Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DIALOG ORANG TINDUNG”

Makalah yang disampaikan pada Seminar Sastra dan Peluncuran Antologi M. Arfani, di Universitas PGRI, Palembang, 08 April 2013.



“aku kembali
saat langkah enggan kugerakkan
diantara sepiku yang menyusun kenangan
atas dirimu yang tak dapat aku genggam”
(aku kembali)

Saat menerima undangan untuk menjadi pembicara, saya pribadi tidak serta merta bersiap diri, mengumpulkan bahan-bahan atau membaca-baca karya Arfani. Saya yakin dengan kedekatan hubungan, saya bisa banyak menulis tentang orang ini. Karena itu, maka saya pun masih tenang-tenang saja dan belum mulai menulis walau hari keberangkatan saya ke Palembang semakin dekat. 3 hari lagi, saya masih tenang, 2 hari lagi saya masih tenang, 1 hari lagi, saya masih tenang, hingga malam terakhir saya berada di kota saya, saya perlahan mengakui, kalau saya tidak tahu akan menulis apa tentang Arfani.
Tepatnya: saya tidak tahu apa-apa tentang M. Arfani!
Jika hilang, orang ini tidak punya tanda dan meninggalkan alamat, dan jika berhadapan, orang ini tidak memakai ID card. Akhirnya, saya menjadi tidak yakin, jika orang yang bernama Arfani ini adalah orang yang bersama-sama saya pagi tadi, orang yang menemani saya minum kopi pagi tadi.
Jangan-jangan dia itu adalah “seseorang” yang hanya memakai topeng berwajah Arfani. Barangkali saja yang di balik topeng itu ternyata adalah Nietszhe. Mungkin di balik topeng adalah Sartre, Albert Camus. Bisa jadi di balik topeng itu adalah Sania, atau Fikri, atau Bang Toyib mungkin, bahkan mungkin juga di balik topeng itu ternyata adalah saya sendiri.
Dalam rentang 2007 hingga 2011, melalui “Dialog yang Tersulut Api” (untuk selanjutnya akan disingkat menjadi Dialog), saya belum berhasil menyusun puzzle hingga terbentuk wajah sejati M. Arfani. Ada saja yang tidak cocok, ketika saya merasa telah berhasil menemukan mozaik pengalaman atau detail ekspresi untuk kemudian dikoherensikan dengan kepingan yang lain.
Bisa jadi juga, situasi ini adalah esensi dari antologi itu, seperti yang diisyaratkan sendiri oleh penyairnya, sebagaimana yang ditulisnya pada cover belakang antologi itu.

Pecahlah semua cermin menjadi badai
Pada setiap lembah, hingga sesaat
Kemudian membentang oleh keinginan
Yang patah dan terlempar begitu saja
Akan semua ketidak pastian
Yang tertanan pada setiap lelah yang terlelap
Akan setiap yang berkunjung
Di malamnya, tak lagi bermimpi
Tentang musafir terdiam
Tanpa kata di setiap lembaran-lembaran kisah
Menjadi akhir semua sepi yang terlontarkan

Emmanuel Levinas pernah mengatakan, jika wajah (face) adalah dunia makna tanpa-konteks. Ini artinya, bahwa wajah bukan untuk dilihat, karena jika hanya dilihat, maka wajah hanya akan menampilkan ekspresi multivisioner. Anda bisa saja mengartikan sebuah wajah yang akan berbeda dengan pengertianku atau dengan orang-orang lainnya.
Pada wajah berkumpul kulit, daging, urat, ada keringat, ada jerawat, mata, bibir, alis dan lain sebagainya. Kita tidak bisa mengenali seseorang hanya bedasarkan satu bagian saja, sebaliknya kita bisa mengenali wajah orang lain dengan cara mengumpulkan detail-detailnya.
Apa yang dikatakan oleh Levinas ini saya temukan pembenarannya pada Dialog. Antologi ini adalah teks yang tidak punya konteks, di mana episode-episode yang berdiri sendiri. Atau dalam bentuk morfologi lain, antologi ini adalah potongan-potongan puzzle di mana kita tidak akan bisa berharap akan menemukan kepingan-kepingan yang sesuai untuk dipertemukan.
Dialog adalah dialektika tanpa tesis dan antitesis, tapi ada sintesis, yakni tindung.
Anda tahu apa itu tindung?
Karena itu, saya tidak begitu yakin, jika antologi ini adalah wajah Arfani. Justru semakin lama menyimak dan menyelaminya yang kita temukan adalah wajah kita sendiri!
Terakhir:
Saya selalu percaya jika kita tidak akan pernah memilih untuk menjadi kesepian, tapi bagaimana jika justru sepi itu yang memilih kita. Berdasarkan hal ini, maka barangkali saja sepi dengan bahagia telah memilih Arfani untuk menjadi warga terbaik di kerajaan kesendirian.

Palembang, April 2013
Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "DIALOG ORANG TINDUNG”"