delete

Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus