Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SURAT DARI BENKOELEN, 1855

Asembling militer Belanda di depan Fort Malborough, circa 1900 
“Surat dari koloni” ini ditulis pada 1855 oleh seorang prajurit muda Frisia yang bernama Pieter Wilbret. Ia bertugas di ganisun militer Belanda di Bengkulu. Surat ini disimpan oleh keluarga Friep Wilbers, yang kemudian diserahkan kepada Arsip Nasional Belanda. Dalam surat yang ditujukan kepada ayahnya ini, prajurit muda itu bercerita tentang waktu-waktu perjalanannya dari Eropa menuju Lautan Hindia untuk kemudian tiba di Bengkulu. Di Bengkulu dia ditempatkan di garnisun militer yang berada di Benteng Malborough

Bengkulu, 31 Agustus 1855

Ayah,
Saya mengambil pena untuk memberi tahu Anda tentang fakta-fakta utama keberangkatan saya dari Belanda, tentang perjalanan dan kedatangan di Batavia. Demikian pula keinginan saya yang tulus, agar Anda dapat menerimanya dalam keadaan sehat. Saya kira, Anda telah menunggu-nunggu saat untuk mendengar sesuatu dari saya. Saya juga selalu ingin mendengar dengan cepat tentang kesehatan Anda yang baik dan keluarga. Mungkin Anda sudah berpikir beberapa kali, sepertinya Pieter melupakan kita sepenuhnya. Tetapi tidak, justru sebaliknya. Hanya karena penyakit serius telah menghambat saya untuk menulis surat. Jadi, saya juga berharap Anda memaafkan saya. Saya dapat saja menulis untuk Anda lebih cepat lagi, tetapi untuk memberi tahu Anda bahwa saya sakit parah, saya tidak ingin melakukan. Karena itu, saya menunggu saya dalam keadaan sehat lebih dahulu

Baiklah, saya akan memulai bercerita,

11 Desember 1854, sore jam tiga kami meninggalkan Harderwijk. Pada malam ke-12, sekitar jam 7, disertai badai yang hebat, kami memasuki pelabuhan Nieuwe Diep, di mana pada pagi lainnya jam 10 pagi, kami menggunakan perahu kecil dan sambil bernyanyi kami menaiki kapal fregat Five Brothers. Kami disambut dengan ramah oleh para kru dan mendapat minuman kehormatan, lalu makan bersama dengan kacang polong dan satu pon potongan-potongan daging babi (bacon).

Karena masih harus menunggu angin, selama 31 hari kami masih berada di Nieuwe Diep. Selama waktu itu, kami diizinkan untuk jalan-jalan turun ke darat dari jam 4 sore sampai jam 9 malam. Ini sebenarnya sesuatu yang jarang terjadi pada pasukan kolonial setelah mereka naik ke kapal.

Pada 12 Januari 1855, sore jam 1, kami meninggalkan Nieuwe Diep. Kami dan semua orang menyanyikan lagu perpisahan terakhir untuk tanah air yang mungkin tidak akan pernah terlihat lagi. Segera kami melewati sudut terakhir Belanda, dan semua yang memiliki orang-orang terkasih di Tanah Air tercinta harus melirik untuk terakhir kalinya ke tempat kelahirannya. Ujung terakhir pun menghilang dari pandangan kami dan kami sepenuhnya memasuki ke lautan yang bergelora.

Hari kedua kami melihat pantai Inggris yang dihiasi dengan Pegunungan Kapur.  Hari ketiga kami keluar dari Selat Inggris dan di lautan sekitar Spanyol, kami bertemu beberapa kapal lagi. Kami mendapat angin yang membuat laut begitu riuh sehingga kapal berayun-ayun. Hari ke-28 kami melewati Garis Khatulistiwa dan ini luar biasa panasnya cuaca. Saya tidak perlu mengatakan, bahwa kita bisa mati dengan tenang, di laut yang seperti cermin di mana kami bisa melihat kerumunan ikan besar bermain mengelilingi kapal, juga ikan terbang dalam jumlah ratusan. Di sini kita bertemu dengan kapal Swedia, yang kehilangan dua tiang dan setengah pagarnya, dia dalam perjalanan menuju Madera.

Hari ke-42 adalah kesenangan kami, di pagi hari, kami melihat kapal di depan, yang berhenti tampak seperti menunggu kami. Pada pukul 3, kami begitu dekat satu sama lain, sehingga kedua kapten kapal berbicara satu sama lain. Kami dan penumpang kapal itu saling bersorak-sorak dan melambai-lambaikan sapu tangan. Kapal itu disewa unuk membawa 300 emigran Inggris dan Jerman menuju Australia, sebagian besar adalah wanita dengan beberapa anak.

Hari ke-68 kami meninggalkan Samudera Besar dan tiba di Samudra Hindia. Di hari ke-103 kami berlayar ke Selat Sunda. Pada pagi hari sekitar jam 7 hingga sore hari jam 7 malam, badai telah memaksa kami membuang jangkar di tengah lautan. Namun, malam itu berlangsung ceria, karena cuaca menjadi bagus, ada bulan yang cerah, hingga kami seperti dapat merasakan bahwa apa yang diinginkan hati kami, maka kami akan bisa benar-benar mendapatkannya. Semuanya orang seperti menjadi sangat murah hati, sehingga kami merasa ini semua tidak lebih baik seperti di darat. Kami bergembira hampir sepanjang malam.

Keesokan paginya sekitar jam 10, datang beberapa sampan pribumi di samping kapal kami. Mereka menawari kami buah-buahan, tetapi tidak ada yang tertarik, karena kami semua telah diperingatkan untuk berhati-hati terhadap buah-buah yang ditawarkan orang-orang pribumi. Namun, banyak telur yang kami beli atau ditukar dengan sesuatu, karena semua orang telah sangat ingin makan telur. Kapten membeli kura-kura yang kemudian diberikan kepada kami. 189 orang dalam kelompok kami menikmati sup kura-kura yang beratnya lebih dari 250 pon (113 kg).

Empat hari kami melintasi Selat Sunda. Kami memiliki kesempatan untuk melihat-lihat daratan di sekitar (yaitu daratan Jawa) yang sangat bagus. Itu adalah pemandangan yang menyenangkan, dari pegunungan yang tinggi, dari atas ke bawah, benar-benar hijau dan secara alami dipenuhi pepohonan.

Tiba di Batavia 

Pada hari keempat itu juga (30 April), dini hari pukul 4 jangkar jatuh. Dengan perasaan sukacita kami telah tiba di pantai Batavia.  Dari yang terkecil hingga yang terbesar kami semua sama-sama ceria dan dalam semangat kegembiraan yang sama. Batavia terlihat dari pantai cukup kumuh, tetapi sebagai kompensasinya toko-toko dan rumah-rumah terlihat sebagus yang di Belanda,  tidak termasuk gubuk bambu penduduk asli dan orang Cina.

Keesokan paginya (1 Mei), sekitar jam 9, kami turun dari kapal dengan sampan dan pergi ke Country Yard dengan membawa barang masing-masing. Setiap orang mendapat setengah botol anggur dan roti putih. Di sini kami tinggal sampai panas matahari selesai, dan pada jam 4 kami berbaris ke Weltevreden (Jakarta Pusat hari ini), di mana kami tiba pada jam 6 disambut oleh konser musik dan banyak kawan di barak. Ketika kami tiba, semuanya dalam keadaan haus, tetapi alih-alih mendapat air dingin, kami disuguhi teh panas dan sup dengan roti dan daging yang berlimpahan.
Gedung kesenian di Weltevreden, dekat barak militer, circa 1860
Supnya terasa lebih dari enak, tetapi pagi hari berikutnya hanya roti yang disajikan, dengan 1 butir telur atau ikan sobek. Pada jam 4 sore, makanan disiapkan dengan cara yang aneh, bukan roti, mentega atau gula melainkan nasi. Kami diberi cabai, makanan yang dipercaya siapa yang menggigitnya, maka mulut dan tubuhnya akan sama-sama terbakar, tetapi katanya begitu seseorang telah biasa dengan makanan ini, maka dia akan menjadi bahagia.  Banyak di antara kami yang jatuh sakit karena tidak bisa perutnya mencerna cabai.

Saya bertemu seorang sersan yang juga dari Sneek, dia adalah saudara atau sepupu Rondema. Saya pikir dia berkata, bahwa namanya Jan Rondema.

Tiba di Benkoelen

Di Weltevreden Batavia saya tinggal sampai 27 Mei. Kami naik kapal uap An..... untuk berangkat ke Benkoelen, di mana saya tiba pada tanggal 30. Dari kapal, saya langsung dibawa ke rumah sakit, karena penyakit demam berdarah yang parah, di mana saya masih berdiri dan berharap mendapat mendapatkan kekuatan kembali untuk meninggalkan rumah sakit dalam waktu 14 hari.

Pada awalnya hanya ada sedikit harapan, karena saya banyak mengeluarkan darah. Hari keempat di rumah sakit saya sangat lemah, sehingga untuk bergerak pun saya harus dibantu. Itu adalah penyakit paling berbahaya bagi orang Eropa. Telah ribuan orang meninggal karenanya.

Kami di sini dengan kompi infanteri termasuk 50 penembak dan 10 pemasang ranjau. Barak kami adalah benteng terletak dekat dengan laut dan milik Inggris di masa lalu, besar dan kuat dengan 105 meriam ditempatkan di sekeliling benteng. Kami berhati-hati dengan orang-orang di sini yang telah pernah berperang dengan kita. Kami tak pernah keluar dari benteng tanpa senjata, sangat berbahaya, pertama-tama kita tidak dapat mempercayai penduduk asli, selain itu di sekeliling banyak harimau dan babi hutan serta siput. Jadi, pergi keluar harus bersenjata dengan baik dan biasanya dalam kelompok dengan 10 atau 12 orang.

Sejauh menyangkut alam, jauh lebih bagus daripada di Belanda. Pemandangannya selalu hijau dan pohon-pohon selalu berbuah, di mana kita bisa memetik buahnya dan membagi-bagikannya kepada yang lain.

Ilustrasi
Ekspedisi penaklukan Pasemah di Dusun Penandingan, Empat Lawang
Saya kira, saya akan mengakhiri surat ini. Saya takut surat menjadi terlalu berat, walaupun telah saya tulis ulang di kertas yang lebih tipis. Jika tidak melakukannya, maka akan dipastikan saya akan dikenakan ongkos kirim lebih dari dua kali lipat.

Sampaikan salam saya kepada seluruh keluarga dan tetangga. Apakah tetangga kita, Vogelsang dan Disselbergen, masih sehat? Ayah juga telah berbaik hati dan memuji saya di depan Tuan Kooij dan Veerkant dan juru sita van der Meulen dan istrinya, juga kepada Do van Hasselt.

Surat dari keluarga Franzen masih belum bisa kusampaikan. Dia telah dipindahkan, tetapi saya belum tahu kemana dia pindah.

Apakah nakhoda Jan masih berlayar? Apakah Akke dan Arjan juga masih sehat?

Sekarang, Ayah, saya mohon sekali lagi, segera balas surat saya.
Berharap selalu Anda dalam keadaan sehat.

Putramu Yang Tercinta,

P. Wilbers

N.B.: Alamat saya
P. Wilbers, kopral
Di garnisun kompeni di Benkoelen

Diterjemahkan dengan ketat dari sumber:
Letter From The Colony
Arsip Nomor: 35039, NA
Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "SURAT DARI BENKOELEN, 1855"