Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MENGENANG KETIKA KOTA KAMI DI-MAKEOVER KABUT ASAP

Pemandangan dari jendela lantai dua rumahku
Dua foto dengan pemandangan yang sama dengan masa yang berbeda:
30 Mei 2015 dengan 3 November 2015

Bencana Kabut Asap

Mulai akhir Agustus 2015 kota kecil kami yang nangkring di pegunungan menerima kedatangan tamu dari kota lain, bahkan dari provinsi lain nun jauh di sana. Betul-betul tamu yang bikin susah, tidak meminta disuguhi kopi, bahkan sempat menggagalkan kopi-kopi untuk berbuah. Sungguh kami dibikin repot, karena kami tak mau dia masuk ke rumah-rumah, hingga harus semua yang berbentuk lubang di rumah harus ditutup rapat.

Bencana kabut asap 2015 disebut-sebut bencana kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan yang paling parah. Tidak begitu penting sengaja dibakar atau memang faktor alam, yang jelas kurang lebih 4 juta hektar lahan telah dimakan api, lalu menimbulkan polusi asap hingga melewati wilayah domestik Indonesia. Benar-benar sebuah bencana yang multi-akibat, dari kesehatan, transportasi, pertanian hingga politik antar negara.

Udara di kota kami yang selalu segar tiba-tiba harus kami saring dengan selembar masker. Mata kami yang cerah karena selalu menatap hijau hutan menjadi merah seperti orang marah yang tidak berkesudahan. ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) jadi kosa kata generik dalam percakapan, karena kawan yang terbatuk-batuk tersedak asap rokoknya sendiri, dengan cepat dia akan menyalahkan kabut asap celaka itu yang membuat dia terbatuk.

Tak ada lagi ibu-ibu ngumpul duduk merumpi di beranda, atau sambil membeli sayuran dari tukang sayur keliling. Tidak ada juga kami yang laki-laki sudi nongkrong main gaple di pos ronda, yang biasanya hingga larut malam. Juga tidak ada lagi bocah-bocah bermain di halaman, bersepeda beramai-ramai yang selalu memenuhi seperti jalan punya mereka sendiri. Untuk hal jujur saja ini bukan kemauan anak, tetapi kami sendiri yang melarangnya demi kesehatan anak itu sendir. Tahulah sendiri anak-anak, kata kesehatan jangan-jangan belum masuk dalam kamus kehidupan bermain mereka.

Pagi di kotaku biasa saja hingga jam-jam 7 masih diselimuti kabut, namun saat itu kami tidak tahu lagi yang mana kabut yang mana asap. Mungkin karena itulah namanya kabut asap, karena waktu siang hari hampir-hampir saja sulit membedakan yang mana lampu mobil yang mana matahari. Semuanya suram.

Semoga tidak akan terjadi lagi. Semoga kapitalisasi hutan Indonesia tidak merusak hutan itu sendiri
Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "MENGENANG KETIKA KOTA KAMI DI-MAKEOVER KABUT ASAP"