Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

POLISI KOLONIAL DI CURUP, 1935

Pesanggerahan Belanda di Curup, circa 1913 (recoloring)
Pada hari ini adalah komplek GOR Kota Curup
sumber: KITLV

Curup 1900

Pada awal 1900-an, Curup merupakan sebuah pasar yang wilayahnya masuk dalam kawasan Marga Bermani Ulu. Awal-awal periode ini Pasar Curup dan Pasar Kepahiang merupakan satu kesatuan wilayah administrasi pasar, dengan Datuk sebagai kepala pasar berkedudukan di Kepahiang. Perkembangan pesat Pasar Curup pada 1910-an, ditandai dengan adanya migrasi besar-besaran orang Cina dari Bengkulu dan Kepahiang ke Curup setelah eksploitasi tambang emas di Lebong dan perkebunan kopi di sekitar Curup. Pada kurun ini juga ada migrasi orang-orang Sunda dari Jawa Barat yang didatangkan untuk mengusahakan persawahan dan perikanan di pinggir Pasar Curup.

Curup semakin menjadi ramai dan menjadi kota persinggahan antara Kepahiang, Lebong dan ke Palembang, setelah Onderafdeling Rejang tidak lagi menjadi bagian Afdeling Tebing Tinggi, yang menandai selesainya koneksi Rejang-Empat Lawang. Dengan kondisi ini, maka Belanda pun tidak lagi memilih jalur Kepahiang-Empat Lawang untuk menuju Palembang. Dengan pembukaan dan perbaikan jalan jalur Kepahiang-Curup-Lubuk Linggau, maka dari Tanah Rejang Belanda lebih mengambil melewati Pasar Curup dulu untuk menuju Palembang.

Polisi Curup

Sampai 1935, penempatan polisi di Onderafdeling Rejang lebih banyak di Curup, yang dipimpin oleh seorang inspektur polisi Belanda. Di Kepahiang sendiri, sebagai ibukota Onderafdeling Rejang, sejumlah kecil polisinya hanya dipimpin oleh seorang Mantri Polisi pribumi. Pada tahun ini, Mantri Polisi di Kepahiang bernama Abdul Kaum, pribumi yang berasal dari Muko-Muko.

Penempatan polisi lebih banyak di Curup terutama sekali adalah untuk mengawasi kegiatan orang-orang yang dicurigai bersimpati dengan partai komunis. Setelah berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI) di Hindia Belanda, pada 1922, untuk wilayah Keresidenan Benkoelen, keberadaan simpatisan komunis paling banyak terdapat di Curup. Pengawasan ini dilakukan karena diketahui banyak orang-orang simpatisan komunis di Curup ini sering menghasut rakyat, untuk melawan Pemerintah Hindia Belanda di Curup dan Kepahiang. Pengawasan ini semakin ditingkatkan menyusul gagalnya pemberontakan PKI pada 1926.

Pada Februari 1935, inspektur polisi yang ambisius J.J. Harlingen ditempatkan di Curup, daerah yang relatif masih terisolasi di dataran tinggi Benkoelen (pantai barat Sumatera), di Onderafdeling Redjang. Sebagai komandan detasemen polisi setempat, dia bertanggung jawab terhadap 30 orang, semuanya orang pribumi, yang tinggal di barak polisi di Curup.

Dari barak tersebut, polisi melakukan patroli preventif untuk ketertiban dan perdamaian di kawasan ini. Saat itu, Onderafdeling Redjang berpenduduk sekitar 62.000 jiwa, termasuk minoritas Eropa (180), Tionghoa (sekitar 1.700) dan Jawa (jumlah tidak diketahui; mereka kebanyakan kolonis dan bekas pekerja kontrak). Di sekitar barak bertebaran sejumlah perusahaan kopi Eropa. Masyarakat hidup dalam komunitas kecil (marga) yang dipimpin oleh kepala adat yang lebih rendah (pasirah).

Sebagian besar penduduk marga itu hidup dari pertaniannya, terutama kopi dan beras, atau bekerja sebagai buruh di perusahaan. Orang Eropa tinggal di pinggir Curup dan di perusahaan-perusahaan itu terutama di Kepahiang, ibu kota Onderafdeling Redjang.

Atasan paling langsung Harlingen adalah letnan sipil D.H. van der Poel, yang menjabat sebagai Kontrolir Onderafdeing Rejang, berkedudukan di Kepahiang, sekitar 25 kilometer dari Curup. Atasan kedua Harlingen adalah Komisaris Polisi H.E. Wilten, sebagai pimpinan teknis polisi lapangan wilayah Benkoelen, berkedudukan di ibu kota Benkoelen, sekitar 70 kilometer dari Curup. Wilten juga melakukan pengawasan atas tiga detasemen polisi lapangan yang dimiliki Benkoelen, yakni di Curup, Muara Aman dan Krui.

Di Curup, telah terdapat kondisi yang kurang mendukung untuk terciptanya hubungan baik antara polisi lapangan dan penduduk. Pada masa-masa awal tugasnya di Curup, Harlingen sendiri dipandu oleh citra negatif yang melekat pada orang-orang Rejang, sebagai akibat perlawanan mereka terhadap pemerintahan kolonial pada abad kesembilan belas, sebagaimana yang tertuang juga buku pegangan ringkas untuk Hindia Belanda pada 1934. Di mana menurut prasangka kolonial tersebut, penduduk Tanah Redjang adalah pemangsa dan pembunuh.

Detasemen polisi di Curup terdiri dari korps polisi bersenjata yang tidak cakap, tidak banyak dihargai oleh penduduk setempat. Tidak ada juga instruktur dan personil polisi lapangan yang terlatih, yang menjadikan polisi pun hampir tidak ada perbedaan dengan penduduk biasa yang memiliki senjata. Selain itu, pada akhir 1926 dan awal 1927, pencarian dan penangkapan orang-orang pribumi yang terlibat komunis di Curup, membuat polisi pun semakin kehilangan simpati dari masyarakat, karena mereka yang ditangkap itu banyak merupakan tokoh-tokoh yang dihormati di Curup.

Dengan latar belakang hubungan yang sulit antara polisi dan penduduk di Redjang ini, Harlingen memberi semangat kepada detasemennya untuk "memerangi kejahatan" dan memperbaiki hubungan polisi dengan penduduk Redjang. Apa yang dilakukannya ini kemudian menimbulkan kekaguman di kalangan pemerintah.

Setelah sembilan bulan bekerja keras, dia berhasil membuat catatan prestasi kerjanya di Curup. Pada September dan Desember 1935, dalam dua artikel di jurnal De Politie, Harlingen dengan bangga menggambarkan bagaimana dia dan detasemennya telah bekerja dengan sukses besar sejak Februari tahun itu dalam menyelesaikan serangkaian kasus pembunuhan lama di Tanah Redjang: 76 kasus lama dan baru yang bermunculan dalam sembilan bulan.

Dengan dedikasi tinggi terhadap tugas, Harlingen ingin memperlihatkan, bahwa negara telah memenuhi kewajiban kebutuhan keamanan rakyatnya. Setidaknya, itulah yang dipikirkan Harlingen.

Segera ternyata Harlingen tidak melakukannya sebaik yang dia bayangkan. Harlingen dan anak buahnya secara tidak sadar telah berperan penting dalam permainan kekuasaan para kepala adat di Curup - juga bertanggung jawab atas polisi desa setempat dan bertugas di pengadilan lokal.

Hasil penyelidikan dan penelitian terhadap kinerja Harlingen, ternyata memperlihatkan tidak semua kasus pembunuhan benar-benar terjadi. Hal yang lebih mengkhawatirkan terungkap, jika metode investigasi polisi tidak sepenuhnya sesuai dengan buku pedoman. Penyelidikan resmi secara terus terang menyimpulkan teror dan penyalahgunaan kekuasaan telah dilakukan oleh polisi lapangan. Ada intimidasi, metode investigasi yang tidak memadai, perampasan kemerdekaan secara tidak sah dan pengakuan dengan kekerasan yang parah, dalam satu kasus yang mengakibatkan kematian.

Kekerasan polisi di Curup adalah hasil isolasi karena berbagai alasan, antaranya jarak yang relatif jauh antara Harlingen dengan ibukota keresidenan dan ibu kota onderafdling, tanpa disadari membiarkan Harlingen mengambil jalan sendiri. Di Curup, ini tentang isolasi dalam beberapa arti: isolasi karena polisi bertindak dari pos yang jauh dari atasan setempat dan komando polisi pusat; isolasi karena polisi lapangan adalah wajah negara kolonial dan penduduk setempat memandangnya dengan kebencian; isolasi karena Harlingen dan detasemen polisinya tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang jaringan hubungan kekuasaan lokal, intrik politik dan pertengkaran keluarga dan tetangga yang menjadi latar belakang kasus pembunuhan lama. Isolasi polisi menunjukkan betapa terfragmentasi otoritas kolonial. Karena itu, beberapa kepala marga (pasirah) di Tanah Rejang dapat menggunakan polisi untuk perebutan kekuasaan bersama.

Dalam keisolasian, polisi kolonial di Curup, telah berkecenderungan mengembangkan norma-norma sendiri. Karena buta, dia secara bertahap melebih-lebihkan kekuatannya dan kehilangan pedoman resminya, hingga pada pemakaian kekerasan. Dengan isolasi ini dan kurangnya kontrol dari tingkat atas detasemen ini mengalamai kegagalan untuk mendapat simpati masyarakat.

Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "POLISI KOLONIAL DI CURUP, 1935"