PUISI-PUISI AGUS TRIAWAN
ETAPE PERJALANAN (1)
Pada sepi yang menganga
Desau angin hantarkan aku pada kerinduan denganMU
Tundukku tak mampu menjawab alpa catatankemarin
Karena lalui hari, aku tanpaMU
Azzawajala
Yang aku tidak tahu
Engkau maha tahu
Berikanlah pada sisa yang tinggal sedikit
kehendak untuk menggapaiMU
kehendak merengkuhMU
kehendak untuk menggauliMU
Biar aku bisa mengenangMU
Tak hanya dalam sunyi
Bengkulu, Desember 1998
ALAMAT DAUNAN
kupilih alamat pada daunan
bawa rindu adalah udara yang setia pada cuaca
dan hari ini, kemboja telah luruh
menghitung hela wasangka
terlalu panjang lorong labirin sunyi
tak pernah tercatat dalam peta
kita hanya menduga hari-hari
dalam sejarah yang kian lamur
menghitung-hitung kata yang tak pernah usai
oleh pendaran kabut
dan musim merupa penjara
bagi cinta yang rapuh
:lalu kupilihkan daunan sebagai alamat
sebab terlalu lama sasar
membuatku nanar
di ujung hasrat
CERITA BERANDA
ambilkan air
biar kusiram bara dengan air dari tanganmu
dan akan kubelikan kau roti bakar untuk kita makan bersama
di usia senja bersma melepas penat
dan puntung rokok yang penuhi halamanmu
diamdiam malam datangkan gelisah
dan kau begitu sempurna
untuk seperempat malam dengan senyuman
sejenak aku merapat geraham
dan menjadi serpihan puing
lalu menyisa pada dangkalnya pengertian yang makin terburai
larut yang menyisakan bulan
telah menodai malam jadikan pengertian
yang tak kunjung dimengerti
namun, ketika waktu menjelma siluet
tetapkan arah angin terbaca meski sekedar gerak pelan di awan
atau hujan yang menyisakan angin
masih kan ternikmati di beranda bersama geraigerai keteduhan
sebelum jadi puisi
telah kutancapkan doa yang kukirim lewati sepoi
setelah khusuk memendam murka
bersama gontai mengayuh sepi
adalah kebekuan
ketika tak lagi nikmati kopi di beranda
: bersama
ada senyap yang mendekap
di usai genggam yang berpaut mengundang tanya tak terjawab
sehabis merenggut denyut di titik keningmu
kupapas sunyata yang tergerai lewat matamu
kau telah tak jujuri hatimu
kau telah melepuh jiwamu
aku makin dibias fantasi
yang membuncah jadi gelora
serupa gelap,
maka cahaya telah melukis lembarnya
untuk kembali gelapkah?
bengkulu, 2000
sebab terlalu lama sasar
membuatku nanar
di ujung hasrat
CERITA BERANDA
ambilkan air
biar kusiram bara dengan air dari tanganmu
dan akan kubelikan kau roti bakar untuk kita makan bersama
di usia senja bersma melepas penat
dan puntung rokok yang penuhi halamanmu
diamdiam malam datangkan gelisah
dan kau begitu sempurna
untuk seperempat malam dengan senyuman
sejenak aku merapat geraham
dan menjadi serpihan puing
lalu menyisa pada dangkalnya pengertian yang makin terburai
larut yang menyisakan bulan
telah menodai malam jadikan pengertian
yang tak kunjung dimengerti
namun, ketika waktu menjelma siluet
tetapkan arah angin terbaca meski sekedar gerak pelan di awan
atau hujan yang menyisakan angin
masih kan ternikmati di beranda bersama geraigerai keteduhan
sebelum jadi puisi
telah kutancapkan doa yang kukirim lewati sepoi
setelah khusuk memendam murka
bersama gontai mengayuh sepi
adalah kebekuan
ketika tak lagi nikmati kopi di beranda
: bersama
ada senyap yang mendekap
di usai genggam yang berpaut mengundang tanya tak terjawab
sehabis merenggut denyut di titik keningmu
kupapas sunyata yang tergerai lewat matamu
kau telah tak jujuri hatimu
kau telah melepuh jiwamu
aku makin dibias fantasi
yang membuncah jadi gelora
serupa gelap,
maka cahaya telah melukis lembarnya
untuk kembali gelapkah?
bengkulu, 2000
MENJEMPUT MALAM
ada kayuh lenguh pada jumpamu dengan sang purba
seperti gemuruh, kau robek sepi pada dinding beku dadamu
tak sempat kau ceritakan
ketika kutau kau tak pergi menjemput musim
di rapat berahi tubuhmu ada kesahku pada dingin dinding goa
tak terpaut bias pada pancarnya sinar
yang menelisik di celah daun
kita memang tak sembunyi pada kekalnya birahi
tapi durjana mengimpu seblum rindu tiba
di sini, rindu kita menoktah pada kerisik kipas angin
dan aroma anggur di hotel murahan
kita percaya bahwa nanti di bulan oktober akan musim hujan
tapi di sini, aroma rambutmu telah bakar malam jadi gairah
seperti selisik api di musim dingin
seperti kecipak keringat yang kau cucup
di sela pori yang lepuh di kobar mampi
rindu kita berayun di bandul jam dinding
seperti mimpi putih dalam dongeng kekanak
dan kita di sini menanti pergi di gigir anyir bau birahi
kita kan urai senilai lunglai di helai rindu yang sangsai
: dengarlah gemericik angin
lampung – bengkulu, 2003
RENDEVOUZ
1
menelusuri geraigerai mahoni
bersama rindu dan keinginan temuimu
aku memapas dusta pada senja menjemput tuhan
do bilahan nurani tak berpenghuni
di gelagat ranum dosadosa
di untai doa pelaknat cinta
-- duhai semerbak kamboja menyeruak sukma
di lambai mahoni kutoreh jalan
menuju diri pad sejarah yang mengabu di angin bisu
duhai, cintaku tafakur
di semesta raya jagad tuhan
2
di gerai cahaya gemintang yang menggantung di ubun akasia
aku memakna diri di ranting kering
tak pernah kuduga, ketika hari ini semua berubah
ada serenada lembut yang memuai di telinga
seperti kecipak ombak yang membelai bibir pantai
ingin kudatngi lagi
helaihelai almanak yang memburam di dinding resa
kita tak akan tahu,
hari ini tuhan membuka tabirnya
seperti kemarin, kita juga tak tahu
berapa karat dosa yang akan dipertimbangankan kita di sorga
duhai, mata diri
jelajah sukma di hentian kaki adalah kumandang gelisah
pada sebuah keinginan yang tak dapat lagi kuraih
seperti cahaya mengurai musim
seperti air mengurai dahaga
seperti kita tak pernah habis mengurai cinta
bengkulu, 2003
LALU WAKTU
senantiasa ingin kuurai jajaran panjang almanak
lalu, mendapati hari segera malam
hendak kusampaikan cerita tentang lelawa
atau kerlip kekunang yang selalu saja hinggap
di reranting pokok randu
ia, serupa cerita kekanak yang berlarian di percik hujan
dan waktu perlahan berjingkat
meninggalkan tanda baca
hendak pula kusampaikan cerita tentang cinta remaja
yang selembut embun jatuh
atau, cerita tentang ruap aroma tanah basah
wangi rumput dan warni bunga
ah, bukankah keindahan tak harus selalu bernama?
ada yang bergegas dan tak hendak berbagi
pada lorong panjang gulita
ada yang hendak menandai jejak pada jaraknya
seperti hendak memaknai kenyataan
lalu
ada yang berbeda hari ini
tapi, mengalirlah untu semua yang kekal
bengkulu, 2005
ada kayuh lenguh pada jumpamu dengan sang purba
seperti gemuruh, kau robek sepi pada dinding beku dadamu
tak sempat kau ceritakan
ketika kutau kau tak pergi menjemput musim
di rapat berahi tubuhmu ada kesahku pada dingin dinding goa
tak terpaut bias pada pancarnya sinar
yang menelisik di celah daun
kita memang tak sembunyi pada kekalnya birahi
tapi durjana mengimpu seblum rindu tiba
di sini, rindu kita menoktah pada kerisik kipas angin
dan aroma anggur di hotel murahan
kita percaya bahwa nanti di bulan oktober akan musim hujan
tapi di sini, aroma rambutmu telah bakar malam jadi gairah
seperti selisik api di musim dingin
seperti kecipak keringat yang kau cucup
di sela pori yang lepuh di kobar mampi
rindu kita berayun di bandul jam dinding
seperti mimpi putih dalam dongeng kekanak
dan kita di sini menanti pergi di gigir anyir bau birahi
kita kan urai senilai lunglai di helai rindu yang sangsai
: dengarlah gemericik angin
lampung – bengkulu, 2003
RENDEVOUZ
1
menelusuri geraigerai mahoni
bersama rindu dan keinginan temuimu
aku memapas dusta pada senja menjemput tuhan
do bilahan nurani tak berpenghuni
di gelagat ranum dosadosa
di untai doa pelaknat cinta
-- duhai semerbak kamboja menyeruak sukma
di lambai mahoni kutoreh jalan
menuju diri pad sejarah yang mengabu di angin bisu
duhai, cintaku tafakur
di semesta raya jagad tuhan
2
di gerai cahaya gemintang yang menggantung di ubun akasia
aku memakna diri di ranting kering
tak pernah kuduga, ketika hari ini semua berubah
ada serenada lembut yang memuai di telinga
seperti kecipak ombak yang membelai bibir pantai
ingin kudatngi lagi
helaihelai almanak yang memburam di dinding resa
kita tak akan tahu,
hari ini tuhan membuka tabirnya
seperti kemarin, kita juga tak tahu
berapa karat dosa yang akan dipertimbangankan kita di sorga
duhai, mata diri
jelajah sukma di hentian kaki adalah kumandang gelisah
pada sebuah keinginan yang tak dapat lagi kuraih
seperti cahaya mengurai musim
seperti air mengurai dahaga
seperti kita tak pernah habis mengurai cinta
bengkulu, 2003
LALU WAKTU
senantiasa ingin kuurai jajaran panjang almanak
lalu, mendapati hari segera malam
hendak kusampaikan cerita tentang lelawa
atau kerlip kekunang yang selalu saja hinggap
di reranting pokok randu
ia, serupa cerita kekanak yang berlarian di percik hujan
dan waktu perlahan berjingkat
meninggalkan tanda baca
hendak pula kusampaikan cerita tentang cinta remaja
yang selembut embun jatuh
atau, cerita tentang ruap aroma tanah basah
wangi rumput dan warni bunga
ah, bukankah keindahan tak harus selalu bernama?
ada yang bergegas dan tak hendak berbagi
pada lorong panjang gulita
ada yang hendak menandai jejak pada jaraknya
seperti hendak memaknai kenyataan
lalu
ada yang berbeda hari ini
tapi, mengalirlah untu semua yang kekal
bengkulu, 2005
OBITUARI AGUS TRIAWAN
lahir di Lintik, desa kecil di pesisir Lampung Barat, 12 Oktober 1976. Beberapa karyanya (puisi, cerpen dan esai) dimuat di media lokal (Semarak, Benteng dan Bengkulu Ekspress) dan di Trans sumatra (Lampung). Pernah menggunakan nama pena Aswan Murhayin. Meraih sarjana pendidikan di FKIP Universitas Bengkulu, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, tempat di mana dia mulai mengasah keseniannya dengan bergabung di Sanggar Teater Bahtra, di mana dia terus terlibat aktif dan beberapa kali bermain sebagai aktor untuk pementasan.
Menerbitkan kumpulan puisi Jingkrak (2000) dan Cermin (2002).
1999, mengikuti magang manajemen pertunjukan di Komunitas Utan Kayu.
Oktober 2003 mengikuti Festival Teater Alternatif di Gedung Kesenian Jakarta.
2001, ikut mendirikan Sanggar Satria, di Universitas Muhammadiyah Bengkulu.
Pada kurun pasca magang, dia ikut terlibat mendirikan Komunitas Seniman Bengkulu (KSB).
2004, bersama-sama pegiat seni lainnya menggagas kegiatan sastra jalanan Satu Jam Peramuan, yang dilaksanakan setiap Sabtu malam di pusat pertokoan Bengkulu.
2005, ikut terlibat mendirikan Kedai Proses, yang dipusatkan di Taman Budaya Bengkulu. Melalui komunitas ini, dia menggagas lomba penulisan puisi yang kemudian diterbitkan, merupakan antologi pertama yang mengumpulkan puisi-puisi karya siswa-siswa SLTA di Provinsi Bengkulu.
Setelah sempat dirawat beberapa hari karena mengalami kecelakaan, di rumah sakit Bandar Lampung dia meninggal dunia pada 17 September 2007. Kepergiannya ini cukup mengejutkan bagi segenap pegiat seni di Bengkulu, di masa-masa emasnya menggeluti dan menggiatkan kesenian di Bengkulu.
Beberapa karya terakhirnya, setelah dia meninggal, atas permintaan saya (Emong Soewandi) disertakan dalam antologi penyair Sumatera Laut Berkabar (BPPT Taman Budaya Riau, 2007), dalam rangka Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera, di Pekan Baru, Riau.
Malam Tribute To Agus Triawan, dengan pilot project Sanggar Petak Rumbia Bengkulu, digelar bersama seniman-seniman di Bengkulu, pada 31 Desember 2007, sebagai malam untuk mengenang perjalanan dia. Disusul Ranting Kering antologi puisinya diterbitkan kawan-kawan di Bengkulu sebagai post-memory buatnya, pada Februari 2008.
Ingin betul mengajak punggawa STB muda untuk membuat tribute atau apalah dengan karya2 beliau, cuma bingung, bahtra skarang karam, tak berlayar lagi..
ReplyDeleteAyo, apungkan kembali yang karam itu. Semangat...
DeleteSaya selalu terpukul jika mengeng beliau
ReplyDeleteIkhlaskan dia akan menyembuhkan rasa terpukul itu...
DeleteIngin sekali rasanya mendengar bagaimana dia di hari-hari sebelum kejadian itu. Sebab, kupikir, tak seharusnya aku terus mengingat dia sebagai kabar sedih.
ReplyDeleteTeringat kembali masa kuliah, ada rindu bergelayut sendu,.. ah kawan kenangan ini masih terselip di hati,... semoga kau bahagia di surgaNya.
ReplyDeleteAl-Fatihah untuk kak Agus 🤲
ReplyDelete