UMBUNG KUTEI: SEJARAH DAN ASPEK KINETIK & MNEMONIKNYA BAGI ORANG REJANG KEPAHIANG
![]() |
Pendei |
Pengetian Umbung
Dalam Jaspan (1964: 133) Umbung, pembacaan Rejang: u-m(b)ung), sebagai sebagai pesta yang dihadiri rajo atau pejabat tinggi yang di dalamnya diadakan menari bersama. Sementara Hazairin (1936: 10) umbung diartikannya juga sebagai kejei, yakni perayaan tradisional orang Rejang yang diadakan untuk menghormati berbagai peristiwa penting. Perayaan ini adalah kesempatan bagi mereka untuk berkumpul bersama dan merayakan berbagai peristiwa penting dalam hidup mereka, serta kesempatan untuk memperkuat ikatan budaya dan kekeluargaan mereka.
Dalam konteks budaya, umbung mengandung makna yang mendalam. Ini adalah ekspresi nyata dari nilai-nilai sosial dan budaya dalam sebuah masyarakat. Tradisi ini mengajarkan pentingnya bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama, merayakan momen-momen bersejarah, dan memupuk hubungan sosial yang kuat. Oleh karena itu, umbung bukan hanya sebuah peristiwa sosial, tetapi juga sebuah upaya untuk melestarikan warisan budaya dan nilai-nilai yang penting bagi masyarakat. Dengan demikian, umbung memiliki peran yang sangat penting dalam memperkaya identitas budaya suatu kelompok dan membangun jaringan sosial yang kuat di antara individu-individu yang terlibat.
Perbedaan Umbung dengan Bimbang:
- Umbung direncanakan dalam kegiatan apeut aseun (mufakat), sedangkan bimbang direncanakan dalam kegiatan apeut baseun (negoisasi).
- Umbung merupakan kegiatan sosial masyarakat, sementara bimbang adalah acara yang bersifat pribadi/keluarga dan lebih ditekankan untuk perayaan perkawinan.
- Sembea di umbung dihaturkan anok sangeui kepada rajo atau tetuei, sedangkan sembea di bimbang dihaturkan penganten kepada orang tua.
- Umbung adalah sebuah kenduri yang bersifat sosial dan religius. Bimbang dapat dilaksanakan secara umbung, dengan melibatkan atau mendatangkan banyak orang di sebuah dusun/kuteui. Namun, bimbang juga dapat dilakukan tanpa umbung, misalnya hanya dilakukan oleh keluarga atau kaum kerabat saja atau bersama tetangga terdekat saja.
- Umbung mengharuskan diadakan acara menari (kejei), sedangkan pada bimbang menari tidak wajib dilaksanakan.
- Umbung adalah acara besar dalam sebuah dusun atau kuteui, sedangkan bimbang adalah acara keluarga yang dapat dilakukan dengan pilihan bimbang besar (bimbang lei 7 hari dengan menari) atau bimbang kecil (bimbang titik 1-3 hari, dengan atau tanpa menari), tergantung dengan kesanggupan ekonomi ahli bimbang.
Pengertian Kuteui
Istilah Kuteui memberikan makna yang sangat penting bagi masyarakat di Rejang. Kuteui merujuk pada sebuah dusun induk atau pusat marga yang memiliki peran sentral dalam membentuk jaringan sosial masyarakat (Hazairin, 1936: 33). Ini menjadi simpul atau pusat dari sejumlah dusun-dusun yang terhubung oleh pertalian darah.
Sementara, Abdullah Siddik (1981: 104) menjelaskan, bahwa kuteui atau kutai memiliki makna masyarakat hukum adat. Kata ini sendiri berasal dari kata “kuta” yang dapat diartikan sebagai “kota atau dusun yang berdiri sendiri”. Secara luas kuteui memiliki makna sebagai sekumpulan manusia yang memiliki pertalian darah atau suku, hidup bersama dan mempunyai kepentingan serta tujuan hidup yang sama yang diatur oleh hukum adat.
Dalam perkembangannya, orang-orang dari satu dusun-asal (kuteui) akan bertebaran untuk membangun suku-suku baru dengan menyusuk dusun-dusun baru. Mereka akan membentuk masyarakat yang dipimpin oleh seorang tuei sadei. Namun, mereka akan tetap mengakui tuei kuteui di dusun asal sebagai pedoman hukum adat tertinggi (Siddik, 1981: 109).
Perbedaan Petulai dan Kuteui:
- Petulai memiliki makna pertalian darah orang-orang dalam satu klan, terbagi orang-orang sepriuk, sekulak dan sesuku. Orang Rejang mempercayai empat petulai ditegakkan oleh empat biku yang menjadi Grand Ancestors Tanah Rejang.
- Kuteui merujuk kepada wilayah atau satuan wilayah secara geografis yang dihuni oleh orang-orang sepetulai. Kuteui dan bagian-bagian wilayahnya dipimpin oleh para keturunan empat biku.
- Dalam konteks Kepahiang, kita dapat mengidentifikasi dua Kuteui yang memegang peranan khusus dalam menggambarkan hubungan sosial di sana. Pertama, Kuteui orang-orang bermarga Merigi, dan kedua, Kuteui orang-orang bermarga Bermani Ilir.
Kuteui Merigi dipercayai oleh masyarakatnya, bahwa tuei-kuteuinya pertama kali berkedudukan di Sadei Repsoak Mis, di pesisir Sungai Musi di wilayah Desa Daspetah hari ini. Pada hari ini secara administratif mencakup wilayah-wilayah di Kecamatan Merigi, Kecamatan Ujan Mas, Kecamatan Kabawetan dan sebagian desa-desa di Kecamatan Kepahiang yang berakhir di Kelurahan Dusun Kepahiang di Kecamatan Kepahiang.
Sementara Kuteui Bermani berdasarkan sejarah tuei kuteuinya berkedudukan Sadei Cinto Mandi, hari ini secara administratif mencakup wilayah-wilayah di sebagai Kecamatan Kepahiang, Kecamatan Seberang Musi, Kecamatan Tebat Karai dan Kecamatan Bermani Ilir dan Kecamatan Muara Kemumu.[3]
Pengertian Umbung Kuteui
Berdasarkan dua pengertian yang diberikan, Umbung Kuteui dapat didefinisikan sebagai sebuah tradisi atau peristiwa budaya di mana individu-individu dengan latar belakang yang berbeda, terutama yang berkuteai Merigi dan Bermani Ilir, berkumpul dalam semangat gotong royong yang tinggi. Dalam Umbung Kuteui, orang-orang tidak hanya hadir secara fisik tetapi juga membawa semangat saling bantu dan kerjasama. Tradisi ini menciptakan suasana yang penuh kegembiraan dan kebahagiaan, di mana semua perbedaan dan perselisihan ditinggalkan untuk mewujudkan sebuah hajatan besar atau pesta yang menjadi simbol persatuan dan solidaritas.
Tujuan Umbung Kuteui
Umbung Kuteui bukan hanya sebuah acara sosial, tetapi juga sebuah peristiwa budaya yang memiliki tujuan-tujuan penting dalam membentuk identitas budaya, memelihara warisan budaya, dan memperkuat persatuan sosial di antara masyarakat kuteui Merigi dan Bermani Ilir. Secara spesifik Umbung Kuteui memiliki tujuan, sebagai berikut:
1. Membangun Solidaritas dan Persatuan
Umbung Kuteui menjadi momen di mana individu-individu dengan latar belakang yang berbeda datang bersama dalam semangat gotong royong yang tinggi. Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan suasana persatuan, solidaritas, dan kerjasama di antara kuteui Merigi dan Bermani Ilir.
2. Melestarikan Warisan Budaya
Umbung Kuteui merupakan upaya untuk melestarikan warisan budaya dan nilai-nilai sosial yang penting bagi kuteui Merigi dan Bermani Ilir. Tradisi ini menjadi ekspresi nyata dari nilai-nilai sosial dan budaya dalam komunitas tersebut.
3. Mengenang Akar Budaya Bersama-sama
Umbung Kuteui juga berfungsi sebagai wadah untuk mengenang akar-akar budaya yang mereka miliki bersama. Ini mencerminkan pentingnya mempertahankan dan merayakan identitas budaya orang-orang Kepahiang sebagai komunitas yang terikat oleh darah dan nilai-nilai bersama.
4. Memperkaya Identitas Budaya
Umbung Kuteui memiliki peran yang sangat signifikan dalam memperkaya identitas budaya kuteui Merigi dan Bermani Ilir. Ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari identitas dan warisan budaya Kepahiang.
5. Membangun Jaringan Sosial
Umbung Kuteui juga berfungsi dalam membangun jaringan sosial yang kuat di antara individu-individu yang terlibat dalam peristiwa ini. Hal ini terutama terjadi di dua Kuteui yang menggambarkan pusat-pusat penting di Kepahiang.
Aspek Kinetik Umbung Kuteui
Aspek kinetik Umbung Kuteui merujuk pada tradisi yang melibatkan gerakan fisik, tindakan, atau aktivitas yang dilakukan selama peristiwa tersebut. Ini mencakup semua elemen yang terkait dengan pergerakan tubuh, tarian, bermain musik dan aktivitas fisik lainnya yang terjadi selama pelaksanaan Umbung Kuteui. Aktivitas-aktivitas fisik tersebut dipandang sebagai ekspresi semangat persatuan, kerjasama, kegembiraan dan kebahagiaan yang ada selama Umbung Kuteui, mulai dari perencanaannya hingga selesai.
Umbung Kuteui merupakan sebuah peristiwa yang sangat berarti bagi masyarakat kuteui Merigi dan Bermani Ilir. Pesta ini tidak hanya sekadar berkumpulnya orang-orang dari kedua marga tersebut, tetapi juga menjadi simbol pertalian kehendak dan cita-cita yang sama di antara mereka. Selain itu, semangat gotong royong yang kuat menjadi pondasi utama dalam mewujudkan sebuah hajatan budaya yang penuh dengan kegembiraan. Umbung Kuteui menjadi sebuah tradisi yang akan selalu dikenang oleh kedua kuteui ini, mengingatkan mereka akan pentingnya persatuan, kerjasama, dan menjaga warisan budaya bersama-sama.
Dalam penyelenggaraan Umbung Kuteui, terpancar semangat untuk memelihara dan merayakan warisan budaya mereka. Pesta ini bukan hanya menjadi ajang berkumpul, tetapi juga menjadi wadah untuk memperkuat solidaritas dan mengenang akar-akar budaya yang mereka miliki. Umbung Kuteui adalah bukti nyata bahwa ketika sebuah komunitas bersatu dengan tujuan yang sama, apa pun bisa dicapai. Kegembiraan dan semangat yang hadir dalam pesta ini akan terus menjadi sumber inspirasi bagi generasi-generasi mendatang, menjadikan Umbung Kuteui sebagai bagian yang tak terpisahkan dari identitas dan warisan budaya masyarakat Kepahiang.
Umbung Kuteui juga mencerminkan pentingnya nilai-nilai sosial dan budaya dalam masyarakat. Ini adalah ekspresi nyata dari bagaimana individu-individu dalam komunitas menghargai hubungan keluarga, merayakan momen-momen bersejarah, dan memupuk hubungan sosial yang kuat. Tradisi ini tidak hanya merupakan peristiwa sosial biasa, tetapi juga upaya untuk melestarikan warisan budaya dan nilai-nilai yang penting bagi masyarakat Merigi dan Bermani Ilir. Dengan demikian, Umbung Kuteui memiliki peran yang sangat signifikan dalam memperkaya identitas budaya kedua kelompok tersebut dan dalam membangun jaringan sosial yang kuat di antara individu-individu yang terlibat, sambil tetap berpusat di dua Kuteui yang menggambarkan pusat-pusat penting dalam komunitas mereka
Perangkat Umbung Kuteui
Sebagai sebuah peristiwa budaya, Umbung Kuteui memerlukan perangkat-perangkat yang berangkat dari tradisi Rejang Kepahiang. Perangkat-perangkat tersebut adalah malim umbung, pengujung/baleui, pendei, ibeun pena’ok, serawo nioa u’ei dan anok sangeui.
1. Rajo
Rajo adalah individu yang merepresentasikan kepala pemerintahan tertinggi yang diakui oleh komunitas masyarakat adat (lihat Jaspan, 1964: 213). Dia bisa seorang tuei sadeui (kepala desa) dalam lingkup local atau desa, tuei kuteui atau pasiran (kepala marga)hingga seorang pemimpin yang lebih tinggi lagi untuk lingkup yang lebih luas (bupati, gubernur atau presiden).
Aslinya orang Rejang tidak mengenal istilah Rajo bagi pemimpinnya. Istilah-istilah umum yang dipergunakan orang Rejang bagi pemimpin tertinggi mereka adalah Tuei Sadeui dan Tuei Kuteui yang diberi gelar Ajai, Depati atau Rio. Istilah Rajo mulai umum dipergunakan setelah orang Rejang memiliki koneksi dengan Kesultanan Palembang, dan dengan mulainya pemberlakuan Undang-Undang Simbur Cahaya oleh pemerintah Hindia Belanda bagi seluruh wilayah residensi di Sumatera Bagian Selatan, pada 1890. Pemimpin lokal Rejang yang diketahui pertama kali menggunakan istilah Rajo adalah Dunjang, Tuei Kuteui Merigi, beribu-petulai di Kelobak dengan gelar Depati Rajo Pasirah, pada 1859 (lihat Soewandi, Emong, 2022: 87, cf. Jaspan, M., 1964: 213).
2. Malim Umbung
Malim (dari kata mu’alim, penunjuk jalan) umbung adalah orang-orang yang ditunjuk oleh rajo/tuei kuteui sebagai penanggung jawab kegiatan umbung (lihat Jaspan, 1964: 78). Malim umbung sebagai sebuah panitia ditentukan dalam mufakat kuteui yang dipimpin oleh rajo/tuei kuteui.
3. Pengujung dan Baleui
Pengertian dasar pengujung adalah menyambung beranda rumah dengan atap tambahan yang bertujuan memperluas beranda untuk sebuah acara. Agar berbeda dengan pseban (bangunan kecil berbalai-balai dan tidak berdinding tempat berkumpul atau perondaan yang biasa terletak di nateut [lapangan] kuteui/dusun) yang berdiri sendiri, maka pengujung dipandang sebagai perpanjangan beranda rumah. Sebagai sambungan beranda, pengujung harus diberi dinding rendah sebagaimana layaknya beranda rumah orang Rejang umumnya. Selain itu pengujung juga harus diberi tirai daun kelapa beserta tulangnya dan sebagai pemanis pada tiap tiangnya diberi daun puding merah.
Pengujung juga berbeda dengan baleui. Kalau pengujung diartinya bersambungan dengan beranda rumah, maka baleui berdiri sendiri di halaman rumah dan tempat Rajo didudukkan. Namun, antara pengujung dan baleui memiliki kesamaan yakni harus diberi dinding rendah.Fungsi utama pengujung adalah tempat perjamuan dan dalam bimbang tempat mendudukkan pengantin. Pengujung sejatinya juga dipersiapkan sebagai tempat bermalam bagi tamu-tamu jauh (lihat Hazairin, 1936: 10).
Perbedaan Pengujung dengan Baleui
- Pengujung secara umum bersambung dengan beranda rumah, sementara baleui berdiri sendiri terpisah dari rumah.
- Pengujung diberi lantai papan, sementara baleui boleh berlantai tanah atau diberi lantai papan.
- Pengujung adalah tempat perjamuan, sementara baleui tempat menari. mendudukkan. Jika menjamu Rajo, maka yang bersangkutan akan dibawa ke pengujung.
4. Pendei
Pendei |
Pendei adalah lambang kuteui atau petulai, sebagai pernyataan kesatuan manusia Rejang yang agraris dengan alam. Pendei diwujudkan dalam sebuah relik berbentuk karangan-bunga besar yang berisi rangkaian hasil-hasil ladang/kebun, peralatan kerja, peralatan rumah tangga dan senjata. Dasar pendei adalah sebuah bingkai bambu sebagai wadah atau tempat mengikat alat-alat upacara. Pendei dibuat saat bekejei, hari panen atau menyambut tamu agung.
Benda-benda terpenting di pendei adalah:
- Daun beringin dengan rantingnya
- Jawet dengan tangkainya
- Sirih dengan tangkainya
- Pisang emas masak setandan
- Tebu manau sebatang dengan akar dan daunnya
- Kelapa tua dengan tangkainya
- Pinang tua setandan
- Setawar
- Sedingin
- Peralatan rumah tangga
- Alat pemotong dan penetak (rudus)
- Alat pemotong dan penyerut (sewar)
- Dua batang tombak
- Satu senapan
- Payung Agung (lihat PPKD Kabupaten Kepahiang, 2022: 28)
Makna Beberapa Benda dalam Pendei:
Makna Daun Sirih
Daun sirih (Piper betle) merupakan tanaman asli nusantara, dalam tradisi masyarakat Rejang memegang peran sentral dalam sejumlah konteks budaya dan keagamaan. Bagi orang Rejang, berbagai makna simbolis yang dihubungkan dengan daun sirih menandai keberadaannya:Pertama, daun sirih digunakan sebagai simbol kebersihan dan kesucian dalam ritual dan upacara. Penggunaannya dianggap mampu membersihkan dan menyucikan fisik serta spiritual dalam prosesi adat. Selain itu, daun sirih juga mencerminkan lambang persaudaraan dan pertemanan, sering diberikan kepada tamu sebagai ungkapan keramahan dan kehangatan, kadang disertai dengan pinang, yang menguatkan ikatan sosial.Selanjutnya, dalam beberapa keyakinan, daun sirih dianggap membawa keberuntungan dan mewakili kesejahteraan. Keterlibatannya dalam acara pernikahan atau upacara tertentu sering dikaitkan dengan harapan akan kebahagiaan dan kemakmuran. Daun sirih juga melambangkan keharmonisan dan kesatuan, sering terlihat dalam prosesi pernikahan yang menekankan persatuan antara dua keluarga atau individu. Di samping itu, peran daun sirih dalam upacara keagamaan atau adat memperlihatkan nilai budaya yang diwariskan tinggi dalam masyarakat Nusantara. Segala makna simbolis ini menegaskan pentingnya daun sirih dalam menjaga kebersihan, mempererat persaudaraan, meraih kesejah-teraan dan mempertahankan identitas budaya serta keagamaan dalam tradisi masyarakat Nusantara.
Makna Tebu
Tebu (Saccharum officinarum) memiliki makna simbolis yang mendalam dalam tradisi masyarakat Nusantara, sering kali melambangkan kesuburan, kelimpahan, dan keberuntungan. Dalam beberapa budaya di Indonesia, tebu dianggap sebagai simbol kesuburan karena kemampuannya tumbuh subur di lahan yang subur, memberikan harapan akan kelimpahan hasil pertanian dan kehidupan sejahtera. Tebu juga sering menjadi simbol kebahagiaan dalam acara adat atau perayaan, bahkan menjadi elemen dekoratif dalam upacara pernikahan. Pertumbuhannya yang memerlukan perawatan dan kerja keras diartikan sebagai simbol ketekunan dan kerja keras, mencerminkan kebulatan tekad dalam menghadapi tantangan. Selain itu, tebu juga memiliki makna spiritual dalam beberapa komunitas terkait dengan kekuatan alam atau roh yang berkaitan dengan pertanian. Sebagian tradisi melihat tebu sebagai bagian dari keseimbangan alam, mengingatkan akan ketergantungan manusia pada alam dan pentingnya menjaga harmoni antara manusia dan lingkungan.
Makna Pinang
Pinang (Areca catechu) memegang makna simbolis yang signifikan dalam tradisi masyarakat Nusantara. Dalam berbagai konteks budaya, pinang melambangkan kebahagiaan dan persatuan dalam pernikahan, sering menjadi bagian dari upacara pernikahan sebagai simbol keharmonisan hubungan. Selain itu, pinang juga mencerminkan nilai pertemanan dan keramahan dengan tradisi memberikan pinang kepada tamu sebagai tanda kehangatan. Rasa pahit yang berubah menjadi manis ketika dikunyah menggambarkan kematangan, kesabaran, serta kekuatan dalam menghadapi rintangan kehidupan. Di sisi lain, dalam beberapa tradisi, pinang dianggap sebagai simbol kemakmuran dan kesejahteraan karena pohon pinang yang kokoh melambangkan kelimpahan rezeki. Terakhir, pinang juga memiliki makna spiritual dalam praktik keagamaan atau ritual di beberapa komunitas, digunakan sebagai persembahan kepada roh atau dewa dalam tradisi adat.
Makna Daun Beringin
Pohon beringin (Ficus benyamina) memiliki signifikansi simbolis yang luas dalam tradisi masyarakat Nusantara. Dianggap sebagai pohon suci, beringin mempunyai beragam makna: simbol kekuatan melalui pertumbuhan yang besar dan akar yang kokoh, menciptakan suasana ketenangan dan stabilitas, sering dijadikan tempat meditasi. Sebagai simbol keabadian, beringin dihormati karena kemampuannya bertahan lama, terutama pohon tua yang dianggap memiliki nilai sejarah dan spiritual. Dalam kepercayaan beberapa masyarakat, beringin menjadi tempat keramat, sering digunakan untuk peribadatan atau diyakini sebagai tempat berkumpulnya entitas spiritual tertentu. Selain itu, beringin juga menjadi simbol budaya dan identitas lokal dalam banyak daerah, menjaga beberapa pohon beringin sebagai bagian dari warisan budaya. Tak jarang, pohon ini menjadi tempat penting untuk pertemuan atau pengambilan keputusan kolektif, dianggap memberikan berkah dalam proses konsensus. Meskipun maknanya bisa berbeda di berbagai komunitas, secara umum, pohon beringin dihargai dan dianggap memiliki nilai spiritual dan budaya yang tinggi di masyarakat Nusantara.
Makna Kelapa
Kelapa (Cocos nucifera) dan tandannya memiliki makna simbolis yang luas dalam tradisi masyarakat Nusantara. Kelapa dianggap sebagai lambang kehidupan karena manfaatnya yang beragam bagi manusia, dari airnya yang menyegarkan hingga daging dan seratnya yang bermanfaat, mencerminkan kelimpahan sumber daya yang dapat dimanfaatkan. Air kelapa sering dihubungkan dengan kesehatan dan kesegaran, sementara peran kelapa dalam berbagai upacara adat atau ritual menegaskan kedudukannya dalam kehidupan dan budaya lokal. Pohon kelapa yang kuat dan tahan terhadap lingkungan ekstrem dianggap melambangkan kekuatan dan ketahanan, sementara hubungannya yang erat dengan lingkungan alam mengingatkan manusia akan ketergantungannya pada alam dan pentingnya menjaga keseimbangan alam untuk kelangsungan hidup.
Makna Buah Kundur
Buah kundur (Benincasa hispida) memiliki makna simbolis yang kaya dalam tradisi masyarakat Nusantara bila dibandingkan dengan buah-buahan umum lainnya. Namun, dalam beberapa konteks lokal, buah ini memperoleh makna khusus. Terkadang dianggap memiliki sifat penyembuhan dalam pengobatan tradisional, digunakan oleh beberapa komunitas untuk tujuan pengobatan alami. Penggunaannya juga mencerminkan keterhubungan dengan alam dan kehidupan pedesaan, menjadi bagian dari praktik pertanian atau kehidupan sehari-hari di daerah pedesaan. Keberadaannya mencerminkan keanekaragaman hayati lokal yang dihargai oleh masyarakat setempat, menandakan pentingnya keberagaman hayati dalam lingkungan tersebut. Selain itu, buah kundur bisa menjadi simbol kemandirian dan keberlanjutan karena kemampuannya tumbuh tanpa perawatan yang intensif, diinterpretasikan sebagai simbol kekuatan dan ketahanan dalam menghadapi kondisi lingkungan setempat.
Makna Lemang
Lemang, sebagai hidangan tradisional terkait erat dengan budaya Melayu di Indonesia dan Malaysia, memiliki beragam makna simbolis yang menandai esensi kehidupan masyarakat Nusantara. Hidangan ini, yang terbuat dari beras ketan yang dimasak dalam batang bambu dengan santan kelapa, bukan hanya sebuah makanan, tetapi simbol yang melambangkan berbagai nilai penting. Pertama, lemang adalah simbol kebersamaan dan persatuan; dalam momen-momen penting seperti perayaan Hari Raya, proses memasak lemang melibatkan kerja sama dan partisipasi banyak orang, memperkuat ikatan kebersamaan dalam komunitas. Selanjutnya, kehadiran lemang dalam perayaan atau acara istimewa menggambarkan kesejahteraan dan kebahagiaan, menyiratkan kelimpahan rezeki dan keberuntungan bagi mereka yang menikmatinya.Di sisi lain, lemang juga merupakan simbol yang mengandung nilai-nilai tradisi dan warisan budaya. Proses memasaknya yang khas dan diwariskan secara turun-temurun menjadi ciri khas dari nilai-nilai tradisional yang dihargai dalam budaya masyarakat Nusantara. Selain itu, kesabaran dan ketenangan dalam proses memasak lemang menjadi simbol yang mengingatkan akan pentingnya sabar dan ketenangan dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan bahan-bahan alami seperti bambu dan santan kelapa juga menandai keterhubungan dengan alam dan keberlanjutan budaya pertanian, menggambarkan kesadaran akan pentingnya menjaga hubungan harmonis dengan lingkungan sekitar. Lemang, dengan makna simbolisnya yang dalam, memperkuat nilai-nilai budaya yang diwariskan dan dijunjung tinggi dari generasi ke generasi dalam masyarakat Nusantara.
Bokoa Ibeun atau Tukeng
Bokoa ibeun atau tukeng atau tepak sirih adalah perlengkapan sirih, yang terdiri atas ibeun sanggen, yakni sirih dalam tukeng beserta semua perlengkapan makan sirih lainnya (pinang, gambir, kapur, tembakau), punjung berupa nasi yang dibentuk mengerucut dengan sepotong paha ayam di atasnya dan serawo pulut yakni ketan dengan parutan kelapa dan gula aren di atasnya. Tukeng atau bokoan ibeun ditaruh di hadapan rajo atau tetuei.
Bokoa ibeun terdiri dari satu cembul, 3-5 cupu dan satu cawan sirih. Cembul dipergunakan untuk menyimpan daun sirih, pisai kecil peraut gambir dan kacip (pemotong pinang). Cupu-cupu dipergunakan sebagai tempat ramuan menyirih (pinang, gambir dan kapur) dan cawan diisi dengan daun-daun sirih.
Makna Sirih bagi Orang Rejang:
Orang Rejang memandang sirih sebagai lambang semangat empat petulai, dengan rasa saling saling percaya, kasih sayang dan kepedulian terhadap orang lain serta saling menghormati hak-hak dan kewajiban masing-masing (lihat Jaspan, 1964: 239). Sirih dipandang suci oleh orang Rejang, kita tidak bisa menentang atau menolaknya, sekalipun musuh datang, akan tetap diterima dengan baik jika dia menawarkan sirih. Pun kepadanya juga ditawarkan sirih sebagai tanda perdamaian.
6. Serawo Nioa U’ei
Berupa air kelapa muda yang masih dalam buahnya yang telah dibuka. Air kelapa ini telah diberi campuan parutan gula merah. Serawo ini akan diberikan kepada rajo begitu tiba di tempat umbung dilaksanakan.
7. Anok Sangeui
Anok sangeui adalah perawan dan perjaka yang akan menari dan menyampaikan sembah mewakili dusun/kuteui kepada rajo.
8. Jamuan Agung
Adalah perjamuan dengan menyajikan santapan bagi rajo atau orang-orang yang berkedudukan penting lainnya dalam kuteui. Jamuan akan disajikan oleh para jenang yang diawasi oleh tuei umbung. Penyajian jamuan ini memiliki tata cara dan urutan tersendiri, mulai dari kmbuk titik, berupa sambal-sambalan, sampai kmbuk lei, berupa nasi dan lauk pauknya. Disajikan juga odot (rokok) dalam gelas.Sesuai dengan tata krama atau ca’o Jang, menghidangkan jamuan termasuk kegiatan sembea, karena itu pelaksanaannya akan dilakukan di depan rajo dan para tamu. Rajo akan duduk dulu di tempat jamuan, lalu hidangan dapat disajikan.Ada dua ca’o Jang dalam menghidang, yang pertama dilakukan oleh Jenang Sambut (Jenang Semambut) dan oleh Jenang Tengah (Jenang Adep).
Persiapan Umbung Kuteui
1. Mufakat Kuteui
Sebelum pelaksanaan umbung akan dilakukan upeut baseun atau musyawarah bersama orang di kuteui baik sesuku atau tidak (lihat Hazairin, 1936:8, lihat juga Jaspan: 1964: 5). Upeut aseun untuk umbung kuteui termasuk baseun depeak (musyawarah sebelah), karena tidak ada kegiatan negoisasi material, tujuannya hanya mencapai satu kesepakatan bersama untuk melaksanakan perayaan. Dalam mufakat ini akan ditentukan pembiayaan kegiatan umbung, untuk apa umbung dilaksanakan, waktu dan tempat pelaksanaannya serta orang-orang yang bertanggung jawab untuk melaksanakannya.Jika sudah mencapai kesepakatan tentang perayaan kejai, itu berarti bahwa mereka akan saling membantu dalam memikul beban, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Setelah mencapai kesepakatan, rencana tersebut diumumkan kepada rajo atau tuei kuteui. Jika rajo menyetujui rencana tersebut, maka seluruh kuteui akan merayakan perayaan dan membagi beban perayaan sesuai dengan kemampuan masing-masing.
2. Menyiapkan Malim Umbung
Sebagaimana yang ditulis Hazairin (1936:9), dalam mufakat kuteui ditentukan malim umbung, yakni orang-orang yang bertanggung jawab atas pengelolaan perayaan, penyambutan tamu dan pengaturan di balai umbung/kejai, sebagai berikut:
- Satu orang tuei umbung
- Beberapa orang pemakeu/pemantau adat
- Satu orang tuei batin dengan beberapa alingan (pembantu tuei batin)
- Satu orang tuei jenang dengan beberapa jenang pembantu
- Satu orang jakso mencok yang memimpin tari mencok
- Satu orang jakso bunyi-bunyian, yakni orang yang bertanggung jawab untuk alat-alat musik.
- Satu orang jakso tepuk tari, yang bertanggung jawab terhadap anok sangeui yang akan menari
- Beberapa orang kemit (penjaga keamanan)
- Satu orang tuei stamang (perempuan kepala pelayan, kepala dapur)
3. Menegak Pengujung dan Baleui
Pada hari yang telah ditentukan dalam Mufakat Kuteui, orang-orang kuteui akan bersama-sama membuat pengujung, tempat umbung akan dilaksanakan. Kegiatan ini akan dipimpin oleh tuei umbung bersama para tuei batin.
4. Menegak Pendeui
Pendeui dibuat sehari sebelum pelaksanaan umbung. Pendei dibuat oleh tuei umbung atau orang yang ditunjuk khusus oleh tuei umbung untuk membuatnya. Bahan-bahan pendei harus berasal dari masyarakat kuteui yang disiapkan secara sukarela. Sangat diutamakan bahan-bahan pendei tidak akan yang diperoleh dengan jalan pembelian.
5. Menyiapkan Anok Sangeui
Anok sangeui memegang peran penting dalam umbung kuteui, karena untuk sembah kepada rajo akan dilakukan oleh mereka dalam bentuk tarian. Mereka perlu disiapkan fisik dan mentalnya, dengan diberikan pelatihan dan penguatan lainnya oleh tukang tepuk tari dan tuei kuteui. Mereka pun harus dipastikan sehat untuk tampil di kegiatan umbung.
Urutan Tindakan Pelaksanaan Umbung Kuteui
1.Persiapan
Sebelum rajo atau tamu tiba, tuei umbung memeriksa semua perangkat umbung telah siap sedia. Para alingan dan anok sangeui telah berada di tempat tugasnya masing-masing.
2. Rajo Teko
Rajo atau tetuei tiba di di gerbang nateut atau gelanggang tempat pelaksanaan umbung.
3. Becanang
Getuk (kentongan) akan dipukul saat rajo akan dan telah tiba di gerbang nateut pengujung atau balai. Setelah getuk ditalu, Tukang Canang akan bkenok atau bebieu (teriakan hu!) memanggil orang-orang untuk menyampaikan pengumuman, agar segera berkumpul, karena rajo akan segera tiba. Hazairin (1936: 6) menambahkan, saat pengumuman ini Tuei Canang akan dikawal seorang kemit yang memegang pedang atau tombak.
Kata-kata tukang canang:“Hoi! Mlah ite bkopoa, Rajo bi teko! Blungguk ba nak baleui Umeak Adat!
4. Ibeun Pna’ok atau Pernyambutan Rajo
Tuei Umbung bersama Tuei Umeak dan tetuei lainnya, dua tuei kuteui, satu orang jakso dan penari mencok, dua kemit pengawal Rajo yang memegang tombak dan satu kemit pemegang payung agung berdiri dalam satu barisan. Tuei umbung membawa bokoa ibeun, satu orang tetuei membawa serawo nioa u’ei, satu orang tuei membawa nasi punjung yang ditutup dengan daun pisang.Catatan: Kepala tombak tidak boleh terhunus, harus dibungkus dengan sarung kulit atau kerunyut ucang gandik (selubung/sarung dengan pengikat tali)Tuei Umbung dan Tuei Umeak akan berjalan menghampiri Rajo, diikuti tetuei lainnya. Kepada Rajo, Tuei Umbung dan Tuei Umeak menyampaikan kata-kata selamat datang kepada Rajo. Dua orang jawara kemudian mengambil posisi di sisi kiri dan kanan Rajo, pembawa payung berdiri ke belakang Rajo.
5. Tari Mencok
Tari mencok (m’cok0) adalah tari selamat datang dalam bentuk gerakan-gerakan silat Rejang sebagai yang dilakukan di hadapan rajo atau tetuei atau tamu agung (lihat Jaspan, 1964: 3). Tari mencok melambangkan kesiapan malim umbung dan masyarakat kuteui untuk melaksanakan Umbung dan sebagai jaminan keamanan bagi rajo selama mengikuti umbung. Setelah menari, beberapa jawara akan mengawal rajo/tetuei/tamu agung menuju ke kursi agung di balai.
6. Rajo Menuju Singgasana
Rajo berjalan dengan dipayungi oleh seorang kemit pemegang payung agung dan dikawal oleh dua kemit yang memegang tombak dan didampingi oleh Tuei Umbung. Diikuti kemudian oleh para tetuei dan tamu lainnya. Sepanjang Rajo melangkah ke kursi agung di baleui, semua hadirin memberikan sembea punjung temuko dan mengucapkan kata-kata: “Stabik, Rajo! Stabik, Rajo!”
7. Rajo Cuci Kaki dan Tangan
Sebelum Rajo naik ke balai atau kursi agung, Rajo akan mencuci kaki dan tangannya dari air dalam guci yang diletakkan di gerbang baleui.
8. Ibeun Pamit
Setelah rajo/tamu agung duduk, Tuei Umbung akan menghadap dan menyampaikan sembea (sembah) untuk meminta izin acara akan dimulai. Pamit dibuka dengan sembea punjung temuko, lalu menyampaikan kece’ permintaan izin kepada rajo. Rajo dapat memberikan jawaban dengan kece’ singkat juga atau dengan menganggukkan kepala.
9. Ibeun Sembea Anok Sangeui
Ibeun Sembea yang dilakukan oleh anok sangei adalah pusat dari berbagai interaksi sosial dan budaya dalam tradisi Rejang. Melalui serangkaian tindakan kinetik, sembea menggambarkan penghormatan, penerimaan, dan norma budaya Rejang yang kaya penuh kesantunan, menjalin hubungan antara individu, keluarga dan komunitas. Sembea dilakukan dalam sebuah urutan tindakan dalam bentuk tarian oleh anok sangeui (lihat Jaspan, 1963: 10).Tarian ini dimulai dengan posisi para anok sangeui perempuan duduk bersimpuh di hadapan Rajo, sedangkan yang laki-laki duduk bersimpuh letuet sujut. Gerakan-gerakan utama dalam tarian sembea ini adalah: Aket, Kipas Temutup, Kipas Temuko, Punjung, Tu’un dan Penyudo.
10. Ibeun Mulo Bekece’
Ibeun Mulo Bekece’ merupakan bagian dari Sembea, berupa sekapur sirih dan pidato-pidato/ sambutan-sambutan, yakni dialog antar individu dalam umbung kuteui, antara tuei umbung dengan tamu yang paling tinggi kedudukan sosialnya (rajo, pasirah atau tuei kuteui) (lihat Jaspan, 164: 225). Penyampaikan kata-kata sambutan dan petatah-petitih dalam umbung kuteui termasuk dalam Sembea Kece’. Individu laki-laki yang menyampaikan kece’ terlebih dahulu menghaturkan sembea kipas tmuko tu’un kepada rajo, sedangkan jika perempuan menghaturkan sembea punjung tu’un.
11. Ibeun Petuah Rajo
Ibeun Petuah Rajo adalah sambutan atau nasehat dari Rajo yang ditujukan kepada segenap khalayak yang hadir. Sebelum menyampaikan petuah, Tuei Umbung akan menghadap dan menghaturkan sembea kepada Rajo, lalu meminta agar Rajo dapat memberikan petua, pidato atau sambutan.
12. Temtok Tilei Gandeui
Temtok tilei gandei ditandai dengan memancung tebu hitam atau tebu manau yang terpasang di pendei. Tindakan ini memiliki makna panen semua hasil kerja yang dilakukan oleh masyarakat kuteui. Tebu akan dipancung oleh rajo dengan sebilah rudus atau pedang khusus yang hanya boleh dikeluarkan dari sarungnya oleh tuei umbung. Dengan tebu telah ditetak, menandakan menari dan jamuan dapat dimulai
14. Mdu’o
Mduo adalah doa selamat kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang akan dibacakan oleh seorang pemuka agama yang telah ditunjuk oleh tuei umbung. Doa dapat disampaikan dalam bahasa Arab, Rejang atau bahasa Indonesia.
15. Taei Kejei
Menari Kejei adalah puncak pesta atau umbung. Tari dibuka oleh anok sangeui kemudian akan mengajak tamu-tamu lain untuk menari. Seorang anok sangeui akan menyampirkan kain songket atau selendang kepada tamu kehormatan sebagai undangan untuk menari. Rajo atau tamu kehormatan akan menuju tempat menari diikuti tamu-tamu lainnya.
16 Jamuan
Santapan disajikan. Tuei Jenang didampingi Tuei Umbung akan menyampaikan kepada rajo, bahwa jamuan telah disajikan dan disilakan untuk bersantap. Kalau tempat jamuan terpisah, Tuei Jenang bersama Tuei Umbung akan mengundang rajo untuk menuju ke tempat jamuan, selanjutnya jamuan disiapkan oleh para jenang.Seorang jenang tuei akan menunjuk beberapa jenang ei (jenang ulu) untuk menghidang dan mengatur jamuan di pengujung. Beberapa orang jenang ei itu akan duduk di tengah-tengah barisan atau lingkaran tamu di pengujung, lalu akan menyambut hidangan dan mengaturnya. Saat mengatur makanan jenang ei harus duduk dalam posisi letuet sujut atau bersimpuh melipat kaki. Piring-piring hidangan disusun satu demi satu dengan pelan penuh kesopanan di atas tikar, tidak boleh sekaligus dua piring. Kesalahan cara penyajian bisa berakibat jenang tuei dan jenang lainnya bisa dihukum punjung.
17. Sambeui Gandeui Sebilei/Seluweng
Sambeui Gandei adalah mutus kejei, sebagai acara tari-tarian dan nyanyi-nyanyian yang dilaksanakan setelah Kejei Sembea, menari bersama dan jamuan (lihat Jaspan, 1963:27), dilaksanakan seharian atau semalam suntuk. Sambeui Gandei merupakan acara hiburan, tidak termasuk kegiatan wajib dalam sebuah umbung, tergantung dengan kebutuhan dan kesanggupan waktu dan ekonomi ahli atau penyelenggara umbung/bimbang. Dalam sambeui gandei akan dilaksanakan menari, nandak, nyambei atau berejung, termasuk diperbolehkan kesenian modern dan dari luar Rejang.
18. Maket Tilei Gandeui
Maket Tilei Gandei adalah tindakan membongkar pendei menandai kegiatan umbung telah selesai. Bahan-bahan pendei tidak boleh dibuang. Padi akan dikembalikan ke lumbungnya, bahan-bahan makanan akan dibagi-bagikan, rangka pendei akan disimpan untuk dapat dipakai kembali di kegiatan lainnya. Pembongkaran pendei mulai oleh Rajo, kemudian dilanjutkan oleh tuei umbung dan orang-orang yang ditunjuk tuei umbung untuk melakukannya.
Larangan-Larangan Bersifat Adat dalam Umbung Kuteui
- Memakai payung berwarna kuning, karena payung kuning atau berwarna kuning adalah pakaian rajo. Hanya rajo dan tetuei yang boleh memakai payung berwarna itu. Sanksi yang melanggar payungnya akan disita kemit atau tukang sambang.
- Mengambil isi pendei sebelum acara pemancungan tebu, jika dilanggar sanksi bagi pelaku adalah dipunjung dan diusir dari tempat umbung.
- Membongkar pendei sebelum acara selesai. Sanksi yang melanggar adalah dipunjung dan diusir dari tempat umbung.
- Menari atau bermusik/membunyikan alat musik tanpa izin rajo, tuei kuteui atau tuei umbung, jika dilanggar sanksinya dipunjung.
- Menari atau bermusik/membunyikan alat musik sebelum Tari Ibeun Sembea Anok Sangeui dan Tari Kejei. Sanksi yang melanggar akan dipunjung dan diusir dari tempat umbung.
- Membawa keris atau senjata lainnya. Orang-orang yang berhak membawa keris adalah rajo, tetuei kuteui atau adat dan tuei umbung. Sanksi bagi yang melanggar akan dipunjung dan keris disita.
Daftar Pustaka
- Badan Musyawarah Adat Kabupaten Kepahiang. Adat Hejang Kepahiang, Bumei Sehasen Kepahiang. Kepahiang: tp. 2012.
- Hazairin. De Redjang, De Volksordening, Het Verwantschaps, Huwelijks En Erfrecht. Bandung: A.C. Nix & Co. 1936.
- Jaspan, M.A. From Patriliny To Matriliny Structural Change Among The Redjang of Southwest Sumatra. Vol 1. Thesis submitted for the Degree of Doctor of Philosophy in the Australian National University. 1964a
- ---------------. From Patriliny To Matriliny Structural Change Among The Redjang of Southwest Sumatra. Vol 2. Thesis submitted for the Degree of Doctor of Philosophy in the Australian National University. 1964b
- ---------------. Materials For A Rejang - Indonesian - English Dictionary. Collected by With a fragmentary sketch of the Rejang language by W. Aichele,and a preface and additional annotations by P. Voorhoeve. Materials In Languages Of Indonesia, No. 27. Canberra: Department of Linguistics Research School of Pacific Studies The Australian National University. 1964c.
- Siddik, Abdullah. Hukum Adat Rejang. Jakarta: Balai Pustaka. 1984.
- Soewandi, Emong. Glosaria Kebudayaan Redjang. Curup: Andhra Grafika. 2024
- Swaab, J.L.M., Beschrijving der Onderafdeeling Redjang dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 01/1916, Volume 72, Issue 1.
- Tim Penyusun PPKD Kabupaten Kepahiang. Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah Kabupaten Kepahiang. Kepahiang: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kepahiang. 2022.
- Van den Berg L.W.C., Oendang-Oendang Adat Lembaga, Peratoeran Van 1866, Peratoeran Van 1868, Oendang-Oendang Simboer Tjahaja dalam Bijdragen Tot De Taal Land En Volkenkunde. Koninklijke Brill Nv. Volume 43, Issue 1. 1880.
Terima kasih atas informasinya, sangat bermanfaat.
ReplyDelete