Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DRAMA: LALAN BELEK

DRAMA: LALAN BELEK

Emong Soewandi


ADEGAN I

Di pelataran rumah kayu rumah adat Rejang, di bawah bulan purnama. Di beberapa sudut terdapat obor bambu dengan sumbu sabut kelapa.

Jenang duduk bersama orang-orang. Orang-orang menggunakan kain sarung untuk berkemul menyelimuti dirinya.

Terdengar senandung Lalan Belek yang diiringi gitar tunggal.

Oi Lalan belek… oi Lalan belek… Lalan belek
Oi Lalan belek… oi Lalan belek… Lalan belek

Kemok buluak si depeak
depeak nang au
Kemok dawen si lipet duwai
Lipet duwai

Kunyau depuluak etun temegeak nang au
Belek asen ite beduai ite beduai

Oi Lalan belek… oi Lalan belek… Lalan belek
Oi Lalan belek… oi Lalan belek… Lalan belek

Amen ku namen repie epet nang au
Coa kumelapen ebuak kedulo
Ebuak kedulo…

Amen kunamen idup yo peset nang au
Coa ku elok tu’un moi dunio
tu’un moi dunio

Oi Lalan belek… oi Lalan belek… Lalan belek
Oi Lalan belek… oi Lalan belek… Lalan belek

Amen ba ade seludang pinang nang au
Jano guno ku upeak igai
ku upeak igai

Amen ba ade bayang betunang nang au
Jano guno bemadeak igai
bemadeak igei

Oi Lalan belek… oi Lalan belek… Lalan belek
Oi Lalan belek… oi Lalan belek… Lalan belek

Bilai iyo temanem tebau nang au
Memen sebilai temanem suie
temanem suie

Bilai iyo ite betemau nang au
Memen sebilai ite beceei
Ite beceei

Oi Lalan belek… oi Lalan belek… Lalan belek
Oi Lalan belek… oi Lalan belek… Lalan belek
Oi Lalan belek… oi Lalan belek… Lalan belek 

Orang-Orang :
Jenang, siapakah yang menciptakan sepi? Maksud apa yang dibawa tembang keramat itu?

Jenang :
Seseorang yang tengah mengharapkan, agar pintu langit terbuka dan mengirimkan tanda?

Orang-Orang :
Pertanda apakah itu?

Orang-Orang :
Katakan pada kami biar jelas, barangkali ada kehendak untuk juga ikut mencari.

Sunyi

Jenang :
Terlalu gelap untuk ditembus dengan mata, terlalu jauh untuk dijangkau, sehingga begitu kabur untuk dicari.

Orang-Orang :
Benarkah tak mungkin dicari, Jenang?

Jenang :
Legenda sudah mencatatnya, sekarang kita hanya dapat membacanya saja.

Sunyi

Jenang :
Dengar, senandung itu makin merintih dikejar subuh dan rindu yang makin terdendamkan.

Sunyi

Jenang :
Itulah diri Bujang Mengkurung. Menembus sepi, mencari jawaban yang hilang. Mengetuk malam dengan senandung. Berharap diantarkan Lalan pulang.

Orang-Orang :
Apakah yang telah terjadi?

Jenang :
Ya, Bujang Mengkurung seorang anak yang kehilangan harta dan gelar. Hidup sebagai pengebung. Kemudian dia berhasil menyunting semuanya itu kembali, namun masa lalunya yang sangsai membuatnya tak pandai mencari.

ADEGAN II

Bujang Mengkurung perlahan-lahan masuk dan duduk di tengah panggung. Senandung Lalan Belek menghilang, disusul dengan bunyi kelintang di kejauhan. Beberapa orang laki-laki dan wanita dari kelompok Jenang berpindah tempat.

Catatan:
Gerak berpindah, khusus laki-laki dilakukan gerak patah setengah sterlak Rejang.

Jenang :
Hoi, hentikan kelintang itu! Jangan bikin hati yang tengah rindu, makin bermain dengan angan!

Bunyi kelintang berhenti. Bujang Mengkurung bangkit. Di sudut lain Cinde Siam berdiri di tempat agak tinggi.

Kurung :
Lalan, memang ada jarak yang panjang, biar akan tetap kutempuh. Karena malam selalu datangkan bayangmu, hingga lelap jadi gelisah.

Orang-Orang :
Mengapa Bujang Mengkurung memaksa diri, hingga jadi tersiksa, hanya karena pandangan yang tak sengaja, pun datang cuma dalam mimpi.

Orang-Orang :
Ya, Bujang Mengkurung harusnya bercermin dahulu. Hendaknya air di dulang jangan ditepuk, jika ragu mencari penyeka.

Kurung :
Aku memang anak lumang. Kehilangan gelar, kehilangan harta dan hidup pun telah berbalur kemelaratan. Asal-usulku pun telah tergelapkan, segelap kebutaan berahi cinta yang sedang membara.

Orang-Orang :
Lagi pula, bukankah Lalan tak sepaham dan seadat dengannya.

Orang-Orang :
Ah, bagaimana pula langit hendak turun ke bumi. Mungkin telah gila jugalah dia.

Orang-Orang :
Katak hendak menjadi lembu!

Orang-orang tertawa.

Kurung :
Harta dapat kucari lagi, gelar dapat kupungut dengan kata, karena memang hanya kata. Adat pun dapat kuruntuhkan. Lalan dengarkan, datu-datu berdiri di belakangku. Sebi Bitan, Sebi Teet, Sebi Kemang kutunggangi! Akan kurasukkan engkau, hingga paling padaku.

Orang-Orang :
Hai, hai dengar, hendak main curang pula ia rupanya.

Orang-Orang :
Hus, dia hanya ingin lewat pintu belakang.

Orang-Orang :
Pakai main mata dengan penguasa lagi.

Orang-orang tertawa

Jenang :
Diam kalian!
Bujang Mengkurung meronta karena hidup yang dihadapinya. Bujang Mengkurung curang mencari harga diri, karena ia memang butuh dan berhak dengan harga diri, sebagaimana yang pernah ia miliki dahulu.
Dan ingat!
Apa yang hendak dilakukan Bujang Mengkurung sepanjang permainan harus dirahasiakan. Jangan sampai bocor, tutup mulut!

Orang-Orang :
Jenang, tapi penutup mulut itu apa?

Orang-Orang :
Tak mungkin ‘kan pakai jempol kaki.

Orang-Orang :
Mau pakai tanda tangan juga boleh!

Orang-Orang :
Baru kita ....

Orang-orang kembali tertawa.

Jenang :
Bedebah! Kalian memang sudah dibius materi semuanya. Bagaimana kalian dapat mengambil tempat dalam tradisi nenek moyang, jika hanya materi yang jadi patokan.
Sudahlah, mari kita lanjutkan saja dengan semua kesadaran yang kita miliki.

Diam.

Kurung :
Aku memang tak memiliki semuanya lagi. Ya, suatu kebodohan. Tapi aku masih mempunyai kegelapan berahi cinta, yang membuat angan dan mimpi akan sebuah kebenaran. Demikianlah, kebenaran akan lahir bagiku, karena memang keadaan yang kuhadapi mendesakku berbuat demikian.

Diam.

Cinde Siam :
Kurung, tetapi kau harus ingat, bahwa kebenaranmu pun dalam kegelapan, karena kebenaranmu akan selalu bermakna lain pada tempat yang berbeda.

Kurung :
Cinde Siam, kebenaran adalah kata dan hanyalah kata. Sebagaimana aku juga ingin mengucapkannya walau hanya bermakna bagiku. Walau hanya bermakna bagiku.

Cinde Siam :
Memang sudah demikian jauhkah anganmu terhadap apa yang ada dalam kegelapan itu?

Kurung :
Ya, karena api itu sudah berkobar demikian besar dan telah menelanku.

Sunyi dengan bunyi kelintang dipukul satu-satu.

Cinde Siam :
Kurung, apa yang hendak kau lakukan untuk kebenaranmu itu?

Kurung :
Membenahnya dalam gelap, lewat kegelapan dan melewati kegelapan.

Cinde Siam :
Aku berdiri di belakangmu untuk kebenaranmu itu, membenah kebenaran menjadi kebenaran. Tetapi, mengapa harus demikian yang kau tempuh. Entahlah, mungkin aku tidak begitu menyukainya.

Kurung :
Cinde Siam, bukankah kau telah mengetahui, jika keadaan hiduplah yang memaksaku berbuat demikian. Dan, ya, bara api itu harus segera dipadamkan, aku yakin, datu-datu dan semat yang berisik di beringin malam akan menolongku. Dan akan selalu besertaku.

Cinde Siam :
Kau yakin itu?

Kurung :
Semua ‘kan bicara lewat sembah dan pedupaan. Barangkali mereka pun telah mengerti akan sebuah angan seorang anak lumang.

Cinde Siam :
Baiklah, Kurung
Memang kalau sudah demikian kehendakmu.
Aku benar-benar di belakangmu
Selalu siap menambah damar saat dian hampir padam.

Jenang :
Bujang Mengkurung pun memanggil para semayam antara rimbun rimba dan batu menganga seram
Membawa ucap dan sembah seladang, pedupaan, sirih dan pinang.

Bujang Mengkurung duduk bersimpuh.

Kurung :
Wahai semat dan datu-datu, kubawa berita padamu
Telah terhela tangan enggan luruh
Agar tak tercampakkan selalu dan jatuh terlempar rindu.

Orang-Orang :
Wahai, bisikkan pada dia yang telah bikin hamba tersia
Rasukkan hatinya, hingga paling pada hamba.

(dari sebelah lain)
bawakan nipis berbelah tujuh
dengan mawar dipetik hantu
larungkan di bulan utuh
biar matamu ‘kan bersembilu

(semuanya)
makni si mak tikam
aku mak tikam mato si Lalan
mak ni si mak si tikam mak ni si mak tikam
mak ni si mak tikam. Si mak tikam....

ADEGAN III

Mantera pengasihan terus diucapkan, dengan suara seperti dibawa dan dimainkan angin. Satu orang keluar dari kelompok dan menuju ke sudut panggung.

Orang-Orang :
Oi, berilah jalan!
Tujuh putri Tana Semidang akan turun dan singgah di Tana Minjam.
Lihat! Langit terbuka, pelangi terhampar!

Serentak orang diam dan diliputi keheranan.

Orang-Orang : Benarkah itu, Jenang?

Jenang :
Ya, bidadari Tana Semidang gelisah, terusik suara panggilan dari Tana Minjam, terusik ucap di pedupaan Bujang Mengkurung, terusik wajah asing di mimpinya.

Orang-Orang :
Wei, Lalan kenai pelet.

Orang-Orang :
Hus, jangan cabul.

Orang-Orang :
Elok tanda, Mengkurung temukan jalan.

Terdengar bunyi kelintang. Dengan gerak kejei, tujuh putri muncul dengan masing-masing memegang selendang dengan warna yang berbeda-beda. Tujuh putri duduk di tengah panggung, dengan tetap menari. Posisi terdepan adalah Lalan. Bujang Mengkurung berjalan mengendap-endap. Orang-orang diatur hingga bergerak naik-turun dan tegak-duduk-tegak-duduk.

Bujang Mengkurung berdiri di sudut panggung dan menunjuk Lalan.

Kurung :
(bersimpuh)
Tunjukkan serio-rio kato.
Kalu siang cinto padoku sorang.
Pegang muka usap setengah kepala.
Kalu siang benci pakoku sorang.
Pegang muko usap belakang kepalo.

Orang-Orang :
Ucap apa itu?

Jenang :
Ucap tunjuk bertanya. Bakal peruntuh hati manusia. Bakal penumbuh berahi cinta.

Lalan jatuh tersimpuh. Saudara-saudaranya berhenti menari dan mendekatinya.

Putri I :
Aduhai Dinda Bungsu, terlalu lelahkah perjalanan ini, hingga engkau sangsai badai?

Lalan :
Entahlah, kakak-kakakku. Tak terik, tapi dinda rasakan gerah. Tak sakit, tapi dinda terasa didera. Apakah Tana Minjam memang begitu rupanya? Tiba-tiba saja dinda lelah berasa.

Putri II :
Tana Minjam memang bukan tempat kita. Tak meruahkan senang, malah siksa yang didapat. Ah, mengapa pula paksakan diri datang ke sini.

Putri III :
Bukankah Lalan sendiri yang menginginkannya?

Putri IV :
Ah, bukanlah kehendak Dinda lalan sendiri, kita semualah yang paksakan diri datang kemari.

Lalan :
Oh, gerahnya membakar kulit.
Elok kita sejukkan diri dahulu.
Baiknya lagi ada telaga berair sepinggang.

Putri V :
Mandi di Tana Minjam? Ai, ai, tak bergayung, tak bermadu, bersabun pula dengan jalan mata yang mengintip.

Lalan :
Marilah kita coba. Baik tak bergayung, daripada hamba mutung di Tana Minjam. Marilah kakak-kakak.

Putri VI :
Dengar, di sana ada bunyi gerisik air, barangkali elok pula airnya untuk disimbah ke badan. Marilah.

Tujuh putri berjalan menuju sungai. Bujang Mengkurung berdiri dan mengintip-intip. Orang-orang tegak-duduk, mencoba pula untuk ikut mengintip.

Orang-Orang :
Aih, mak! Putihnya.

Orang-Orang :
Cacam... cacam.
(dikomentari tanggapan genit lainnya)

Jenang :
Jangan kanji! Permainan ini hanya bagi Bujang Mengkurung! Ayo, berbalik kalian! Membelakangi semuanya!

Orang-Orang :
Ala, jangan munafik, Jenang!

Jenang :
Sudahlah, jangan mengganggu jalan cerita.

Orang-orang duduk membelakangi permainan.

Cinde Siam :
Kurung, apalagi yang kau tunggu, kalau kau inginkan istri dan menemukan kebenaran!

Kurung :
Cinde Siam, apa yang harus kulakukan. Mengapa tiba-tiba gentar aku untuk berdiri.

Cinde Siam :
Tutup pintu mata hati, cepat ucap mantera dan tarik selendangnya.

Bujang Mengkurung mengacungkan jari ke langit.

Kelintang berbunyi perlahan. Putri-putri menaruh selendang di depannya masing-masing.

Kurung :
(berteriak)
Mak ni mak si mak tikam.
Aku mak tiak mato si Lalan.
Tunduk kasih berai kasih.
Kasih siang kasih malam.
Kasih tidak bertikoh lagi.

Orang-Orang :
(mengangkat tangan dan melambai-lambai)
Mak ni mak si mak tikam ....

Bujang Mengkurung mengambil selendang lalan, serentak dengan Lalan memegang selendang itu. lalu terjatuh, karena ditarik oleh Bujang Mengkurung. Keenam putri yang lain meninggalkan panggung.

Sunyi

Bujang Mengkurung perlahan mengelilingi Lalan.

Kurung :
Lalan, akhirnya kau datang dan mengusir semua rindu yang menyiksa.
Kau beri pada muluknya mimpi.
Dan kau hangatkan malam dengan gairah.

Lalan :
Ke Tana Minjam aku turun, mencari siapa yang bersenandung buat diriku, pengantar ucap membuka langit, memaksaku untuk bertemu.

Kurung :
Putri, demi segala sebie di gelap malam, siapakah dia?

Lalan :
Pengisi mimpiku, pemberi gelisah buatku, hingga terdorong ucap untuk minta pintu langit dapat dibuka, agar dapat pula aku turun dan bertemu.

Kurung :
Katakan, Putri, aku anak lumang, semoga bisa membantu.
Apa yang kau harap dari pertemuan itu?

Lalan :
Dia bersenandung cinta, memberi aku angan berbayang-bayang. Ah, aku telah terjebak lingkaran harapan berberahi. Biarlah menjadi nyata.

Kurung :
Putri tataplah aku. Lihatlah, ada sisa senandung di bibirku.

Lalan :
Ya, telah kulihat, bahkan selalu bersenandung.

Kurung :
Katakan, terwujudkah kebenaranku?
Sesuatu apa yang telah terbenah?

Lalan :
Selendangku hilang terbawa angin dan waktu.

Bujang Mengkurung dan Lalan berpandangan. Sambil tetap berpandangan, Bujang Mengkurung membimbing Lalan berdiri. Kelintang berbunyi satu-satu.

Bujang Mengkurung dan Lalan keluar.

Sunyi

Bunyi kelintang dipukul satu-satu di kejauhan.

ADEGAN IV

Orang-orang duduk terpaku.

Jenang :
Akhirnya Bujang Mengkurung berjalan bersama Lalan.
Antara dunia yang terhilang.
Merajut sebuah bentuk waktu yang baru.
Barangkali berharap ‘kan selalu diseru.

(Kepada orang-orang)
Hoi! Mengapa kalian terpaku waktu
Lihat, semua telah berubah
Jangan kungkungkan diri
Mari berkumpul bentuk persatuan

Orang-orang tersentak dan menggerutu, sambil berjalan ke arah Jenang.

Orang-Orang :
Jenang, mengapa kau biarkan kami dengan semua ketidaktahuan?

Orang-Orang :
Apa yang telah terjadi dalam perjalanan waktu?

Jenang :
Kalian tak bernurani, enggan menyimak dengan ilmu. Bak katak bawah tempurung.

Orang-Orang :
Jenang, apa yang telah terjadi?

Jenang :
Bujang Mengkurung telah mengawini Lalan.

Orang-orang terkejut semuanya. Saling sibuk memberikan pendapat masing-masing.

Orang-Orang :
Pasti telah terjadi kesalahan prosedur.

Orang-Orang :
Di luar jalur!

Orang-Orang :
Pasti direkayasa!

Dua orang berdiri dan berlari ke arah yang berbeda. Orang pertama sebagai Orang Tana Semidang (OTS) dan yang lainnya Orang Tana Minjam (OTM)

OTS :
Hoi, Lalan Si Putri Bungsu telah dilarikan!

OTM :
Hoi, Bujang Mengkurung melarikan diri dari dirinya!

OTS & OTM :
Cari dan bawa kembali!

Sejenak terjadi kericuhan yang mengarah ke demontrasi.

Orang-Orang :
Cari! Cari! Cari!

Jenang :
Cukup! Jangan tebarkan hasutan kalau tak ingin api! Jangan menyulut di siang hari. Karena semua telah berganti. Bagai mengharap mati hidup kembali.

Orang-Orang :
Benarkah mereka tak mungkin dicari lagi?

Jenang :
Oh, itu tak tercatat dalam legenda.

Orang-Orang :
Mengapa, bukankah demi menyelamatkan seseorang kita bisa mengubah sedikit legenda itu?

Orang-Orang :
Ya, dalam hal ini mungkin kita telah berbuat sesuatu yang penting, tanpa harus disebut untuk jadi pahlawan.

Jenang :
Hu, bosan aku, berhadapan dengan orang-orang yang tak pernah mau mewarisi nilai-nilai para leluhurnya.

Orang-Orang :
Itu bukan kesalahan kami, Jenang. Di sekolah kami tak pernah mendapatkannya. Di perpustakaan kami tak tahu di mana arsipnya. Lagi pula referensinya hampir tak ada.

Orang-Orang :
Ya, kalaupun ada itu pun yang sudah dilengkap-lengkapi, sehingga jadi tidak lengkap lagi.

Orang-Orang :
Ya, istilahnya direkayasa.

Jenang :
Baiklah, baiklah. Ini hanya kesalahan kecil dalam pendefinisian.

Orang-Orang :
Definisi memang ada, tapi tidak jelas yang mana harus kita percayai, karena terlampau banyak versi.

Orang-Orang :
Kami minta buku putihnya.

Jenang :
(gelisah) Jadi, kalian benar-benar belum tahu?

Orang-Orang :
Belum!

Jenang :
Kita ikuti saja cerita selanjutnya.

Tembang Lalan Belek dinyanyikan satu bait, dengan kelintang dipukul terdengar jauh.

Jenang :
Selendang Lalan hilang direbut
Di pucuk atap Bujang Mengkurung suruk
Akhirnya hilang daya jatuh terduduk
Melihat pintu langit telah tertutup

Tanpa upacara beserta restu
Bujang Mengkurung sampaikan
Lalan pun mengangguk dengan tersipu
Saat di dingin malam saling menggenggam

Orang-Orang :
Mengapa Lalan menerima pinangan itu?

Jenang :
Jalan telah tertutup. Dan di hatinya pun buat Bujang Mengkurung telah terbuka.

Orang-Orang :
Bak air terus mengalir dalam suka dan senang selalu selanggam. Lalan bersimpuh duduk bertenun, Bujang Mengkurung merayu dengan senandung.

Orang-Orang :
Bak hari terus berganti, tiba waktu bergirang hari. Sembilan purnama hari kesepuluh, datang pelita hari yang ditunggu.

Orang-Orang bersorak riang

Jenang :
Sejak Lalan jadi istri siang dan malam selalu benderang. Sawah dan ladang mudah berbuah. Terasa lumbung menjadi sempit.
Tapi....

Orang-Orang :
Tapi apa, Jenang?

Jenang :
Tapi Bujang Mengkurung mudah berbelah hati.

Orang-Orang :
Waaaah!

Jenang :
Gampang tergoda hawa dan nafsu. Lupa asal lupa daratan. Gelanggang sabung terus dikunjung. Mengantar lumbung ke meja judi. Arak dan hamar tak cukup setabung. Lupa anak lalaikan istri.

Tembang “Bungei Lalang”

esen padeak ko esen
esen becapua ngen pirok luang
selen padeak ko selen
selen becapua ngen ibo sayang

men kunamen repio epet
coa kumesok buah kedulo
men kunamen idup yo peset
coa ku lok tuun mai dunio

ADEGAN V

Kelintang dipukul satu-satu. Raja Tana Semidang muncul, diikuti dua pelima masuk. Keenam putri duduk berkumpul tertunduk.

Jenang :
Di Tana Semidang Raja Uleu Kutei berang. Tujuh putri berkurang satu. Tak tampak pulang Lalan si Putri Bungsu.

Raja :
Bagaimana juga Lalan harus pulang
Jangan derajat dilupa-lupa
Jangan adat diinjak-injak

Pelima Nando, Pelima Bobok!
Cari Lalan dan bawa pulang!
Jangan hiraukan waktu yang harus selalu berganti.

Pelima Nando :
Apa yang harus kami lakukan terhadap waktu, Tuanku Uleu Kutei?

Raja :
Tinggalkan semuanya atas namaku, untuk ikut dalam aliran waktu!

Pelima-Pelima :
Siap Tuanku Syah Uleu Kutei.

Kedua pelima keluar.

Raja :
(kepada keenam putri)
Putri Bungsu tak ‘kan pernah pulang kembali.
Pelima-pelima tadi tak akan pernah berhasil menemuinya.
Telah jatuh pada kalian semua kesalahan ini, sebagai saudara-saudara tertuanya.

Putri I :
Ampun, Ayahanda, kehendak Lalan-lah yang kami ikuti ini. Mulanya kami pun bertahan dengan semua desaknya. Tetapi, air matanya dan kasih sayang bunda meluluhkan ketegaran kami.

Putri II :
Ampun, Ayahanda, apa yang harus kami perbuat dengan kesalahan-kesalahan itu.

Raja :
Pergilah kalian bertenun di pucuk cempaka, selamanya, hingga Lalan pulang.

Putri-putri keluar. Raja termangu.

Raja :
Hentikanlah tangis yang terlambat, karena sesal tak mungkin datang dahulu.
Biarlah, jika memang harus terjadi, barangkali tak selamanya pintu langit harus tertutup

Raja keluar.

Satu Orang :
(Teriak)
Jenang, kabarkanlah
Bahwa langit yang selalu membiru
Akan tetap jadi biru ditelan gelap malam.
Katakanlah, jangan duka hanya ditangisi
Tebarkanlah ke langir-langit, kabarkanlah pada mendung.
Oi, Lalan
Tataplah, tataplah mendung, tampunglah hujan, tanda pelangi akan menghampar.
Datu-datu pintu langit
Bukalah selalu, bukalah selalu pintu-pintumu.
Beri jalan buat Lalan pulang di tiap lengkung pelangi.

Pelangi, menghamparlah, pelangi.
Menghamparlah, pelangi!
Menghamparlah.... menghamparlah.... menghamparlah!

ADEGAN VI

Suara makin sayup, disusul dengan tembang Lalan Belek.

Sunyi

Jenang :
Bendahara, berikan uang ini pada pelima, untuk bekal mereka ke Tana Minjam. Teken tanda terimanya.

Bendahara :
Jenang, jumlah uang ini tidak sama dengan yang tertera di tanda terima.

Jenang :
Inilah yang disebut sebagai sistem, kerbau. Nah, sebagai suatu sistem, kita harus mematuhinya. Karena memang sistem itu dibuat untuk memperlancar sesuatu yang memang diharapkan untuk jadi lancar. Kalau kita tidak memperlancar sistem itu, mungkin kita bisa disebut inkonstitusional, mungkin disebut sempalan, orang di luar jalur, tidak berpendirian semestinya, mungkin juga disebut di luar pakem, mungkin ini mungkin itu. Nah, untuk itu, sistem daripada kita itu, yang mana dibuat untuk mengetengahkan suatu keadaan yang mana diharapkan demi stabilitas daripada kita semua. Ini untuk menghindari kita, ya kamu, aku, atau siapa saja kena gebuk, yang mana...

Bendahara :
Ya, ya, ya, yaaa.... Jadi kini?

Jenang :
Ya, kini, ya sistem. Kau pikir aku, juga kau, ingin disebut sebagaimana telah dimaksud di atas tadi? Sudahlah, aku cuma mencoba bagian lain dari cara Bujang Mengkurung. Apalagi sekarang ini tampaknya selalu ampuh digunakan.

Bendahara :
(kesal) mengapa kau sendiri yang menyalahi tradisi?

Jenang :
Hei, ini cuma sedikit pembetulan definisi, demi stabilisasi dan ya, itu, sistem tadi. Kau terima sajalah. Dan ingat, ya, jibeak madeak ngen tun.

Bendahara memanggil kedua pelima dan menyerahkan uang.

Pelima Nando :
Cuma sebanyak ini?

Pelima Bobok :
Tana Minjam terlalu luas untuk uang yang sebanyak ini.

Bendahara :
Kalian pikir tak makan biaya untuk mengambil uang ini, dan mengantarkannya pada kalian. Lagi pula, aku cuma sedikit mengambil pelajaran tentang sistem dari pengalaman di atasku.

Pelima Bobok :
Bagaimana nilai-nilai luhur nenek moyang dapat terjaga, kalau semuanya sudah dicampur aduk.

Bendahara :
Jaga mulut kalian! Ini juga nilai-nilai. Kalian tak berhak tentang itu, dan bukan hak kalian. Tugas kalian hanyalah menjalankan tugas. Titik Itu saja. Sudahlah, anggap saja ini sumbangan kalian untuk Semidang. Atau, kalian memang inginkan keris yang bicara.

Bendahara dan kedua pelima keluar.

ADEGAN VII

Kedua pelima masuk.

Pelima Nando :
Hoi, orang-orang Tana Minjam
Datang utusan dari langit, membawa tugas dari Tuan Syah Uleu Kutei. Jawablah, apakah kalian tahu kemana Lalan dilarikan!

Orang-Orang :
Tidak!

Jenang :
Barangkali mereka dalam perjalanan waktu.

Pelima Bobok :
Di mana itu!

Jenang :
Di nurani yang bersatu dan bersama hendak menemukan kebenaran.

Cinde Siam muncul. Kedua pelima menghadang.

Pelima Bobok :
Sampai kabar pada kami, kau penyulut bara di belakang perjalanan tujuh putri.

Cinde Siam :
Ya, akulah itu, Cinde Siam. Penggerak berahi di bara hati Bujang Mengkurung.

Pelima Nando :
Di mana pencuri itu. Lalan harus dibawa pulang. Tak mungkin minyak bercampur dengan air. Di mana!

Cinde Siam :
Dia bukan pencuri. Hanya seorang membawa suluh, mencoba menembus gelap. Bukankah harus gelap berganti dengan terang.

Pelima Bobok :
Terang harus kembali gelap. Katakan di mana anak lumang itu!

Cinde Siam :
Aku penambah damar saat nyala api hampir padam. Karena itu, aku tegak alip di depan mereka.

Pelima :
Meni setan! Matilah kau!

Kedua pelima menyerang Cinde Siam. Orang-orang berayun dan bergoyang-goyang.

Cinde Siam :
(melompat ke belakang dan menyorongkan tangan)
Megam namomumi
Maigam namomulari

Cinde Siam dan kedua pelima dengan teriakan keras terlempar dengan arah yang saling berlawanan. Demikian juga Jenang dan orang-orang turut terlempar ke luar panggung.

ADEGAN VIII

Sunyi.

Orang-orang kembali satu per satu masuk.

Orang-Orang :
Apa yang terjadi?

Jenang :
Kedua pelima itu dikalahkan.
Mati di batas jalan.

Orang-Orang :
Mati?

Jenang :
Ya, mereka menjadi martir dalam peristiwa yang telah digariskan.

Orang-Orang :
Mengapa begitu?

Jenang :
Karena suatu waktu harus berubah ke waktu yang lain, memang masa harus berganti.

Orang-orang diam.

Orang-Orang :
Hei, Jenang, bagaimana tentang Bujang Mengkurung dan Lalan?

ADEGAN
Kelintang dipukul.

Lalan keluar dengan wajah suram. Bujang Mengkurung duduk termenung.

Jenang :
Lalan beresah hati
Melihat suami seperti hilang.
Lupa anak istri, diri pun terlalai
Karena senandung tinggallah bayang.

Lalan :
Bujang Mengkurung, suamiku, tengoklah lumbung, besok lusa pun telah tak tentu, jangan sesuap masih kau sabungkan. Jangan yang sedikit kau habiskan lagi karena nafsu.

Kurung :
Inilah adat negeri. Gelanggang penentu harga. Sabung mainan diri, kalau tak ingin dikucil. Nah, apa kecek-an orang, kalau aku tak ikut serta. Dicacinya aku sok suci, dimakinya pula aku tak pandai bergaul.

Lalan :
Tak ada manusia yang suci, tak ada manusia yang tidak berdosa, namun, tak usah pulalah semua itu harus diperlihatkan, bahwa awak memang punya cacat.

Kurung :
Dosa terhadap orang banyak, adalah dosa karena tidak terpandang.

Lalan :
Ah, siapa pula yang telah mengucapkannya.

Kurung :
Aku, aku yang memang membutuhkannya.

Lalan :
Tapi, tengok, tengoklah dirimu suamiku. Terbengkalai dan sangsai karena harga diri. Habis sudah papan di dinding, habis tercabut tergadai-gadai.

Kurung :
Oi, istriku, Lalan
Eloklah hari ini tak berpusing, siapa yang tahu esok hari apa yang terjadi, karena besok tetaplah besok dan tinggallah besok.

Lalan :
Hari ini adalah esok, seperti juga esok seperti hari ini, segala berubah dan semakin berkurang. Eloklah jaga sebelum makin hilang, sebelum datang sakit.

Jenang :
Lalan kehabisan kata.
Simpan jenuh dalam tangis
Bujang Mengkurung ‘lah makin buta
Semua bahasa baginya jadi malis

Kelintang dipukul perlahan

Kurung :
Lama aku luka, menanggung nasib tiada harta, tiada gelar, hilang pula namaku. Bahan gunjing untuk dipermalu. Tercampak sudah tiada arti.

Sunyi

Kelintang dipukul satu-satu

Kurung :
Dan sekarang, telah kugenggam semua arti. Setelah luka mengejar mimpi. Setelah terbentur tajamnya karang harapan.
Biarkan, biarkan aku kini mengobati luka.
Biarkan, biarkan aku memberi arti bagi diriku sendiri.

Kelintang dipukul satu kali.

Cinde Siam :
Kurung, setiap arti tidak bermakna satu.
Mari kita jaga agar arti selalu berarti.
Nah, bukankah telah kau genggam arti itu, mengapa pula hendak kau kaburkan maknanya?

Kurung :
Cinde Siam, apa yang telah kulakukan dengan semua buah dari pekerjaanku, akhirnya memang waktu harus menjelaskannya.

Cinde Siam :
Apa yang telah kau dapatkan?

Kurung :
Membenahinya kembali dan membenahinya.

Cinde Siam :
Ketika kau masih berharta memang ucap adalah perintah, sebagaimana aku yang dahulu sebagai seorang yang setia membantu. Kemudian kau jauh, aku tetap membantumu.
Kurung, sudah saatnya kau meninggalkan masa lalumu. Saatnya kau bangun dari mimpi.

Kurung :
Ya, memang aku masih berdiri di masa lalu. Bahkan, seorang Lalan kudapatkan karena masa laluku juga. Bukankah aku telah memiliki kembali apa yang pernah aku miliki dulu.

Cinde Siam :
Entahlah, aku begitu sulit untuk membenahi apa yang kau maksud dengan kebenaran dirimu.

Kurung :
Tak seorang pun, tak seorang pun ‘kan paham, ‘kan memahaminya. Hanyalah aku yang memahami diriku sendiri.

Cinde Siam :
Tapi Kurung, bagaimana aku bisa mengerti dan menerimanya, jika semua kebenaranmu hanyalah dimengerti dirimu, tanpa aku dapat memahaminya.

Kurung :
Jangan cari pengertian itu, Cinde Siam. Karena dalam semua rencanaku pun, keterlibatan orang lain tak lebih sebagai bagian dari rencanaku.

Cinde Siam :
Kurung, apa yang kau maksud? Apakah kau telah melepaskan diriku, juga orang lain, dari semua cerita perjalanan dan hidupmu!

Kurung :
Pada akhirnya hanya aku yang ada dalam perjalanan itu. Dan hanya aku yang bertanggung jawab. Aku sendiri!

Cinde Siam :
Kurung, apa yang kau inginkan sebenarnya?

Kurung :
Istri! Aku inginkan istri!

Cinde Siam :
Dan Lalan?

Kurung :
Dia bukanlah seorang istri. Dia, sebagaimana juga kau, Cinde Siam, adalah bagian kecil dari semua rencanaku.

Cinde Siam :
Demikiankah kebenaranmu itu?

Kelintang dipukul satu kali.

Kurung :
Ya. Dan sekarang biarkan aku, biarkan aku mencari arti kebenaranku.

Sunyi

Kurung :
Lama aku luka, menanggung nasib tiada harta, hilang pula namaku. Bahan gunjing untuk dipermalu. Tercampak sudah tiada arti.

Kelintang dipukul satu kali.

Kurung :
Biarkan, biarkan aku kini mengenggam arti itu. Walau bermakna bagiku sendiri.
Walau bermakna bagiku sendiri.
Biarkan aku, biarkan aku!

Sunyi

Lalan :
Tapi, Kurung, arti tidak bermakna satu. Mari kita jaga agar arti selalu berarti. Mari kita bersama membenahnya, agar bermakna bagi kita.
Bagi kita, Kurung.
Marilah kita mulai.
Lihatlah, sawah dan ladang merana, rindu menunggu kau mengayunkan cangkul disana.

Kurung :
Ah, mengapa pula harus berlumpur-lumpur, elok cari orang mengerjakannya. Atau lepaskan sama sekali. Dan ingat, Lalan, kau menenun kain elok-elok, tak usah kau tawar orang datang meminta. Nah, apa lagi yang harus kulakukan?

Lalan :
Aku memang tak punya lelah, Kurung, namun melihat dan merasakan apa yang kau lakukan itu, aku juga harus menjadi lelah.

Kurung :
Lalan, ingatlah, memang aku yang meminta pintu langit terbuka adalah benar, sebagaimana pula aku juga meminta kau turun. Tapi, adalah kehendakmu juga datang padaku. Dan, adalah angin dan waktu yang mencuri dan menyurukkan seelendangmu, walau mereka bernama aku.

Lalan :
Ya, memang selendangku hilang tercuri angin dan waktu. Tapi apakah kita harus mengingkarinya, jika suatu cerita yang kita sepakati untuk menuliskannya?

Kurung :
Kita sepakat? Lalan, jalanku adalah jalanku. Maka adalah kebodohan, jika aku melibatkan segala yang di luarku.

Lalan :
Kurung, di mana rasa tanggung jawabmu lagi? Terhadapku, terhadap perbuatanmu, terhadap segala rencana kita yang kau susun dulu, ketika kau melamarku?

Kurung :
Jangan bicara soal tanggung jawab.
Oi, Lalan, masa lalu yang sangsai telah membuat aku menderita, namun aku bertanggung jawab untuk tetap hidup. Sekarang aku telah hidup, mengapa aku harus repot dengan yang namanya tanggung jawab.

Lalan :
Kurung, mengapa masih kau sesali masa lalumu, mengapa kau tidak mencoba untuk melupakannya. Mengapa masih kau hidupkan hari ini?

Kurung :
Tidak, tapi aku memang masih berada pada masa lalu itu kembali!

Sunyi

Kurung :
Dan sekarang, selendang itu telah kutenun sendiri. Sebagaimana juga waktu yang tak lagi harus bicara, namun aku telah memaksanya untuk harus bicara padaku, tanpa harus hadir siapa pun. Siapa pun!

Lalan :
Kurung, ingatlah, siapa pun itu juga yang akan menolong dan memberikan restu.

Kurung :
Tidak! Aku tidak membutuhkan apa yang kau sebut itu. Bahkan datu-datu sekalipun!

Gong dipukul kencang

Kurung :
Ya, jika pun mereka ada, aku tak akan peduli. Kalau dulu aku membutuhkan mereka, mungkin itu kesalahan. Namun, sekarang, lebih baik aku katakan, mereka dengan sempurna telah kuberikan dusta.

Lalan :
Kurung! Kau sadar apa yang telah kau ucapkan.
Oh, Kurung, apa sebenarnya yang kau inginkan.

Kurung :
Keterlibatan diriku sepenuhnya atas diriku!

Lalan :
Apa itu, suamiku?

Kurung :
Ketidakhadiran siapa pun dalam setiap rencana-rencana dan perjalananku!

Lalan :
Apa itu!

Kurung :
Kebebasan!

Lalan :
Kebebasan?

Kurung :
Ya, bebas sebagaimana ketika aku menghendaki kau hadir padaku. Bebas, sebagaimana aku menghendaki kau pergi dariku.

Lalan :
Oh, Datu, mengapa harus terbuka pintu langit, jika ternyata hanyalah kesia-siaan.

Kurung :
Lalan, pergilah sebagaimana engkau datang.
Ambillah kembali selendangmu yang tersuruk di pucuk atap.

Lalan menatap Bujang Mengkurung, kemudian perlahan mundur keluar.

Sunyi.

Orang-Orang terdiam mengelilingi Jenang yang membisu. Di kejauhan terdengar tembang Lalan Belek.

Orang-Orang :
Apa yang terjadi, Jenang?

Jenang :
Lalan pun pergi meninggalkan Bujang Mengkurung.
Dan, Bujang Mengkurung pun semakin tenggelam, akhirnya terkubur dengan semua kebenarannya.

Orang-Orang :
Mengapa sampai demikian, Jenang?

Jenang :
Sebagaimana air sungai hari ini, bukanlah airnya yang kemarin. Semuanya harus terjadi, semuanya harus ada, sebagaimana rencana Bujang Mengkurung yang menghendakinya demikian.

Orang-Orang :
Tak dapatkah dibenahi lagi?

Jenang :
Jawabnya hanya kemungkinan. Dan, ya, dalam kemungkinan pun ada ketidakmungkinan.

Orang-Orang :
Bukankah dalam kemungkinan ada kepastian?

Jenang :
Semuanya telah terjawab.

Orang-Orang :
Tak mungkinkah mereka bersatu lagi?

Jenang :
Hanyalah waktu yang akan menjawabnya.

Orang-Orang :
Bahagiakah kemudian Bujang Mengkurung, Jenang?

Jenang :
Tiap kebenaran tidaklah berarti kebenaran. Dalam kebenaran, maka akan ditemui jawaban-jawaban yang menghendaki kebenaran baru.
Demikianlah Bujang Mengkurung, ketika ia berkata tentang kebenaran, maka ia pun telah mempertaruhkan dirinya dengan semua rencananya kepada setiap perjalanan dirinya. Ia temui kebenaran yang lain, namun tetap kebenarannya juga. Tetapi ia menolaknya, karena memang ia telah menolak kebenaran untuk menjadi kebenaran.

Jenang berdiri dan dengan diam pergi meninggalkan panggung, diikuti tatap mata orang-orang yang membisu.

Orang-Orang :
Jenang....!
- Pulangkah Lalan ke langit?
- Lalan kemana, Jenang?
- Jenang...., jawablah!
- Kemana Lalan!
- Pulangkah Lalan ke langit?
- Jenang........!
- Jenang......!

Orang-orang sambil memanggil Jenang satu persatu ke luar. 

Sunyi.

Bujang Mengkurung masuk dengan tertatih, kemudian terjatuh dan terduduk. Napasnya perlahan mulai memburu dengan tatapan ke arah langit. Tembang Lalan Belek dinyanyikan dengan diiringi pukulan kelintang satu-satu.

Lalan :
Pelangi!
Pelangi, menghamparlah, berikan jalan ketika usai hujan. Biarkan langit yang selalu biru, ‘kan tetap jadi hitam ditelan gelap malam.
Kabarkanlah, bahwa mendung yang datang selaluh jatuhkan air-air dengan tenang
Bercerita tentang tangisan yang tak pernah sudah
Yang tak pernah henti
Yang tak pernah reda
Pelangi!
Menghamparlah
Bukalah selalu pintu-pintu langit
Berikan jalan tempat cerita bermuasal
Berikan jalan tempat cerita berusai
Berikan jalan menuju batas
Kerinduan ini telah harus diujungkan
Pelangi!
Menghamparlah
Menghamparlah, pelangi!
Menghamparlah, pelangi!
Menghamparlah..., menghamparlah...!
(terus menghilang)

Tembang Lalan Belek dinyanyikan dengan koor, dari rendah hingga ke tinggi mengikuti irama teriakan Bujang Mengkurung.

Kurung :
Lalan, pulanglah, Lalan.
Lalan.... Lalan.... Lalan.... Lalan....
Lalan, pulanglah, pulanglah
Pulanglah, Lalan!
Lalan...
Lalan...
Lalan beleeeek (terus dan puncak)

Lalan terus diteriakkan dengan mengikuti pukulan kelintang satu-satu. Ketika pukulan kelintang makin cepat dan tinggi, serentak diteriakkan sekuat tenaga pada kata “belek”.

Bengkulu, Juli 1991
Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "DRAMA: LALAN BELEK"