Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PAHLAWAN KEPAHIANG: LETKOL. SANTOSO SURJAATMADJA

Letnan Kolonel Santoso
1920-1945
Tidak ditemukan lagi foto wajah Letkol. Santoso. Anak-anak keturunannya pun tidak menyimpan lagi, yang kemungkinan telah tercecer atau hilang saat berpindah-pindah dari Kepahiang ke Semarang, lalu ke Yogyakarta. Foto dalam buku referensi yang juga dipakai di tulisan ini adalah hasil reka digital dari lukisan potret Santoso bersama Aisyah beberapa waktu setelah mereka menikah.
Kisah yang tertuang dalam buku sumber yang dipergunakan dalam tulisan ini telah dikonfirmasi dan disetujui oleh pihak keluarga, melalui Bapak Prof.Dr. Gunawan, M.Pd. (anak kedua Letkol. Santoso), dan diterima sebagai versi terverifikasi tentang kehidupan dan perjuangan Letkol. Santoso.

Engku Guru Menjadi Perwira

Melalui telepon pada 15 Oktober 1945, Komandan TKR Sumatera Selatan, Kolonel Maludin Simbolon meminta kepada Residen Bengkulu, Indra Cahya, untuk membentuk TKR Bengkulu. Atas usul bekas Komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Bengkulu, Nawawi Manaf dan M. Zen Ranni kepada Residen, terpilihlah Santoso Surjaatmadja, untuk menjadi Komandan Batalyon TKR Bengkulu, dengan pangkat Mayor yang kemudian dinaikkan lagi menjadi Letnan Kolonel. Nawawi Manaf sendiri walaupun merupakan sosok yang memiliki bakat militer terbaik karena memang sempat bergabung sebagai tentara KNIL, namun tidak memungkinkan untuk menjadi komandan batalyon, mengingat dia telah menjadi target utama tentara Jepang di Bengkulu.

Kompi I Curup ditunjuk sebagai Komandan Kompi adalah Vandrieg (setingkat Pembantu Letnan) Zainal Arifin Jamil dan Kompi II Kepahiang dipimpin Vandrieg Zamhari Abidin. Kompi I Curup menjadi pasukan utama di Kabupaten Rejang Lebong, karena keberadaan markas utama militer Jepang berada di kota ini, terutama sekali setelah pemindahan semua persenjataan berat dan kompi senapan Jepang ke Beringin Tiga, setelah semakin dekatnya ancaman Sekutu di Indonesia. 

Masa-masa darurat tak ditemukan pemuda Bengkulu yang memiliki pengalaman militer yang memadai, atau pernah menjadi perwira KNIL atau dalam kesatuan militer Jepang. Selain memang belum begitu dikenal oleh Jepang, penunjukan Santoso sebagai komandan batalyon hanyalah berdasarkan yang bersangkutan memiliki pendidikan yang cukup baik pada masa itu, dia tamatan Hollandsch-Inlandsche School (HIS) yang kemudian menjadi assistent-leraren (guru bantu) di Perguruan Taman Siswa dan Sekolah Rakyat Redjang Setia di Curup. Santoso hanya pernah mendapatkan pendidikan semi-militer singkat sebagai Giyugun di Pagar Alam. Semua itu menjadi alasan penunjukan Santoso sebagai Komandan Batalyon TKR Bengkulu. Santoso sama sekali tidak memiliki pengalaman berperang, kecuali latihan perang-perangan selama mengikuti pen-didikan giyugun. Maka, dengan segala keterbatasan itu, Engku Guru Santoso pun memasuki palagan nyata untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, dengan tanggung jawab besar sebagai komandan batalyon untuk sebuah wilayah yang cukup luas, yakni Keresidenan Bengkulu.

Masa Muda

Santoso, lahir di Magelang, pada 1920. Mungkin dibawa pindah pamannya ke Kepahiang pada saat masih usia kanak-kanak. Sebagai anak muda, Santoso pun senang bermain musik, sebagai penggesek biola dia bergabung dengan kelompok musik Melayu gamat yang ada di Kepahiang dan orkes kamar yang ada di kota Curup. Bahkan, Santoso muda pun tak ketinggalan untuk ikut pula belajar ilmu bela diri tradisional Rejang, yakni sterlak.

Setelah selesai di Sekolah Kelas 4 di Kepahiang, Santoso bersekolah lagi di Holandsch Inlandsche School (HIS) Taman Siswa di Curup. Sebagai seorang tamatan HIS, untuk masa-masa itu pendidikan yang dicapai Santoso pun cukup tinggi. Setamat HIS dia pun dipercaya menjadi guru bantu HIS Taman Siswa, Curup, kemudian mengajar pula di Sekolah Rakyat Kelas II Rejang Setia, juga di Curup, yang gedung sekolahnya diperkirakan di Jalan Setia Negara, Curup-Rejang Lebong sekarang.

Dengan pendidikan yang cukup tinggi ini, dan berasal dari keluarga terpandang dan kaya, maka Santoso pun, bersama anak-anak muda keluarga kaya dan terpandang lainnya di Gun (istilah Jepang untuk kabupaten/kewedanaan) Rejang Lebong terpilih untuk mengikuti pendidikan militer Giyugun, yang didirikan oleh Militer Kekaisaran Jepang di Pagar Alam. Dari Curup, dia bersama beberapa orang yang kelak menjadi tokoh utama perjuangan revolusi fisik di Rejang Lebong, seperti M. Simbolon (kelak menjadi Komandan TKR Sumatera Selatan), Zainal Arifin Djamil, Zamhari Abidin, Daud Mustafa (kelak menjadi Bupati Rejang Lebong), Burhan Dahri (kelak menjadi Bupati Bengkulu Utara) dan M. Husin, mengikuti pendididikan Giyugun itu.

Lukisan potret Santoso dan Aisyah
dibuat beberapa waktu setelah mereka menikah, 1941
belum diketahui siapa pelukisnya

Santoso Surjaatmadja dan Aisyah

Pada Agustus 1941, Santoso menikah dengan Aisyah, seorang perempuan Kepahiang berdarah Melayu Bengkulu. Orang tua Aisyah bernama Haji Sayuti, dikenal sebagai saudagar tembakau yang sukses, yang dibuktikan dengan dia telah berhasil menunaikan ibadah haji ke Mekah. Mungkin sekali, kemesraan dua sejoli ini telah semakin dieratkan oleh musik, karena selain Santoso yang lincah menggesek biola, Aisyah sendiri ternyata pandai bermain ukulele.

Dari pernikahan itu lahir tiga orang anak bernama Bambang Setiawan (1942), Gunawan (1944) dan Pertiwi (1946). Saat Santoso gugur, Pertiwi masih berusia 7 bulan dalam kandungan. Sepeninggal Santoso, istri dan anak-anak Santoso tinggal di komplek Kodim Rejang Lebong di Kepahiang (Kepahiang saat itu masih menjadi ibu kota Kabupaten Rejang Lebong). Pada 1950, atas permintaan keluarga besar di Jawa, memutuskan kembali ke Semarang. Salah seorang adik Santoso, bernama Mayor Jenderal Abdul Kadir Besar, pada 1965 diangkat menjadi Sekretaris MPRS yang saat itu diketuai oleh Jenderal A.H. Nasution.

Di malam, beberapa waktu sebelum penyerbuan, Santoso menyempatkan diri bertemu dengan keluarganya di Sempiang. Di kursi di ruang keluarga, dia duduk bersama Bambang Setiawan dan Gunawan, dengan meletakkan pedangnya di antara kedua anaknya itu. Saat berangkat, Santoso mengatakan kepada Setiawan: “Bak idak akan balik yo, Nak” (Ayah tidak akan pulang ya, Nak.). Setelah itu dia berangkat meninggalkan rumah sembari melambaikan tangan kepada Setiawan yang masih berusia 3 tahun.

Sepeninggal Letnan Kolonel Santoso, Ibu Aisyah mendapat tunjangan pensiun janda tentara, yang sedikit banyak bisa membantunya untuk membesarkan ketiga orang anak-anaknya dan juga sebagai jaminan di masa tuanya. Namun, melalui Operasi Purna Yudha yang dilaksanakan oleh Operasi Tertib Pusat pada 1982, dengan kurang lengkapnya dokumen-dokumen pendukung mengenai kehidupan dan perjuangan Santoso, tunjangan itu ditangguhkan. Menghadapi situasi ini, maka pihak keluarga melakukan serangkaian upaya banding, dengan tujuan untuk membuktikan bahwa Santoso benar-benar tentara dan gugur dalam perang serta tetap mengukuhkan Aisyah sebagai janda pahlawan. Ikut pula membantu rekan-rekan seperjuangan Letnan Kolonel Santoso yang masih ada, seperti Letkol (Purn.) Daud Mustafa, eks Vandrieg Zainal Arifin dan Letkol (Purn.) Muryadi, tiga orang yang ikut dalam penyerbuan markas tentara Jepang yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Santoso dan menjadi saksi mata gugurnya komandan mereka itu. Upaya banding ini didukung pula oleh Jenderal (Purn.) A.H. Nasution dan Mayjen (Purn.) Abdul Kadir Besar. A.H. Nasution sendiri, secara pribadi mengenal Santoso secara baik dan pernah bersama menjadi guru HIS Taman Siswa di Bengkulu, pada 1937. Termasuk juga Kapten Suwito, kakak ipar Santoso, ikut memberikan pernyataan hadir dan menyaksikan pernikahan Santoso dan Aisyah, di Kepahiang, Agustus 1941. Upaya-upaya itu pun membuahkan hasil, pada 1983 tunjangan janda tentara untuk Ibu Aisyah pun dipulihkan kembali hingga akhir hayatnya, 1995 lalu.

Makam Letnan Kolonel Santoso di Pemakaman Umum di Kota Kepahiang
Akan segera dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kabupaten Kepahiang yang baru dibangun

Gugurnya Letnan Kolonel Santoso

Pada 22 November 1945, sekitar pukul 15.00 Letnan Kolonel Santoso, yang mengenakan kain sarung pelekat berwarna hitam, berbaju jas pelekat putih dan berkopiah hitam, tiba di Curup bersama Muryadi Priatmo, dengan membawa 4 senapan hambur (Geweer M.95 Steyr Hembrug) yang masing-masing berisikan 10 butir peluru. Letnan Kolonel Santoso memberikan perintah kepada Komandan TKR Kompi Curup, Zainal Arifin Djamil, agar menyiapkan pasukan yang siap ber-“jibakutai” untuk menyerang markas Jepang di Padang Ulak Tanding. Anggota-anggota pasukan yang berhasil dikumpulkan saat itu adalah Nawawi Bahusin, Parijo, Hasan, Husen, Muhammad Idris, Syarif, Ansoriana, Zainuddin, Bukari Yakub dan Buyung Efendi, yang sebagian besar sama sekali belum pernah mendapatkan dasar-dasar kemiliteran.

Namun, Letnan Kolonel Santoso kemudian menginstruksikan jika rencana penyerangan ke Padang Ulak Tanding dibatalkan dulu. Santoso kemudian meminta Rahman Rahim menemaninya ke Kepahiang, sementara Zainal Arifin Jamil diperintahkan untuk bersiap-siap saja di kota Curup, namun Rahman Rahim menolak. Rencana ke Kepahiang pun dibatalkan.

Saat melewati kantor telepon dan telegraf (di Jalan Kartini, Curup, sekarang), Santoso menyatakan kembali akan membawa pasukan ke Kepahiang, dengan tujuan yang tidak dijelaskannya kepada pasukan. Zainal Arifin Djamil diperintahkan untuk menelepon Komandan TKR Kompi Kepahiang, Zamhari Abidin, untuk bersiap. Atas perintah ini, Zamhari Abidin menjadi bingung, bersiap untuk apa.

Pertanyaan ini segera disampaikan oleh Arifin Jamil kepada Letnan Kolonel Santoso, yang kemudian tidak memberikan jawaban apa-apa, namun justru memerintahkan agar segera keliling kota Curup dahulu, selanjutnya menjelang malam berangkat ke Kepahiang.

Dengan mengendarai sebuah bus yang dikendarai oleh Buyung Efendi, pasukan kecil itu tiba di Kepahiang sekitar pukul 22.00 dan berhenti di Kampung Pensiunan. Kepada anggota-anggota pasukan diperintahkan untuk berjalan-jalan dulu di Kepahiang, yang memang malam itu kebetulan sedang diselenggarakannya bazar/pasar malam. Hanya saja diperintahkan bahwa pukul 00.00 berkumpul kembali. Sementara Santoso mengajak Muryadi pulang sebentar ke rumah keluarganya di Sempiang.

Pukul 00.00, 23 November 1945, seperti yang telah diinstruksikan, maka pasukan berkumpul kembali. Saat itulah Letnan Kolonel Santoso yang mengenakan sarung berwarna putih, jas pelekat putih dan berikat kepala putih, baru mengatakan rencananya, yakni menyerang markas tentara Jepang.

Sempat terjadi perdebatan kecil atas rencana Santoso tersebut, mengingat pasukan tidak memiliki persiapan senjata yang memadai untuk melakukan peperangan. Namun, Santoso tetap bertekad akan melaksanakan penyerangan dan memerintahkan Vandrieg Zainal Arifin Djamil untuk segera menghubungi Komandan TKR Kepahiang, Vadrieg Zamhari Abidin.

Menerima perintah yang begitu mendadak itu, Vadrieg Zamhari Abidin bingung bagaimana cara mengumpulkan dan mengkonsolidasi pasukan di tengah malam seperti itu, karena memang tidak ada instruksi untuk penyerangan yang diterimanya. Sementara, demi menghindari konflik dengan tentara Jepang, TKR Kepahiang sendiri tidak bermarkas di Kepahiang, melainkan di Daspetah, sekitar 3 km dari Kepahiang.

Akhirnya dalam waktu yang sangat sempit itu terkumpul sedikit anggota TKR Kepahiang yang hanya bersenjatakan senjata tradisional dan bambu runcing. Ikut bergabung untuk penyerangan itu beberapa orang rakyat dari Dusun Tebat Monok dan Dusun Kelobak. Salah seorang yang memenuhi perintah Zamahari Abidin adalah Lamsam, pemuda keturunan Tionghoa, sahabat dekat Santoso sejak muda (Kisah tentang Lamsam ini, lihat tulisan lain di blog ini yang berjudul Baba Lamsam: Patriot Tionghoa Kepahiang).

Letkol. Santoso juga memerintahkan kepada Zamhari Abidin untuk mengirim kurir ke Pasirah Merigi di Daspetah dan penggawa Pasirah bernama Sedin di Dusun Suro. Kepada orang dua ini diminta untuk menyiapkan brikade-brikade penghalang di jalan, untuk menghalangi pasukan Jepang dari arah Curup atau melakukan pengejaran pasca pertempuran ke arah Curup. (Tentang pertempuran di Dusun Suro, lihat tulisan lain di blog ini yang berjudul Perang Terbuka Rakyat di Suro)

Pukul 02.00 terdengar lonceng pergantian jaga di markas Jepang. Saat itulah dijadikan tanda penyerangan untuk dimulai. Pasukan kecil gabungan TKR Kompi Curup, TKR Kompi Kepahiang dan rakyat segera menyerang sasarannya. Serangan mendadak yang sama sekali tidak diduga oleh Jepang itu berhasil melumpuhkan 3 orang tentara Jepang.

Hanya dengan kekuatan 4 senapan hambur, 4 senapan arisaka hasil pencurian di markas Jepang di Curup, dan 2 pestol, yang dipegang oleh Letnan Kolonel Santoso dan Vandrieg Zainal Arifin Djamil, serta tanpa cadangan amunisi, serangan dari pihak TKR dan rakyat Kepahiang pun tidak berlangsung lama. Sementara pasukan Jepang sendiri, dengan adanya pemindahan kompi senapan nakani-tai dari Bengkulu ke Kepahiang, terjadi penambahan kekuatan, yang sebelumnya hanya berupa kesatuan peleton telah menjadi kesatuan hingga 1 kompi, serta sangat kuat dalam hal persenjataan.

Ketika serangan TKR berhenti, karena kehabisan peluru, terdengar pekikan “Indonesia Merdeka! Maju!”. Letnan Kolonel Santoso melompat maju menyerang dengan membawa pedang. Setelah melumpuhkan beberapa orang tentara Jepang dengan pedangnya, dalam jarak dekat 2 senapan mesin Jepang menyalak serentak, menghujani sosok itu dengan peluru yang menyebabkannya roboh dan gugur di depan markas Jepang. Pertempuran pun kemudian berhenti dengan sendirinya, keadaan menjadi sangat sepi. TKR Kepahiang dan TKR Curup mundur dan berkoordinasi kembali di Kampung Pensiunan.

Sebelum mundur ke Tebat Monok, Zamhari Abidin meminta kepada TKR Curup untuk segera kembali ke Curup, agar tidak terjadi kecurigaan tentara Jepang yang bisa saja akan melakukan aksi pembalasan ke kota Curup. TKR Kepahiang yang akan bertanggung jawab untuk peristiwa penyerangan malam itu dan akan mengurus jenazah Letnan Kolonel Santoso. Sementara di pihak Jepang sendiri, setelah penyerangan malam itu segera melakukan stelling pasukan di Lapangan Lupis (Taman Santoso hari ini) untuk menjaga arah-arah dari Pagar Alam, Bengkulu dan Curup.

Pagi harinya, Komandan Kompi Militer Jepang, Letnan Yamada, memanggil Zamhari Abidin untuk meminta keterangan atas serangan tadi malam. Zamhari Abidin mengatakan jika TKR tidak tahu apa-apa dan tidak terlibat dalam serangan itu. Dengan memperhatikan kondisi TKR Kepahiang yang memang tidak begitu kuat, keterangan itu dipercaya oleh Letnan Yamada. Komandan kompi tentara Jepang itu menyimpulkan, bahwa serangan itu dilakukan langsung oleh TKR Bengkulu. Kepada Zamhari Abidin, Letnan Yamada meminta bantuan untuk tetap bersama-sama menjaga keamanan dan ketenangan Kota Kepahiang.

Oleh tentara Jepang, jenazah Letnan Kolonel Santoso dipindahkan ke dalam markas mereka. Pagi itu juga, dengan diantar oleh Zamhari Abidin, Bapak Abdul Rahman (kakak Haji Sayuti, mertua Santoso) dan beberapa orang dari pihak keluarga lainnya melakukan perundingan dengan pihak Jepang untuk meminta jenazah Letnan Kolonel Santoso. Baru esok paginya permintaan itu dipenuhi oleh Jepang. Saat membawa jenazah itu ke rumah keluarga Santoso di Sempiang (Pasar Ujung, sekarang), pihak militer Jepang pun bahkan ikut juga berbaris mengantarkan.

Karena luka-luka yang telah merusak bagian punggung, jenazah Letnan Kolonel Santoso tidak memungkinkan untuk dimandikan. Pertimbangan keluarga juga, Letnan Kolonel mati syahid, gugur sebagai syuhada yang berjuang melawan penjajah, jadi tak perlu dimandikan. Dia dikafani masih dalam pakaian saat gugur. Setelah disholatkan, jenazahnya diantarkan untuk dikebumikan di pemakaman umum di pinggiran kota Kepahiang (Pemakaman Umum Pasar Ujung Sekarang). Pihak Jepang kembali pun ikut pula mengantar dan mengawal jenazah ke pemakaman, juga kemudian memberikan penghormatan militer.

Kepada militer Jepang, pihak keluarga meminta pedang Letnan Kolonel Santoso yang disita saat gugur untuk dikembalikan. Ternyata pihak Jepang tidak berkeberatan mengembalikan pedang itu. Dengan sebuah upacara kecil setelah pemakaman, pedang itu kemudian diserahkan kepada keluarga, yang diterima oleh Bambang Setiawan, anak pertama Letnan Kolonel Santoso yang masih berusia 3 tahun. Saat menyerahkan pedang, kepada Setiawan, Komandan Militer Jepang mengatakan, “jika seluruh orang Kepahiang seperti ini, maka Jepang sudah lama habis di Kepahiang ini”.

Pedang Letnan Kolonel Santoso Suryaatmaja
(Saat ini tersimpan di rumah Ibu Sri Pertiwi, anak bungsu Letkol Santoso, di Jakarta)

OBITUARI LETNAN KOLONEL SANTOSO SURJAATMADJA

Nama :
SANTOSO SURJAATMADJA BIN KUSUMAATMADJA

Lahir :
1920 (?), di Magelang

Pekerjaan:
Guru Bantu di Perguruan Taman Siswa, Curup
Guru di Sekolah Rakyat Rejang Setia, Curup
Komandan TKR Sub Teritorium Keresidenan Bengkulu

Pangkat Terakhir:
Letnan Kolonel

Pendidikan
Sekolah Rakyat Kelas 4, Kepahiang
Hollandsch-Inlandsche School (HIS), Curup
Pendidikan Semi-Militer Giyugun, Pagar Alam

Wafat/Gugur:
23 November 1945, di Kepahiang

Ayah:
Kusumaatmadja, Asisten Wedana Kaliangkrik, Magelang, Jawa Tengah. Domisili Terakhir di Tuguran, Magelang, Jawa Tengah.

Ibu:
Siti Rohaya, Asal Solo Jawa Tengah

Saudara-Saudara
Anak ketiga dari 7 bersaudara
1. Siti Suwarni
2. Siti Sumaliah
3. Santoso Surjaatmadja
4. Siti Sumarti
5. Soeseno
6. Siti Sumari
7. Abdulkadir Muhammad Besar

Isteri:
Aisyah Binti Haji Sayuti, Lahir di Kepahiang. Pernikahan Agustus 1941. Wafat di Jakarta, 26 Maret 1995

Anak-Anak:
  1. Dr. Bambang Setiawan: pensiunan Dosen Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada, berdomisili saat ini di Yogyakarta
  2. Prof. Dr. Gunawan Santoso, M.Pd.: Pensiunan Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Saat ini masih aktif sebagai Dosen Pascasarjana di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta. Domilisi sekarang di Bantul, Yogyakarta.
  3. Dra. Sri Pertiwi, MM. : Pensiunan Pegawai Pertamina, berdomisili saat ini di Jakarta
9 cucu dan 17 cicit

Perspektif

Ditengarai bahwa semua keragu-raguan dalam perencanaan dan tindakan penyerangan terhadap tentara Jepang oleh Letnan Kolonel Santoso hingga gugurnya beliau di Kepahiang, adalah diakibatkan masih begitu minimnya pengetahuan dan pengalaman yang bersangkutan dalam dunia militer. Sangat diragukan kedatangan Letnan Kolonel Santoso hanya dengan seorang ajudannya ke Curup adalah memang untuk melakukan penyerangan terhadap tentara Jepang yang ada di Padang Ulak Tanding, kemudian diubahnya tujuan, yakni ke Markas Tentara Jepang di Kepahiang.

Tanpa atribut militer dengan tanpa pula pengawalan selayaknya untuk seorang perwira dan komandan sebuah batalyon untuk sebuah keresidenan, hanya dengan berpakaian biasa (bersarung pelekat, jas dan berkopiah) dan hanya membawa Muryadi yang merupakan kerabatnya, Letnan Kolonel Santoso dari Bengkulu memang bertujuan untuk pulang dan mengunjungi keluarganya di Kepahiang.

Ada dugaan, keberangkatan Santoso itu tidak banyak diketahui oleh batalyonnya di Bengkulu. Perasaan nasionalisme pada diri orang muda yang kemungkinan tanpa pertimbangan yang matang menimbulkan perubahan niat pada diri Santoso, dari niat untuk mengunjungi keluarga menjadi niat untuk menyerang tentara Jepang.

Referensi:
Soewandi, Emong. Perjuangan Rakyat Kota Curup. Curup: Pemda Kabupaten Rejang Lebong, 2000

----------------------. Kepahiang Di Lintas Waktu, Mereka yang Dikenang dan Tak Dikenal, Tribute to Letnan Kolonel Santoso dan Mayor Salim Batubara. Kepahiang: Pemkab Kabupaten Kepahiang, 2021.


Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "PAHLAWAN KEPAHIANG: LETKOL. SANTOSO SURJAATMADJA"