Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CERITA RAKYAT REJANG: SANG PIATU DAN TEBU SEPUNTUNG

Ilustrasi

Sejak tak punya orang tua lagi hingga berusia 14 tahun, Sang Piatu diasuh oleh Raja. Tak lain, karena memang Raja yang memimpin kerajaan kecil itu adalah sahabat dekat orang tuanya dulu semasa masih hidup. Karena rasa persahabatan itu, maka Sang Raja pun merasa punya kewajiban untuk menjaga dan memelihara Sang Piatu.

Sang Piatu menempati sebuah rumah kecil di belakang istana berdampingan dengan rumah para pembantu lainnya. Tak ada pekerjaan khusus Sang Piatu, kecuali sering menemani Putri Raja bermain-main.

Pada suatu hari, ketika sedang duduk terkantuk-kantuk di bawah pohon beringin, Sang Piatu dipanggil oleh Raja yang baru pulang keliling kerajaan. Raja menatap Sang Piatu dan berkata, "Hai Piatu, ini untukmu!" Raja memberinya sepuntung tebu. Bukan sebatang, tapi hanya sepuntung!

Menerima pemberitan Raja itu, Sang Piatu senang setengah mati.

Tebu sepuntung itu dibawanya pulang dengan penuh suka cita, dicuci, dipotong dan direbus. Lalu… Tung! Jadilah gula sebesar ibu jari.

Gula itu diletakkan di atas daun pisang, belum sempat dimakan, karena Sang Piatu ingin memakannya bersama pisang rebus nanti sore.

Tap! Tap! Tap!

Datanglah seekor semut kecil, memakan gula itu sampai habis tak bersisa. Rakusnya semut itu, hingga setelah makan, tubuhnya membesar… membesar... membesar... hingga sebesar telur ayam kampung!

Sang Piatu terkejut bukan main, sekaligus merasa senang, karena ia punya bahan untuk permainan. Dibawanyalah semut besar itu itu ke halaman belakang istana, tempat orang-orang sedang menumbuk padi sambil bersenda gurau. Maksudnya tak lain mau pamer.

Saat orang-orang yang berkumpul itu heran melihat semut itu, tiba-tiba saja seekor ayam lewat.... Cup! Dia mematuk semut itu sekali saja. Langsung saja semut celaka itu mati.

Melihat semutnya mati, Sang Piatu langsung menangis sekencang-kencangnya. Berbagai upaya orang-orang membujuknya berhenti menangis, tapi tak berhasil. Akhirnya orang-orang sepakat untuk memanggil Raja, siapa tahu bakal bisa menghentikan tangisan Sang Piatu.

Raja pun datang tergopoh-gopoh dan sudah berteriak-teriak bertanya dari jauh: "Mengapa.... Mengapa kau menangis, Piatu?"

Sambil mengisak Sang Piatu menjawab:

"Cobalah Raja pikir
Tebu sepuntung
Dimasak jadi gula,
Gula habis dimakan semut,
Semut mati dipatuk ayam,
Ayam punya Raja, ayam Raja memang jahat!"

Raja mengangguk penuh wibawa dan berujar: "Baiklah, ambillah ayam itu untukmu sebagai ganti."

Sang Piatu belum pulang, karena masih mau melihat orang-orang menumbuk padi. Ayam pemberian Raja diikatnya di tiang rumah.

Globook!

Seorang tukang tumbuk tergelincir, sehingga palu yang dipegangnya terlepas. Celaka, alu itu jatuh menimpa ayam! Matilah ayam pemberian Raja.

Melihat itu, Sang Piatu kembali menangis guling-guling. Raja pun harus kembali dipanggil untuk membujuknya.

"Ada apa lagi, Piatu?" tanya Raja sambil menahan senyum.

Sang Piatu menjawab sambil menahan tangis:

"Cobalah Raja pikir
Tebu sepuntung
Dimasuk jadi gula,
Gula dimakan semut,
Semut dipatuk ayam,
Ayam mati tertimpa alu,
Alu punya Raja, alu Raja memang jahat!"

Raja mengelus jenggotnya dan berkata, "Baik. Ambil sajalah alu itu sebagai gantinya."

Sorenya, Sang Piatu pergi ke sungai untuk mandi. Alu itu ditancapkannya ke tanah di tepi sungai.

Puar! Puar! Puar!

Terdengar keributan. Orang-orang mengejar anak kerbau Raja yang entah mengapa tiba-tiba mengamuk. Sang Piatu pun segera keluar dari sungai dan ikut membantu menangkap anak kerbau itu.

Anak kerbau berhasil diamankan, namun harus ada korban. Anak kerbau itu bisa ditangkap karena terjatuh setelah melanggar alu milik Sang Piatu. Anak kerbau jatuh, alu patah dan Sang Piatu pun meraung-raung.

Raja datang dan bertanya: "Kenapa, Piatu"

Sang Piatu menjawab dengan cemberut:

"Cobalah Raja pikir
Tebu sepuntung
Dimasak jadi gula,
Gula habis dimakan semut,
Semut mati dipatuk ayam,
Ayam mati tertimpa alu,
Alu patah dilanggar kerbau
Kerbau punya Raja, kerbau Raja memang jahat!"

Untuk membujuk Sang Piatu, Raja pun memberikan anak kerbau itu kepada Sang Piatu.

Sang Piatu kemudian diajak Raja untuk menonton orang menyabung ayam. Sang Piatu ikut saja sambil menyeret anak kerbau.

Anak kerbau itu kemudian ditambatkan di bawah batang bembam (sejenis mangga hutan yang buahnya besar-besar), tak jauh dari belabar (arena sabung ayam) tempat orang-orang mengadu ayam.

Di atas pohon bembam, ada orang tengah memetik buahnya. Buah itu bukan dijatuhkan satu persatu, tetapi dimasukkan dulu ke dalam karung lalu setelah penuh diturunkan dengan menggunakan seutas tali.

Saat menurunkan karung berisi bembam itu, talinya putus. Kelunyuuur! Sekarung bembam meluncur deras dan tanpa ampun menimpa anak kerbau yang ditambatkan di kaki pohon. Karung pecah, bembam berserakan, anak kerbau pun mati.

Orang-orang yang tengah menonton sabung ayam terkejut, lalu beramai-ramai berlarian ke bawah pohon bembam. Orang-orang kemudian sibuk membantu memungut bembam yang berserakan, tetapi sebenarnya orang-orang lebih sibuk lagi membujuk Sang Piatu yang menangis dan berteriak-teriak, karena anak kerbaunya telah mati tertimpa bembam sekarung.

Sang Raja yang kebetulan berada di sana bertanya: "Piatu, kenapa lagi?"

Sang Piatu dengan cepat menjawab:

"Cobalah Raja pikir
Tebu sepuntung
Dimasak jadi gula,
Gula habis dimakan semut,
Semut mati dipatuk ayam,
Ayam mati tertimpa alu,
Alu patah dilanggar kerbau
Kerbau mati tertimpa bembam
Bembam punya Raja, bembam Raja memang jahat!"

Raja memijit pelipisnya, lalu dengan wajah sedikit kesal menyerahkan sebuah bembam yang paling besar kepada Piatu. "Ambillah bembam ini sebagai gantinya," ujar Sang Raja.

Bembam itu dibawa pulang oleh Sang Piatu. Ditaruhkan buah itu dalam beras untuk memeramnya agar cepat matang. Dan memang, besok paginya bembam itu matang dengan warna kuning keemasan dan menebarkan aroma sangat wangi, hingga bisa menerbitkan air liur siapa saja yang mencium baunya itu.

Hari sangat panas, Sang Piatu bermaksud mandi-mandi di sungai. Setelah mandi dia akan menyantap bembam yang telah matang itu. Bembam itu pun diletakkannya di rumputan di tepi sungai.

Tak lama berselang, datang Putri Raja bersama kawan-kawannya. Mereka dari bermain-main dan mencari buah-buahan di hutan kecil tak jauh dari sungai. Wajah Sang Putri kemerahan karena haus dan kepanasan.

Di tepi sungai mereka melihat sebuah bembam besar yang matang dan berbau sangat harum.

"Woi, bembam siapa itu?" tanya Sang Putri.

"Sepertinya itu punya Sang Piatu, Putri. Kami melihat dia sedang mandi-mandi di sungai," jawab seorang inang.

"Wah, kalau begitu kita makan saja. Panas-panas begini enak sekali menyantap buah bembam. Nanti dia boleh ambil gantinya di istana," ujar Sang Putri.

Bembam pun habis dilahap oleh Sang Putri bersama para inangnya. Habis licin sampai ke biji.

Sang Piatu melihat bembamnya habis. Namun, tidak sepertinya biasa, dia tidak menangis. Tanpa berkata apa-apa dia pergi ke istana untuk menghadap Raja.

Tiba di gerbang istana, Sang Piatu meminta izin kepada penggawa untuk menghadap Raja. Dia pun diantar menemui Raja, yang kebetulan sedang duduk-duduk mengunyah sirih di beranda istana.

Sang Piatu mengadu, tapi kali ini disampaikannya dengan irama syair:

"Cobalah Raja pikir
Tebu sepuntung
Dimasak jadi gula,
Gula habis dimakan semut,
Semut mati dipatuk ayam,
Ayam mati tertimpa alu,
Alu patah dilanggar kerbau
Kerbau mati tertimpa bembam
Bembam habis dimakan Putri
Putri punya Raja, Putri Raja memang cantik!"

Mendengar nyanyian Sang Piatu, Raja tertawa terbahak-bahak. "Sudahlah Piatu… kalau semua milikku sudah habis kau tangisi, nah, ambil saja Putri Raja itu jadi istrimu! Aku percaya, karena kau telah begitu menyayangi semua pemberianku, maka aku pun percaya kau akan menyayangi juga putriku itu."

Sang Piatu dan Putri Raja pun pun dinikahkan dengan pesta besar. Selanjutnya Sang Piatu pun menepati petuah raja, dia menjadi laki-laki perkasa yang benar-benar menyayangi istrinya. Dan tentu, dia tidak lagi cengeng!

Sebuah kenangan dengan kawan-kawan di Gang Merpati 24 Rawa Makmur, Bengkulu: Toni, Hadi dan Iwang. Tahun 1995 cerita ini kami dapatkan, sebagai salah satu hasil bertualang ke dusun-dusun di wilayah Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Rejang Lebong (sebagian tempat yang dikunjungi itu pada hari ini telah masuk dalam wilayah Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Kepahiang dan Kabupaten Lebong).

Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "CERITA RAKYAT REJANG: SANG PIATU DAN TEBU SEPUNTUNG"