Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TRAVELING: KEPAHIANG - TANJUNG KARANG - BENGKULU, 1200 KM BERSAMA HONDA SUPRA FIT (BAGIAN 2)


Sekitar pukul 6 kami telah siap. Setelah mandi badan terasa menjadi begitu segar, apalagi malam tadi juga kami tidur nyenyak sekali. Setelah sarapan dan minum kopi yang disediakan oleh pihak motel, sambil mengisap rokok aku dan Desma duduk dan mengobrol di teras motel, sembari memanaskan sepeda motor.

Hari Kedua : Muara Enim - Kotabumi, 19 Maret 2009

Pukul 06.30, check out dari motel.
Ini bukanlah perjalanan pertamaku ke Lampung. Aku sering ke Lampung, baik menggunakan bus, travel ataupun kereta api, apalagi Lampung juga adalah tanah leluhurku. Nenek dari pihak ayah juga berada di Lampung, selain itu banyak keluargaku di sana. Namun, inilah pertama kali aku ke Lampung dengan sepeda motor. Jika di mobil kita tidak begitu banyak memperhatikan pemandangan di luar, itu pun kalau tidak tidur, maka kali ini, di atas sepeda motor aku benar-benar sadar bagaimana kondisi dan situasi perjalanan.

Keluar dari Muara Enim, dan memasuki wilayah Gunung Meraksa, kami benar-benar melewati jalan yang sempit dengan aspal yang compang-camping di sana-sini. Melewati beberapa pemukiman masyarakat di wilayah pegunungan itu jalan pun semakin terasa sempit, karena pagar-pagar rumah penduduk begitu rapat dengan bahu jalan. Jika kita begitu tepi, dari dalam pagar sepertinya orang bisa saja menarik ubun-ubun kita.

Ini benar-benar membuat suasana kami sedikit tegang, dan semakin menjadi-jadi saat melalui hutan yang dibatasi oleh tebing-tebing tinggi dan jurang di sisi lainnya. Suasana juga benar-benar sunyi, masa suara monyet pun tidak terdengar? Walaupun suasana ini sebenarnya tidak begitu asing bagiku, karena tidak begitu jauh berbeda dengan suasana perjalanan Kepahiang-Bengkulu. Namun, ini negeri orang, wilayah yang telah lama memiliki stigma negatif dengan kisah-kisah kelam kriminalitas yang sering terjadi di sana. Doa dalam hati pun tak henti-henti diucapkan untuk keselamatan kami, dan berharap semoga sepeda motor pun bisa selalu berdamai dan berpihak pada suasana hati kami.

Tuhan, lindungilah kami selalu.

Aduh, tak terbayangkan, bagaimana kalau pecah ban atau hal celaka lainnya? Di mana mencari bengkel di tengah hutan di pegunungan jika tunggangan kami itu bermasalah? Tidak berani membayang jadi orang tolol yang mendorong motor mogok di tengah-tengah hutan ini.

Baturaja

Sekitar pukul 11 siang kami memasuki Baturaja, ibukota Kabupaten Ogan Komering Ulu. Melewati jalan raya sisi luar kota ini kami disergap oleh debu jalanan yang pekat tanpa henti, karena kendaraan-kendaraan besar penuh hilir mudik. Maklum, Baturaja adalah kota industri, dan jangan lupa ada salah satu pabrik semen terbesar di Indonesia di sana. Itu belum terhitung pula dengan truk-truk yang mengangkut batu bara, sawit, kayu dan bahan industri lainnya.

Sementara cuaca pun benar-benar terasa terik. Pantat terasa panas digigit oleh jok motor, wajah seperti dicor, tebal oleh debu dan mata begitu pedih. Kaca helm juga tak banyak membantu, karena bukan helm yang bisa menutup seluruh wajah, dan kami juga tidak memiliki masker.

Setelah mengisi bensin di satu SPBU kami makan di sebuah rumah makan kecil. Selanjutanya memutuskan untuk mencari tempat untuk beristirahat. Karena azan zuhur telah berkumandang, maka kami putuskan istirahat di mesjid saja.

Di sebuah mesjid yang cukup besar di tepi jalan lintas kami berhenti. Benar-benar segar sekali wajah terkena air ketika berwudu. Setelah sholat zuhur di mesjid itu, aku dan Desma membaringkan badan dulu di teras samping mesjid itu. Ha, benar-benar kami tertidur rupanya. Lumayan, ada kurang lebih 1 jam rasanya kami tidur.

Provinsi Lampung

Sore kami telah memasuki Provinsi Lampung. Perjalanan kami tidak lagi begitu lancar, walaupun rata-rata aku memacu sepeda motor hingga di kecepatan 80 km/jam lebih. Hambatan yang paling terasa adalah panas menyengat di wilayah pantat. Hampir setiap 10 km kami harus berhenti, untuk mendinginkan pantat dan meneteskan obat tetes mata yang sempat dibeli saat masih di Baturaja.

Selain obat tetes mata, kami juga membeli bedak talek. Bukan untuk wajah atau tubuh, tapi bedak talk itu ditaburkan ke pantat. Maka setiap berhenti, aku akan mencari tempat yang tersembunyi, membuka celana dan menaburkan bedak ke pantatku yang sudah tepos dan sudah semakin tipis saja dalam satu hari itu. Walau tidak banyak membantu, tapi lumayanlah bisa menyejukkan pantat yang panas disengat jok motor. Rasa-rasanya pantat sudah berakar karena panas itu.

Bukit Kemuning

Di Bukit Kemuning aku menelepon kawan-kawan Teater Satu Lampung untuk meminta konfirmasi kapan acara pembukaan. Dari Hamidah, seorang aktris andalan Teater Satu yang menjadi narahubungku, aku mendapat informasi acara pembukaan besok pukul 14. Hamidah juga menyarankan, jika aku sudah tiba di Tanjung Karang agar menuju saja dulu ke Sekretariat Teater Satu untuk menginap, karena untuk ke hotel juga belum bisa check in.

Tapi aku sudah punya rencana lain, yakni menginap di rumah adik ayah di Kotabumi. Di sana juga aku akan bertemu dengan Atu (panggilan buat nenek) yang sudah lama juga aku tak bertemu dengan beliau.

Kotabumi

Celakanya, begitu tiba di Kotabumi, aku lupa atau tepatnya tidak begitu paham lagi alamat rumah Abi, panggilan sapaan buat adik ayah yang bernama Lubis. Walau sering ke Lampung, tapi sudah lama juga aku tak mampir di Kotabumi.

Setelah bosan keliling kota mencari alamat dan tidak temu-temu, dengan hati bengkak kami kemudian berhenti dulu di sebuah taman kota di daerah Kali Umban. Hm, aku pernah cukup kenal daerah ini, karena di dekat sini dulu ada rumah keluarga kami, cuma aku tidak jelas lagi alamat persisnya. Taman ini dulu juga seingatku cuma lapangan kecil berbelukar.

Di seorang pedagang asongan di taman itu kami memesan kopi. Duduk di rumputan, sambil menikmati kopi yang rasanya aneh itu, mungkin karena digodok dari air termos yang tidak begitu panas lagi, aku dan Desma mendiskusikan rencana hari ini. Seandainya tidak juga temu rumah keluarga, apakah kami akan off dulu di Kotabumi atau lanjut saja ke Tanjung Karang. Kalau off, lalu mau apa di Kotabumi ini, tentu saja untuk tidur tidak mungkin, hari belumlah pula terlalu sore.

Mas Asongan itu aku ajak ngobrol. Dia berlogat Jawa, tapi dia bilang jika dia sendiri kelahiran Kotabumi.

Nah, ini...

"Kalau Mas memang asli orang sini, berarti Mas tau dong di mana lampu merah pertama di kota ini?" tanyaku kemudian. Aku masih sangat ingat, untuk menuju ke rumah Abi itu ada simpang empat di jalan protokol, dimana di sanalah lampu merah pertama di kota ini.

"Wah, itu masih ke sana lagi, Mas," jawab Mas Asongan yang ramah itu. "Ke arah Tanjung Karang sana, di sana lampu merah pertama di kota ini."

Ok, dapat! Langsung saja segera ringan kepalaku, dan kepada Desma aku bilang malam ini kita akan bisa tidur dengan nyaman. Tiba-tiba kopi yang tidak jelas ID-nya itu pun menjadi nikmat sekali.

Tiba di rumah Abi aku disambut oleh Atu yang kebetulan sedang duduk di teras rumah. Sebelumnya ia pangling melihatku, bahkan saat aku menyalami dan mencium tangannya dia masih bengong, bingung siapa yang datang ini. Aku maklum, sudah lama tidak bertemu ditambah juga faktor usia beliau yang sudah mendekati 80 tahun pastilah dia lupa kepadaku. Dan, setelah aku mengingatkan kepada beliau siapa aku, hampir pingsan Atu berteriak memeluk dan menciumku habis-habisan.

Aku pun kemudian menangis dalam pelukannya.

Dan, setelah acara melepas rindu usai, aku pun dimarahinya habis-habisan. Apa tidak ada mobil lagi, sampai harus pakai motor, ngga ada duit apa kamu, omelnya. Aku pun cuma diam....

(Bersambung)

Kisah sebelumnya:
TRAVELING: KEPAHIANG - TANJUNG KARANG - BENGKULU, 1200 KM BERSAMA HONDA SUPRA FIT (BAGIAN 1)

Kisah selanjutnya
TRAVELING: KEPAHIANG - TANJUNG KARANG - BENGKULU, 1200 KM BERSAMA HONDA SUPRA FIT (BAGIAN 3)

Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "TRAVELING: KEPAHIANG - TANJUNG KARANG - BENGKULU, 1200 KM BERSAMA HONDA SUPRA FIT (BAGIAN 2)"