CERITA RAKYAT SERAWAI: PERSAHABATAN RUSA DENGAN BURUNG BEREBA
![]() |
Ilustrasi |
Di tengah lebatnya hutan yang hijau dan sejuk, Burung Bereba dan Rusa bersahabat dekat. Mereka sering bertemu di padang ilalang, bermain bersama, bercakap-cakap tentang hujan, tentang bintang, bahkan tentang mimpi mereka masing-masing. Bereba sering bercerita tentang keinginannya melihat langit yang sangat jauh di atas gunung, sementara Rusa bermimpi bisa menjelajahi hutan tanpa takut pada pemburu.
Waktu terus berjalan, dan bulan pun berganti. Tiga bulan berlalu sejak pertemuan pertama mereka. Hari itu, Bereba tampak gelisah. Ia terbang rendah dan memanggil-manggil nama sahabatnya.
"Rusa! Rusa! Di mana kamu?" serunya dengan suara cemas.
Rusa muncul dari semak-semak, membawa dedaunan basah di mulutnya. Ia terkejut melihat wajah Bereba yang panik.
"Ada apa, Bereba?" tanya Rusa.
Bereba menunduk. "Aku... aku sedang bingung, Rusa. Aku sudah bertelur."
Rusa tampak gembira. "Wah, selamat! Itu kabar baik!"
"Tidak sepenuhnya baik," kata Bereba lirih. "Aku membuat sarang di ladang milik manusia. Waktu itu aku pikir tempat itu aman karena sepi. Tapi sekarang sedang musim panen. Petani-petani mulai datang, dan aku takut mereka akan menemukan telurnya. Kalau mereka menemukannya... mungkin mereka akan mengambil atau menghancurkannya."
Rusa berpikir sejenak. "Berapa lama lagi telurnya akan menetas?"
"Masih dua minggu," jawab Bereba. "Aku tak tahu harus bagaimana. Aku tidak bisa memindahkannya. Sarangnya sudah terlalu dalam. Dan aku harus terus mengeram."
Rusa lalu menatap jauh ke arah ladang. "Aku akan membantumu," ujarnya kemudian. "Setiap hari, aku akan muncul di sekitar ladang dan membuat keributan. Jika manusia mendengar suaraku, mereka pasti akan mengejarku. Dengan begitu, perhatian mereka akan teralihkan darimu."
Bereba terdiam, terharu oleh kebaikan sahabatnya.
"Tapi... bagaimana kalau kamu tertangkap?" tanya Bereba pelan.
"Tak usah khawatirkan aku. Aku cepat. Lagi pula, kau lebih penting sekarang. Anak-anakmu harus lahir dengan selamat."
Bereba meneteskan air mata. "Terima kasih, Rusa. Aku tak tahu bagaimana aku bisa membalasmu."
"Jaga dirimu, dan tetap di sarangmu. Itu sudah cukup," kata Rusa sambil tersenyum.
Hari demi hari pun berlalu. Seperti yang dijanjikan, setiap pagi Rusa mendekati ladang dan membuat keributan—mengentakkan kakinya, mengembik keras, bahkan terkadang melompat-lompat di tepi ladang. Petani-petani pun terganggu dan berusaha menangkap Rusa, namun ia selalu berhasil lolos dengan gesit.
“Cepat! Itu rusanya lagi! Kejar dia!” teriak para petani.
Namun karena mereka tak pernah berhasil menangkap Rusa, akhirnya mereka pun memasang jerat di beberapa tempat.
“Kalau tak bisa menangkapnya dengan tangan, kita jebak saja!” ujar seorang petani.
Seminggu kemudian, saat Rusa kembali seperti biasa ke tepi ladang untuk mengalihkan perhatian petani, tanpa disadari ia menginjak jerat yang dipasang di antara semak. Kakinya terjerat kuat. Ia mengembik keras, mencoba melepaskan diri, tetapi jerat itu kencang dan melukai kakinya.
"Aduh! Tidak... aku terjebak..." desah Rusa.
Para petani segera datang dengan parang dan tombak.
"Akhirnya! Rusa ini menyebalkan, setiap hari mengganggu kami!" seru seorang petani.
Mereka bersiap memukul Rusa. Dalam keadaan putus asa, Rusa memejamkan mata. Tapi tiba-tiba terdengar suara siulan nyaring dan suara kepakan sayap. Bereba datang!
"Tunggu! Jangan bunuh dia!" teriak Bereba sambil terbang rendah ke arah wajah salah satu petani.
Petani itu terkejut dan memukul ke udara, namun Bereba dengan gesit menghindar.
"Pergi sana! Burung gila!" maki petani itu.
Namun Bereba terus menyerang wajah para petani. Ia mencakar dan mematuk, membuat mereka panik. Dalam kekacauan itu, salah satu dari mereka secara tak sengaja mengayunkan parang ke tali jerat, dan... krek! Jerat terputus.
Rusa yang kakinya terluka, langsung bangkit dan melarikan diri ke dalam semak-semak, walau pincang. Bereba pun segera menyusul.
Di tepi sungai, di bawah bayang-bayang pepohonan, Rusa terbaring lemah. Kakinya berdarah, tapi ia masih hidup. Bereba duduk di bahunya, memandangi luka itu dengan mata berkaca-kaca.
“Kamu terluka parah, Rusa...” kata Bereba dengan suara gemetar.
“Tapi kamu menyelamatkanku... Aku tak menyangka kau akan datang,” ujar Rusa lemah.
“Kamu sudah menyelamatkan telur-telurku. Sekarang aku hanya membalas kebaikanmu.”
Rusa tersenyum. “Apakah anak-anakmu sudah menetas?”
Bereba mengangguk. “Mereka menetas kemarin. Ada tiga. Semuanya sehat. Dan... mereka akan kukenalkan dengan sahabat terbaik yang pernah kupunya, suatu hari nanti.”
Rusa menatap langit yang mulai memerah karena senja. “Aku senang mendengarnya.”
“Mau kutemani malam ini?” tanya Bereba.
“Tentu,” kata Rusa. “Malam akan lebih tenang bila kau di sisiku.”
Dan malam pun datang dengan pelan. Di antara nyanyian serangga dan suara aliran sungai, dua sahabat itu duduk berdua dalam keheningan yang hangat.
Beberapa minggu berlalu. Luka Rusa perlahan-lahan sembuh. Bereba sering datang bersama anak-anaknya. Mereka bermain di padang ilalang, tempat di mana persahabatan mereka bermula.
“Lihat, anak-anakku!” kata Bereba. “Rusa ini adalah sahabat sejati. Karena dia, kalian bisa menetas dengan selamat.”
Anak-anak burung itu berkicau riang, sementara Rusa tersenyum.
Post a Comment for "CERITA RAKYAT SERAWAI: PERSAHABATAN RUSA DENGAN BURUNG BEREBA"
Berkomentarlah dengan bijak. Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus