CERITA RAKYAT SERAWAI: SAMBESAT DAN SAMBESIT
![]() |
Sambesat dan Sambesit menghadap Raja Kuto Ngadiri |
Di kerajaan Kuto Ngadiri, hiduplah seorang raja yang terkenal bijaksana. Ia memiliki seorang permaisuri bernama Penati, wanita yang rajin dan sederhana. Meski hidup berkecukupan, Penati tetap bekerja dan membantu rakyat.
Suatu hari, raja berkata kepada istrinya, "Penati, engkau tak perlu terlalu rajin bekerja. Bukankah kita sudah cukup kaya?"
Penati tersenyum, "Harta bisa habis, Yang Mulia. Tapi kebaikan hati dan kerja keras akan selalu abadi."
Pada suatu pagi, Penati berjalan ke kebun muda, sebuah kebun kecil di tepi hutan. Di sana ia melihat seekor burung membuat sarang. Hari-hari berikutnya, Penati datang kembali dan mendapati burung itu bertelur dua butir.
Namun, beberapa hari kemudian, burung betina itu mati. Penati sangat sedih melihat burung jantan terbang kesana kemari, bingung dan gelisah.
"Kasihan sekali kau, burung kecil... Kini kau harus menjaga anak-anakmu sendirian," ucap Penati lembut sambil menguburkan bangkai burung betina itu.
Waktu pun berlalu, dan dua telur burung itu menetas. Burung jantan merawat kedua anaknya dengan penuh kasih. Suatu hari, datanglah seekor burung betina lain yang menjadi ibu tiri anak-anak burung itu.
Namun tragis, saat burung betina tiri memberi makan, duri ikan tersangkut di kerongkongan salah satu anak burung. Kedua anak itu akhirnya mati.
Melihat itu, Penati menitikkan air mata. "Ya Allah... Begini kelak nasib anak-anakku jika aku mati. Akankah mereka dirawat oleh ibu tiri yang membahayakan mereka tanpa sengaja?"
Ia pulang membawa bangkai anak burung dan memperlihatkannya kepada kedua anaknya, Sambesat dan Sambesit.
Sambesit bertanya, "Ibu, apakah ibu akan meninggalkan kami seperti burung itu?"
Penati menjawab pelan, "Ibu tidak tahu, Nak. Tapi andai Ibu pergi lebih dulu, jagalah satu sama lain. Jangan bergantung pada orang lain sepenuhnya."
Raja masuk dan bertanya heran, "Penati, kenapa kau menangis? Hanya burung saja, tak perlu sesedih ini."
"Bukan burungnya, Yang Mulia... Tapi nasib anak-anak kita nanti jika aku tiada. Burung itu mati, dan anak-anaknya mati karena ibu tirinya... Aku takut nasib Sambesat dan Sambesit akan seperti itu."
Raja menghela napas, "Tidak, Penati. Aku bersumpah tidak akan menikah lagi."
Beberapa hari kemudian, Penati jatuh sakit. Menjelang ajal, ia memanggil kedua anaknya. "Sambesat... kelak engkau bawa tongkat ini. Ia akan membimbingmu menjadi raja. Dan engkau, Sambesit... bawa pena ini, karena kau akan tumbuh menjadi orang pintar."
Penati pun wafat. Kesedihan menyelimuti istana. Raja yang setia benar-benar menolak untuk menikah lagi.
Namun delapan hari kemudian, adik Penati datang menghadap raja.
"Yang Mulia, engkau masih muda. Rakyat membutuhkan permaisuri baru. Jika engkau berkenan, aku tahu seorang putri dari negeri seberang—namanya Putri Mambang Diri."
Awalnya raja menolak, "Aku sudah berjanji pada Penati."
Namun karena terus didesak, akhirnya raja menikah lagi. Sejak saat itu, Sambesat dan Sambesit memiliki ibu tiri.
Waktu berlalu. Ketika raja pergi berburu, Putri Mambang Diri mulai memperlihatkan wajah aslinya. Ia tidak peduli pada Sambesat dan Sambesit. Makanan ditahan, pakaian tidak diberi.
Sambesit mengadu, "Kak, perutku lapar..."
"Sabar, adikku. Ayah pasti akan kembali," jawab Sambesat memeluknya.
Saat raja kembali dan melihat kondisi anak-anaknya, ia teringat pada kata-kata terakhir Penati. Maka, ia memutuskan untuk menguji istrinya.
Ia kembali pergi, namun diam-diam mengamati dari jauh. Perlakuan buruk sang istri terbukti nyata. Akhirnya, Sambesat dan Sambesit memutuskan meninggalkan istana.
Mereka berjalan jauh. Masuk hutan, keluar padang. Hingga akhirnya mereka beristirahat di bawah pohon rindang. Di atas pohon, terdengar percakapan antara seekor burung dan anaknya.
Anak burung bertanya, "Ibu, apa takdirmu di dunia?"
"Anakku, siapa yang memakan kepalaku akan menjadi raja. Siapa yang memakan dadaku akan menjadi orang pintar. Tapi jangan sampai aku dilempar."
Mendengar itu, Sambesit ingin menangkap burung tersebut, "Kak, ayo kita ambil burung itu!"
"Jangan dilempar. Ingat kata burung tadi," kata Sambesat.
Dengan hati-hati, mereka menangkap burung itu dan melanjutkan perjalanan. Mereka menemukan perapian dan memanggang burung itu.
Sambesat berkata, "Kita bagi dua. Tapi ingat, kalau aku makan kepala, aku akan jadi raja. Jika kau makan dada, kau akan jadi orang pintar."
"Kak, aku ingin makan kepala, boleh?"
"Maaf, adik. Aku sudah memakannya... tanpa sengaja."
Sambesat merasa bersalah. Tapi sebelum bisa meminta maaf lebih lanjut, tiba-tiba seekor gajah liar datang mengamuk. Mereka terpencar!
Sambesat mencari adiknya ke mana-mana. Ia menyusuri sungai, hutan, padang, hingga akhirnya ia tertidur di pinggir dusun Padang Selopah.
Ketua dusun yang hendak mandi membangunkannya. "Anak muda, dari mana kau datang?"
"Aku dari Kuto Ngadiri, mencari ayahku, tapi terpisah dari adikku."
"Mungkin kau orang penting. Kau terlihat berbeda," gumam sang ketua dusun.
Sambesat tertidur lagi dan bermimpi didatangi orang tua berjubah putih. "Maukah kau jadi raja?"
"Aku hanya mencari ayah dan adikku..." jawab Sambesat.
"Kalau kau ingin jadi raja, obatilah anak raja yang sedang sakit. Carilah darah anjing hitam, dari ubun-ubun hingga ke pusat."
Saat terbangun, di depannya berdiri seekor anjing hitam. Dengan ragu-ragu, ia membunuh anjing itu dan mengambil darahnya.
Ketua dusun datang lagi. "Jadi, apakah kau siap jadi raja?"
Sambesat mengangguk. "Jika takdir menuntunku ke sana, aku siap."
Sambesat pun menurut, ia berjalan mengikuti ketua dusun menuju istana kecil yang ada di atas bukit. Setibanya di sana, terlihatlah seorang anak raja sedang terbaring lemah. Wajahnya pucat, matanya sayu, dan tubuhnya panas membara. Para tabib telah angkat tangan.
"Kalau kau sungguh berniat, selamatkanlah anak ini. Jika berhasil, niscaya kau akan diangkat sebagai anak raja," kata ketua dusun.
Sambesat pun teringat mimpi yang ia alami. Ia lalu mengeluarkan darah anjing hitam yang telah ia bawa dalam bambu kecil. Ia oleskan sedikit ke ubun-ubun anak itu, lalu ke mata, ke tenggorokan, dan terakhir ke pusat.
Tak lama kemudian, tubuh anak itu menggigil, lalu perlahan-pelan wajahnya memerah kembali. Anak raja membuka matanya perlahan, menatap sekeliling, lalu berkata dengan lemah, "Siapa yang telah menyembuhkanku?"
"Namaku Sambesat, Tuanku," jawab Sambesat dengan sopan. "Saya hanya mencoba."
Raja kecil itu tertawa kecil. "Kau bukan orang sembarangan. Aku akan mengangkatmu menjadi saudaraku."
Beberapa hari kemudian...
Raja dari Padang Selopah sangat gembira mengetahui anaknya sembuh. Ia memanggil Sambesat ke pendapa istana.
"Anak muda," katanya, "asalmu dari mana?"
"Saya dari Kuto Ngadiri, anak dari Permaisuri Panati," jawab Sambesat sambil menunduk. "Saya sedang mencari adik saya, Sambesit. Kami terpisah karena dikejar gajah di tengah hutan."
Raja Padang Selopah tertegun. "Kau anak Raja Kuto Ngadiri? Aku mengenal beliau. Dulu kami pernah berdagang bersama. Tinggallah di sini dulu. Kami akan bantu mencarikan adikmu."
Sementara itu, di tempat lain…
Sambesit tinggal di pondok seorang kakek tua yang menolongnya saat ia pingsan setelah terpijak gajah. Kakek itu sangat baik dan merawat Sambesit seperti cucunya sendiri. Sambesit tumbuh menjadi pemuda yang cerdas dan tekun membaca.
Suatu hari, Sambesit duduk termenung di tepi sungai sambil menatap langit. "Entah di mana kakakku sekarang..." gumamnya.
Tiba-tiba, ia mendengar suara orang-orang berkuda.
"Pengumuman! Pengumuman! Dicari seorang pemuda bernama Sambesit, adik dari Sambesat, putra Raja Kuto Ngadiri! Barang siapa menemukannya akan diberi hadiah besar dan kehormatan!"
Sambesit berlari menuju utusan itu. "Saya Sambesit! Saya adiknya Sambesat!"
Para utusan itu menatap penuh rasa tak percaya. Salah satu dari mereka mengeluarkan gulungan kain dengan lukisan wajah Sambesit.
"Benar! Ini dia!" serunya.
Mereka pun segera membawa Sambesit menuju Padang Selopah.
Beberapa hari kemudian…
Sambesat sedang duduk di taman istana saat ia mendengar keributan di gerbang.
"Tuanku! Kami membawa pemuda yang mengaku bernama Sambesit!"
Sambesat berlari keluar. Di sana, berdiri seorang pemuda yang tak asing baginya. "Adikku!"
"Kakak!"
Mereka pun berpelukan sambil menangis haru.
"Aku mencarimu ke mana-mana, Sambesit."
"Aku juga, Kak. Aku kira kita takkan bertemu lagi."
![]() |
Pertemuan Sambesat dengan Sambesit |
Raja Padang Selopah yang melihat peristiwa itu ikut terharu. Ia berkata, "Aku bersyukur kalian dipertemukan kembali di tanahku."
Beberapa bulan kemudian…
Sambesat dan Sambesit akhirnya diantar pulang ke Kuto Ngadiri dengan pengawalan pasukan dari Padang Selopah. Saat mereka tiba, rakyat menyambut mereka dengan suka cita. Raja Kuto Ngadiri yang telah lanjut usia menangis terharu saat melihat anak-anaknya kembali.
"Maafkan Ayah, karena tak mampu menjaga kalian dengan baik," ucap sang Raja.
"Tidak, Ayah," jawab Sambesit. "Kami justru belajar banyak dari peristiwa ini."
Sambesat menambahkan, "Dan pesan Ibu tak akan pernah kami lupakan. Ibu tiri bisa menjadi ancaman jika Ayah terlalu percaya. Tapi kami tahu, Ayah telah belajar dari semuanya."
Raja pun mengangkat Sambesat menjadi raja muda yang akan menggantikannya kelak, dan Sambesit menjadi penasehat utama kerajaan.
Kerajaan Kuto Ngadiri kembali berjaya di bawah kepemimpinan dua bersaudara yang penuh kasih sayang dan kebijaksanaan.
Post a Comment for "CERITA RAKYAT SERAWAI: SAMBESAT DAN SAMBESIT"
Berkomentarlah dengan bijak. Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus