Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MENUMPANG MENONTON TELEVISI

Ilustrasi

Televisi Barang Mewah

Ada empat rumah yang aku ingat yang awal-awal punya pesawat televisi di Dwi Tunggal dulu. Empat rumah ini aku catat, karena tiga di antara adalah tempat yang paling sering aku menumpang menonton. Rumah-rumah itu adalah: rumah Pak Hanafi, rumah Mbah Sarimin, rumah Om Anwar Djidin dan rumah Pak Dachil.

Tentu saja ada rumah-rumah lain yang mungkin sudah memilikinya, tetapi aku tidak begitu tahu. Kawan-kawanku anak Pak Rahman Tarkus tak pernah kutemui bersama-sama kami menonton televisi, maka ada kemungkinan mereka sudah punya televisi sendiri.

Juga seperti rumah-rumah di Dwi Tunggal ujung, ada beberapa keluarga dari kondisi status sosialnya sangat memungkinkan untuk sudah punya televisi. Tercatat di ujung, itu misalnya saja ada Pak Sulaiman Efendi, yang masa-masa berikutnya adalah walikota Kotamadya Bengkulu. Tetapi ini tidak akan aku ceritakan, hal utamanya karena aku sendiri jarang main ke wilayah ujung ini. Apalagi malam, untuk nonton televisi misalnya, siapa yang mau. Walaupun jarak rumahku dengan rumah-rumah di ujung ini tidak begitu jauh, tetapi pada malam hari jalan yang harus ditempuh gelap gulita, belum ada penerangan listrik, di kiri kanan juga masih berupa semak belukar yang menyeramkan.

Bagaimana bentuk televisi pertama kali aku lihat adalah di rumah Wak Fabil, kakak sepupu ayah di Tanjung Karang, Lampung. Saat itu kalau tidak salah usiaku baru aku jalan 5 tahun. Wak Fabil tentu saja punya televisi, karena dia memang orang kaya, dia seorang Dekan di FKIP Universitas Lampung. Tidak ada orang yang tidak kaya yang bisa punya televisi waktu itu, karena televisi saat itu memang merupakan barang mahal. Tidak ada yang bisa benar-benar kutonton waktu itu, karena kerap lemahnya sinyal relay TVRI dari Jakarta, maka yang aku lihat waktu itu hanyalah layar yang dipenuhi semut.

Di Curup, aku kembali pertama kali melihat televisi di rumah Pak Hanafi, di Dwi Tunggal atas. Waktu itu, sekitar jam 5 sore, aku diajak kawan-kawan untuk melihat televisi. Di rumah Pa Hanafi itu, acara televisi belum lagi dimulai, masih lama bahkan, tetapi aku dan anak-anak kecil lainnya telah bergerombol di depan jendela. Oleh Ibu Hanafi kami kemudian disuruh pergi bermain saja dulu, karena memang sebenarnya acara televisi baru akan dimulai pada pukul 7 sore.

Selanjutnya, jika aku menginap di rumah andung (nenek), maka aku biasanya akan menumpang menonton televisi di rumah Mbah Sarimin. Sebelum masuk Isya, andung atau datuk (kakek) akan menjemputku untuk pulang. Jadi, waktu menontonku tidak lebih dari 1 jam.

Tempat yang paling sering aku menonton televisi, dan sekaligus juga tempat dengan jumlah penonton terbanyak di Dwi Tunggal adalah di rumah Om Anwar Djidin. Posisi rumah sendiri memang cukup strategis, berada di simpang jalan, dan hampir-hampir berada di pertengah Dwi Tunggal. Juga ditambah dengan Om Anuar Jidik dan Makdang (istri Om Anwar Djidin biasa aku menyapanya) sendiri merupakan sosok yang ramah dan terbuka, maka jadilah rumah mereka menjadi “gedung bioskop” yang akan didatangi orang dari segala lapisan masyarakat di Dwi Tunggal, untuk menonton televisi.

Di sebuah ruang tengah yang cukup luas, semua penonton yang umumnya dominasi anak-anak kecil dan tanpa pernah bayar itu duduk di lantai dengan tertib dan mengarahkan mata ke layar televisi 21 incih, menyaksikan acara demi acara di televisi yang berwarna hitam putih itu. Biasanya aku duduk bersama gank-ku, yang terdiri atas Jon, Amran, Gimin, Dedi Basrin dan Didi (Ah, kecuali Gimin yang masih sering temu, yang lain entah di mana kini)

Pesawat telepon lama

Sesekali saat tengah asyik menonton, volume suara televisi harus dikecilkan, karena Om Anwar Djidin harus menelepon. Dari mendengar suara televisi, maka selanjutnya kami mendengar suara Om Anwar Djidin berteriak-teriak di telepon.

Apa beliau sedang marah-marah? Tentu saja tidak, tetapi maklum saja, walaupun merupakan barang mewah di kota kecil kami, pesawat telepon saat itu masih merupakan pesawat telepon lama yang masih menggunakan sistem analog. Sebuah engkol di sisi pesawat harus diputar untuk membangkitkan listrik yang menghasilkan pulsa agar pesawat telepon terhubung dengan central office (CO) di kantor Perusahaan Umum Telekomunikasi (Perumtel). Kepada pihak Perumpel kita meminta untuk membuka akses ke nomor pesawat telepon yang ingin kita hubungi.

Repot sekali kelihatannya.

Selanjutnya, setelah Perumtel membuka akses itu, barulah terjadi peristiwa komunikasi, di mana suara dari seberang yang didengar sangat sering timbul tenggelam, dan volume penelepon pun sangat mempengaruhi suara kita terdengar atau tidak oleh penerima. Kualitas transmisi suara ini entah mengapa saat malam akan semakin parah. Karena volume ini dan menelepon pada malam hari, maka jadilah kami menonton televisi dengan diiringi teriakan-teriakan Om Anwar Djidin yang sedang menelepon.

Acara Apa yang Menjadi Favorit?

Untuk anak-anak kecil, selain film kartun, maka tidak ada acara yang paling disukai lagi. Semua acara yang ditayangkan telah jadi bagus-bagus semua. Tidak ada pilihan lain. Hanya ada satu saluran dan satu-satunya, yakni TVRI. Menonton film malam harinya, aku pun tidak pernah. Jam 8 malam biasanya aku telah dijemput untuk pulang, dan jam-jam 9 pun anak-anak kalau tidak dijemput oleh orang tuanya, juga sudah akan disuruh pulang oleh pemilik rumah.

Bahkan, acara mimbar agama lain pun tetap dengan penuh perhatian kami pirsa. Apalagi jika acara mimbar agama itu dikemas dalam bentuk drama.

Ah, mungkin karena inilah, orang-orang generasiku bisa memiliki rasa toleransi yang baik, karena dengan situasi tanpa pilihan acara dan saluran itu, acara mimbar agama yang “harus” kami tonton itu secara tidak langsung telah memberikan kami pemahaman tentang bagaimana kepercayaan orang lain.

Situasi paling sulit aku hadapi untuk pulang ke rumah adalah malam di mana ayahku, sebagai seorang anggota Polri, punya jadwal piket malam. Ibu jelas tidak bisa menjemput, karena harus menjaga adik-adik yang masih kecil-kecil. Tak ada yang menjemput, maka resiko jika aku masih mau keluar untuk menonton, aku harus mau dan “nekad” pulang sendiri.

Selama menonton resiko ini segera akan terlupakan olehku. Aku asyik saja menikmati acara-acara di televisi. Namun, setelah keluar dari rumah Om Anwar Djidin aku langsung tersadarkan, bahwa perjalanan pulangku akan melalui medan yang berat. Jantungku kontan berdebar-debar setengah mati. Belum lagi ada beberapa kawan yang melihat aku akan pulang sendiri itu sengaja menakut-nakutiku. Benar-benar ingin menangis rasanya. Padahal, padahal itu belumlah tengah malam, waktu setidak-tidaknya baru jam 9 malam.

Dari simpang rumah Pak Harun (Jalan M. Yamin II) baru ada rumah Pak Dahil, selanjutnya adalah beberapa kebun kosong sebelum rumahku. Jalanan gelap, belum ada penerangan listrik, bahkan rumahku sendiri belum ada listrik. Ahai, di sisi jalan di samping rumah Pak Harun itu ada segerombolan besar batang pisang yang dalam kegelapan bisa menimbulkan imajinasi yang aneh-aneh. Nah, sebelum batang-batang pisang itu, di tengah jalan aku akan mengambil ancang-ancang memasang sayap di kaki untuk mulai berlari, yang saat itu aku kira itulah kecepatan lari tercepat di dunia. Sebelum sampai rumah, aku juga sudah berteriak-teriak memanggil ibu.

Masa-masa berikutnya, setelah Pak Dachil membeli televisi, maka tempat aku menonton televisi pun semakin dekat dengan rumah. Aku tidak perlu dijemput lagi untuk pulang, walaupun saat pulang aku masih harus berlari untuk menuju rumah.

Begitulah, ada suatu masa televisi adalah sebuah barang mewah, yang hanya bisa dimiliki orang-orang kaya, dan menjadi bukti bahwa mereka memang orang kaya. Namun, di Dwi Tunggal, di mana kekeluargaan selalu tumbuh dengan subur, ada suatu masa di mana kami hidup berdampingan penuh mesra dan kasih sayang. Orang-orang yang punya televisi telah membagi milik mereka kepada kami. Mereka membuka pintu, menyilakan kami dan tetangga lainnya dengan tangan terbuka untuk duduk dan mengotori lantai mereka, lalu membiarkan kami menonton televisi milik mereka dengan dekat, sementara pemilik sebenarnya sering harus rela duduk di bagian belakang untuk ikut menonton juga.

Aku tak mungkin melupakan semua itu. Betapa aku selalu bangga menjadi bagian masyarakat desa/kelurahan Dwi Tunggal.

Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "MENUMPANG MENONTON TELEVISI"