Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MANUSIA BEREKOR DI TANAH REJANG

Ilustrasi.

Pemandangan Umum

Apa yang dimaksud dengan "Jang Bikoa" atau orang Rejang Berekor adalah:

  1. Sifat orang Rejang yang terlalu banyak pertimbangan dalam mengambil keputusan (coa lok mutus kece debat, tidak putus dalam sekali pembicaraan).
  2. Sifat orang Rejang yang selalu mengajak orang lain untuk berbuat kebaikan. Semakin panjang ekornya, artinya semakin banyak orang yang telah menjadi pengikutnya dalam hal kebajikan.

Kedua pengertian ini, saya kutip dari buku Anok Kutai Rejang, yang ditulis oleh Zulman A. Hasan, terbitan Dinas Pariwisata, Kebudayaan dan Perhubungan Kabupaten Lebong, 2015. Penulis buku ini menolak Jang bikoa diartikan sebagai manusia berekor atau berbuntut di Tanah Rejang.

Saya melihat, bahwa dari pengertian-pengertian tersebut adalah sebagai pandangan orang luar terhadap orang Rejang. Artinya, bahwa istilah Manusia berekor adalah batasan yang dibuat atau dimunculkan oleh orang luar, bukan orang Rejang yang menciptakan istilah tersebut. Istilah yang lahir sebagai proyeksi sifat-sifat orang Rejang.

Tidak ada kemungkinan lagi bahwa manusia berekor di Tanah Rejang akan bermakna antropoid, sebagai perwujudan fisik kemanusian. Manusia berekor hanyalah sebuah metafora.

Dalam tulisan ini, saya akan melihat manusia berekor di Tanah Rejang dari sisi-sisi sejarah. Saya akan menghindari melihat manusia berekor ini dari posisi saya hari ini, namun berusaha menempatkan diri dan ikut dalam arus sejarah itu sendiri. Di akhirnya nanti, saya ingin mengatakan, bahwa manusia berekor di Tanah Rejang tidak boleh lagi dilihat hanya sebagai diskursus metafora, walaupun tanpa perlu berkesimpulan bahwa ada manusia yang memiliki ekor telah pernah hidup di Tanah Rejang.

Ada beberapa dokumen asing, yang telah memandang manusia berekor sangat berbeda pandangan dengan pengertian kontemporer hari ini. Tentu saja, saya berkeyakinan, apa yang dipaparkan dalam dokumen-dokumen asing itu, akan memberikan kejutan sementara bagi banyak orang Rejang. 

Dokumen pertama berasal dari J.L.M. Swaab. Dalam catatannya, J.L.M. Swaab (Kontrolir Onderafdeling Lais yang mengunjungi Kepahiang pada 1916), menceritakan, bahwa di Rejang Musi-Tengah (Kabupaten Kepahiang-Provinsi Bengkulu sekarang) pernah ditemui manusia berekor, yang oleh penduduk mereka disebut keturunan Orang Sawah atau Orang Saba. Mereka selalu menghindari pertemuan dengan manusia lainnya dan kadang-kadang melakukan pencurian bahan makanan ke dusun-dusun. Beberapa dari mereka yang dapat ditangkap, dipekerjakan di ladang-ladang. Mereka bertubuh besar dan tinggi, mengaku dulunya mereka adalah penduduk Rejang Sungai Serut pada masa pemerintahan Ratu Agung.

Pasirah Bermani Ilir dalam laporannya kepada Kontrolir Onderafdelin Redjang, D.G. Hooyeh (1911-1913), sebagaimana yang dicatat dalam jurnal J.L.M. Swaab (1916) mengatakan, bahwa ada seorang Orang Sawah itu pernah hidup di antara masyarakat Embong Ijuk, dia bernama Moeksin. Pada diri Moeksin ini tulang ekornya begitu panjang, sehingga dia terlihat seperti memiliki ekor.

Kepala Dusun Embong Ijuk juga menceritakan, bahwa manusia berekor itu tinggal di wilayah di tengah hutan antara Rejang Musi-Tengah, Seluma dan Bengkulu, yang bernama Tebo Remas. Pemukiman mereka dikelilingi hutan-hutan bambu yang lebat. Namun, pemukiman-pemukiman itu kemudian hilang, menyusul semakin sedikitnya populasi mereka.

J.L.M. Swaab sendiri menceritakan, bahwa dia sendiri pernah menemui manusia berekor ini. Dalam perjalanan pada Pal 29 antara Kepahiang-Taba Penanjung menuju Benkoelen (Bengkulu) ia melihat seorang perempuan yang sangat jelas memiliki ekor vestigial. Wanita itu bersama seorang anak kecil tengah mandi di salah satu pancuran yang memang banyak terdapat di sepanjang jalan.

Dokumen berikut berasal dari seorang etnolog Jerman. Dalam Indonesien Oder Die Inseln Des Malayischen Archipel, yang memuat jurnal-jurnal perjalanannya di Sumatera, Adolf Bastion, etnolog dan traveler Jerman ini juga melaporkan keberadaan manusia berekor ini.

Dalam laporannya, pada 1885, Adolf Bastion dalam ekspedisi dari Bengkulu ke Gunung Dempo, saat singgah dan bermalam di dusun Lubuk Sini dia mendapatkan laporan, bahwa masyarakat di Lubuk Sini dan Taba Penanjung sering menjumpai beberapa orang manusia berekor di sebuah pasar desa. Orang-orang berekor ini duduk di sudut pasar menjajakan hasil-hasil hutan. Mereka mengaku berasal dari sebuah dusun di dekat dusun Rindu Hati. Dilaporkan, mereka menggunakan bahasa yang mirip dengan Rejang bercampur dengan bahasa isyarat. Banyak ekor-ekor mereka pun perlahan menghilang pada keturunan-keturunan berikutnya.

........ Im Dasun (Dorf) Labosine (bei Tala Penanjoeng) finden sich noch Nachkommen der Redjang-Saba, doch ist der Schwanz (in Folge der fortgehenden Kreuzungen) allmählig verschwunden

.......... Di Dusun (desa) Labosine (Tala Penanjoeng) masih keturunan Redjang-Saba, tetapi ekornya (sebagai akibat dari perkembangan waktu) telah berangsur-angsur menghilang

-----------------------------------------------------------------------------------------

(Adolf Bastion merupakan orang pertama yang menggunakan kata Indonesia untuk menyebut pulau-pulau Nusantara. Kata Indonesia ini secara langsung dapat dilihat dari bukunya yang berjudul Indonesien Oder Die Inseln Des Malayischen Archipel (Indonesia atau Pulau-Pulau Kepulauan Melayu), yang diterbitkan pada 1886)

-----------------------------------------------------------------------------------------

Sebuah makam tua bernisan tiang batu (menyerupai menhir) di sekitar Kepahiang,
dipercaya sebagai makam seorang manusia berekor
(foto: koleksi pribadi)

Selama ini kisah manusia berekor nusantara hanya terdengar ada di Kalimantan dan Aceh. Namun, di wilayah masyarakat Rejang (lebih spesifik di Kabupaten Bengkulu Tengah dan Kabupaten Kepahiang) juga menyimpan kisah tentang manusia berekor, yang disebut dalam bahasa Rejang sebagai sebagai Jang Bikoa.

Informasi paling awal tentang manusia berekor ini disebutkan dalam Tambo Asal Usul Bangkahulu. Penguasa Sungai Serut (nama tua untuk Bengkulu hari ini), Ratu Agung (yang diperkirakan hidup pada pertengahan atau akhir 1400-1500) memiliki satuan pengawal istimewa, laki-laki bertubuh besar tinggi dan memiliki ekor. Ketika serangan dari Kerajaan Aceh, konon pengawal-pengawal "berekor" inilah yang menyelamatkan Putri Gading Cempaka dan Anak Dalam ke pedalaman Rindu Hati.

Banyak orang menolak secara terang-terangan kisah tentang manusia yang memiliki ekor yang hidup di Tanah Rejang ini. Atau yang menolaknya dengan halus dengan memberikan interpretasi tersendiri tentang “ekor” itu.

Bagaimana eksistensi manusia berekor di Tanah Rejang ini? Apakah itu ekor vestigial atau suatu yang menyerupai ekor? Benarkah itu orang Rejang? Ataukah hanya sekelompok manusia "berekor" yang hidup di Tanah Rejang?

Hazairin, salah seorang peneliti awal tentang Rejang, juga termasuk yang setengah menerimanya, dengan mengatakan bahwa yang terlihat sebagai ekor itu sebenarnya adalah gagang keris panjang yang diselipkan di pinggang orang Rejang, yang jika dilihat dari jauh menyerupai ekor (lihat dalam Hazairin. De Redjang. 1936. Bandung: A. C. Nix & Co. Hal. 35). Sikap Hazairin ini, berangkat dari kebiasan-kebiasan orang Rejang, tidak menolak keberadaan manusia berekor. Walaupun berangkat dari perspektif optik, karena hasil salah lihat, dia tidak melihatnya sebagai metafora, tetapi tetap merupakan sebuah fakta realitas.

Kisah manusia berekor ini lebih umum dikenali eksistensinya di Rejang Musi-Tengah (Kepahiang dan sebagian Bengkulu Tengah hari ini). Hal ini bisa dilihat dari beberapa pengakuan penguasa-penguasa dan orang-orang di Rejang Musi-Tengah dan Seluma, sebagaimana yang dicatat oleh J.L.M Swaab dan Adolf Bastion, mengatakan bahwa mereka bertemu, berkomunikasi dan bahkan berinteraksi dengan orang berekor ini.

Apakah kita akan mengatakan orang-orang Eropa itu berbohong atau mengada-ada saja? Dengan tujuan apa mereka melakukan "kebohongan" itu? Sebaliknya, apakah kita lantas harus menerima kebenaran yang mereka sampaikan dengan melakukan pengecualian terhadap kebenaran lain yang mereka berikan?

Hampir tidak ada kisah-kisah tentang manusia berekor di Lebong atau wilayah berbahasa Rejang lainnya. Sebaliknya, kisah-kisah ini akan banyak ditemui di beberapa dusun di Kepahiang, terutama di wilayah Marga Bermani Ilir.

Manusia Berekor di Tanah Rejang adalah Entitas Faktual

Rejang berekor atau manusia berekor (Jang bikoa) yang hidup pada masa Ratu Agung di Sungai Serut bukan artinya ‘orang Rejang berbiku’. Bukan pula sebuah teori untuk mengatakan bahwa Rejang Berekor merupakan simbol masa peralihan dari peradaban lama ke peradaban baru (cara pandang seperti ini tidak dibenarkan dalam penulisan sejarah, karena bersifat ahistoris, pandangan tidak sesuai dengan masanya, yang melihat masa lalu dengan cara pandang hari ini!). Rejang berekor juga bukanlah sebuah istilah untuk menunjukkan sifat orang Rejang, sebagai disebut di awal tulisan ini.

Sebaliknya, manusia berekor di Tanah Rejang adalah entitas manusia (mungkin kelompok atau orang seorang) sejati yang hidup di Tanah Rejang, yang memang (seperti) memiliki ekor vestigial atau sesuatu lainnya yang menyerupai ekor. Harus adalah argumentasi yang kuat dan kokoh untuk membantah pernyataan bahwa orang-orang di Rejang Musi-Tengah (Kepahiang) dan sedikit orang di Seluma telah sering menyaksikan sendiri, berkomunikasi bahkan pernah memperkerjakan orang yang memiliki ekor ini di ladang mereka. Orang Rejang Musi-Tengah sendiri, sebagaimana masyarakat di Desa Cinto Mandi, Embong Ijuk dan Limbur Lama (semuanya di Kecamatan Bermani Ilir, Kepahiang), memiliki banyak “bukti” untuk menunjukkan keberadaan entitas manusia berekor ini.

Lepas dari perspektif dan perdebatan skenario evolusi atau biologis, atau pun "salah lihat, orang berekor dari Tanah Rejang Saba dimungkinkan benar, sebuah fenomena dinyatakan ada dan yang pernah hidup di Bumi Bengkulu, sehingga diakui dengan jujur pula keberadaannya oleh penulis Tambo Bangkahulu (yang dipastikan sangat Sungai-Serutsentris dan Ratu Agungsentris).

Kemungkinan terakhir, manusia berekor itu bukanlah asli dari Tanah Rejang, dia mungkin berasal dari luar Tanah Rejang, datang ke Sungai Serut yang kemudian diterima oleh Ratu Agung untuk menjadi pengawalnya. Hal ini didasari dengan catatan dari Adolf Bastion, yang mengatakan bahwa orang berekor itu menggunakan bahasa yang mirip dengan bahasa Rejang, bercampur dengan bahasa isyarat.

Memang, masih memerlukan banyak kajian. Namun, bagaimanapun juga manusia berekor adalah sebuah penegasan tentang sebuah pernik unik dalam sejarah Rejang dan Bengkulu. Dia bisa jadi akan tetap merupakan sebuah peristiwa berbingkai mitos, tetapi dengan semua kontroversinya yang tidak akan pernah selesai kita juga harus berani untuk mengatakan bahwa keberadaan mereka bukanlah sebuah dongeng. Rejang berekor bukan metafora!

Kepustakaan:

Bastion, Adolf. Indonesien Oder Die Inseln Des Malayischen Archipel. Berlin: Ferd. Dümmlers Verlagsbuchhandlung Harrwitz und Gossmann. 1886.
Beschrijving Der Onderafdeeling Redjang Dalam Jurnal Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde Van Nederlandsch-Indië, 01/1916, Volume 72, Issue 1.
Hazairin. De Redjang. Bandung: A. C. Nix & Co. 1936
Tambo Asal-Usul Bangkahulu

Link yang terkait:

https://sains.kompas.com/read/2014/02/27/2315348/Penjelajahan.Carl.Bock.Pencarian.Ras.Manusia.Berekor.di.Kalimantan
https://indocropcircles.wordpress.com/2014/02/27/pencarian-ras-manusia-berekor-di-kalimantan/
https://amarta.wordpress.com/2011/02/14/sejarah-singkat-rejang-jurukalang/

Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "MANUSIA BEREKOR DI TANAH REJANG"