Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DRAMA: CULIK

DRAMA: CULIK

:Emong Soewandi
Ide cerita berangkat dari Drama "No Exit" Jean Paul Sartre

Foto pementasan "Culik" (Sutradara: Denis Kurniawan)
Teater Petak Rumbia Bengkulu, di Palembang

PEMAIN:

Andrean
Penculik
Tuan
Nyonya
Pengacara
Robin, Sekretaris
Sokrates

ADEGAN PEMBUKA

Dalam sebuah studio foto. Pembuatan foto keluarga antara: Tuan, Nyonya dan Andrean
 

ADEGAN I

Panggung terbagai dua.
Wilayah pertama menggambarkan sebuah gudang yang kotor. Di lantai tergeletak beberapa potong kayu. Sebuah bangku atau sofat panjang.
Wilayah kedua menggambarkan sebuah ruang keluarga yang mewah, terdapat sebuah kursi atau sofa tunggal.

Penculik :
(membuka penutup kepala Andrean)
Selamat datang, Anak Muda, di tempatmu yang baru.

Andrean :
Di mana ini? Mengapa aku dibawa ke sini?

Penculik :
Maaf, jika fasilitasnya jauh berbeda dengan tempat di tempat lamamu. Namun, inilah yang terbaik yang dapat kami berikan untuk orang seperti anda.

Andrean :
Siapa kau sebenarnya? Tadi kau bilang aku dipanggil. Kau tutup kemudian mataku, untuk sebuah kejutan, katamu. Tapi kau bawa aku ke tempat aneh begini.

Penculik :
Ya, inilah kejutan itu. Kau terkejut, bukan?

Andrean :
Mana orang tuaku? Panggil mereka kemari. Apa maksud mereka?

Penculik :
(Tertawa)

Andrean :
Mengapa kau tertawa. Cepat panggil mereka.

Penculik :
(Masih tetap tertawa) Dan tentu saja, dirimu pun di tempat baru ini juga berhenti jadi dirimu.

Andrean : Apa maksudmu? Kau jangan main-main. Kau tak tahu aku? Cepat panggil mereka. Orang tuaku.

Penculik :
Tenang saja, Anak Muda, tak usah berteriak-teriak begitu. Orang tuamu pasti akan datang. Tapi mungkin belum hari ini. Ya, mungkin besok, bisa juga jadi lusa, atau barangkali lusa, lusanya lagi. Itu tergantung....

Andrean : Tergantung apa?

Penculik :
(Tertawa) Ya, tergantung....
Sokrates!

Sokrates masuk.

Sokrates :
Ah, kau sudah datang. (Melihat ke arah Andrean) Hm, jadi ini ikan yang kita pancing itu?

Penculik :
Ya, dan telah berhasil kupancing.

Sokrates :
Sekarang?

Penculik :
Kita tunggu saja. Tapi tugas kita, khususnya kau, cukup menjaganya dulu di akuarium ini. Beri dia makanan yang baik, agar tetap sehat dan harganya tidak jatuh di pasaran.

Sokrates :
Apa dia termasuk ikan yang dapat berjalan di tempat yang kurang airnya?

Penculik :
Tampaknya tidak. Katanya ini bukan termasuk dalam kelas betok. Coba, kau tebak kira-kira ikan apa ini?

Sokrates :
Mm, ikan maskoki?

Penculik :
Euh, bukan, jelas bukan.

Sokrates :
Piranha?

Penculik :
Terlalu lunak untuk jadi piranha.

Sokrates :
Ee, arwana?

Penculik :
Ya, tepat sekali, arwana yang mahal dan manja.

Sokrates :
Tapi apa dia dapat hidup di akuarium yang kotor ini?

Penculik :
Kita buat untuk beradaptasi. Baik secara evolusi atau, jika memang terpaksa, ya secara revolusi.
(kepada Andrean)
Nah, Anak Muda, kau kutinggal dulu bersama Sokrates Sang Bijak ini di sini.

Andrean :
Hei, aku tak mau di sini. Aku mau di rumah.

Penculik :
Apa boleh buat, kau tinggal di sini dulu untuk beberapa lama.

Andrean :
Kau harus bertanggung jawab. Kau membawaku ke sini. Jangan seenakmu meninggalkanku. Aku tak mau di sini. Kau lihat, tempat macam apa ini.

Penculik :
Ya, semacam tempat yang sederhana untukmu, tapi dengan sewa yang tinggi sekali, bukan begitu, Sokrates Yang Bijak?

Andrean :
Aku mau pulang. Aku lapar.

Penculik :
Sokrates, jaga ikan ini dengan cara yang bijak.

Andrean :
Hei, dengarkan aku....

Penculik :
Tenang saja, ia tak akan macam-macam. Lagi pula kalau ia bikin ulah, aku pikir kau tahu cara yang bijaksana untuk mengatasinya.
(kepada Andrean)
Untuk kau ketahui, Anak Muda, tempat ini berada di tengah hutan lebat di kaki gunung, jadi kalau kau bukan pencinta alam yang baik, jangan coba-coba untuk pergi dari sini sendirian, salah-salah kau bisa masuk jurang, atau bertemu binatang buas.

Andrean :
Aku tidak takut.

Penculik :
Ya, simpan saja dulu keberanianmu itu untuk tidur sendirian dalam dan tanpa selimut, malam ini di sini.
Aku pergi dulu.

Penculik keluar.

Andrean :
Hei, kau tak boleh pergi.

Sokrates :
Tenang saja, Anak Muda. Lebih baik kalau kita berdua menciptakan obrolan yang menarik. Bagaimana?

Andrean :
Ngobrol? Ngobrol katamu? Kau pikir aku bisa tenang di tempat seperti kandang babi ini?

Sokrates :
Bukan seperti lagi, tapi memang tempat ini adalah kandang babi. Ya, babi yang rakus, penuh lemak dan cacing pita yang dapat dengan cepat membunuh kita.

Andrean :
Biar kau saja yang mati. Aku mau pergi.

Andrean bergerak ke tempat Penculik keluar tadi, kemudian mencari-cari pintu.

Sokrates :
Dan hanya babi yang selalu mencoba mencari jalan masuk ke kebun orang lain.

Andrean :
Buka! Buka! Aku mau keluar! Aku lapar!

Sokrates :
Tapi sekali babi terkurung, ia akan diberi makan sampai tak bisa bangun lagi karena kekenyangan.

Andrean :
Tempat apa ini. Bagaimana aku harus keluar?

Sokrates :
Ia tak bisa bergerak pergi ke mana-mana lagi, menunggu saat untuk dijagal.

Andrean :
Kau yang babi. Kau babi! Aku mau pergi!

Sokrates :
Dan saat itu juga sang babi kehilangan kemerdekaannya.

Andrean :
Bagaimana untuk keluar dari tempat ini?

Sokrates :
Anak Muda, jika pun kau berhasil keluar dari, kau tetap terkurung juga. Bukankah sudah dikatakan di mana tempat ini. Dan untuk mencari pintu, itu lebih sulit lagi. Aku yakin, kau tak akan dapat menemukannya, apalagi membukanya.

Andrean :
Jadi sampai kapan aku disini?

Sokrates :
Sampai orang tuamu masih tetap pada keputusan bahwa kau masih berhak untuk jadi anak mereka.

Andrean :
Sekarang katakan apa sebenarnya yang terjadi?

Sokrates :
Sebenarnya dai tadi, ketika kau dibawa ke sini, kau sudah harus maklum apa yang terjadi.

Andrean :
Maksudmu?

Sokrates :
Ya, sejenak kebebasanmu kami pinjam, untuk sebuah kebebasan kami.

Andrean :
Apa maksud kalimatmu itu!

Sokrates :
(berguman) Tolol.

Andrean :
Apa?

Sokrates :
Maksudku, ya, apa yang sedang kau alami kini. Bisa dikatakan juga, kami meminjamkan dirimu kepada orang tuamu. Dan untuk itu orang tuamu harus mengembalikannya dengan apa yang kemudian kita sebut sebagai sewa, atau balas jasa.

Andrean :
Oh, jadi aku diculik, begitu?

Sokrates :
Ya, kira-kira begitu.

Andrean :
Untuk kemudian orang tuaku menebus dengan uang, begitu?

Sokrates :
(mengangkat bahu) Mm...

Andrean bangun dan mendekati Sokrates.

Sokrates :
Kau tetap di tempatmu.

Andrean :
Kau lihat, aku lebih muda dan kuat darimu.

Sokrates mundur

Sokrates :
Kau tetap di tempatmu.

Andrean :
Oh, ternyata aku telah tertipu. Dan sekarang aku akan menebusnya.

Andrean mendorong Sokrates hingga terjatuh.

Sokrates :
Hei, apa yang kau lakukan?

Sokrates mencoba bangun, namun didorong jatuh kembali oleh Andrean

Sokrates :
Ingat....

Andrean :
Ingat apa!

Andrean menarik Sokrates dan mencengkeram leher bajunya.

Sokrates :
Walau kau berhasil menjatuhkanku, mungkin juga bahkan membunuhku, tapi kau belum tentu berhasil keluar dari sini.

Andrean :
Mengapa?

Sokrates :
Tempat ini tidak berpintu.

Andrean :
Menggertakku?

Sokrates :
Aku tidak main-main!

Andrean :
Baik. Dan aku akan memaksamu untuk bisa keluar dari sini.

Andrean memukul Sokrates, tetapi Sokrates mengelak dan mendorong Andrean hingga terlempar. Andrean dengan cepat bangun, kemudian memungut sepotong kayu. Kembali ia menyerang Sokrates. Sokrates melompat ke belakang dan mencabut revolver dari balik bajunya, lalu menodongkan ke wajah Andrean.

Sokrates :
Jatuhkan kayu itu, Anak Muda. Jatuhkan cepat.

(Andrean menjatuhkan kayu yang dipegangna). Mundur dan duduk kembali.
Anderan duduk. Sokrates dengan tetap menodongkan revolver, perlahan mundur dan keluar.

Andrean :
(berlari ke tempat Sokrates keluar dan mencari-cari pintu, lalu memukul-mukul dinding). Keluarkan aku! Keluarkan aku!

ADEGAN II

Tempat menggambarkan suatu ruangan pribadi yang berfungsi sekaligus sebagai kantor.
Sekretaris masuk dengan membawa setumpuk surat, yang kemudian ditaruhnya di meja. Satu persatu surat itu dibacanya.
Bos beserta istri Bos (Nyonya) masuk dengan wajah kusut. Di panggung Nyonya hilir-mudik.

Bos :
Sudah ada berita?

Sekretaris :
Belum. Bos, ada juga direktur PT Mau Maju Sendiri, yang mengajak Bos beserta Nyonya makan malam di Restoran Asal Sedap. Itu usulnya, Bos, tapi kalau usul saya, lebih baaik kalau ke langganan Bos saja, di Res...

Bos :
Robin, kau tahu, Robin, bukan itu masalahku. Bukan berita itu yang kutunggu....

Sekretaris :
Ya, Bos. Tapi.... ini, Bos, menurut agenda, Bos hari ini akan memimpin rapat pada direksi, juga ada beberapa tamu, dan nanti sore....

Bos :
Robin! Kau jangan macam-macam.
Kau tahu, ini urusan menyangkut nyawa, nyawa anakku satu-satunya. Apa kaau pikir aku bisa bekerja dalam keadaan begini.

Sekretaris :
Ya, ya, eh-eh, ya, Bos. Mmaaf.

Sunyi.

Nyonya :
Oh, Andrean. Bagaimana nasibmu, anakku. Alangkah teganya orang menculik dia, Papa. Apa salah dia?

Bos :
Tenang, Mama. Aku juga tengah memikirkannya. Sudah berapa hari, Robin?

Sekretaris :
Kira-kira sudah dua setengah hari, Tuan.

Diam

Sekretaris :
Saya telepon polisi saja, ya, Bos, ya.

Nyonya :
Iya, Papa, kita lapor polisi saja, Pap.

Bos :
Jangan, kita jangan bertindak apa-apa, sebelum ada berita lagi dari pada penculik itu.

Nyonya :
Sampai kapan, Pap?

Bos :
Kita tidak tahu. Lagi pula belum ada kejelasan, apa benar-benar Andrean diculik. Jangan-jangan hanya pekerjaan orang iseng belaka, atau mungkin kerja dari mereka yang iri dengan keberhasilanku.

Sekretaris :
Jadi Andreannya kemana, Tuan?

Bos :
Ya, mana aku tahu. Kalau aku tahu, sudah tidak begini urusannya.

Nyonya :
Andrean, tentu dia sudah lapar sekali. Tidak ganti baju. Padahal, menurut schedule dia sore ini ‘kan les piano dan nanti malam dia akan menemaniku ke party.

Sekretaris :
Anda melupakan dia kursus kepribadian juga sore ini, Nyonya. Belum lagi dia juga har....

Nyonya :
Andrean, Papa! Bagaimana kalau dia dibunuh oleh orang-orang jahat itu. Oh, anakku akan mati. Papa, jangan biarkan Andrean dibunuh mereka. Tolonglah Andrean, Papa.

Sekretaris :
Tenang, Nyonya, tenang, ya, nanti jantung Nyonya kambuh.

Nyonya :
Aku mendengar tangisan Andrean, Papa. Dia kedinginan, dia kelaparan. Oh, Papa, dia diikat daan dipukuli oleh orang-orang jahat itu. Andrean, dia menangis menjerit-jerit kesakitan.

Bos :
Mama, diamlah. Jangan memperuncing suasana kita ini lagi. Jangan dulu berprasangka yang bukan-bukan. Segala-galanya belum jelas.

Nyonya :
Tapi...., Andrean, Papa. Oh, anakku. Dia anak kita satu-satunya, Papa. Bagaimana kalau dia dibunuh, Papa.

Bos :
(Kesal). Aku juga mengkuatirkannya, bukan kau saja.

Nyonya :
Apa yang dimakannya di sana, Papa. Kasihan sekali dia. Tolonglah Andrean, Papa. Tolonglah dia. Robin (mendekati Sekretaris). Tolonglah dia.

Bos :
Diamlah, Mama. Diaam.
Kita jangan panik dulu. Paling-paling mereka adalah orang-orang yang mencari uang dengan bermodal resiko. Ya, berharapkan uang tebusan yang tentunya akan tinggi sekali, sesuai dengan kedudukan kita.

Nyonya :
Ya, itu kalau mereka minta tebusan, Papa. Bagaimana kalau tidak, bagaimana kalau mereka punya maksud untuk membunuh Andrean. (Menangis). Oh, apa salah kita, Papa, hingga anak kita jadi korban. Kita tak pernah menyakiti orang lain, ‘kan. Kita tak pernah berbuat salah, ‘kan. Kita selalu membiayai proyek-proyek sosial, ‘kan, membantu anak yatim.... Kita....(merasa kesakitan dan memegang dada dengan tubuh yang limbung). Oh, aku harus berbaring.

Sekretaris :
Mari, Nyonya, saya antarkan Nyonya, ya?

Sekretaris membimbing Nyonya keluar.

Diam

Sekretaris masuk kembali.

Sekretaris :
Maaf, Bos, di luar Pak Jatmika menunggu, dia mau bertemu sesuai janji.

Bos :
Suruh dia pulang.

Sekretaris :
Tapi, Bos....

Bos :
Tidak ada tapi-tapian! Suruh dia temui aku besok.... atau kapan-kapan.

Sekretaris :
Bagaimana dengan pejabat .....

Bos :
Tutup mulutmu, Robin!

Sekretaris :
Maaf, Pak.

Bos :
Apalagi yang kau tunggu! Cepat temui dia dan katakan seperti yang aku bilang tadi.

Sekretaris :
Baik, Bos.

Sekretaris keluar.

Sunyi.

Sekretaris masuk kembali. Sokrates menyusul dengan langkah lebar. Wajahnya penuh tawa.

Sokrates :
Aha, selamat siang! Selamat siang, Tuan eh... Bos. Selamat siang, Pak Sekretaris.

Bos :
Robin, sudah kukatakan, aku tak terima siapa-siapa.

Sekretaris :
Saya tidak tahu, Bos.

Sokrates :
Pertama kali saya minta maaf, karena tidak melalui prosedur untuk bertemu Bos. Saya kira Bos tidak keberatan, bukan?

Sekretaris :
Maaf, Tuan.

Sokrates :
Ah, tidak usah berbasa-basi, kita berada di ruang yang sama, jadi punya keinginan yang sama.

Sekretaris :
Silakan Tuan keluar, Bos tidak terima tanu untuk hari ini.

Sokrates :
Baiklah, nama saya Sokrates.

Sekretaris :
Tidak tanya nama. Silakan pergi.

Sokrates :
Ya, Sokrates, sama seperti nama filsuf Yunani tua. Bedanya jika Sokrates punya murid Plato dan Aristoteles, maka sya cyma punya murid bernama Maksum dan Bustami.

Bos :
Robin, panggil Satpam!

Sokrates :
Ah, tunggu dulu, jangan terburu-buru panggil aparat keamanan.

Sekretaris :
Katakan saja maumu, kemudian cepat pergi.

Sokrates :
Ah, Tuan Sekretaris mulai lagi. Baiklah saya datang menawarkan kebenaran pada anda-anda berdua. Ya, saya mengerti dengan persoalan yang anda hadapi berdua. Tenang saja, seperti kata Sokrates, di mana ada kemauan maka di situ ada jalan.

Bos :
Apa maksudmu. Jadi kau berbicara tentang nasib....

Sokrates :
Ya, karena itu saya datang kemari....

Bos :
Dan akan ada biaya, saya tahu itu.

Sokrates :
Oh, bukan masalah biaya, Bos, tapi ini cuma masalah kejujuran.

Bos :
Ya, ya, kejujuran. Katakanlah cepat.

Sokrates :
Baiklah, sebelumnya saya akan bertanya dulu pada Bos.

Diam

Sokrates :
Mm, apakah anda benar-benar mencintai anak anda itu?

Bos :
Pertanyaan gila. Ya, tentu saja.

Sokrates :
Tidak. Hanya saja jawaban anda belum meyakinkan.

Bos :
Kau jangan main-main. Aku tak punya waktu buat bergurau sekarang. Ya, kau lihat sendiri, bagaimana aku jadi gila rasanya memikirkan dia. Jelas, karena dia anakku, jadi aku bertanggung jawab terhadapnya.

Sokrates :
Tapi belum menunjukkan anda mencintainya, bukan? Kalimat anda terlalu bersintaksis ketat dan terlalu sarat conjunction. Jadi, jelas membutuhkan penafsiran yang dalam.

Bos :
Robin, nyahkan dia!

Sekretaris :
Pergi kau!

Sokrates :
Tunggu dulu. Saya tidak main-main. Saya berbicara tentang nasib seorang anak manusia yang tidak jelas nasibnya sekarang.

Sekretaris :
Taiklah. Pergi! (Mendorong Sokrates).

Bos :
Robin, cepat!

Pengacara masuk dengan berlari-lari sambil mengacung-acungkan selembar surat di tangannya.

Pengacara :
Bos.... Bos....!

Bos :
Aku belum membutuhkanmu, Tuan Pengacara.

Pengacara :
Baca, baca, Bos. (menyerahkan kertas itu kepada Bos)

Bos :
Surat apa lagi ini?
(Membuka surat)

Pengacara :
(Wajahnya seperti riang). Ini surat dari penculik Andrean, Bos. Kutemukan di tumpukan surat-surat penting di kantor, Bos.

Bos :
Mm.... (mengangguk-angguk, namun belum membaca)

Pengacara :
Karena kupandang penting, maka kubawa untuk Bos.

Bos :
Mm.

Pengacara :
Kemudian... kemudian aku.... aku....

Bos :
Kapan aku bisa mulai untuk membaca, Tuan Pengacara yang terhormat.

Pengacara :
Eh, ya, ya, Bos. Silakan.

Bos :
(Membaca surat itu. Tiba-tiba wajahnya berubah tampak gembira)
Andrean akan dibebaskan. Mereka akan membabaskan Andrean. Coba kau baca.
(Menyerahkan surat kepada Sekretaris).
Mama.... Mama!

Pengacara :
Eh, saya yang menemukan surat itu tadi, Bos.

Nyonya keluar.

Nyonya :
Ada apa, Papa? Apa sudah ada berita tentang Andrean?

Bos :
Ya, mereka akan membebaskan Andrean.

Nyonya :
Benarkah itu? (Riang). Dan tebusannya?

Bos :
Tanpa tebusan!

Sokrates :
Dan tak ada kebebasan itu gratis.

Bos :
Robin, bacakan untuk nyonyamu surat itu.

Pengacara :
Nyonya, tadi , eh, saya yang temukan surat itu di tump....

Sekretaris :
(Membaca surat). Salam, anak anda selamat dan akan segera kami bebaskan. Sekian. Tertanda kami yang akan membebaskan.

Nyonya :
Oh, anakku Andrean akan kembali pulang. Oh, Papa, aduh.... (Seperti orang bingung).

Pengacara :
Surat itu tadi saya....

Bos :
Ya, Mama.... Andrean aka dibebaskan. (Juga seperti orang bingung). Mama, apa perlu kita rayakan kedatangan Andrean?

Nyonya :
Ya, benar, benar sekali, Papa. Oh, Andrean, berarti malam ini jadi dia menemaniku ke party. Kau tahu, Papa, di party itu nanti akan segera direncanakan kegiatan sosial perusahaan kita.

Bos :
(Dengan napas terengah-engah). Robin! Persiapkan sebuah pesta untuk menyambut kepulangan Andrean. Undang semua relasi dan kenalan terbaik kita.

Nyonya :
Jangan lupa istri gubernur, ‘kan, Papa. Kau tahu dia itu ‘kan kawan akrabku.

Bos :
Ya, eh.... eh....

Nyonya :
Jangan lupa undang juru masak terbaik.

Pengacara :
Tapi kita belum tahu kapan Andrean dibebaskan, Bos.

Bos :
Tidakkah kau baca itu, bodoh, segera.... segera...!

Sokrates :
Kebebasan pun jadi tak jelas juga nasibnya.

Bos :
Mari, Ma, kita harus segera bersiap.

Bos dan Nyonya keluar.

Sunyi.
Sokrates, Sekretaris dan Pengacara tidak bergerak.

Sokrates :
Dan dapatkah kta menarik maknanya sekarang?

Pengacara :
Dan bagaimana dengan uangku?

Sekretaris :
Uang? Uang? Uang katamu. Tidakkah kau sadari semua ini tindakan balas dendam. Dan satu hal, siapa yang menulis dan mengirim surat itu.

Pengacara :
Yang jelas bukan saya.

Sokrates :
Kita tidak usah berpura-pura lagi. Kita harus menyatakan bahwa tindakan kita menculik anak itu adalah sekedar hiburan. Sebuah hiburan yang memiliki resiko.
Aku pergi dulu.

Sokrates keluar.

Pengacara :
Sekarang bagaimana dengan aku?

Sekretaris :
Apa?

Pengacara :
(Kesal). Iya, kau ‘kan tahu aku ditunjuk oleh Bos untuk mengurus semua masalah. Ya itu penggusuran tanah....

Sekretaris :
Penertiban.

Pengacara :
Ya, penertiban. Kemudian tentang.....

Sekretaris :
Besok saja.

Pengacara :
Besok bagaimana? Ini harus diselesaikan secepatnya. Hari ini setidaknya separuh. Lagi pula kau harus tahu, sore ini saya sudah janji untuk pergi memancing.

Sekretaris :
Ya, pergilah memancing.

Pengacara :
Tuan Sekretaris jangan meremehkan saya. Saya jelas tersinggung. Saya dibayar untuk urusan ini, dan saya tidak mau makan gaji buta. Tugas-tugas saya ini sama pentingnya dengan kegiatan saya memancing sore nanti.

Nyonya :
(Hanya suara). Robin, ada apa ribut-ribut!

Sekretaris :
Ah, ti-tidak a-ada apa-apa, Nya.
Nah, kau lihat itu. Sekarang cepat saja, katakan maumu. Kemudian cepat pergi.

Pengacara :
Tidak bisa! Tuan sudah menghina saya, sudah meremehkan kesarjanaan saya. Saya tidak terima itu.

Sekretaris :
(Meletakkan jari di bibir). Sst, jangan terlalu ribut.

Pengacara :
Saya bisa saja membongkar semua kebusukanmu. Saya bisa. Coba, kalau tidak ada saya, apa kau mau mengerjakan tugas-tugas ini. Ayo, coba jawab?

Sekretaris :
Jadi kau mau berhenti?

Pengacara :
Ya, eh, tidak, tidak. Bukan itu maksudku.

Sekretaris :
Jadi?

Pengacara :
Cobalah tuan mengerti, karena tugas-tugas ini saya tidak bisa tidur dengan tenang. Keluarga saya terancam....

Sekretaris :
Ya, ya. Jadi?

Pengacara :
Jadi, ya.... Eh, kalau bisa saya bisa terima dulu uang mukanya....

Sekretaris :
Ah, kalau cuma itu.... (Sekretaris tertawa, diikuti tawa Pengacara. Tawa Sekretaris mendadak berhenti). Tidak bisa!

Pengacara :
Tuan....

Sekretaris :
Ya, tidak bisa. Uang muka apa! Kau ‘kan tahu, kita sudah sepakat tidak ada tebusan.
Tidak ada itu.

Sekretaris keluar.

Pengacara :
Hei, jangan pergi dulu. Hei, kau dengar, aku bisa melaporkan ke siapa saja bahwa kau yang merencanakan menculik anak itu, dan aku akan katakan di mana dia sekarang.

Sekretaris :
(Muncul lagi hanya kepalanya saja dari balik dinding). Kau berani?

Pengacara :
(Ragu-ragu). Be...., eh.... iya, be-berani.

Sekretaris : Siplah, Pengacaraku yang gagah berani. Tapi, ingat bahwa kau tetap juga tidak akan mendapatkan apa-apa. Mengerti?
Nah, selamat memancing.

Sekretaris keluar diikuti Pengacara yang keluar dengan wajah kesal.

ADEGAN III

Andrean duduk dengan lesu di tempat yang agak tinggi. Sokrates masuk dan berdiri di sudut lain.

Sokrates :
Apa kabar, Anak Muda?

Andrean :
Baik.

Diam
Andrean :
Tapi tetap aku belum mengerti, bagaimana kau bisa masuk dan keluar dari tempat ini.

Diam

Andrean :
Sementara aku bingung mencari daun pintu atau yang lainnya yang sekiranya dapat mengeluarkan aku dari sini.

Sokrates :
Kau benar-benar ingin keluar?

Diam

Andrean :
Sudah berapa lama aku di sini?

Sokrates :
Dua minggu. Mungkin...

Andrean :
Dua minggu. Untuk waktu yang pasti. Untuk waktu tidak pasti tentu sudah lama sekali aku di sini. Berarti selama waktu itu juga aku telah meraba-raba. Selama waktu itu juga aku kaget setiap aku terbangun dari tidur, ketika menyadari di mana, ketika menyadari bahwa aku sendiri.

Sunyi.

Sokrates :
Kau telah berubah.

Andrean :
Tidak ada yang berubah. Aku telah gagal keluar dari sini, hingga membuat aku harus menyesuaikan diri dengan tempat di mana aku kini. Tanpa kamar mandi yang baik, tanpa makanan yang sehat, tanpa listrik, televisi, lagu-lagu dan lebih gila lagi tanpa pintu dan jendela untuk menerka hari.

Sunyi.

Andrean :
Apa kabar orang tuaku?

Sokrates :
Mereka baik.

Andrean :
Apa maksud baik itu?

Sokrates :
Ya, masih diberikan kebaikan untuk tetap memikirkanmu. Kau rindu dengan mereka?

Diam.

Andrean :
Kemarin, ya.

Diam.

Andrean :
Sekarang tidak.
Aku bosan rindu, aku bosan keinginan, jika yang kuhadapi setiap waktu adalah dinding bisu yang sama sekali tidak bersahabat.
(Melakukan gerak kesal).
Ah, sekarang katakan padaku, mengapa aku harus dikurung di tempat seperti ini?

Sokrates :
Agar kau tak dapat melarikan diri.

Andrean :
Seorang narapidana pun dibelenggu kebebasannya, tapi mereka masih bisa merasakan sedikit kebebasan, seperti bersisir di depan cermin pribadi. Tapi di sini?

Sokrates : Kau ingin bersisir? (Sokrates mengeluarkan sisir dari balik pakaiannya)

Diam

Sokrates :
Tapi seorang narapidana juga tak dapat melarikan diri, bukan?

Andrean :
Mereka punya kesempatan untuk itu. Di sini? Menerka siang atau malam pun aku tak dapat. Jangan-jangan bayanganku pun telah kalian kurung juga. Yang kutemukan cuma kebosanan dan kejenuhan.

Sokrates :
Untuk itulah kau dikurung di sini.
(Beranjak pergi).
Satu hal, Anak Muda, di tempat ini ada sebuah buku yang harus kau cari dan kau baca.

Andrean :
Hei! Mana! Mana! Mana buku itu!
Tunggu! Jangan pergi dulu!

Sokrates keluar.

Andrean :
Mana buku itu (Mencari dengan tergesa-gesa). Tidak kutemukan. Mana.... Mana....! Buku! Buku, buku apa! (Mencari ke semua sudut, lalu terduduk dengan lesu. Ketika menatapa tempat Sokrates keluar, dia kaget). Pintu? Pintu! (Berlari ke arah yang dimaksud, namun segera membentur dinding hingga terjatuh). Ah, mana pintu itu? (Menatap ke belakang ke sudut lain). Di sana! (Berlari kembali ke sudut lain, namun membentur dinding dan terjatuh kembali. Andrean menjadi marah). Mana pintu itu! MANAAA.....! (Memukul-mukul dinding). Keluarkan aku, keluarkan aku.... keluarkan aku.... keluarkan aku.... (Suara semakin merendah). Oooh.... (Tersandar ke dinding dan perlahan melorot jatuh).

Sunyi

Andrean :
Ya, aku adalah ikan yang terperangkap dan tak dapat keluar lagi.
Aku adalah seekor tikus yang terperangkap dan tak dapat keluar lagi.
Aku adalah babi yang terperangkap dan tak dapat keluar lagi.
Aku adalah ikan, adalah tikus, adalah babi yang tak dapat melepaskan diri dari perangkap.
(Perlahan berdiri dan bersandar di dinding)
Pintu?
(Berdiri dan berjalan ke arah yang dimaksud, namun dalam beberapa langkah berhenti kembali. Andrean menggeleng-geleng).
Pintu? Pintu. Pintu.
Pintuuuuu!.
Aku tak percaya pada pintu?

Andrean berdiri dan berlari ke arah pintu dan keluar, lalu muncul kembali dari sudut lain.

Andrean :
Di mana ini? (Berbalik melihat pintu telah tidak ada lagi). Hei, kemana pintu tadi? Ruangan ini tidak berpintu lagi. Di mana aku.

Pengacara muncul dari sudut lain.

Pengacara :
(Kaget). Hei, kau. Bagaimana kau bisa ke sini?

Andrean :
Aku tidak tahu.

Pengacara :
Tempat itu sudah dirancang khusus, kok kau bisa keluar.

Andrean :
Nyatanya aku telah keluar.

Pengacara :
Pasti telah terjadi kerusakan pada sistem dan struktur. Tidak mungkin terjadi. Pasti seseorang yang telah memberi tahu padamu.

Andrean :
Tidak ada yang memberi tahu padaku. Ya, tiba-tiba saja aku melihat ada pintu, aku keluar dan tiba di sini. Bagaimana?

Pengacara :
Ah, enggak munggkin. Pasti.... ssh, aku jadi pusing (Memegang kepalanya). Aku harus minum obat. (Mengeluarkan botol obat dari kantung baju, yang diminum kemudian dengan tergesa-gesa). Aaah....

Sekretaris masuk dari tempat Andrean masuk tadi.

Sekretaris :
Pengacara, kemana anak itu.... (Melihat ke Andrean dan kaget). Hei, kau di sini? Bagaimana kau bisa keluar?

Andrean :
Tuan itu tadi juga bertanya demikian. Dan sekarang tuan juga. Baik saya akan jawab...

Diam.

Andrean :
Karena saya telah ditebus.

Sekretaris & Pengacara :
Ditebus?

Andrean :
Ya, telah ditebus dengan kebebasanku.

Sekretaris :
Kebebasan? Dan sekarang kebebasanmu?

Andrean :
(Tertawa). Telah kubebaskan.

Sekretaris :
Kemana?

Andrean :
Ke kebebasanku. (Makin keras tertawa).

Pengacara :
(Kepada Sekretaris). Mengapa ia tertawa?

Andrean :
Karena aku telah bebas, maka aku dapat dapat tertawa.

Pengacara menarik Sekretaris ke sudut.

Pengacara :
Sekarang bagaimana?

Sekretaris :
Bagaimana apa?

Pengacara :
Ya, bagianku.

Sekretaris :
Apa bagianmu?

Pengacara :
Ya, bagianku.

Sekretaris :
Bagianmu yang mana?

Pengacara :
Ya, bagianku.

Sekretaris :
Sontoloyo, tidakkah kau tahu urusan jadi kacau semua.

Pengacara :
Lha, ‘kan sudah saya katakan, biar saya yang membereskan semua urusan itu.

Andrean :
Dan hari ini adalah tebusan.

Sekretaris :
Urusan apa?

Pengacara :
Ya, urusan penggusuran tanah, ur....

Sekretaris :
Penertiban.

Pengacara :
Ya, ya, itu. Juga dan lain-lainnya, tapi Tuan tidak percaya pada saya.

Sekretaris :
Bukan urusan itu, kerbau.

Andrean :
Satu ruang lagi membebaskanku.

Pengacara :
Jadi urusan apa?

Andrean :
Telah kutebus kebebasanku.

Sekretaris :
Ya, urusan ini.

Andrean :
Selamat tinggal kebebasan.

Pengacara :
Jadi?

Andrean :
Maka.....

Sekretaris :
Kita sekarang juga ikut terkurung!

Pengacara :
Terkurung?

Sekretaris :
Iya, tolol. Takkah kau lihat kalau kita pun sudah kehilangan pintu.

Pengacara :
Pintu? Itu..... (menunjuk ke arah pintu)
Pintu? Mana pintu itu!

Andrean :
Yang menggali lobang masuk lobang.

Andrean keluar sambil tertawa-tawa.

Sekretaris :
Hei.... (Berlari menyusul Andrean).

Pengacara :
Hei, tunggu aku!

Pengacara menyusul Sekretaris ke tempat Andrean keluar tadi, namun keduanya hanya membentur dinding dan terjatuh.

Pengacara :
Di sana! (Menunjuk ke sudut lain dan segera berlari cepat, disusul oleh Sekretaris).

Pengacara dan Sekretaris keluar.

Sekretaris :
(Hanya suara). Tidak ada pintu lagi!


ADEGAN IV

Bos dan Nyonya masuk dengan wajah riang dan tubuh linglung, karena banyak minum.

Bos :
Pesta yang menyenangkan.

Nyonya :
Ya, menyenangkan.

Sokrates masuk dan berdiri agak tepi memperhatikan Bos dan Nyonya.

Bos :
Aku lelah sekali. Sekarang aku ingin tidur, setelah beberapa hari ini aku kurang tidur.

Nyonya :
Ya, setidaknya agak lebih ringan memikirkan Andrean sekarang.

Bos :
Ya, dia akan segera dibebaskan. Tanpa tebusan. (Tertawa). Tak mengerti aku, apa maksud penculik-penculik itu.

Nyonya :
Mungkin kita terlalu kuat untuk digertak dan diperlakukan demikian. Kau setuju pikiranku, Papa?

Bos :
Ya, Mama, aku setuju sekali.

Sokrates masuk dengan santai

Sokrates :
Dan aku juga akan menyetujuinya.

Serentak bos dan Nyonya melihat ke arah Sokrates.

Bos :
Kau?

Nyonya :
Siapa dia, Papa? Apa termasuk tamu kita juga tadi?

Sokrates :
Bukan, Nyonya. Aku bukan termasuk dalam tamumu tadi, tapi aku termasuk dalam orang-orang yang harus melibatkan diri dalam alasan terjadinya pesta tadi.

Bos :
Kau jangan beromong kosong lagi.

Sokrates :
Aku tak beromong kosong, tuan, aku hanya mengkuatirkan nasib anakmu.

Bos :
Mengapa kau terlalu usil, sih?

Sokrates :
Aku bukannya usil, Tuan, tetapi aku ingin meletakkan sesuatu masalah pada komposisi yang sebenarnya.

Bos :
Komposisi apa? Kalau kau ingin uang, katakan saja, akan aku berikan. Kau terlalu mengganggu.

Sokrates :
Aku tidak mengganggu, Tuan, tetapi aku cuma mengkuatirkan nasib anakmu.

Bos :
Mengkuatirkan apa? Andrean akan segera dibebaskan. Kau tahu itu!

Sokrates :
Dan Tuan percaya itu?

Bos :
Apa urusannya denganmu! Apa pedulimu dengan anakku.
Kau ingin disebut sebagai pahlawan, kaena menyelamatkan anakku?
Oh, terlambat, Tuan. Terlambat. Sekarang Andrean akan segera dibebaskan.

Sokrates :
Tidak, aku tidak terlambat, Tuan.

Bos :
(Mengeluarkan secarik kertas dari saku dengan gerakan kesal). Kau baca ini. Baca. (membaca). Salam, anak anda selamat dan akan segera kami bebaskan. Nah, apa kau mau kata lagi.

Sokrates :
Sudah berapa lama tuan terima dan baca surat itu. Sudah hampir satu bulan, bukan?

Bos :
Ya kenapa?

Sokrates :
Jadi, selama itu juga tuan telah memundurkan waktu. Segera..... Segera..... Tapi kapan, Tuan? Kapan?

Bos :
Ya, segera.

Sokrates :
Kapan?

Bos :
Segera!

Sokrates :
Kapan?

Bos :
Segera!

Sokrates :
Kapan?

Bos :
Segera!

Sokrates :
Kapan?

Bos :
Ya, segera!

Sokrates :
Kapan?

Bos :
Se-se-segera....

Diam

Sokrates :
Tuan, sekia kali saya bertanya, maka sekiran kali juga saya mendapatkan jawaban yang abstrak.

Bos :
Abstrak? Apa abstrak maksudmu itu? Segera jawabku, ya, berarti segera.

Sokrates : Dan kapan segera itu menjadi sekarang? SE-KA-RANG! (Tertawa). Tentu jawab Tuan adalah segera juga, bukan?

Sunyi.

Sokrates :
Dua keadaan yang berbeda. Yang satu berharap segera, sementara yang disegerakan tak tahu lagi bagaimana berharap.

Bos :
Kau bicara apa?

Sokrates :
Aku hanya sekedar menyatakan keadaan.

Bos :
Keadaan apa? Siapa kau sebenarnya?

Sokrates :
Tahukah, Tuan, jika anak anda sekarang tidak tahu apa-apa, sementara Tuan dan Nyonya seolah-olah telah mengetahui apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi.

Sunyi.
Terdengar suara Andrean berteriak-teriak.

Andrean :
Keluarkan aku, aku tak butuh harapan lagi. Aku butuh keluarkan aku dari sini.

Sunyi.

Andrean :
Kebebasanku telah hilang.
Aku telah bebas!
Aku telah bebas!

Sunyi.

Nyonya :
Papa, apakah sepertinya orang ini benar, Papa?

Andrean :
(Hanya suara). Aku jijik dengan diriku sendiri. Lepaskan aku!

Bos :
Maksudmu?

Nyonya :
Papa, tidakkah selama ini kita telah terbius harapan. Harapan Andrean segera dibebaskan.

Bos :
Mama, bukankah memang benar demikian.

Nyonya :
Tapi kita tak tahu kapan ia dibebaskan.

Bos :
Y-ya, se-se-ge-ge-ra!

Nyonya :
Kapan, Papa?

Bos :
.....  

Sunyi.

Nyonya :
Aku ingin segera menjadi sekarang. Tidakkah kau sadari, Papa, setiap saat, setiap hari kita baca surat itu, tapi adakah sesuatu yang berubah? Ada, Papa?

Diam.

Nyonya :
Tidak, tidak ada. Tidak ada yang berubah.

Sunyi.

Nyonya :
Tidakkah kita sendiri yang nyatanya telah menculik Andrean, Papa.
Ooh, orang tua apa kita ini. Manusia apa kita ini. Kita membebaskan diri kita, namun sebaliknya kita juga mengurung diri kita dalam harapan yang semu sama sekali.

Sokrates :
Ya, kita sendiri yang menculik dan mengurungnya dalam harapan kita.

Sunyi.

Nyonya :
Oh, Andrean, anakku.

Sunyi.

Bos tertunduk.

Bos :
Ya, kita telah jadi penculik atas diri kita sendiri.

Sunyi.
Terdengar suara-suara memanggil-manggil Sokrates.

Sekretaris & Pengacara :
Sokrates.....! Sokrates....! Keluarkan kami!

Bos :
Siapa itu! Seperti Sekretaris dan Pengacaraku. Di mana mereka. Aku tengah panik seperti ini, mereka malah tidak ada di di tempat. Di mana mereka. Robin! Pengacara! Ah, siapa pula nama Pengacara goblok ini.

Sokrates :
(Bergerak keluar, namun di sudut berbalik lagi). Satu hal yang tuan dan Nyonya harus ketahui, anak malang itu terkurung di sebuah tempat tak jauh dari sini.

Sokrates keluar.

Nyonya :
Hei, tunggu! Katakan di mana Andrean!

Bos :
Hei!

Nyonya :
Di mana Andrean!

Bos :
Hei!

Nyonya :
Di mana anakku! Papa, cepat susul dia.

Nyonya keluar.

Bos :
Robin! Pengacara! Robin! Ah, siapa sih nama Pengacara ini!

Bos keluar

ADEGAN V

Andrean masuk.

Andrean :
Aku telah bebas, tinggal bagaimana aku pergi dari sini. (Duduk dan menatap sekelilingnya lalu kaget). Ah...., ah..... (Bingung).
Bukankah ini tempat aku dikurung tadi. Mengapa aku kembali lagi ke sini. Aku... (Melihat ke arah pintu). Ah, itu pintu. Aku harus segera pergi.

Andrean keluar dan masuk kembali dari sudut lain kemudian terduduk.

Andrean :
Aah....

Sunyi.
Andrean menatap sekelilingnya dan menjadi kaget.

Andrean :
Hei, ini ‘kan ruang kerja papa (memutari panggung beberapa kali). Ya, aku tidak salah. Aku tidak bermimpi (mencubiti tangannya sendiri dan bingung). Bagaimana ini, berarti selama ini aku dikurung di rumahku sendiri. Dan hutan...? Gunung...?

Sunyi.

Andrean :
Ya. Ya..... Mengapa aku tak menyadarinya selama ini.

Bos dan Nyonya masuk. Kaget melihat Andrean. Keduanya bergerak untuk memeluk Andrean, namun Andrean dengan cepat mengelak.

Bos & Nyonya :
Andrean! Kau pulang anakku.

Andrean :
(Lama menatap Bos dan Nyonya)
Siapa kalian?

Nyonya :
Andrean, aku mamamu. Ini papamu. Ada apa dengan kau, anakku?

Andrean :
Mama? Papa? Aku tidak kenal kalian.

Nyonya :
(Kepada Bos). Pap, anak kita, Pap. Apa yang terjadi.

Bos :
Ya, apa yang terjadi. Mungkin di sakit. Mari kita bawa, Ma.

Andrean :
Sakit? Siapa yang sakit? Aku? Aku tidak sakit?

Bos :
Tapi mengapa kau tak mengenali kami?

Andrean :
Mengenali bagaimana?
Aku tak kenal kalian.
Tapi, tunggu.... Apakah kalian termasuk sebagai penulis-penulis sejarah?

Nyonya :
Penulis sejarah?

Andrean :
Ya, penulis sejarah yang telah membohongi sejarah tentang diriku, karena bukankah kalian pun telah mengaku-aku sebagai orang tuaku.

Nyonya :
Andrean, mengapa kau bicara demikian dengan orang tuamu, Nak?

Andrean :
Hei, aku bukan anak kalian!
Aku tidak kenal kalian.

Bos :
Andrean...!

Andrean :
Maaf, pengalaman dalam keterkurungan telah membuat aku memiliki kesan yang remang-remang tentang orang tuaku dan orang-orang lainnya.

Nyonya :
Mengapa kau jadi anak durhaka, Andrean?

Andrean :
Durhaka? Tidak, aku tidak durhaka. Aku tahu, jika durhaka adalah perbuatan yang salah besar, tapi aku tak pernah melakukan kesalahan itu kepada orang tuaku.

Nyonya :
Nyatanya?

Andrean :
Apa nyatanya. Jika memang kalian orang tuaku, maka aku telah melakukan dosa besar, tapi kalian bukan orang tuaku, jadi bagaimana aku dikatakan durhaka?

Nyonya :
Tahukah kau, Andrean, bagaimana kami bingung mencarimu, siang malam tak tenang, memikirkan dirimu, masih hidup atau mati. Aku telah tidak tentu rasanya.

Bos :
Ya, kami keluarkan biaya berapa saja untuk menyelamatkanmu. Kami korbankan apa saja. Kau tak tahu itu.

Andrean :
Ya, terima kasih jika memang kalian melakukan itu. Tapi maaf, kalian mungkin salah orang...

Bos :
Salah orang?

Andrean :
Karena yang kalian tolong tentu bukan aku. Aku bukan anak kalian.
Aku tidak kenal kalian

Nyonya :
Andrean?

Andrean :
Maaf, Nyonya, aku adalah yang menolong diriku sendiri.

Nyonya :
Andrean, anakku?

Sunyi.

KODA 1
Lampu padam. Seluruh pemain bergerak
Lampu nyala
Semua pemain mematung dalam pose potret keluarga

Andrean :
Maaf, Nyonya, mungkin adalah kebetulan tertitipkan aku di rahimmu

Lampu padam

KODA 2
Lampu nyala
Pose semua pemain mematung, Andrea meletakkan kepala di lutut Nyonya.

Andrean:
Tapi.... maaf, aku bukan anakmu.

Lampu Padam

KODA 3
Lampu nyala
Semua pemain mematung. Andrean berdiri di dekat bangku panjang tempat ia duduk waktu diculik.
Lampu padam

KODA 4
Lampu Nyala
Andrean duduk di atas bangku panjang dengan memeluk lutut

Andrean :
Nyatanya aku terkurung di rumahku sendiri.
Terkurung di ruangan yang orang tuaku pun tak mengetahuinya.
Bahkan mungkin tak tertera lagi di peta kehidupan mereka.
Tahukah kalian,
Apa peta dan ruangan itu?
Adalah kehidupanku yang terbelenggu!
Aku tidak kenal kalian.
Aku tidak kenal mereka.

TAMAT

Bengkulu, Juli 1995
Diperbaiki akhir Februari 2007
Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "DRAMA: CULIK"