Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TRAVELING: KEPAHIANG - TANJUNG KARANG - BENGKULU, 1200 KM BERSAMA HONDA SUPRA FIT (BAGIAN 3-HABIS)


Dari Kotabumi, kami berangkat sekitar pukul 8.00 pagi. Sempat mengobrol sebentar dengan sepupuku, Elis, anak sulung Abi, yang telah siap dengan seragam PNS-nya untuk berangkat ke kantor.

Malam tadi juga kami tidur nyenyak sekali, setelah hingga pukul 10 malam aku mengobrol dengan Atu, Abi dan Mami (istri Abi) dan Elis, sepupuku. Tetapi, karena belum mengantuk, sembari menghabiskan kopi, di dapur aku berbincang-bincang dengan istrinya Kiki.

Hari Ketiga: Kotabumi - Tanjung Karang, 20 Maret 2009

Perjalanan Kotabumi - Tanjung Karang normalnya adalah 2 jam waktu tempuh. Namun, kami harus menempuhnya lebih dari waktu itu. Penyebabnya tak lain adalah kendala seperti kemarin telah berulang lagi, pantat panas, cuy!

Kami mencoba membuat target, per 20-30 km berhenti. Namun, itu tidak bisa ditepati. Panasnya hari yang begitu terik telah memanggang jok motor, yang kemudian merambah ke bagian tubuh yang paling dekat, yakni... ya, tentu saja pantat. Panas di wilayah bokong telah memaksa aku untuk harus menghentikan kendaraan kadang kurang dari 10 km. Sering kami berteriak-teriak, untuk memperkuat tekad mencapai 20 km. Kita bisa! Kita bisa! Sedikit lagi! Sedikit lagi! Yeaaah! Tapi lacur, kita kalah, sampai terguling-guling di pinggir jalan menahan panas di fantat, begitu lepas dari motor, sambil berteriak-teriak juga: panas! panaaaas...!, bercampur dengan tertawa mengakak-ngakak.

Sekali Desma meminta agar dia yang membawa motor, tapi belum ada 2 km aku sudah minta agar aku saja membawa motor lagi. Rasanya lebih nyaman memegang stang motor daripada digonceng. Lagi pula, dengan laju motor berjalan oleng kiri-kanan, aku merasa Desma tidak begitu setangan dengan sepeda motorku.

Sempat terpikirkan untuk membasahi handuk kemudian mendudukinya, tetapi pemikiran konyol itu segera ditepis. Menduduki handuk basah hanya akan memperburuk keadaan, karena handuk yang akan menjadi lembab karena diduduki, lalu akan membuat lecet di wilayah pantat. Alhasil, lebih baik banyak berhenti daripada menanggung lecet pantat. Satu tabung bedak talek ukuran sedang pun hampir habis, karena kami menggunakannya berlebih-lebih untuk mempercantik pantat. Seandainya bisa mendinginkan, pun mungkin akan kami beri lipstik juga pantat kami yang sudah tepos, dan semakin tipis saja hanya dalam 2 hari.

Sungguh, ini, sebuah pengalaman yang penuh pesona, bagaimana jauh dari kampung halaman, di negeri orang, kita duduk di bawah keteduhan kerindangan pohon di tepi jalan di dekat sebuah persawahan, sambil menikmati sebatang rokok dan sebungkus kopi yang sudah dingin. Sementara tak jauh dari tempat kami beristirahat, di jalanan Trans Sumatera, terlihat tak henti lalu-lalang keriuhan lalu-lintas, sesuatu yang tidak akan ditemui di Bengkulu. Akan terasa sekali, menjadi begitu sepinya jalan-jalan Bengkulu, jika dibandingkan kesibukan 24 jam Trans Sumatera yang jangankan mati, pingsan pun mungkin belum pernah.

Saat-saat itu, aku dan Desma selalu tertawa-tawa ketika memperbincangkan ketololan kami. Entah apa yang merasuki kami, hingga mau saja mengambil keputusan untuk menggunakan sepeda motor. Setelah dikalkulasikan, dengan cara touring seperti yang kami lakukan, ternyata memang lebih mahal. Jika meng-include-kan juga faktor lelahnya, maka akan tambah mahal lagi. Dengan 150 ribu rupiah, menggunakan mobil travel, kita sudah bisa duduk nyaman, bila perlu tidur sepanjang perjalanan, tahu-tahu sudah sampai saja di tujuan.

Penanggungan lain yang harus kami hadapi di sepanjang jalan keluar dari Kotabumi adalah bau yang sangat tidak sedap yang memenuhi udara. Entah bau apa itu. Aroma yang tidak sedap itu mengejar-ngejar, seperti dia tahu betul bahwa aku ini Emong Soewandi. Lengkap, dikombinasikan dengan debuan jalanan, kami pun benar-benar sesak napas.

Namun, setelah melihat di depan rumah-rumah penduduk dipenuhi barisan nampan-nampan bambu di atas para-para bambu, tahulah kami dari mana sumber bau yang lebih pedih dari bau karbit ini. Di nampan-nampan terserak parutan-parutan singkong alias ketela pohon a.ka. ubi kayu untuk bahan pembuatan tepung tapioka. Singkong yang telah diparut dijemur untuk menghilang airnya, selanjutnya baru disaring untuk menjadi tepung tapioka.

Tapioka sendiri telah menjadi salah satu industri andalan Kabupaten Lampung Utara, wajarlah hampir setiap rumah penduduk di sepanjang jalan di halamannya bisa kita lihat terjemur singkong untuk bahan tapioka itu. Jemuran itu, juga limbah berupa ampas dan air pemerasan singkong, karena fermentasi akan menyeruakkan bau amoniak yang bagiku sangat busuk.

Sekitar tengah hari, Hamidah meneleponku, menanyakan di mana akan turun di Tanjung Karang nanti, biar bisa dijemput oleh kawan panitia. Aku katakan, kami akan langsung ke hotel.

"Bus tidak boleh masuk kota, Bang," balas Hamidah.

"Lho kami tidak pakai bus. Kami pakai motor ini, Dah."

"Pakai motor, Bang?" tanya Hamidah tidak percaya. "Jadi waktu aku telepon kemaren tu bermotor ya?"

Setelah Hamidah menutup telepon, Iswadi Pratama pun meneleponku juga, hanya untuk memastikan apakah kami memang benar-benar pakai motor.

"Gila! Bang Emong gila," ujar Iswadi.

Tanjung Karang

Masuk daerah Branti, tak jauh dari bandar udara, rem sepeda motor mulai terasa tidak bekerja dengan baik lagi. Terdengar bunyi gesekan besi pada as roda, yang menunjukkan bahwa kampas rem sudah mulai aus. Juga pada waktu menarik gas, terasa tenaga mesin pun sudah tidak optimal lagi, alamat kampas kopeling pun sepertinya mulai ikut-ikutan bermasalah juga.

Ketika masuk Tanjung Karang, rem roda belakang benar-benar tidak berfungsi lagi. Rem ditekan sedalam-dalamnya, motor tetap saja meluncur. Terpaksa aku hanya mengandalkan rem roda depan yang juga sudah hampir kehilangan fungsi lagi dan menggunakan teknik engine brake. Akibatnya, sepeda motor hanya bisa berjalan pelan, karena dengan engine brake akan sangat berbahaya jika kendaraan dipacu dalam kecepatan tinggi, apalagi untuk sepeda motor manual non-kopeling.

Berdasarkan petunjuk yang diberikan oleh Abi Lubis saat masih Kotabumi, kami tidak begitu sulit menemukan alamat hotel. Kami disambut oleh Iswadi Pratama yang langsung mengantarkanku untuk registrasi ke teman-teman panitia. Di lobi hotel tempat registrasi, aku bertemu dengan kawan-kawan pegiat teater lainnya dari beberapa kota di Sumatera. Ada Hasan Al Bana dari Medan, Jefri dari Kepulauan Riau, Robi Muktar dari Jambi, termasuk juga Bang Din Saja dari Aceh dan Ari Pahala dari Komunitas berkat Yakin (Kober) Lampung.

"Abang ini sakti," kata petugas keamanan hotel yang telah berbaik hati memberikan tempat bagi aku menyimpan sepeda motor selama di Tanjung Karang.

"Sakti gimana, Bang," tanyaku. "Biasa saja 'kan orang dari Bengkulu ke Lampung menggunakan sepeda motor?"

"Iya, Bang, tapi bukan motor yang beginian!" seru Pak Satpam itu sambil tertawa-tawa.

Karena kisahku ini point of view-nya adalah touring, maka kegiatan aku di Tanjung Karang tidak akan aku ceritakan. Kapan-kapan aku akan bercerita perjalanan pulang yang seru juga kami dari Tanjung Karang ke Bengkulu.

Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "TRAVELING: KEPAHIANG - TANJUNG KARANG - BENGKULU, 1200 KM BERSAMA HONDA SUPRA FIT (BAGIAN 3-HABIS)"