Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CERPEN PERTAMAKU DI ANITA CEMERLANG, 3 JUNI 1992

Ilustrasi

Cerpen Pertamaku di Majalah Anita Cemerlang, 3 Juni 1992

ODE TERNYATA BOHONG. LUKISAN ANGGREK YANG DIPESAN YUSTINE TAK PERNAH DIBUATNYA. PADAHAL YUSTINE INGIN MEMBERIKAN LUKISAN ITU PADA MAMA DI HARI ULANG TAHUNNYA


Malam itu sebenarnya begitu nyaman. Langit bersih tanpa ada segumpal pun awan. Apalagi dengan hadirnya bulan, walaupun belum sepenuhnya bulat, namun menambah suasana malam sangat baik untuk dapat dinikmati.

Tetapi tidak bagi Yustine, yang dari tadi tegak di pinggir jendela dengan wajah muram. Semuanya hanya menimbulkan kesuntukan, bagi perasaannya yang tengah kesal. Bagaimana tidak, besok hari ulang tahun mamanya, dan semua apa yang ia rencanakan berantakan.

Semuanya gara-gara Ode!

Ode yang menjanjikan melukis anggrek lili dari buku "Anggrek Indonesia" yang dipinjamnya di perpustakaan, ternyata tidak bisa melukis

Masih kuat dalam ingatan Yustine, bagaimana ia begitu kesalnya melihat buku itu tergeletak sembarangan di atas meja Ode dua hari lalu. Sementara tak sepotong pun peralatan lukis di rumahnya.

“Waktunya tinggal dua hari lagi, De!” teriak Yustine dengan suara serak, karena geram dan kesal.

“Iya, iya. Tenang saja,” jawab Ode. “Aku bisa menyelesaikannya dalam satu malam.”

“Tapi mana, tak satu pun alat lukis kulihat,” sembur Yustine lagi.

“Memang belum kubeli, Yus. Aku sudah lama tidak melukis, jadi peralatannya memang tengah tidak ada sekarang.”

“Kamu bohong!” jerit Yustine. “Kamu bisa melukis atau tidak.”

“Kenapa tidak bisa?” jawab Ode dengan tetap tenang. “Sudahlah, Yus,” ujar Ode kemudian dengan tersenyum kecil. “Kamu tunggu saja di rumah, sebelum hari H-nya lukisan itu akan kuantarkan padamu.”

Mendengar itu, Yustine sedikit menarik napas lega.

Tetapi, tetapi sampai malam ini belum nampak batang hidung Ode. Sore tadi pun Ode tak ditemuinya di rumahnya. Kata ibunya, Ode sudah dua hari pergi.

Pergi?

Ode pergi? Pergi untuk menghindari dan tanggung jawab?

“Kau keterlaluan, Ode. Keterlaluan,” geram Yustine sambil mencengkeram bingkai jendela. “Tega kau membohongiku. Tega kau mempermainkanku dalam keadaan seperti ini.”

Setitik air mata Yustine jatuh. Ya, bukan karena lukisan itu saja yang membuat dia menangis, tetapi dia sendiri tidak punya hal lain untuk dihadiahkannya pada Mama besok. Sementara saudara-saudaranya yang lain, dan sore tadi sibuk memamerkan hadiah yang akan mereka berikan.

Ada rasa sesal yang menghinggapi Yustine, mengapa ia begitu mempercayai Ode waktu itu. Padahal, bukan ia tidak tahu kawan-kawannya yang memang pandai melukis. Tapi mengapa ia berikan pada Ode?

“Kamu serius, De?” tanyanya pada Ode seminggu yang lalu.

“Kamu nggak percaya?” balas Ode.

“Bukannya nggak percaya, tetapi selama ini kan aku tak pernah tahu dan melihat kamu melukis.”

Ode tersenyum kedil. “Melukis bukan hobi utamaku, Yus. Tetapi bukan berarti aku tak pernah melukis. Kamu bisa datang ke rumahku jika ingin melihat karya-karya lukisku.”

Karya-karya lukis? Tetapi yang ada di dinding kamarnya cuma poster-poster manusia berotot dan peralatan mendaki gunung.

Kau pembohong, Ode, jerit Yustine dalam hati dengan kegemasan yang makin besar.

“Kenapa kau tertarik dengan hadiah ini?” tanya Ode.

“Murah, kok,” jawab Yustine dengan tawa ringan. “Abisnya aku nggak punya uang untuk membeli yang lain. Sementara saudara-saudaraku merencanakan hadiah yang hebat-hebat. Tapi, aku cukup yang murah tapi berkesan.”

“Berkesan?”

“Ya, aku inginkan lukisan itu nantinya ditaruh Mama di dinding kamarnya, biar dia selalu dapat menatapnya,” ujar Yustine seolah-olah mengkhayal jauh.

“Kalau begitu, akan kubuat dengan kesan yang begitu dalam.”

“Berapa hari?”

“Empat!” jawab Ode tegas, sambil mengacungkan empat jarinya.

"Dan untuk imbalannya?”

"Tidak perlu.”

“Tidak perlu?”

“Ya, jangan!” ujar Ode lebih tegas. “Kalau kau lakukan juga, kau malah akan mengurangi kesannya.”

“Uh, romantis amat!” sorak Yustine dengan senang.

Dan malamnya, di atas tempat tidur, Yustine sudah berkhayal membayangkan bagaimana ia nanti memberikan lukisan itu, kemudian mamanya akan menciumnya dengan air mata haru.

Tapi mana, mana? Mana yang empat hari itu, mana yang berkesan itu. Mana! Bahkan, sekarang Ode telah melarikan diri dari tanggung jawab.

Oh, mama, aku tak memiliki apa-apa yang kupersembahkan di hari ulang tahunmu. Aku tak punya hadiah, Mama, bisik Yustine dengan perasaan yang pilu. Maafkan anakmu, Mama.

Di luar, bulan mengintip-ngintip di balik pokok srikaya di halaman. Sementara daun-daunnya saling bergesekan dihembus angin, menimbulkan suara gerisik yang makin menambah hampa perasaan Yustine.

Ode, Ode, bisik Yustine dengan geram, aku tak mungkin memaafkanmu. Kau keterlaluan, kau keterlaluan. Mengapa kau berani-beraninya menerima pekerjaan yang tak pernah kau tahu. Mengapa, Ode. Dan sekarang kau pergi.

Perlahan-lahan Yustine melangkah menuju tempat tidurnya, kemudian merebahkan tubuhnya. Serentak dengan kepalanya jatuh di bantal, air matanya pun jatuh. Kecewa, bingung, kesal dan sedih semuanya sudah bercampur aduk.

Ode. Ya, Ode.

Seorang cowok bertubuh atletis yang memiliki kesan tersendiri baginya. Ode yang lincah, nakal dan supel. Ode yang sering membuatnya marah karena kenakalannya. Ode yang selalu membuat teman-teman cewek tertawa jika mendengar Ode mulai bercerita, tetapi selalu menimbulkan benih aneh di hati Yustine.

Ode. Ya, Ode.

Tetapi kali ini yang ada hanyalah kebencian. Ah, Ode, mengapa harus kau tumbuhkan kebencian di hatiku, batin Yustine sambil matanya menerawang ke langit-langit. Kau menghapuskan sendiri kekagumanku terhadapmu.

Ode. Ya, Ode.

“Mengapa kau memilih bunga ini?” tanya Ode. “Biasanya 'kan orang-orang memilih anggrek-anggrek yang bagus, anggrek bulan misalnya atau anggrek vanda.”

“Ya, itu kan orang. Aku lain,” jawab Yustine.

“Iya, tapi anggrek ini,” sahut Ode sambil meneliti gambar anggrek lilin itu di buku Yustine. “Bunganya kecil-kecil.”

“Biarlah kecil-kecil, tapi menarik. Lihat warnanya, putih bercampur dengan ungu. Aku suka dengan bunga ini, walau cuma lukisan nantinya.”

“Apalagi belum dibudidayakan, ya?”

“Nah, itu termasuk hal utama juga, kenapa aku suka.”

------------------------

Ketukan di pintu mengagetkan sekaligus membuyarkan semua lamunan Yustine. Cepat dihapusnya sisa air mata dan bangun dan tempat tidur.

Ketika dibukanya pintu, dilihatnya Sena kakaknya.

“Ada temanmu,” kata Sena. “Tuh, di teras, dia nggak mau masuk.”

“Siapa?”

“Tau,” jawab Sena sambil mengangkat bahu, kemudian langsung saja dia pergi. “Cowok, Yus!” sambung Sena lagi sambil berteniak.

Cowok?

Dan alangkah kagetnya ketika tahu siapa yang didapatinya berdiri di teras itu. Ode terlihat masih memakai carrier-nya dengan pakaian gunungnya yang kumal.

“Yustine,” sapa Ode.

Yustine tidak menjawab. Tiba-tiba saja ia tak dapat bersikap di depan cowok yang telah menimbulkan kebencian baginya itu.

“Aku baru pulang dan mendaki gunung, Yus.”

Yustine tetap diam. Bara kebencian dan kekesalan terhadap cowok yang berada di depannya itu mulai menyala lagi.

“Dan aku membawamu sesuatu.”

Yustine jadi tersentak. “Lukisan!” tak sabar kata itu terlontar dan bibir Yustine.

Ode terlihat menghela napas. Kemudian menggeleng pelan. “Bukan, Yus, bukan lukisan.”

Kembali Yustine kaget.

“Ya, bukan lukisan....”

Dan apa yang Yustine rasakan semuanya tadi kembali menyelubung dirinya. Ditatapnya Ode dengan mata yang menusukkan kebencian.

“Tetapi....” Ode memutuskan kalimatnya, kemudian dia pergi ke bawah. Dan, dari balik kaki tangga diambilnya sesuatu.

Anggrek lilin.

Mata Yustiria membelalak menatap anggrek itu dalam dua buah pot di tangan Ode.

Di depan Yustine kembali, Ode tersenyum kecil sambil menimang kedua pot itu. “Kudapatkan ini ketika aku di kaki sebuah gunung.”

“Ode.. .“ tergagap Yustine.

Ode menatap Yustine, kemudian dihelanya napas dengan panjang. “Maafkan aku, Yus. Aku memang tak bisa melukis.”

“Tapi mengapa kau menerimanya waktu itu, De?” Yustine menggeleng geleng, seolah ingin mengusir semua rasa yang ada padanya.

“Karena aku tak ingin kau memberikannya pada orang lain.” Dan Ode pun tertunduk. “Maafkan aku, Yus. Lukisan itu memang tak kukerjakan.”

Secara tak sadar tangan Yustine menggapai anggrek itu, kemudian dielusnya bunga-bunganya yang kecil dalam bentuk tandan.

“Ini bukan lukisan, Yus,” ujar Ode lagi.

“Ya, bukan lukisan.”

“Dan... kau menginginkan lukisan, bukan?”

Ya,” jawab Yustine sambil tangannya terus mengelus anggrek itu yang masih dipegang oleh Ode. “Tetapi aku lebih suka anggrek.”

Senyum Ode kembali mengembang. “Untukmu dan untuk mamamu.”

“Anggrek ini belum dibudidayakan kan, De?”

“Ya, lebih baik daripada dilukis.” Ketika Ode mengulurkan pot itu pada Yustine, tak sengaja tangan mereka bertemu, seperti juga mata mereka saling memanah. “Kau tak akan memberikannya pada orang lain?”

Yustine pun cuma tersenyum....

-------------------------

NB:
diposkan melalui kantor pos pembantu di Gedung C Universitas Bengkulu. Honor yang diterima waktu itu adalah Rp 120.000,00, yang diterima via wesel

Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

14 comments for "CERPEN PERTAMAKU DI ANITA CEMERLANG, 3 JUNI 1992"

  1. Klasik
    Asyik membacanya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih.... udah berkenan berkunjung dan membaca :)

      Delete
  2. Wahh...ceritanya keren,bi.Bikin penasaran.....

    ReplyDelete
  3. Dulu cuma dengar cerita, sekarang baru dpt baca sendiri.... mantap pak...

    ReplyDelete
  4. Sederhana tapi manis dan berkesan. Seolah terlempar pada masa lalu...

    ReplyDelete
  5. membuka kenangan lama. senyum-senyum sendiri bacanya.
    sederhana, tapi bener2 berkesan

    ReplyDelete
  6. waaahhh sy baca Anita Cemerlang waktu SMA tahun 1991...

    ReplyDelete
  7. nostalgia....paling suka baca cerpen sampai lupa waktu.....

    ReplyDelete
  8. Dulu sy paling suka baca anita atau aneka. Bgs isinya, gak spt skrg ini.

    ReplyDelete
  9. Saya suka ceritanya banyak makna

    ReplyDelete

Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus