Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

FATMAWATI DALAM DUNIA KOSMOS BENGKULU

Fatmawati
*Agus Setiyanto

Bengkulu Dalam Lintas Kosmos

Ada kecenderungan yang interdependentif, bahwa cara pandang masyarakat terhadap dunia kosmos sangat dipengaruhi oleh perkembangan “mainstream” - aliran kebudayaan besar yang telah merekat - dominan dalam tata kehidupan masyarakatnya. Dengan kata lain, ada keterkaitan dan saling mempengaruhi antara variable “kultuurgebundenheid” – latar belakang kebudayaan dengan “zeitgebundenheid” – latar belakang jiwa zaman.

Demikian halnya dengan cara pandang masyarakat Bengkulu terhadap dunia kosmos. Secara geografis – kultural, Bengkulu termasuk wilayah budaya rumpun Melayu. Oleh karenanya, cara pandang masyarakat Bengkulu terhadap dunia kosmos juga dipengaruhi oleh alam pikiran budaya Melayu.

Seperti halnya alam pikiran masyarakat Melayu lainnya, cara pandang masyarakat Bengkulu terhadap dunia kosmos juga dipengaruhi oleh “mainstream” – aliran kebudayaan besar - yang berkembang pada zamannya. Sebut saja ketika masuk dalam zaman aliran besar Hindu yang berkiblat pada kerajaan Majapahit, maka budaya Hindu Majapahit tidak lepas dari dalam alam pikiran – cara pandang masyarakat Bengkulu terhadap dunia kosmos. Dan ketika pusat kerajaan Majapahit mengalami masa surut - seiring dengan masuknya ajaran Islam yang menjadi “mainstream” nya, maka terjadi pergantian pengaruh aliran besar pada sudut pandang masyarakatnya. – yang selanjutnya mempengaruhi sudut pandang masyarakatnya terhadap kosmos.

Cara pandang masyarakat tradisional Bengkulu terhadap dunia kosmos dapat dicermati melalui beberapa karya sastra berupa Naskah Melayu, Tambo, Silsilah, Susuran, Cerita Rakyat, serta Adat Lembaga, tradisi, dan lain-lain yang memuat gambaran tentang seluk kehidupan masyarakat Bengkulu.

Ada beberapa sumber tradisional berupa naskah melayu yang ditulis dua versi, yaitu versi Arab Melayu dengan kode : ML. 143, dan Latin Melayu dengan kode ML.148, serta Tambo Bangkahulu. Isi kandungan naskah tersebut menceritakan tentang asal muasal bangsa Melayu yang kemudian disambungkan dengan asal mula negeri Bangkahulu (Bengkulu).

“ Bahoewa inilah asal oesoel radja Melajoe jang keradjaan di dalam poelaoe Soematra ini. Anak dari radja Soeltan Iskandar Zoelkarnain di Tanah besar dinamakan Radja Tiga Sila, jaitoe tiga bersaoedara, jang toewa Sri Maharadja Alif jang keradjaan di benoewa Roehoem, jang tengah Sri Maharadja Depang jang keradjaan di benoewa Tjina, jang ketjil Sri Maharadja Diradja jang keradjaan di poeloe ini” --------------- Adapoen segala radja-radja itoe adalah menaroeh tanda kebesarannja kesaktiannja radja jang oesalli seperti jang termaktoeb di bawah ini. Pertama, menaroeh tanda kesaktian bernama Tenoen Sangsitoe menaroeh kajoe kembar setaman nan dibagi tiga kerat, sekerat pada radja Roehoem, sekerat di radja Tjina, sekerat di radja poelaoe Mas. (Naskah Melayu ML.148).

Berdasarkan petikan bunyi naskah Melayu di atas, dapat diterjemahkan secara bebas sebagai berikut :

“Bahwa nenek moyang raja-raja Melayu di pulau Sumatera ini adalah Sultan Iskandar Zulkarnain yang memerintah di Tanah Besar. Sultan Iskandar Zulkarnain mempunyai tiga orang anak yang dikenal dengan sebutan Raja Tiga Sila (tiga bersaudara), yaitu : Sri Maharaja Alif (yang tua) yang memerintah di kerajaan Rum (yang dimaksud adalah kerajaan Istambul di Turki), yang tengah (nomor dua) Sri Maharaja Depang (memerintah kerajaan Cina), dan yang kecil (nomor tiga) Sri Maharaja Diraja yang memerintah di kerajaan Pulau Sumatera.-------------

Selanjutnya disebutkan, bahwa ketiga raja tersebut memiliki tanda-tanda kebesaran dan kesaktiannya, berupa kain tenun serta kayu kembar setaman yang dibagi menjadi tiga potong (kerat) untuk masing-masing mendapat satu potong.

Dalam naskah Melayu serta catatan Tambo Bangkahulu, yang dimaksud dengan kerajaan Pulau Sumatera adalah kerajaan Pagar Ruyung). – karena Bengkulu memang masuk wilayah kekuasaan kerajaan Pagar Ruyung.

Tokoh Raja Iskandar Zulkarnain, yang dalam catatan sejarah juga dikenal sebagai Alexander The Great (Alexander Yang Agung) yang memerintah di Macedunia - merupakan tokoh yang dianggap sebagai “primus interpares” - cikal bakal yang menurunkan raja-raja Melayu. Bahkan Raja Iskandar Zulkarnain dipersonifikasikan dengan salah seorang tokoh nabi dalam sejarah Islam, yaitu Nabi Khidir.

Selanjutnya diceritakan dalam naskah tersebut sebagai berikut :
“Bahoewa ini pada mentjaritakan bangsa jang doedoek menoenggoe Negri Bangkahoeloe dari zaman dahoeloe dahoeloe sampai kepada masa jang kamoedian hingga jang hamba dapat oesoerannja itoelah jang hamba toeliskan di dalam kitab ini dengan sesoenggoehnja begimana hamba punja pengatahoean dengan tiada bohong adanja. Tjerita jang pertama, adapoen moela moela menoenggoe Negri Benkoelen, jalah Ratoe Agoeng jang keradjaan, dan kata setengah beginda itoe bangsa manoesia iaitoe Radja dari tanah Madjapahit kata setengah Dewa dari Goenoeng Boengkoek, adapoen ra’ajat beginda itoe ada satoe bangsa manoesia nama Radjang Sawa dan roepa tinggi dan besar dari pada bangsa manoesia jang lain maka kepada oedjoeng toelang salbinja ada sedikit berlebeh seperti daging pandjang satoe djari melintang besarnja poen demikian djuga bangsa itoelah jang dipanggil Radjang berikoer dan pada masa itoe Bengkahoeloe lagi bernama Soengai Saroet Kampoeng Istana Ratoe di moedik koewala Bangkahoeloe, sebla kanan moedik namanja Bangkahoeloe Tinggi, maka Ratoe beranak bertoedjoe orang. 1. Radin Tjili laki laki, 2. Manoek Mentjoer laki laki, 3. Lambang Batoe laki laki, 4. Toedjoeh Roempang laki laki, 5 Rindang Papan, 6 Anak Dalam Moeara Bangkahoeloe, 7 Poetri Gading Tjempaka perampoean, kamoedian dari pada itoe Ratoe soedah wafat jalah Anak Dalam jang djadi Keradjaan memerenta sekalian Radjang Sawa itoe” (Naskah Melayu, ML. 148).

Fatmawati menjahit bendera pusaka
Bengkulu Dalam Lintas Sejarah

Bengkulu merupakan salah satu wilayah propinsi termuda di Indonesia yang terletak di Sumatera Bagian Barat (Sumbagsel). Sebelumnya, status Bengkulu adalah Daerah Karesidenan yang masuk wilayah Sumatera Selatan. Kemudian melalui perjuangan para tokoh masyarakat Bengkulu, statusnya berubah menjadi provinsi berdasarkan Undang- Undang No. 9 Tahun 1967, yang diresmikan pada tanggal 18 November 1968.

Meskipun masuk dalam kategori sebagai provinsi termuda dengan nomor urut 26, namun Bengkulu memiliki banyak catatan sejarah budaya yang tak kalah menarik dengan wilayah propinsi lainnya di Indonesia. Memang secara geografis, Bengkulu termasuk dalam kategori wilayah periferal (pinggiran). Meski masuk dalam kategori periferal, tidaklah cenderung ekslusif ataupun esoteris. Akan tetapi dalam perjalanan sejarahnya, Bengkulu justru menjadi ajang pelarian kaum migran maupun interniran dari berbagai etnis, baik etnis domestik (Bugis, Madura, Jawa, Melayu, Minang, Aceh, Bali, Nias, dan lain-lain), maupun etnis manca (Eropa, Afrika, India, Cina, Persia, Arab, dan lain-lain). Dan mereka (para migran maupun interniran) itu berlatar belakang kelas sosial yang bervariatif. Ada yang dari kelas adel (bangsawan), ambtenaar (pegawai), legger (tentara), handelaar (pedagang), hingga slaven (budak)6.

Setelah terjadi kontak sosial yang cukup intens dengan masyarakat setempat (baca : masyarakat Bengkulu), benturan sosio-kultural pun tak terelakkan. Dan benturan sosio-kultural tersebut telah membawa implikasi proses enkulturasi (pembudayaan) baik secara akulturatif maupun asimilatif dalam kehidupan kebudayaan masyarakat Bengkulu.

Kontak sosio-kultural yang relatif lama membuka kesempatan membangun koloni (perkampungan atau pemukiman) yang namanya sering didasarkan atas geneologis etnisnya, seperti Kampung Melayu, Kampung Kepiri, Kampung Cina, Kampung Bali, Kampung Aceh, Kampung Bugis, Kampung Jawa, dan lain-lain. Di samping itu, ada juga nama-nama tempat/wilayah menunjukkan identitas etnis seperti Kerkap, Manna, Talo dan lain-lain.

Berbagai sebutan, gelar, atau jabatan seperti Pangeran, Kalipa, Daing, Radin, Sultan, Pasirah, Pemangku, Pembarab, Depati, Perowatin, Penghulu, Datuk Syabandar, Puggawa Lima, dan lain-lain, yang pernah populer dalam masyarakat Bengkulu juga menunjukkan keragaman corak dari berbagai budaya masyarakatnya.

Tradisi seperti Bimbang (Gedang dan Kecil), Bimbang Malim, Bimbang Melayu, Bimbang Ulu, Perkawinan Adat Juyur, Samendo, Tabot, dan pranata-pranata, serta bentuk-bentuk ritual yang lain, juga mewarnai keragaman budaya masyarakat Bengkulu.

Dan tentu saja berbagai ragam bahasa, sastra, kesenian, perumahan, pakaian, peralatan, serta wujud fisik lainnya (Rejang, Pasemah, Lembak, Serawai, Melayu, Muko-muko dan lain-lain) pun memiliki kontribusi yang sangat berharga dalam memperkaya identitas budaya masyarakat Bengkulu.

Dalam peta sejarah pun membuktikan, bahwa Bengkulu telah melahirkan tokoh-tokoh sejarah patriotik dan dedaktif yang mampu mengukir namanya di panggung sejarah nasional, bahkan internasional. Salah satunya adalah Ibu Fatmawati, yang sudah mengukir namanya dalam panggung sejarah bangsa Indonesia sebagai seorang first lady (ibu negara) Republik Indonesia, dan terlibat langsung dalam sejarah perjuangan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Untuk mengenal lebih dekat latar belakang kehidupan sosio-kultural Ibu Fatmawati, kita perlu mencermati latar belakang kehidupan kebudayaan masyarakatnya, yaitu kehidupan kebudayaan masyarakat Bengkulu, khususnya dalam perspektif kosmogonis.

Fatmawati dalam Mitos Sang Putri

Dalam perspektif mitos, masyarakat tradisional Bengkulu mempercayai bahwa yang pertama kali mendiami negeri Bangkahulu (Bengkulu) adalah Ratu Agung, yaitu seorang raja setengah dewa dari Gunung Bungkuk yang memerintah kerajaan Sungai Serut (kerajaan yang pertama kali di Bengkulu). Ratu Agung mempunyai anak tujuh orang, terdiri dari enam anak laki-laki, dan satu anak perempuan. Nama keenam anak laki-laki yaitu : Radin Cili, Manuk Mincur, Lemang Batu, Rindang Papan, Tujuh Rumpang, dan Anak Dalam Muara. Adapun anak perempuannya yang paling bungsu diberi nama Putri Gading Cempaka.

Selanjutnya dikisahkan, bahwa sepeninggal Ratu Agung, si bungsu Putri Gading tumbuh berkembang menjadi seorang putri yang amat cantik, namun tetap dalam kesahajaan, serta halus budi bahasanya. Kecantikan Putri Gading Cempaka yang tiada taranya itu telah menarik perhatian para raja muda yang datang berlomba-lomba untuk meminangnya.

Salah satu diantara raja muda yang jatuh hati pada kecantikan Putri Gading Cempaka adalah Pangeran Muda dari kerajaan Aceh. Oleh sebab itulah Pangeran Raja Muda dari kerajaan Aceh bersama rombongannya datang ke kerajaan Sungai Serut untuk meminang Putri Gading Cempaka. Namun sayang kedatangan Pangeran Muda dari kerajaan Aceh yang bermaksud untuk meminang itu ditolak oleh Putri Gading Cempaka. Akibat ditolaknya pinangan tersebut, terjadilah perang hebat antara pasukan kerajaan Sungai Serut dengan pasukan kerajaan Aceh.

Kerajaan Sungai Serut diceriterakan hancur akibat peperangan dengan kerajaan Aceh. Putri Gading Cempaka bersama keenam saudara tuanya pun harus meninggalkan kerajaannya dan bersembunyi di Gunung Bungkuk. Kerajaan Sungai Serut yang sudah hancur dan ditinggalkan oleh penguasanya, kemudian menjadi rebutan para Pasirah (Kepala Suku) Rejang. Ditengah kemelut perebutan kekuasaan, muncullah Baginda Maharaja Sakti dari kerajaan Pagarruyung. Atas kesepakatan keempat kepala suku Rejang, Baginda Maharaja Sakti diangkat menjadi raja di negeri Bangkahulu. Putri Gading Cempaka dan keenam saudara tuanya dijemput dari tempat persembunyiannya di Gunung Bungkuk. Ceritera singkatnya, Baginda Maharaja Sakti menikah dengan Putri Gadng Cempaka. Kerajaan Sungai Serut yang sudah hancur kemudian dibangun kembali oleh Baginda Maharaja Sakti, dan berganti nama Kerajaan Sungai Lemau.

Jika kita cermati, ada pola kemiripan antara kisah perjalanan hidup Fatmawati dengan mitos Putri Gading Cempaka. Dalam Tambo Bangkahulu, Putri Gading Cempaka tercatat sebagai first lady (permaisuri ) Kerajaan Sungai Lemau dan sekaligus menjadi cikal bakal serta tonggak awal keberlangsungan tata kehidupan Kerajaan Sungai Lemau di negeri Bangkahulu (Bengkulu). Demikian halnya dengan Fatmawati yang telah tercatat dalam sejarah sebagai first lady (ibu negara) Republik Indonesia.

Kepribadian, karakter, serta teguhnya pendirian yang dimiliki oleh Fatmawati juga tercermin dalam mitos Putri Gading Cempaka. Penolakan Putri Gading Cempaka terhadap pinangan seorang Pangeran Muda dari Kerajaan Aceh merupakan sebuah keberanian yang luar biasa dan yarang terjadi dalam deskripsi kehidupan kaum wanita pada umumnya khususnya dalam konteks masyarakat tradisional.

Dalam perspektif kajian wanita, khususnya pada masyarakat tradisional, kaum wanita sering diposisikan sebagai obyek penderita, pelengkap pasangan hidup yang biasa disebut dengan istilah “dapur, pupur, dan kasur” atau dengan sebutan lain yang punya pengertian sama, yaitu : “masak, macak, manak” . Akan tetapi dalam konteks kajian masyarakat tradisional Bengkulu, ternyata tidak semua memposisikan kaum wanita sebagai obyek penderita.

Kisah Putri Gading Cempaka meninggalkan kerajaannya bersama keenam saudaranya menuju ke Gunung Bungkuk dapat diinterpretasikan sebagai sebuah pengembaraan, petualangan, pengalaman, dan sekaligus sebagai sebuah bukti peneguhan prinsip dalam menjalani kehidupan.

Demikian halnya dengan mitos Putri Serindang Bulan. Sebuah legenda dari tanah Rejang (wilayah Rejang Lebong, Propinsi Bengkulu). Dikisahkan, bahwa Putri Serindang Bulan mampu hidup mandiri selama masa pengembaraan (pembuangan). Di ujung ceriteranya, Putri Serindang Bulan bertemu dengan Raja Inderapura. Dan akhirnya, iapun menyadi first lady (permaisuri) di Kerajaan Inderapura.

Fatmawati dalam Tradisi Islami Bengkulu

Masuknya ajaran Islam beserta kebudayaannya pada masyarakat Bengkulu yang diperkirakan pada abad ke-16 telah membawa implikasi perubahan sosio-kultural masyarakatnya. “Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” yang menjadi pedoman dalam hukum adat di Bengkulu merupakan bukti nyata adanya pengaruh kebudayaan Islam yang cukup dominan.

Kuatnya tradisi Islami pada masyarakat Bengkulu dapat dilihat melalui hasil produk kebudayaannya, baik berupa produk budaya fisik seperti bangunan masjid, langgar, surau di berbagai tempat perkampungan, maupun dalam bentuk tata kelakuan, adat-itiadat – tradisinya. Dalam hal adat lembaga, masyarakat Bengkulu memiliki adat lembaga yang yang dikenal dengan sebutan “Adat Limbago Bangkahoeloe”. Dan dalam adat lembaga tersebut, ada sebuah aturan yang melarang keras bagi kaum perempuan dan anak-anak yang belum dewasa untuk pergi keluar meninggalkan wilayah negeri Bangkahoeloe (Bengkulu).
Bahkan dalam catatan sejarah, para kelapa Adat pribumi Bengkulu pernah mengajukan protes tertulis kepada pemerintah kolonial Belanda karena ada kapal yang masuk ke Bengkulu hendak membawa anak-anak dan kaum perempuan Bengkulu keluar wilayah Bengkulu.

Untuk lebih jelasnya, berikut cuplikan surat protes dari para kepala adat Bengkulu :

Kapada Toean Resident die Bankoeloe
Dariepada Toeankoe Pangoeloe akiem akiem dalam nagarie Bankoeloe poenja Pangadoean.- Ada kappal datang die Bankoeloe maoe mandjapoet sagalo orang Bangala dengan orang kapiere itoe orang lagie maoe bawa anak bienie nia, dan ietoe anak binie nja orang Bangkoeloe. Adapoen adat Liembago yang tarpake dalam nagari Bankoeloe darie tempo kampanie Enggieries, sampe sama kampanie Olanda, jang tiada bole djadie parampoean Bankoeloe dangan anak Bankoeloe jang baloem Baleegh kaloear manjabarang laoet di nagarie jang laen.

Terjemahan bebasnya :
Kepada Tuan Residen di Bengkulu (maksudnya, adalah Tuan Residen Belanda Verploegh, pengganti Raffles setelah Inggris meninggalkan Bengkulu). Kami para Penghulu dan para hakim adat Bengkulu mengadukan, bahwa ada kapal yang datang di Bengkulu mau membawa orang-orang Benggala (India) dan orang-orang Kepiri (orang-orang budak belian Afrika) bersama dengan anak-anak dan istrinya orang Bengkulu.

Padahal, menurut adat lembaga yang telah berlaku di Bengkulu sejak zaman kompeni Inggris hingga kompeni Belanda, tidak boleh kaum perempuan dan anak-anak yang belum baligh (dewasa). Isi surat protes dari para kepala Adat Bengkulu tersebut di atas, telah memperjelas kuatnya tradisi islami pada masyarakat adat Bengkulu. Orang Bengkulu juga menyebut orang-orang Afrika dengan sebutan orang-orang kafir. Nahuijs menyebut para budak belian itu adalah "orang-orang kafir" yang berasal dari Madagaskar dan Mozambik yang sejak 60 tahun yang lampau di bawa oleh Kompeni Inggris ke Bengkulu. Pada masa pemerintahan Raffles sistem perbudakan telah dihapuskan, dan selanjutnya mereka banyak yang bekerja di perkebunan milik pensiunan pegawai pemerintah Inggris. Istri-istri mereka juga bekerja dan setiap bulannya menerima upah dua ringgit Spanyol dan beras sebanyak lima kerat bambu. Mereka juga telah berasimilasi dengan penduduk pribumi setempat.

Pada waktu Inggris akan meninggalkan Bengkulu sebagai konsekuensi dari Traktaat London 1824, mereka juga ikut dibawanya. Oleh karena mereka telah beranak-pinak dengan penduduk pribumi, maka ketika mereka akan dibawa oleh orang-orang Inggris ke luar Bengkulu, telah menimbulkan protes di kalangan para kepala pribumi Bengkulu.

Kuatnya tradisi Islami pada masyarakat Bengkulu juga tercermin melalui gaya hidup sosok Fatmawati. Sebelum memasuki usia sekolah, Fatmawati kecil ini telah menempa diri dengan “ngaji” belajar agama (membaca dan menulis Al-qur’an) pada sore hari baik kepada datuknya (kakeknya), maupun kepada seorang guru agama, di samping membantu mengurus pekerjaan orang tuanya.

Sudah menjadi tradisi pada masyarakat Bengkulu, bahwa apabila pihak kepala keluarga tidak sempat mengajari ngaji anaknya, maka anak tersebut diserahkan kepada seorang guru ngaji. Biasanya, penyerahannya disertai dengan seperangkat sirih, sepotong rotan, sebotol minyak tanah, dan secupak beras. Bahkan dalam cacatan sejarah yang pernah ditulis oleh Marsden, anak-anak di Sumatera (Bengkulu) sudah dibiasakan untuk duduk bersama dalam satu lingkaran dengan orang-orang tua, serta memperhatikan sungguh-sungguh diskusi – tukar pikiran dalam musyawarah adat (Marsden, 1811: 284).

Semangat untuk belajar agama secara ekstra terutama di Sekolah Standar Muhammadiyah masih terus dilakukan meskipun sudah mulai memasuki sekolah di HIS (Hollandsch Inlandsch School) pada tahun 1930 (Fatmawati, 1978:20-21). Jadwal belajar yang padat dengan pemandangan sehari-hari selalu dijadikannya sebagai bahan ajaran bagi kehidupannya. Bahkan di usia yang masih remaja, atau kalau boleh dibilang masih anak-anak, Fatmawati telah mengalami pencerahan yang cukup matang sehingga mampu melampaui batas-batas nilai kapasitas umumnya anak remaja.

Bibit jati diri dengan prinsip yang teguh dan kokoh, disertai semangat kemandirian yang kuat telah tersemai dalam masa remaja seorang Fatmawati. Pengaruh sosialiasi melalui ajaran dan pengalaman dalam kehidupan keluarga dan lingkungan sosialnya, telah mampu membentuk karakter Fatmawati, menjadi seorang anak yang tidak sekedar patuh pada tradisinya, tetapi lebih cenderung untuk menyikapi segala bentuk potret kehidupan sosio-kulturalnya.

Antara masa sekolah dan masa perjuangan seringkali begitu akrab bergumul dalam entitas waktu. Oleh karenanya, tidaklah menyurutkan semangat bagi seorang Fatmawati ketika harus berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dari rumah yang satu ke rumah yang lain, dari satu sekolah ke sekolah yang lain, mengikuti gerak langkah perjuangan ayahnya selaku pucuk pimpinan perserikatan Muhammadiyah di Bengkulu.

Sebaliknya, pengalaman-pengalaman tersebut justru semakin menempa mentalitas kejuangannya. Terlebih setelah mengenal Bung Karno sebagai gurunya (yang kemudian menjadi kekasihnya), Fatmawati yang baru menginyak usia 15 tahun, telah mampu diajak dalam perbincangan dan diskusi mengenai filsafat Islam, hukum-hukum Islam, termasuk masalah gender dalam pandangan hukum Islam. Bahkan Bung Karno sendiri sebagai gurunya telah mengakui kecerdasan Fatmawati14. Karena jiwa, semangat, dan ketajaman berpikir terhadap ajaran agama Islam yang telah menempanya, serta ketajaman menyikapi fenomena sosio-kulturalnya, beliau mampu mengoperasionalisasikan fungsi rasionalitasnya sebagai pengendali dari unsur-unsur emosi yang selalu merangsang dalam setiap detik kehidupan manusia. Maka, ketika Bung Karno menyatakan keinginannya untuk memperistri beliau, meskipun secara emosional beliau juga terpikat kuat oleh Bung Karno, tetapi beliau tidaklah mudah untuk menerimanya begitu saja. Penolakan tersebut, di samping alasan-alasan yang mendasar, juga rasa empati terhadap sesama kaum feminis. Dan disinilah seorang Fatmawati telah matang jiwanya, meneguhkan prinsipnya untuk menolak sebuah tradisi yang bernama poligami, yang dianggap sangat tidak menguntungkan bagi kedudukan dan peranan wanita dalam kehidupan sosialnya. Bahkan kalau boleh dibilang, sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah Republik Indonesia khususnya, bagi pegawai negeri, seorang Fatmawati telah mendahului masanya dengan tekad, sikap, dan prinsip anti poligami. Oleh karenanya, sudah sangat patutlah bagi generasi muda sekarang, khususnya kaum wanita, untuk mensyukuri, menghormati, serta meneladani, nilai-nilai perjuangan Ibu Fatmawati terutama terhadap harkat dan maratabat kaum wanita Indonesia.

Jika kita bercermin dari ceritera-ceritera mitos yang berkembang pada masyarakat tradisional Bengkulu, kita tidak akan pernah menjumpai kisah seorang raja atau pangeran (kepala wilayah) yang memiliki permaisuri atau istri lebih dari satu. Bahkan dalam catatan sejarah di sepanjang zamannya sekalipun tidak dijumpai keterangan ada seorang kepala pribumi Bengkulu yang memiliki istri lebih dari satu15. Berbeda dengan kehidupan para raja di Jawa di sepanjang sejarahnya. Prinsip poligami justru sering terjadi pada kehidupan para priyayi maupun para raja di Jawa. Bahkan, ada semacam pelegitimasian secara politis, bahwa semakin banyak selir maupun gundik, semakin membuktikan kejayaan, kesaktian, pada diri seorang raja.

Satu hal lagi yang membedakan antara para priyayi ataupun para raja di Jawa dengan para kepala pribumi Melayu, khususnya Bengkulu, adalah mengenai status kekuasaannya. Jika para raja di Jawa mempunyai status sebagai raja yang feodalistis, maka sebaliknya para kepala pribumi di Bengkulu statusnya lebih demokratis.

Oleh karenanya, dalam konteks hubungan sosial yang dibangun antara pemimpin dan pengikut (dalam bahasa budaya Bengkulu, lebih dikenal dengan istilah: antara kalipah dan anak buah), lebih bersifat horizontal-oriented hubungan yang akrab. Dengan bahasa lain, bahwa kehidupan para kepala pribumi Bengkulu juga tidak jauh berbeda dengan pola kehidupan rakyat pada umumnya. Dan tata kehidupan masyarakatnya lebih mengacu pada tata kehidupan yang sudah diatur dalam hukum adat dan hukum syariat. Oleh sebab itulah, ada peribahasa yang sudah lazim dalam masyarakat Melayu (termasuk masyarakat Bengkulu) : “hukum bersendikan adat, adat bersendikan syariat”.

Fatmawati Dalam Tradisi Melayu Bengkulu

Dalam perspektif kultural, Bengkulu merupakan wilayah yang tak terpisahkan dari entitas rumpun budaya Melayu. Pengaruh budaya Melayu pada masyarakat Bengkulu terlihat cukup dominan dalam tata kehidupannya. Dalam cacatan sejarah, disebutkan, bahwa gelombang migrasinya orang-orang Melayu ke Bengkulu sebagian besar datang dari wilayah Sumatera Barat (Padang). Mereka datang ke Bengkulu untuk mengembangkan usaha dagangnya. Dalam cacatan laporan Van der Vinne, orang-orang Melayu ini masuk lapisan masyarakat Bengkulu yang ketujuh. Menurut laporannya, orang-orang Melayu ini jumlahnya paling besar. Mereka datang dari berbagai dusun sebagai perajin dan usaha kecil-kecilan. Mereka berasal dari wilayah Tiga Belas, dan dari dataran tinggi di daerah pegunungan Padang. Pada awalnya mereka datang dalam kondisi yang miskin, bahkan hidup hanya untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Akan tetapi kemudian banyak yang menjadi kaya karena telah berhasil dalam dunia perdagangan.

Etos kerja dengan keuletan dalam semangat berdagang yang dimiliki oleh orang-orang Melayu ternyata berpengaruh pada kehidupan keluarga Fatmawati. Bahkan, Fatmawati sejak kecil telah terbiasa mengikuti jejak sang ayah, Hasan Din yang cukup keras dalam usaha berdagangnya. Maka tak mengherankan, jika masa kecil Fatmawati sudah memiliki semangat kemandirian yang kuat. Bersekolah sambil berjualan pun sudah menjadi tradisi dalam kehidupan Fatmawati kecil. Dan itu, bagian dari budaya etos kerja orang-orang Melayu Bengkulu.

Dengan demikian, mitos tentang masyarakat pribumi Melayu yang pemalas dalam perspektif masyarakat kolonial tidaklah cukup beralasan19. Justru sebaliknya, masyarakat Melayu memiliki etos kerja yang luar biasa, ulet, mandiri, dan cerdas dalam berpikir. Itulah gambaran masyarakat Melayu Bengkulu yang terlihat melalui potret kehidupan keluarga Fatmawati.

Disamping memiliki etos kerja, semangat kemandirian yang kuat, Fatmawati sejak kecil pun telah terbiasa dalam gaya hidup yang rapi dan sederhana. Dengan kata lain, penampilan sehari-harinya baik dalam berpakaian, gaya rambutnya, tutur bahasanya, kesenangannya, juga memperlihatkan gaya hidup orang-orang Melayu Bengkulu pada umumnya.

Kebiasaan berdendang (bernyanyi) dan menari pada acara pesta, maupun acara keramaian atau hajatan lainnya yang dilakukan oleh Fatmawati pada masa sekolah hingga masa remaja juga merupakan tradisi orang-orang Melayu Bengkulu. Termasuk gaya rambutnya yang panjang, berkerudung, berpakaian kebaya lengkap berlengan panjang, Bahkan gaya penampilannya pun tidak berubah, meskipun Fatmawati sudah menjadi ibu negara, seperti yang terlihat dalam kumpulan fotonya baik pada masa remaja maupun setelah masa tuanya. Singkatnya, Fatmawati tetap konsisten dalam tradisi kemelayuannya.

DAFTAR PUSTAKA

Arsip Nasional RI nomor seri Benkoelen, no. 6/4). Aangekomende Brieven aan den Resident Fort Marlborough te Benkoelen uit John Prince en andere Authoriteiten te Fort Marlboroligh. 1826. 1.

Adams, Cindy. 1966. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Alih bahasa: Mayor Abdul Bar Salim). Jakarta: Gunung Agung.

Abdullah, Taufik, 1995. Pengalaman, Kesadaran, dan Sejarah. Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar Ilmu Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 27 November 1995.

Alfian, T. Ibrahim, 1985. Sejarah dan Permasalahan Masa Kini. Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar Ilmu Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 12 Agustus 1985.

______________(ed.,). 1987. Dari Babad dan hikayat sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Burhan, Firdaus. 1988. Bengkulu Dalam Sejarah. Jakarta : Yayasan Pengembangan Seni Budaya Nasional Indonesia.

Fatmawati, 1978. Fatmawati Catatan Kecil Bersama Bung Karno. Jakarta: Sinar Harapan.

Delais. H. & Hassan, Y. 1933. Tambo Bangkahulu. Batavia Centrum.

H.M. Sudjiman, Panuti. 1983. Adat Raja-Raja Melayu. Jakarta : Universitas Indonesia Press.

Kartodirdjo, Sartono. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historigrafi Indonesia Suatu Alternatif. Jakarta : Gramedia.

_____________, 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Kuntowiyoyo, 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Marsden, William. 1811. The Histrory of Sumatera. London, Black Horse Court – MDCCL XXXIII.

Pangeran Muhamad Shah, 1859. Bahuwa Inilah Asal Usul. Bataviaasch Genoot-schap, ML. 143, Latiyn-schrift, dan ML. Arab Maleisch-schrift, gedat:

Rapport van Nahuijs over het Engelsch Etablissement Bencoelen, 1823. (Arsip Nasional RI B:5/8).

Setiyanto, Agus, 1998. Wanita dan Tradisi : Kedudukan dan Peranan Wanita dalam Sistem Perkawinan Adat Jujur di Bengkulu pada Abad XVIII-XIX. Bengkulu : Balai Penelitian Universitas Bengkulu.

______________, 2001. Elite Pribumi Bengkulu Perspektidf Sejarah Abad ke 19. Jakarta: Balai Pustaka.

Vinne, Van der L. Benkoelen zoo als het is, en de Benkoelezen zoo alls zij zijn in 1843. TNI, 5e Jaargang, 2e deel, Batavia: Ter Lands-Drukkerij, 1843.


Tentang Penulis:
Agus Setiyanto
Doktor bidang sejarah. Dosen di Fisipol Universitas Bengkulu. 
Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "FATMAWATI DALAM DUNIA KOSMOS BENGKULU"