Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PANTUN: SAMPIRAN DAN ISI. KEMBALI KE KITHAH

Pantun: Sampiran dan Isi. Kembali ke Kithah

: Agus Joko Purwadi*

Pendahuluan

Cukup banyak sudah pakar dan peneliti sastra yang menekuni dan meneliti sastra klasik, khususnya pantun, baik yang berasal dari Barat (Belanda, Inggris, Italia, Perancis dan Amerika) maupun dari Timur (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura). Dapat disebutkan di sini sederetan nama pakar dan peneliti pantun sejak dahulu hingga saat ini, seperti: R. J. Wilkinson, Pynappel, W. Marsden, J. Crawford, Byleveld, H. E. Klinkert, Abbe F. Favre, W.R. von Hoevell, J. Gonda, M. G. Emeis, W. A. Brsasem, Hussein Djajadiningrat, Abdullah bin Abdulkadir Munsji, Ch. A. van Ophuysen, Warneck, H. Overbeck, R. O. Winstedt, C. Hooykaas, R. Branstetter, Giacomo Prampolini, Zainal Abidin Ahmad, Mohd. Yusof Md. Noor, Abd. Rahman Kaeh, Braginsky, Sutardji C.B., Maman S. Mahayana, hingga Agus Trianto. Jika dilihat dari banyaknya peneliti, hal di atas menunjukkan bahwa dari sekian banyak genre sastra klasik pantunlah pemegang rekor keberhasilan dalam mendapatkan perhatian terbanyak. Rekor keberhasilan itu belum dapat ditandingi oleh genre sastra klasik lainnya, seperti: mantra, dongeng/foklore (fabel, parabel, legende, mite dan sage), ungkapan, pepatah-petitih, bidal, tamzil, ibarat/isbat, dan sebagainya.

Sampiran dan Isi: Perdebatan Panjang Tentang Pantun

Secara lebih spesifik yang menarik dari pembicaraan para pakar dan peneliti sastra tentang pantun sejak dahulu hingga kini adalah masalah asal-usul dan hubungan antara sampiran dan isi pada pantun. Asal usul kata pantun menarik perhatian para pakar dan peneliti sastra sejak ditemukannya suatu genre puisi di berbagai daerah yang memiliki kesamaan dan kemiripan dengan bentuk pantun. Hal tersebut semakin membangkitkan rasa penasaran dan ingin tahu para pakar dan peneliti sastra untuk meneliti lebih jauh mengapa sampai terjadi demikian Selain asal-usul, daya tarik pantun lainnya adalah masalah hubungan antara sampiran dan isi pada pantun yang menyita perhatian, paling seru diperdebatkan, dan paling banyak menimbulkan kontroversi di antara para pakar dan peneliti sastra.

Beberapa pakar sepakat bahwa pantun merupakan salah satu genre sastra asli tanah Melayu. Akan tetapi diberbagai daerah di kepulauan Nusantara ditemukan bentuk-bentuk puisi yang sama/mirip dengan bentuk pantun. Untuk menjelaskan fenomena ini dapat dikemukakan beberapa teori/pendapat.

Van Ophuysen mengatakan bahwa pantun tumbuh dari kebiasaan masyarakat Melayu khususnya dan Nusantara umunya dalam menggunakan bahasa daun. Mengapa bahasa daun digunakan? Masyarakat Melayu tidak terbiasa menyatakan sesuatu secara langsung. Mereka takut kena kutukan/tulah bila menyatakan sesuatu secara langsung. Untuk itu, mereka menggunakan bahasa daun. Jenis daun yang biasa digunakan dalam komunikasi bahasa daun tidaklah sembarang daun. Jenis daun yang digunakan biasanya adalah daun-daun yang bernilai magi dan memiliki nama yang bunyinya mirip dengan kata-kata yang menjadi maksud/pesan utama dari si pengirim pesan atau orang yang mengajak berkomunikasi/berpantun.

Daun sirih, misalnya, digunakan pada saat seseorang ingin mengundang/menyuruh datang kerabat, sanak saudara, teman dekat, atau pun tetangga untuk datang menghadiri acara hajatan (perkawinan) yang biasanya diselenggarakan di rumahnya. (Daun) sirih mirip bunyinya dengan kata suruh, relevan dengan bahasa Jawa suruh. Orang yang diberi daun sirih berarti dia disuruh (untuk datang menghadiri). Mungkin fungsi daun sirih ini kurang lebih sama dengan surat undangan pada zaman modern kini.

Selanjutnya, van Ophuysen mengambil contoh mengenai pengunaan bahasa daun ini dari tradisi masyarakat Batak di tanah Tapanuli Selatan. Jika seseorang jejaka mengirimkan kepada seorang gadis dedaunan seperti: sitarak, hadungdung, sitata, sitangis, podom-podom dan pahu, maka hal itu berarti bahwa “sejak kita (jejaka dan gadis) bercerai tiadalah dapat aku tidur, selalu menangis”. Kata sitarak hampir sama bunyinya dengan marsarak yang berarti bercerai; Hadungdung berkaitan bunyi dengan kata dung yang dalam bahasa Indonesia berarti sudah: sitata berkaitan bunyi dengan kata hita yang dalam bahasa Indonesianya kita, sitangis berkaitan bunyi dengan kata tangis yang sama dengan bahasa Indonesia menangis; podom-podom berkaitan bunyi dengan kata modom yang bahasa Indonesianya adalah tidur, sedang pahu berkaitan bunyi dengan kata ahu yang bahasa Indonesiannya aku. Berikut ini van Ophuysen memberikan contoh pantun dalam bahasa Batak yang sekaligus merupakan bunyi penggunaan bahasa daun dalam pantun

Molo mandurung ho dipahu
Tampul si mardulang-dulang
Molo malungun ho diahu
Tatapma sirumundang bulan

Artinya
Jika engkau rindukan aku, baiklah engkau memandang bulan

Berbeda dengan pendapat van Ophuysen, Trianto (2004) menyebutkan asal-usul pantun berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan oleh beberapa orang pakar. Disebutkan Trianto, bahwa pantun secara etimologis dari toen (Sunda), tuntun (Pampanga), tonton (Tagalog), tuntun (jawa). panton (Bisaya), dan pantun (Toba). Secara khusus pendapat yang menyebutkan bahwa pantun berhubungan dengan tuntun di dalam bahasa Jawa rentan untuk diperdebatkan.

Pantun sebagai salah satu genre puisi Melayu klasik tidaklah tepat jika dikait-kaitkan dengan kata tuntun sebagai sebuah kata dalam bahasa Jawa, sebab di dalam bahasa Jawa dikenal genre puisi yang justru bentuknya mirip dengan pantun, yaitu parikan dan wangsalan menurut salah seorang informan yang pernah diwawancarai penulis, parikan berasal dari kata pari yang bahasa Indonesianya pagi. Mengapa bernama parikan? Menurut informan tersebut parikan biasa dilantunkan oleh masyarakat Jawa tradisional yang tengah sibuk memanen dan mengolah hasil panenan padi. Dengan saling berparikan, mereka berharap agar tidak akan merasa cepat lelah dalam bekerja. Dengan kata lain, parikan digunakan sebagai sarana pelepas lelah dalam bekerja. Berikut ini diambilkan beberapa contoh bait parikan.

Ora udan ning kok lunyu
Ora dandan ning kok ayu

Ketheklek kecemplung kalen
Timbang golek luwung balen

Tir padha irenge
Sir padha senenge

Jauh sebelum Trianto, Wikinson dan Winstedt tidak sependapat dengan Ophuysen. Menurut Wilkinson dan Winstedt, bukan pantun yang berasal dari bahasa daun, tetapi sebaliknya bahasa daunlah yang tumbuh dari pantun. Lebih lanjut Wilkinson dan Winstedt menyatakan, bahwa masyarakat Melayu tidak mengenal bahasa daun. Padahal, pantun merupakan genre sastra asli Melayu. Jadi, tidak masuk akallah pendapat yang menyatakan bahwa pantun tumbuh dari kebiasaan masyarakat Melayu menggunakan bahasa daun.

Dalam menyikapi perbedaan pendapat tentang asal-usul pantun ini, saya lebih cenderung untuk mengembalikan fungsi pantun semula. Fungsi pantun adalah sebagai media hiburan di tengah-tengah masyarakat Melayu yang umumnya hidup di dalam tradisi kelisanan (orality tradition) (Lihat Amin Sweeney dan Walter J Ong, 1985). Dengan kata lain pantun lahir dari kebutuhan akan pentingnya hiburan di tengah rutinitas masyarakat Melayu yang hidup dalam tradisi kelisanan. Pantun bukanlah bentuk retorika Melayu. Oleh karena itu, tidaklah tepat pendapat yang menyatakan bahwa pantun merupakan bentuk retorika Melayu.

Bukan hanya asal-usul kata pantun saja yang menjadi bahan perdebatan berkepanjangan, tetapi juga hubungan antara sampiran dan isi. Agar lebih jelas perdebatan tersebut dapat diikuti berikut ini.

Hubungan Antara Sampiran dan Isi pada Pantun

Secara garis besar terdapat tiga kelompok pendapat/teori tentang hubungan antara sampiran dan isi pada pantun, yaitu:
  1. ada pendapat yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara sampiran dan isi pada pantun
  2. ada pendapat yang menolak adanya hubungan antara sampiran dan isi pada pantun
  3. ada pendapat yang menyatakan bahwa terdapat pantun yang sampiran dan isinya berhubungan, tetapi ada pula yang tidak.

Penjelasan ketiga pendapat tersebut dapat diikuti di bawah ini.

Menurut Pynappel dua baris pertama pada pantun yang biasa disebut sampiran merupakan simbol yang membayangkan makna dua baris berikutnya yang lazim disebut isi. Untuk mendukung pendapatnya, Pynappel memberikan contoh yang diambil dari Sejarah Melayu kisah Tun Seri Lanang, sebagai berikut,

Telur itik dari Sanggora
Pandan terletak dilangkahi
Darahnya titik di Singapura
Badan terhantar di Langkawi

Pantun di atas melambangkan kisah kematian seorang pengembara dari Pasai yang bernama Chatib Tun Djana. Ia dibunuh atas perintah raja Singapura. la dianggab bersalah karena mempertontonkan kesaktiannya dihadapan permaisuri raja. Dalam sekali pandang, pohon pinang yang berada di depan Permaisuri, terbelah. Sejak itulah Sang Permaisuri terpesona akan kesaktian dan jatuh cinta kepadanya. Tentu saja perbuatan Chatib Tun Djana membuat baginda raja murka; maka dibunuhlah ia.

Agar lebih jelas, makna simbol yang terdapat pada pantun di atas dapat dikemukakan berikut ini. Telur itik merupakan simbol dari Chatib Tun Djana, seorang pengembara yang berasal dari Sanggora, negeri yang jauh letaknya dari Singapura. Pandan yang merupakan bahan pembuat tikar yang dapat dianyam halus, merupakan simbol dari Permaisuri Raja Singapura; terletak dilangkahi merupakan simbol dari dipameri kesaktian dan diselingkuhi. Akibat pamer kesaktian akhirnya darahnya (Tun Djana) titik (mati/ dibunuh) di Singapura. Badan (mayat Tun Djana) terhantar (dibuang tanpa dirawat sebagaimana layaknya mayat manusia) di Langkawi (sebuah tempat yang letaknya jauh dari Singapura, apalagi dari Sanggora).

Pendapat Pynappel di atas didukung oleh sejumlah pakar, di antaranya adalah: Wilkinson, Winstedt, G. Prampolini, Hussein Djajadiningrat, Slamet Muljana, dan Amir Hamzah. Prampolini bersama dengan Pynappel. misalnya, berpendapat bahwa hubungan antara sampiran dan isi dapat diibaratkan sebagai hubungan antara lukisan atau kiasan dengan maknanya. Sampiran merupakan lukisan atau kiasan, dan isi merupakan makna dari lukisan atau kiasan itu sendiri. Sementara itu, Slamet Muljana mengakui adanya hubungan antara sampiran dan isi pada pantun: hanya saja karena halusnya sifat hubungan itu nyaris tidak terlihat lagi. Djajadiningrat dan Amir Hamzah menyebutkan adanya hubungan sakral antara sampiran dan isi yang terdapat pada pantun. Lebih lanjut Djajadiningrat berpendapat bahwa sampiran berfungsi sebagai saran suara yang mengisyaratkan makna yang terdapat di dalam baris isi. Djajadiningrat memberikan sebuah bukti: di lingkungan masyarakat Batak Sibolga seorang suami yang ingin segera punya atau lama belum punya anak biasa mencarikan ikan belanak agar sang istri cepat punya anak. Belanak menyarankan suara yang mirip dengan beranak. Di lingkungan masyarakat Makassar para orang tua biasa memberikan peno-peno, sejenis siput kepada sepasang pengantin baru agar kelak mendapatkan rezeki/kekayaan yang penuh/banyak/berlimpah. Peno-peno memiliki bunyi yang mirip dengan kata penuh. Di lingkungan masyarakat Banten Selatan orang tabu menyebut maung (harimau). Untuk itu, digunakanlah kata meong (kucing) dengan disebut meong maung yang ganas bisa jadi jinak, seperti kucing binatang piaraan. Meong memiliki saran suara yang mirip dengan maung. Demikian pula di lingkungan masyarakat Jawa (Jawa Tengah), penjaga warung sering menggantungkan ranting daun cemara di muka warung mereka agar pembeli mara (berdatangan membeli barang dagangan mereka). Cemara memiliki saran suara yang mirip dengan mara yang bahasa Indonesianya datang.

Kebiasaan masyarakat dari beberapa suku bangsa di Nusantara sebagaimana dicontohkan di atas oleh Djajadiningrat disebut sebagai pantang bahasa, yaitu larangan menyebutkan sesuatu makna/maksud tertentu agar tidak menimbulkan mara bahaya. Oleh karena itu, untuk mengutarakan makna atau maksud tertentu, mereka gunakan kata-kata yang bunyinya mirip sebagai pengganti kata-kata yang mengacu kepada makna/maksud sesungguhnya.

Seorang pakar yang menentang pendapat Pynappel adalah van Ophuysen. Menurut van Ophuysen, tidak ada gunanya mencari-cari hubungan antara sampiran dengan isi pada pantun. Diakuinya bahwa ada pantun yang sampiran dan isinya berhubungan, tetapi hubungan itu terjadi hanya secara kebetulan saja.

Di atas sudah dikemukakan pendapat van Ophuysen yang menyatakan bahwa pantun timbul dari kebiasaan masyarakat Melayu menggunakan bahasa rahasia yang memanfaatkan dedaunan dan kekayuan. Pendapat Ophuysen ini didukung oleh Slamet Muljana dengan memberikan bukti. Menurut Slamet Muljana, di Jawa bila seorang jejaka memberikan sirih dan gambir kepada orang tua dari seorang gadis, maka hal itu berarti bahwa orang tua dari jejaka tersebut memberi isyarat kepada orang tua si gadis agar memikirkan secara lebih lanjut atau menindaklanjuti hubungan anak mereka. Sirih yang dalam bahasa Jawa suruh mirip bunyinya dengan kata bahasa Jawa weruh (tahu). Gambir mirip bunyinya dengan pikir. Jadi jika dieksplisitkan makna/ maksud pemberian sirih dan gambir tersebut adalah yen wis weruh, avo padha gek enggal dipikir = kalau sudah tahu, mari segera sama-sama kita (orang tua kedua belah pihak, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan) pikirkan.

Pendapat yang menyatakan bahwa ada pantun yang sampiran dan isinya memiliki hubungan: dan ada pula yang tidak, dikemukakan oleh Badudu. Menurut Badudu pantun dikatakan bermutu jika sampiran dan isinya memiliki hubungan, sedang pantun dikatakan kurang baik jika sampiran dan isinya tidak memiliki hubungan. Dikatakan Badudu bahwa antara sampiran dan isi seolah-olah terdapat hubungan rantai sakti contoh.

Anak ikan dipanggang saja
Hendak dipandang tiada berkunyit
Anak orang dipandang saja
Hendak dipinang tiada berduit

Jika diterjemahkan maksud pantun di atas adalah maksud hati hendak memindang ikan, namun apa daya kunyit tak punya sehingga dengan terpaksa hanya memanggangnya saja. Maksud hati (jejaka) hendak meminang (gadis), namun apa daya duit tak punya sehingga dengan terpaka hanya memandangnya saja.

Sebagai akhir dari perdebatan dan kontroversi di atas, saya sependapat dengan Badudu yang menyatakan bahwa pada pantun yang berkualitas terdapat hubungan antara sampiran dan isi, sebaliknya pada pantun yang kurang berkualitas tidak terdapat hubungan antara sampiran dan isi. Hanya saja menyangkut sifat hubungan antara sampiran dan isi ini, saya lebih cenderung pada pendapat Djajadiningrat yang menyatakan bahwa sampiran berfungsi sebagai saran suara yang mengisyaratkan/membayangkan makna/isi apa yang akan muncul.

Di tanah Melayu pantun biasa diucapkan oleh dua orang atau dua kelompok secara berbalasan. Dari situ muncul tradisi berbalas pantun. Orang atau kelompok yang diajak berbalas pantun yang tangguh biasanya mulai bersiap dengan menyimak secara sungguh-sungguh apa sampiran yang akan dan sedang diucapkan oleh lawan berbalas pantunnya dan menduga-duga kemungkinan makna atau isinya. Berdasarkan dugaan itulah, orang atau kelompok yang diajak berbalas pantun secara cepat menyusun apa sampiran dan isi pantun yang akan diucapkan dan bersiap-siap untuk membalasnya. Sampiran dan isi pantun terkait erat dengan konteks situasi dan suasana. Kalau konteks berpantun adalah upacara pernikahan biasanya makna atau isi dari setiap bait pantun yang telah, sedang, dan akan diucapkan tak jauh kisarannya dari persoalan hubungan kedua mempelai yang akan dinikahkan.

Selama di Bengkulu, penulis mendapatkan pengalaman yang sangat berharga dan mengesankan ketika mengikuti rombongan mempelai laki-laki pada sebuah acara pernikahan adat ala Bengkulu. Pada saat itu penulis yang kebetulan berada dan ikut di rombongan mempelai laki-laki harus sabar berdiri di luar tempat berlangsungnya upacara pernikahan, karena pemuka adat dari pihak rombongan mempelai laki-laki harus beradu kepiawaian berbalas pantun dengan pemuka adat dari pihak mempelai perempuan. Rombongan kami barulah diperkenankan memasuki rumah tempat berlangsungnya upacara pernikahan setelah pemuka adat rombongan kami dapat mengimbangi berbalas pantun dengan pemuka adat dari pihak mempelai. Berikut ini dikemukakan contoh berbalas pantun yang terjadi pada saat acara pernikahan

Pantun yang diucapkan dari pemuka adat pihak mempelai perempuan.

Kok ado jarum yang patah
Jangan disimpan di dalam peti
Simpan ajo dalam kaco batu
Kok ado kato kami yang salah
Jangan disimpan di dalam hati
Anggaplah kami masih ragu

Dari mano hendak ke mano
Dari bukit ke bandar Cino
Kok buli kami hendak betanyo
Kiro-kiro maksud apo Saudara datang ke siko

Anak gajah di ulu Palik
Mari di tombak jo ujung galah
Kok ado maksud Saudara yang baik
Cubo-cubo sampaikan muda-mudahan diperkenankan Allah

Balasan dari pemuka adat pihak mempelai laki-laki adalah sebagai berikut:

Bukan kacang sembarang kacang
Kacang melilit di batang padi
Kami datang bukan sembarang datang
Datang kami untuk menepati janji

Bentuk-bentuk Pantun

Ada empat bentuk pantun, yaitu: pantun biasa, pantun kilat/karmina, talibun, dan seloka. Penjelasan keempat jenis pantun dapat diikuti berikut ini.

Pantun Biasa
Pantun biasa terdiri atas empat baris dan bersajak akhir a, b, a, b. Setiap bait pantun biasa terdiri atas dua baris pertama yang berfungsi sebagai sampiran dan dua baris kedua yang berfungsi sebagai isi. Contoh dapat di baca di bawah ini.

Birik-birik terbang melenggang
Jawi-jawi pandai merayap
Baik-baik tuan menimbang
Pedang tajam kata bersayap

Gurun Sahara di padang pasir
Tanahnya banyak berbatu-batu
Zaman sekarang banyak berfikir
Katanya banyak tapi tak sungguh

Di kiri jalan di kanan jalan
Di tengah-tengah pohon mengkudu
Berkirim jangan berpesan jangan
Sama-sama menaggung rindu

Pantun Kilat/ Karmina
Pantun karmina sering disebut juga sebagai pantun kilat karena hanya terdiri atas dua baris per baitnya dan kalau diucapkan hanya memerlukan waktu yang relatif singkat. Dalam setiap baris pantun karmina terdapat dua penggal prase yang masing-masing bersajak ab. Jadi, sekalipun hanya terdiri atas dua baris per baitnya setiap bait pantun ini sebenarnya bersajak a, b, a, b juga. Sajak a, b yang terdapat pada baris pertama berfungi sebagai sampirannya, sedang sajak a, b yang terdapat pada baris kedua berfungsi sebagai isi.Contoh dapat dibaca berikut ini.

Ujung bendul dalam semak
Kerbau mandul banyak lemak
Gendang gendut tali kecapi
Kenyang perut senanglah hati

Talibun
Talibun terdiri atas lebih dari empat baris per baitnya, tetapi harus genap bilangan barisnya, seperti: 6, 8, 10, 12 dan seterusnya. Jika talibun terdiri atas enam baris, maka tiga baris pertama merupakan sampiran, dan tiga baris kedua merupakan isi, demikian pula jika talibun terdiri atas delapan baris, maka empat baris pertama merupakan sampiran dan empat baris berikutnya merupakan isi, begitu pula selanjutnya. Talibun dapat bersajak abc, abc, jika per baitnya terdiri atas enam baris atau bersajak abcd, abcd jika per baitnya terdiri atas delapan baris, begitu pula seterusnya. Contoh dapat di baca di bawah ini.

Kalau anak pegi ke pekan
Yu beli belanak beli
Ikan panjang beli dahulu

Kalau anak pergi berjalan
Ibu cari anak pun cari
Induk semang cari dahulu

Seloka
Seloka sering disebut pantun berantai, pantun berangkai, atau pantun berkait, sebab antara bait yang satu berkait atau berangkai dengan bait yang lain. Bait pertama berkait dengan bait kedua, bait kedua berkait dengan bait ketiga, demikian pula seterusnya. Setiap bait seloka terdiri atas empat baris. Karena berangkai atau berkait, maka dapat dipastikan bahwa seloka terdiri atas lebih dari dua bait yang masing-masing bait terdiri atas empat baris dengan sajak akhir a-b-a-b. Pola keterkaitan antarbait adalah bahwa baris kedua dan keempat pada bait pertama menjadi baris kesatu dan ketiga pada bait kedua, baris kedua dan keempat pada bait kedua menjadi baris kesatu dan ketiga pada bait ketiga, begitu pula selanjutnya.

Ruku-ruku dari peringgit
Teras jati bertalam-talam
Rindu sahaya bukan sedikit
Nyaris mati semalam-malam
Teras jati bertalam-talam
Kapal berlabuh di lautan sisi
Nyaris mati semalam-malam
Bantal dipeluk saya tangisi

Kapal berlabuh di lautan sisi
Patah putri naga-naganya
Bantal dipeluk saya tangisi
Hendak mati rasa-rasanya

Jenis Pantun Berdasarkan Jenisnya
Ophuysen membagi lima jenis pantun berdasarkan isinya, yaitu: pantun tua, pantun dagang, pantun riang, pantun nasihat, dan pantun muda. Contoh pantun yang dikemukakan oleh Ophuysen dapat dibaca di bawah ini.

Pantun Tua
Pucuk ketaya akar cabai
Pucuk sempata 'rang patahkan
Bukan saja cerdik pandai
Sunat pidato disembahkan

Pantun Dagang
Menumbuk lesung batu
Menampi di dulang-dulang
Apakah tenggang anak piatu
Kain basah kering di pinggang

Pantun Riang
Elok rupanya pohon belimbing
Tumbuh di dekat limau lingga
Elok bebini orang sumbing
Biarpun duka tertawa juga

Pantun Nasihat
Kalau ada kembang baru
Bunga kenanga dikupas jangan
Kalau ada sahabat baru
Sahabat lama dibuang jangan

Pantun Muda
Sultan Iskandar menjahit tudung
Kami menjahit lengan baju
Tuan terkabar menjadi burung
Kami menjadi dahan kayu

Sama dengan Ophuysen, Badudu juga membagi 5 jenis pantun, yaitu: pantun anak-anak, pantun nasihat, pantun orang muda, pantun jenaka, dan pantun teka-teki. Contoh dari kelima jenis pantun yang dikemukakan Badudu dapat dibaca di bawah ini.

Pantun Anak-anak
Berburu ke padang datar
Dapat rusa belang kaki
Berguru kepalang ajar
Bagai bunga kembang tak jadi

Pantun Nasihat
Tikap papan kayu bersegi
Riga-riga di Pulau Angsa
Indah tampan karena budi
Tinggi bangsa karena basa

Pantun Orang Muda
Elok sungguh permata selan
Buatan dewa dari angkasa
Pahit sungguh rindukan bulan
Bulan tidak menimbang rasa

Pantun Jenaka
Sungguh baik asam belimbing
Tumbuh dekat limau jingga
Sungguh elok berbini sumbing
Biar marah tertawa juga

Pantun Teka-teki
Kalau puan-puan cerana
Ambil kalau gelas di dalam peti
Kalau Tuan bijak laksana
Binatang apa tanduk di kaki

Yang terakhir, Gaffar (1985:31-36) membagi pantun menjadi tiga jenis: pantun muda, pantun tua, dan pantun jenaka. Contoh dapat dilihat di bawah ini.

Pantun Muda
Ala kelemag mandi di ulu
Kami mandi di jangkagh kaghit
Ala kelemag nya di guru
Kami nyadi anag murid

Teratag batang teriti
Batang temegkan berang sano
Teragan belum tereti
Belum keruan batag kato

Pantun Tua
Serekayo di pangkal tanggo
Jangan batag ke mandukan
Empuag kaba serebo ado
Jangan dibatag lelanggukan
Bedesau ujan di ulu
Anyut gerigiag di mandian
imo kenasal iluag dulu
Jangan berinjing kemendian

Pantun Jenaka
Sangilo jangan dikubag
Amo dikubag pata tigo
Kiro-kiro jangan dibukag
Amo dibuka ngungkar kalo

Malang nian menanam ubi
Nanam ubi cetuag ayam
Malang nian tughun ke bumi
Tughun ke bumi luncuag itam

Penutup

Sebagai penutup, dapat dikemukakan bahwa:
  1. pantun merupakan salah satu bentuk genre sastra klasik asli dari Tanah Melayu
  2. ditemukan bentuk-bentuk genre sastra klasik yang mirip dengan bentuk pantun di sejumlah daerah di nusantara
  3. pantun secara etimologis tumbuh dari kebiasaan masyarakat Melayu khususnya dan Nusantara umumnya dalam menggunakan bahasa daun
  4. ada tiga pendapat klasik tentang ada atau tidaknya hubungan antara sampiran dan isi pada pantun.

Ketiga pendapat itu adalah:
  1. ada pendapat yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara sampiran dan isi pada pantun
  2. ada pendapat yang menolak adanya hubungan antara sampiran dan isi pada pantun, dan (3) ada pendapat yang menyatakan bahwa terdapat pantun yang sampiran dan isinya berhubungan, tetapi ada pula yang tidak
  3. pada pantun yang bermutu terdapat hubungan antara sampiran dan isi : sebaliknya pada pantun yang kurang bermutu tidak terdapat hubungan antara sampiran dan isi

Pantun mula-mula berfungsi sebagai hiburan di tengah-tengah rutinitas pekerjaan masyarakat Melayu yang umumnya hidup dalam tradisi budaya kelisanan (orality) dan hidup sebagai petani, nelayan, dan pedagang

Terdapat empat bentuk pantun, yaitu pantun biasa, pantun kilat/ karmina, talibun, dan seloka. Berdasarkan isinya terdapat tiga jenis pantun. yaitu pantun anak-anak, pantun muda, dan pantun tua.

Daftar Pustaka
  1. Ahmad, Zainal Abidin bin. Ilmu Mengarang Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1962.
  2. Bachri, Sutardji Calzoum, “Pantun” dalam Kompas tanggal 14 dan 21Desember 1997.
  3. Badius, Syahrial. Eksperimentasi Aspek Seni Sastra. Bengkulu: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986/1987.
  4. Diajadiningrat, R. Hoessein. “Arti Pantun Melayu yang Ghaib”, Pujangga Baru, bil. 6 (1933), bil. (1934), bil. 9 (1934).
  5. Gafftar. Zainal Abidin dkk. Struktur Sastra Lisan Serawai. Palembang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984/1985.
  6. Hartoko. Dick dan B. Rahmanto. Pemandu di dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius, 1986.
  7. Klinkert, H. GC. Bijdragen Tot de taal, Land on Volkenkunde van Nederland Indie, De Pantun of minnezangen der Maletery. Groningen: Versluis, 1868.
  8. Mahayana, Maman S. “Pantun sebagai Representasi Kebudayaan Melayu” dalam Alam Melayu. Pekanbaru: Disparbud Riau & The World Festival of Malay Culture, 2003.
  9. Nor, Moh. Yusof Md. Dan Abd. Rahman Kaeh. Puisi Melavu Tradisi. Petaling Jaya: Fajar Bakti, 1985.
  10. Ong. Walter J. 1985. Orality and Literacy. London: Pergamon, 1985.
  11. Ophuysen, Ch. van. Het Maleiche Volkdicht. Leiden. 1904.
  12. Phynappel, J. “Over de Maleische pantones”. BKI, 1883.
  13. Soegiarta. Glosaria Istilah Bahasa dan Sastra. Klaten: Intan. 1984.
  14. Wilkinson, R. J. A Malay-English Dictionary. Singapura: Kelly & Walsh, 1901.
  15. Wilkinson, R, J. A dan R. O Windstedt. Pantun Melayu. Singapura: Malaya Publ. House, 1901
  16. Windstedt, R. O. “Origin of the Word Pantun", JMBRAS, bil.21. 1947.
  17. Windstedt, R. O. A History Of Clasical Malay Literature. Kuala Lumpur: Oxtord University Press, 1960.
*
Drs. Agus Djoko Purwadi, M.Pd.
staf dosen pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Bengkulu






Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

6 comments for "PANTUN: SAMPIRAN DAN ISI. KEMBALI KE KITHAH"


  1. Pantun yang ini idak berima abab, kak
    Birik-birik terbang melenggang
    Jawi-jawi pandai merayap
    Baik-baik tuan menimbang
    Pedang kata tajam matanya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah...
      Terima kasih koreksinyo. Sudah diteruskan ke penulis artikel...

      Delete
  2. Saya meyakini timbul dan tumbuhnya pantun dari kebiasaan bahasa daun / kebiasaan orang melayu menggunakan kode-kode sandi karena enggan atau merasa tabu bertutur kata secara langsung- blak-blakan alias to the point. Saya alami sendiri saat saya membawa seserahan saat mau meminang gadis pujaan hati. Sebelum sampai di halaman rumah gadis impian yang mau saya pinang, di tengah jalan rombongan kami di hadang (saya lupa siapa orang misterius tersebut). Orang itu memeriksa seserahan, saat pada bagian rokok dihitung olehnya kemudian beliau berujar, "tolong jadikan 7 jumlah rokok itu. Yang berarti kamu setuju". Aha! Tujuh mirip dengan bunyi SETUJU.😅

    ReplyDelete
  3. apakah kalau bersajak aaaa, bukan abab, masih termasuk pantun?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pantun secara umum bersajak a-b-a-b. Untuk persajakan a-a-a-a umumnya dipergunakan di syair.

      Delete

Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus