CERITA RAKYAT REJANG: BATU AMPARAN GADING
![]() |
Ilustrasi, by AI |
Pada zaman dahulu, di sebuah kerajaan nan damai, hiduplah seorang Raja Muda bersama istrinya, Putri Gani, dan dua anak mereka. Putri Gani adalah perempuan yang lembut dan penuh kasih sayang, sementara kedua anak mereka, seorang kakak laki-laki dan adik perempuan, tumbuh dalam kebahagiaan.
Di halaman istana terdapat sebuah batu besar berwarna kuning gading, datar permukaannya, yang dikenal dengan nama Batu Amparan Gading. Batu ini menjadi tempat favorit keluarga kerajaan untuk bersantai.
Kesedihan Raja Muda
Namun, kebahagiaan mereka tak berlangsung selamanya. Suatu hari, Putri Gani jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Kesedihan menyelimuti istana, terutama bagi Raja Muda dan kedua anaknya."Ayah, apakah ibu akan kembali?" tanya si adik dengan suara lirih.
Raja Muda mengelus kepala putrinya dengan lembut. "Ibu sudah pergi ke tempat yang lebih baik, Nak. Tapi Ayah akan selalu ada untuk kalian."
Meski berat, Raja Muda tahu bahwa anak-anaknya membutuhkan sosok ibu. Ia pun menikah kembali dengan seorang putri dari Hulu Sungai.
Kehidupan Baru yang Kelam
Pada awalnya, ibu tiri mereka bersikap baik. Ia tersenyum kepada anak-anak dan berpura-pura menyayangi mereka. Namun, lama-kelamaan sikap aslinya mulai terlihat. Ia mulai sering memarahi mereka, bahkan membiarkan mereka kelaparan."Ibu, apakah kami bisa makan dulu?" pinta si kakak dengan sopan.
Sang ibu tiri mendelik tajam. "Makanan tidak jatuh dari langit! Kalau lapar, cari sendiri!"
Setiap kali Raja Muda pergi, perlakuan ibu tiri semakin kasar. Kedua anak itu hanya bisa bertahan dengan sabar.
Suatu hari, perut mereka sangat lapar. Si kakak berinisiatif untuk mencari makanan.
"Adik, tunggulah di sini sebentar. Kakak akan mencari makanan," katanya.
"Baik, Kak. Aku akan menunggu," jawab adiknya dengan lemah.
Si kakak berjalan ke tempat orang menumbuk padi dan meminta serpihan beras untuk makanan ayam.
"Ibu, bolehkah saya meminta sedikit serpihan padi untuk ayam saya?" tanyanya.
Wanita tua yang menumbuk padi tersenyum iba. "Ambillah, Nak. Semoga cukup untuk mengganjal perutmu."
Dengan hati gembira, si kakak memasukkan serpihan itu ke dalam bumbung dan kembali ke istana. Dalam perjalanan, ia menangkap seekor bengkarung dan mengumpulkan bunga dadap sebagai mainan untuk adiknya.
Setibanya di istana, mereka duduk di atas Batu Amparan Gading dan mulai bermain. Namun, tak lama kemudian ibu tiri pulang. Melihat remah-remah di batu, ia langsung menuduh mereka mencuri makanan.
"Anak-anak kurang ajar! Kalian mencuri makanan dari dapur, bukan?" bentaknya.
"Tidak, Bu! Kami hanya bermain di sini!" jawab si kakak.
Namun, ibu tiri tidak peduli. Ia memukuli mereka dengan kasar.
"Hukuman ini pantas untuk pencuri kecil seperti kalian!" katanya sambil mencerca mereka habis-habisan.
Mereka menangis kesakitan, tapi tak ada yang membela. Setelah puas, ibu tiri meninggalkan mereka terbaring di atas batu. Dalam kelelahan, keduanya pun tertidur.
Saat terbangun, si kakak melihat adiknya masih terlelap. Kesedihan menyelimuti hatinya.
"Ayah tidak tahu apa yang terjadi pada kami... Ibu sudah tiada... Siapa lagi yang akan menyelamatkan kami?" bisiknya lirih.
Dengan air mata berlinang, ia melantunkan sebuah ratapan:
Entak-entak bumbung seruan
Meninggilah Batu Amparan Gading
Mak dan Bapak buruk makan
Kami hendak pulang ke langit kuning
Seiring dengan itu, Batu Amparan Gading mulai meninggi! Si kakak terkejut, namun ia terus mengulang ratapannya. Setiap kali ia mengucapkan bait-baitnya, batu semakin naik.
Raja Muda yang baru kembali dari perjalanan melihat kejadian aneh itu.
"Apa yang terjadi?! Mengapa Batu Amparan Gading meninggi?!" serunya panik.
Ia segera memanggil seluruh rakyat untuk membantu menurunkan anak-anaknya. Mereka mencoba berbagai cara—memanjat, menghancurkan batu, bahkan menariknya—tetapi sia-sia.
Batu Amparan Gading terus meninggi hingga lebih tinggi dari istana. Raja Muda hanya bisa terduduk pasrah.
Anak-anak itu terus naik hingga mencapai pintu langit. Namun, pintu tersebut tertutup rapat.
"Bagaimana kita bisa masuk?" tanya si adik ketakutan.
Saat itulah, seekor burung garuda besar terbang melintas.
"Burung garuda, tolong kami membuka pintu langit!" pinta si kakak.
"Apa yang bisa kalian berikan sebagai imbalan?" tanya garuda.
Si kakak mengeluarkan sebumbung melukut yang ia bawa. "Kami akan memberimu ini."
Burung garuda mengangguk dan mematukkan paruhnya ke pintu langit. Perlahan, pintu terbuka. Dengan penuh harapan, kedua anak itu melangkah masuk.
Saat mereka menghilang di balik pintu langit, Batu Amparan Gading perlahan kembali ke tempat semula.
Raja Muda hanya bisa menatap kosong. Ia kehilangan anak-anaknya karena kealpaan sendiri. Hanya batu itu yang kini menjadi saksi bisu atas keburukan istrinya.
Sejak saat itu, Batu Amparan Gading menjadi simbol keajaiban dan keadilan bagi rakyat di kerajaan itu. Cerita ini diwariskan turun-temurun sebagai pengingat bahwa kezaliman tidak akan pernah bertahan selamanya.
Post a Comment for "CERITA RAKYAT REJANG: BATU AMPARAN GADING"
Berkomentarlah dengan bijak. Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus