CERITA RAKYAT SERAWAI: PUTRI RAJA DAN KANGKUNG
![]() |
Permaisuri melahirkan anak seperti seekor kangkung |
Suatu hari, saat Permaisuri membuang sampah di belakang istana, matanya tertuju pada seekor kangkung—seekor katak besar yang duduk diam di tepi lubang sampah.
"Aduhai," gumam Permaisuri, menatap lembut hewan itu. "Andaikan Kangkung ini menjadi anakku, betapa bahagianya aku..."
Tak disangka, beberapa waktu kemudian, Permaisuri mengandung. Sembilan bulan berlalu, ia pun melahirkan. Namun bukan manusia yang lahir, melainkan seekor kangkung!
Raja murka mendengar kabar itu.
“Ini aib bagi kerajaan! Usir hewan itu dari istana!” titah Raja lantang.
Permaisuri menahan air mata. “Paduka, janganlah diusir. Lebih baik kita buatkan tempat tinggal untuknya. Toh dia adalah darah daging kita.”
Raja menghela napas panjang. “Baiklah. Kalau itu kehendakmu, aku setuju.”
Raja lalu memerintahkan seluruh rakyat membangun tempat khusus untuk si Kangkung: sebuah kolam emas, pondok emas, tiang-tiang suasa, dan kelambu dari benang gajah magun.
Setelah selesai, Kangkung pun tinggal dan berendam di kolam emas itu. Hari-hari berlalu. Namun lama-lama, Kangkung merasa kesepian. Ia ingin menjelajah dan menyeberangi lautan.
Tanpa perahu, tanpa perbekalan, Kangkung menyeberang lautan dengan semangat luar biasa. Akhirnya, ia tiba di seberang, di sebuah kerajaan megah tempat tinggal Puti Cemenggung—putri jelita yang hidup dalam kemewahan.
Suatu pagi, Puti Cemenggung berkata kepada dayangnya, “Sekemban, tolonglah ambilkan pucuk daun ubi rambat. Aku ingin menyantapnya hari ini.”
“Baik, Tuanku,” jawab Sekemban.
Namun diam-diam, karena jatuh cinta pada sang putri, Kangkung mengencingi daun ubi yang hendak dipetik. Daun itu pun dibawa sekemban, dimasak, dan disajikan kepada Puti Cemenggung. Tak lama setelah menyantapnya, sang putri pun mengandung.
Raja kaget mendengar kabar itu. Ia memanggil sang putri.
“Puti Cemenggung, siapa ayah dari anak ini?”
“Saya... saya tidak bersuami, Ayahanda,” jawab Puti dengan air mata menetes.
“Tidak mungkin!” bentak sang Raja. “Seorang gadis tak mungkin melahirkan tanpa suami. Pasti ada yang disembunyikan.”
Raja memerintahkan pengawal memeriksa seluruh penjuru istana. Saat mereka memeriksa tumpukan kayu bakar, terdengarlah teriakan.
“Tuan, di sini ada seekor Kangkung!”
Raja pun menyimpulkan, “Dialah ayah dari anak itu!”
Hari berlalu. Raja memutuskan mengasingkan Puti Cemenggung. “Engkau harus ikut ke mana pun Kangkung pergi,” titah Raja.
“Baiklah, Ayahanda,” ucap sang putri sambil menunduk.
Rakyat segera membuat rakit dari batang pisang untuk mengantar Puti Cemenggung dan bayinya menyusul Kangkung menyeberangi lautan. Di tengah perjalanan, Kangkung menarik tali rakit itu dari dalam air. Setiap kali ia muncul, sang putri memukul kepalanya sambil menangis.
“Wahai Kak Kangkung,” isaknya, “jika bukan karena Kak Kangkung, aku tak akan terusir dari mahligai tinggi. Tak akan meninggalkan makanan lezat dan hari-hariku yang indah…”
Kangkung muncul dan berkata, “Wahai Dik Puti Cemenggung, Kangkung bukan sembarang Kangkung. Aku anak raja di kerajaan tua, tinggal di seberang lautan. Tidurku di pondok emas bertiang suasa, kelambuku dari gajah magun, dengan untaian mutiara menghias tempatku.”
Namun sang putri memukul kepalanya lagi. Tangisnya pecah.
“Wahai Kak Kangkung, kalau bukan karena Kak Kangkung, aku tak akan hidup terbuang. Tak akan turun setiap senja, berjalan hanya saat malam datang.”
Kangkung menarik kembali tali rakitnya, tak berkata apa-apa.
Akhirnya, mereka sampai di sebuah kerajaan megah. Di dekat kolam, seorang gadis yang tengah mandi melihat mereka.
“Dari mana kalian datang?” tanya gadis itu.
“Saya dari seberang laut,” jawab Puti Cemenggung.
“Mengapa sampai di sini?”
“Saya ikut suami saya, Kangkung. Katanya ia anak raja di sini. Ia tinggal di kolam emas, pondok emas, bertiang suasa, tidur di kelambu gajah magun.”
“Benar? Mari ikut aku ke istana,” ajak gadis itu.
Sampai di istana, gadis itu berseru, “Paduka Raja! Kangkung telah kembali. Ia sudah beristri. Inilah Puti Cemenggung.”
Raja tertegun. “Benarkah itu?”
Puti Cemenggung maju. “Paduka, saya putri tunggal dari seberang lautan dibawa ke sini oleh Kangkung. Katanya ia anak raja di sini. Ia tinggal di kolam emas, pondok emas, bertiang suasa, tidur di kelambu gajah magun. Mahligai saya dikelilingi bunga dan dilayani dayang-dayang seperti bintang jatuh. Namun takdir membawa saya makan pucuk ubi rambat. Dari situlah saya mengandung. Ini anak saya... Silambrai. Dan ia juga anak Kangkung.”
Raja memandang anak itu. “Kalau begitu, kau juga anakku.”
“Saya senang mendengarnya, Paduka,” ucap Puti Cemenggung sambil bersujud.
Kangkung pun berenang di kolam emasnya. Matanya berkilau, seolah menyimpan rahasia besar. Lalu, dalam sekejap, tubuhnya berubah! Ia bukan lagi seekor katak besar, melainkan seorang pemuda tampan berpakaian megah.
![]() |
Kangkung ternyata adalah pemuda tampan anak dewa |
Raja terperanjat. “Kangkung... kau... kau manusia?”
“Ayahanda,” jawab pemuda itu dengan hormat. “Saya memang dikutuk menjadi seekor katak sejak lahir. Namun kutukan itu sirna setelah saya menemukan cinta sejati dan diterima oleh keluarga.”
Raja tersenyum bahagia. “Kini segalanya telah jelas. Puti Cemenggung adalah menantuku. Silambrai cucuku. Dan kau, Kangkung, adalah putraku.”
Mereka pun hidup damai di kerajaan, dalam anjung emas bertiang suasa. Dan hingga kini, cerita tentang Kangkung tetap dikenang: kisah seekor katak yang menjadi pangeran, berkat cinta dan keberanian.
Post a Comment for "CERITA RAKYAT SERAWAI: PUTRI RAJA DAN KANGKUNG"
Berkomentarlah dengan bijak. Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus