Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MAKHLUK-MAKHLUK KRIPTID DI TANAH REJANG

Manusia berekor, prediksi AI

Kriptid adalah istilah yang digunakan untuk menyebut makhluk atau hewan yang keberadaannya dipercaya ada oleh sebagian orang, tetapi belum terbukti secara ilmiah. Istilah ini berasal dari cabang ilmu bernama kriptozoologi, yaitu studi tentang hewan-hewan misterius atau tersembunyi (dari bahasa Yunani kryptos = tersembunyi, zoon = hewan).

Kriptid biasanya dikenal lewat cerita rakyat, laporan penampakan dan tradisi lokal, namun tidak pernah ditemukan bukti fisik yang kuat seperti fosil, bangkai, atau hasil dokumentasi ilmiah yang bisa diverifikasi. Meskipun begitu, keberadaan kriptid tetap menarik minat banyak orang karena berada di antara dunia sains, mitos, dan budaya populer.

Perbedaan Kriptid dengan Makhluk Parapsikologi

Kriptid dan makhluk parapsikologi atau hantu adalah dua fenomena misterius yang sering dikaitkan dengan hal-hal yang sulit dijelaskan, namun keduanya memiliki perbedaan mendasar. Kriptid merujuk pada makhluk yang diidentifikasikan memiliki wujud fisik, tetapi belum terverifikasi, baik anatomi, keberadaan atau kehidupannya. Kriptid lebih sering dikaitkan dengan hewan atau spesies yang belum teridentifikasi dan lebih fokus pada dunia fisik, dengan jejak atau bukti keberadaan yang dapat ditemukan di alam nyata. Makluk-makhluk kriptid tidak dipandang sebagai makhluk gaib. Kehidupan mereka sering tidak berbeda dengan kehidupan mahluk hidup/hewan nyata, seperti mencari dan membutuhkan makan, berkembang biak, memiliki wilayah kekuasaan dan sarang tempat tinggal.

Sementara itu, makhluk parapsikologi atau hantu dianggap sebagai energi/roh dan entitas non-fisik atau gaib. Fenomena hantu lebih berkaitan dengan dunia gaib atau spiritual, sering kali dikaitkan dengan gangguan paranormal seperti penampakan atau suara aneh di tempat-tempat yang dianggap berhantu (angker). Berbeda dengan kriptid, hantu adalah energi yang tidak memiliki wujud fisik. Dengan demikian, meskipun keduanya seringkali berkaitan dengan hal-hal misterius, hantu tidak termasuk dalam kategori kriptid karena bukan makhluk hidup yang bisa ditemukan dalam bentuk fisik biologis.

Di Tanah Rejang, manusia berekor, dugu', orang pendek, ular tikar dan beneng dapat dianggap sebagai kriptid. Walaupun keberadaannya dilingkupi dengan unsur-unsur mitos dan sulit dibuktikan secara ilmiah, namun mereka dipercayai memang benar-benar ada, berwujud fisik dan konkret (kasat mata). Sejumlah orang bercerita telah bertemu dan melihat secara langsung makhluk-makhluk itu. Orang-orang percaya, jika secara alami makhluk-makhluk itu punya populasi yang tidak berbeda dengan kelompok mahluk hidup/hewan nyata lainnya. Mereka bersosial, punya habibat, mencari dan membutuhkan makan, berkembang biak, memiliki wilayah kekuasaan dan memerlukan sarang. Kemunculan mereka pun adalah untuk kepentingan mereka sendiri dengan alasan alami yang masuk akal, tidak memerlukan persyaratan suasana atau karena tindakan supranatural atau metafisika yang dilakukan manusia. 

Manusia Berekor

Manusia berekor, dalam bahasa Rejang dikenal sebagai Jang Bikoa, adalah kriptid yang sangat populer di masyarakat Rejang, terutama sekali di wilayah Rejang pedalaman, terutama di Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Kepahiang dan sebagian Bengkulu Tengah. Berdasarkan catatan kolonial seperti yang ditulis oleh J.L.M. Swaab (1916) dan Adolf Bastion (1885), makhluk ini digambarkan sebagai manusia bertubuh besar, tinggi, dan memiliki ekor vestigial, hidup menyendiri di hutan-hutan lebat, serta kerap dikenal sebagai keturunan Orang Sawah atau Orang Saba. Berdasarkan beberapa catatan kolonial Belanda, beberapa dari mereka pernah berinteraksi dengan masyarakat, bahkan bekerja di ladang, dan tercatat beberapa kali terlihat di pasar desa, menjual hasil hutan. Kisah ini bukan hanya disebutkan dalam dokumen asing, tetapi juga tercantum dalam Tambo Bangkahulu yang menyebut keberadaan manusia berekor yang hidup di masa Ratu Agung saat menjadi raja di Sungai Serut. Keberadaan mereka dari pesisir pantai kemudian semakin terdesak ke pedalaman dan berkurang populasinya setelah Sungai Serut runtuh dan wilayah mereka dikuasai Rejang Empat Petulai.

Meskipun banyak pihak menolak keberadaan manusia berekor ini secara ilmiah, bukti-bukti naratif dan lisan dari masyarakat lokal serta sejumlah pengamatan langsung yang terekam dalam jurnal kolonial menjadikannya sebagai figur kriptid yang kuat dalam tradisi Rejang. Ada pula yang menyangsikan keaslian fisik “ekor” tersebut, menyebutnya sebagai hasil kesalahan optik atau hanya sebuah metafora, namun tidak sedikit yang percaya bahwa makhluk ini benar-benar eksis pada masa lalu, bahkan hingga hari ini. Lebih lanjut tentang manusia berekor lihat tulisan di blog ini berjudul Manusia Berekor di Tanah Rejang.

Dugu'

Dugu' atau siamang air adalah makhluk kriptid yang diyakini masyarakat Rejang menghuni perairan dalam seperti sungai, lubuk, dan rawa-rawa. Pada saksi, umumnya adalah pemancing-pemancing, mengatakan, bahwa makhluk ini menyerupai siamang berukuran besar dengan bulu lebat, namun tidak hidup di pepohonan seperti siamang pada umumnya, melainkan menetap di air. Mereka bukan herbivora, tetapi cenderung karnivora, karena hanya memakan daging-dagingan makhluk air lainnya, seperti ikan, kepiting atau ular air, yang hidup di sekitar mereka. Suara yang dikaitkan dengannya konon berupa lolongan atau teriakan ganjil yang sesekali muncul menjelang malam.

Dugua' (prediksi AI) duduk di atas batu besar di sungai
Dugu' dipercaya berdiam dalam gua-gua yang berada dalam lubuk sungai. Jika dia muncul kepermukaan akan selalu duduk di atas batu besar di tengah sungai, untuk berjemur dan makan hasil-hasil sungai yang ditangkapnya dari dalam sungai. Makhluk ini konon pula tidak pernah mengganggu manusia, bahkan cenderung menghindari manusia.

Ular Tikar

Ular tikar adalah salah satu kriptid lainnya yang dikenal masyarakat Rejang, terutama di wilayah pegunungan dan sekitar danau atau rawa. Berbeda dengan ular biasa, ular tikar digambarkan memiliki bentuk tubuh yang pipih dan lebar seperti selembar tikar, bukan bulat memanjang seperti reptil pada umumnya. Ia dipercaya sebagai makhluk hidup yang nyata, meskipun hingga kini belum berhasil diverifikasi secara ilmiah. Beberapa saksi mata dari kalangan masyarakat mengaku pernah melihatnya secara langsung, memperkuat kepercayaan lokal bahwa makhluk ini memang ada.

Diceritakan ular tikar dikenal sebagai makhluk yang licik dan berbahaya. Ia sering membentangkan tubuhnya di daratan, meniru bentuk dan tampilan tikar, sehingga orang yang lewat akan duduk atau mencoba mengambilnya. Begitu korban terperdaya, ular tikar akan melilit dan membungkus tubuh korban dengan kekuatan tubuhnya yang lebar, menyebabkan korban tewas karena tercekik atau kehabisan napas.

Orang Pendek

Orang Pendek adalah makhluk kriptid yang dipercaya masyarakat Rejang sebagai penghuni hutan belantara yang tersembunyi. Kepercayaan terhadap orang pendek juga luas di masyarakat Sumatera Selatan dan Jambi, khususnya lagi di Kerinci. Mereka digambarkan bertubuh kecil dengan tinggi sekitar 1,2 meter, berkulit gelap, berbulu lebat, dan berekor pendek. Mereka dikatakan tinggal di gua atau di atas pohon, hidup dari buah-buahan, sayur, dan daging, serta memiliki kemampuan bergerak cepat dan menghilang secara tiba-tiba. Berbagai kesaksian dari masa kolonial Belanda, seperti dari Residen L.C. Westenenk dan para pejabat atau pekerja Eropa di sekitar Gunung Kerinci dan Gunung Kaba, memperkuat cerita tentang keberadaan makhluk ini. Meskipun tak ada bukti ilmiah yang sahih, deskripsi mereka cenderung konsisten, memperlihatkan bahwa Orang Pendek bukan sekadar isapan jempol atau imajinasi belaka.

Orang Pendek, hasil olahan AI berdasarkan deskripsi L.C. Westenenk (1927)
Sejumlah saksi mata, baik beberapa orang Belanda dan orang-orang pribumi di Kerinci dan Rejang. melaporkan melihat makhluk pendek berbadan kekar, dengan wajah yang tidak menyerupai manusia biasa, tetapi juga bukan kera yang dikenal. Gerakannya tenang dan sigap, memanjat pohon tanpa suara, dan memancarkan kesan sebagai makhluk liar tapi tidak jahat. Kisah-kisah ini membuat beberapa peneliti menduga bahwa Orang Pendek mungkin adalah spesies manusia purba yang belum terdokumentasikan, sebagaimana Homo floresiensis di Pulau Flores. Namun, tanpa fosil atau bukti fisik, keberadaan Orang Pendek tetap menjadi misteri antara realitas yang belum terungkap dan mitos yang diwariskan secara lisan selama berabad-abad. Lebih lanjut tentang orang pendek lihat tulisan di blog ini berjudul Westenenk: Orang Pendek Sumatera, 1918 dan Berburu Orang-Pandak di Tanah Rejang, 1915-1918.

Jegau

Jegau atau Cigau adalah makhluk misterius dipercaya orang Rejang menghuni hutan-hutan lebat dan pegunungan di wilayah Gunung Seblat dan Gunung Kerinci. Secara fisik, Jegau digambarkan menyerupai kucing besar dengan kepala hampir mirip kuda, berwarna emas dengan bulu lebat di sekitar lehernya, mirip surai singa, namun tanpa garis atau bintik seperti harimau atau macan tutul. Tubuhnya sedikit lebih kecil dari harimau, dan ekornya cenderung pendek. Penampakan ini telah memicu berbagai spekulasi ilmiah dan mitologis, mulai dari kemungkinan bahwa Jegau merupakan sisa populasi singa Asia yang terisolasi di pulau Sumatra, hingga asumsi bahwa ia adalah spesies "lain" dari kucing besar yang belum teridentifikasi secara ilmiah.

Jegau, berdasarkan prediksi AI

Namun, Jegau tak hanya dikenal dari ciri fisiknya, melainkan juga dari legenda yang mengitarinya. Dalam kisah-kisah rakyat, Jegau digambarkan sebagai makhluk karnivora buas, bahkan disebut sebagai pemangsa manusia yang menakutkan. Pemburu-pemburu yang kemalaman di hutan di wilayah Gunung Seblat selalu akan tidur atas pohon yang tinggi, demi menghindari serangannya.

Beberapa versi menggambarkan Jegau memiliki karakteristik aneh—seperti gabungan antara kucing besar dan manusia, berdiri tegak bipedal (dua kaki) dan bergerak lincah di medan pegunungan. Cerita-cerita ini mengaburkan batas antara fakta dan mitos, menjadikan Jegau bukan hanya sebagai subjek spekulasi zoologi, tapi juga sebagai sosok yang hidup dalam ketakutan dan imajinasi kolektif masyarakat sekitar hutan-hutan Sumatera.

Beneng

Beneng adalah makhluk kriptid berbentuk penyu atau labi-labi yang sepenuhnya hidup di darat. Makhluk ini diyakini hidup di pegunungan atau daerah yang jauh dari pemukiman manusia, secara khusus dipercaya mereka hidup hutan-hutan tua di wilayah Bukit Basah, Rejang Lebong.

Beneng memiliki penampilan yang menyerupai penyu, tetapi dengan beberapa elemen yang membedakannya, seperti ukuran yang sangat besar (dilaporkan diameter lingkar punggungnya ada yang mencapai 2 meter lebih [?]) dan mungkin juga pada sifatnya. Beberapa kisah lisan menceritakan pertemuan mereka dengan makhluk ini, menggambarkannya memiliki ukuran sangat besar, berat dan tua, dengan karapas (batok punggung) yang tebal dan sangat keras. Karena ukuran dan beratnya, maka makhluk ini pun tidak bisa banyak melakukan gerak. Dia makan tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitarnya, dan jika sumber makanan itu telah habis mereka dia akan pindah dengan gerakan yang cepat. 

Beneng, berdasarkan prediksi AI

Karena dapat bergerak cepat, walaupun badannya besar, makhluk ini sulit ditemukan. Walaupun diyakini ada, tetapi secara umum keberadaannya masih  diterima sebagai bagian cerita rakyat. Terkadang, kemunculan makhluk ini akan dikaitkan dengan fenomena alam atau kejadian aneh yang tidak bisa dijelaskan oleh pengetahuan umum.

Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "MAKHLUK-MAKHLUK KRIPTID DI TANAH REJANG"