HAZAIRIN: PERJALANAN MENUJU BENGKULU
Prof. Dr. Mr. Hazairin |
Pasukan M. Panggabean Mengawal Putra Terbaik Bengkulu
Ini adalah cuplikan dari buku M. Panggabean, Jenderal Dari Tano Batak, yang diterbitkan oleh Dinas Sejarah Angkatan Darat, 2011, hal. 47-48. Dalam buku ini dikisahkan, bagaimana jalan-jalan yang mereka lalui menuju Bengkulu penuh dengan lumpur dan lubang-lubang besar. Tidak kalah sulitnya ialah soal perbelanjaan dan angkutan selama perjalanan, sehingga dituntut adanya ketegasan, keberanian, improvisasi dan kesabaran untuk melaksanakan tugas. Pasukan yang kemudian bernama Pesindo Sibolga Julu, yang dibentuk dan dipimpin oleh M. Panggabean ini memiliki persenjataan yang baik dan kemampuan tempur yang memadai, sehingga dipercaya untuk mengawal seorang pejabat negara, Prof. Dr. Mr. Hazairin.
***************************************
Maraden Saur Halomoan Panggabean, Jenderal TNI (Purn.) (29 Juni 1922 – 28 Mei 2000) adalah salah seorang tokoh militer penting Indonesia. Menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan dalam Kabinet Pembangunan II serta Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dalam Kabinet Pembangunan III. Selanjutnya pada tahun 1983—1988, Maraden menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) (wikipedia).
**************************************
Perjalanan tercepat dari antar kota di Sumatera pada waktu itu adalah melalui laut, sebagaimana juga ke Bengkulu. Namun, dikuatirkan adanya hambatan dari pihak militer Jepang, serta wilayah lautan sendiri dalam ancaman kapal-kapal perang pihak Sekutu yang telah menang perang atas Jepang, maka perjalanan via laut tidak mungkin dilakukan. Hazairin pun harus menempuh perjalanan panjang via darat secara rahasia dengan pengawalan ketat oleh pasukan khusus dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Dari kisah ini juga, bisa dilihat bagaimana pentingnya kedudukan dan jabatan Hazairin, sehingga harus mendapat pengawalan ketat untuk perjalanan rahasia. Dia telah menjadi target Jepang, atau pihak-pihak lain yang ingin mengacaukan suasana kemerdekaan Indonesia, yang baru beberapa bulan sebelumnya diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta. Dalam suasana Indonesia masih belum memiliki organisasi ketentaraan yang baik, di satu sisi masih harus menghadapi militer Jepang dan anasir-anasir pro Belanda di sisi lainnya, ternyata masih tetap mampu memberikan pengawalan terbaik bagi pejabat negara.
Hazairin menggantikan Indra Caya sebagai Residen Bengkulu, Provinsi Sumatera Selatan, pada Januari 1946. Indra Caya sendiri yang pada waktu itu merupakan residen darurat selanjutnya menjalankan tugas sebagai wali negeri Sumatera Selatan di Bengkulu.
Pohon Terbaik Itu Tumbuh di Bengkulu
Jenjang pendidikan Hazairin ditempuh dari H.I.S Bengkulu, 1920, kemudian ke MULO di Padang, 1924. Selesai itu, dia melanjutkan pendidikan ke AMS di kota Bandung, 1927. Hazairin kemudian melanjutkan pendidikannya di Rechtshoogschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum Jakarta) yang sekarang di kenal dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada Tahun 1935.
Ia mendapatkan gelar Doktor dalam bidang ilmu hukum pada 1936. Buku "De Redjang", sebagai disertasi doktornya masa-masa berikutnya menjadi sebuah buku yang begitu fenomenal, merupakan buku tentang hukum adat pertama yang ditulis oleh pribumi Indonesia. Untuk menyelesaikan disertasi dan bukunya itu, dia sungguh beruntung telah dibimbing oleh Mr. B. Ter Haar, seorang ahli hukum adat yang telah memiliki reputasi akademik internasional di bidang hukum.
Jabatan yang pernah diembannya adalah Asissten Dosen Hukum Adat dan Etnologi di Rechtshoogschool te Batavia, 1935-1938, Hakim Pengadilan Sindepuan, dan Penyidik Hukum Adat di Tapanuli, 1938-1942, Kepala Pengadilan Negeri Tapanuli, berkedudukan di Padang Sindepuan, 1943-1945, Bupati Tapanuli Selatan (Bupati Pertama setelah Proklamasi) berkedudukan di Padang Sindepuan, 1945-1946.
Saat menjabat sebagai kepala Pengadilan Negeri Padang Sidempuan, 1938-1945, Hazairin aktif melakukan penelitian terhadap hukum adat Tapanuli Selatan. Atas jasa-jasanya itu, masyarakat adat di Tapanuli Selatan mengangkatnya sebagai bangsawan kehormatan dengan gelar Pangeran Alamsyah Harahap.
Pada masa pemerintahan Jepang ia diangkat sebagai Penasehat Hukum pada penguasa Jepang, 1942-1945. Setelah Indonesia merdeka ia menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Tapanuli Selatan, merangkap Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI), anggota pemerintahan Tapanuli, Asisten Residen, dan Kepala Luhak, 1945-1946. Pada 1946 ia dipromosikan sebagai Residen Bengkulu, merangkap Wakil Gubernur Militer Sumatera Selatan.
Oeang Hazairin
Pada 2 Desember 1946, Gubernur Sumatra Mr. Teuku Muhammad Hasan mengeluarkan Maklumat Nomor 20, Tanggal 2 Desember 1946, yang isinya menyatakan berlakunya Oeang Republik Indonesia (ORI) sebagai alat tukar yang sah di Sumatera, dengan perbandingan kurs satu rupiah ORI sama dengan seratus rupiah uang Jepang. Keputusan ini diambil, mengingat di Sumatera, uang Jepang masih sangat banyak beredar dan dipakai sebagai alat transaksi.
Permasalahan lain yang timbul, ORI dicetak sangat terbatas dan hanya di Pulau Jawa. Untuk mengatasi hal ini, dengan persetujuan Menteri Keuangan RI, Mr. Syafruddin Prawiranegara, Pemerintah Provinsi Sumatra dapat mencetak uang sendiri. Mengingat situasi yang tidak memungkinkan untuk melakukan pendistribusian uang kertas ke daerah-daerah, Gubernur Sumatera memberikan kewenangan kepada tiap-tiap Residen untuk mencetak uang.
Berdasarkan keputusan ini, Hazairin sebagai Residen Bengkulu mengeluarkan kebijakan untuk mencetak surat mandat pembayaran. Surat mandat ini diterbitkan oleh Panitia Makanan Rakjat (PMR) merupakan turunan dari ORI, berlaku sebagai perintah bayar kepada Kas Negara, bersifat sementara dan hanya berlaku di Keresidenan Bengkulu serta sewaktu-waktu dapat dinyatakan tidak berlaku lagi. Denominasi yang diberlakukan adalah 50, 100, 250, 500 dan 1000 rupiah.
Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan yang telah pindah dari Palembang ke Curup, pada 1 Agustus hingga Desember 1947 menerbitkan uang resmi Oeang Repoeblik Indonesia Propinsi Soematera Selatan (ORIPS). Uang ini dicetak di ibu kota Provinsi Sumatera Selatan, Curup. Dengan terbitnya uang ORIPS ini, maka terhitung mulai 1 Agustus 1947, Oeang Hazairin mulai ditarik dari peredaran. Pada 1 Desember 1947, Oeang Hazairin dinyatakan tidak berlaku lagi.
Oeang Hazairin, 1000 roepiah, dicetak di Bengkulu (foto: koleksi pribadi) |
Oeang Hazairin, 500 roepiah, dicetak di Bengkulu (foto: koleksi pribadi) |
Referensi:
Hazairin. Der Redjang. Bandung: A.C. Nix & Co. 1936.Israr, HIkmat dkk. M. Panggabean, Jenderal Dari Tano Batak. Bandung: Dinas Sejarah Angkatan Darat. 2011Yuarsa, Feris. Mohamad Isa, Pejuang Kemerdekaan Yang Visioner. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2016Soewandi, Emong. Perjuangan Rakyat Kota Curup. Curup: Pemda Rejang Lebong. 2000
Post a Comment for "HAZAIRIN: PERJALANAN MENUJU BENGKULU"
Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus