Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LISTRIK SIANG DAN LISTRIK MALAM DI KEPAHIANG, 1927-1930

Gardu Hubung Kepahiang, sebagai gardu transimisi listrik dari PLTA Tes
sebelum didistribusikan di Kepahiang. Dibangun circa 1927-1930

Kepahiang & Curup, Sebelum Listrik Tiba, 1925

"Kebakaran besar di Kepahiang, Afdeeling Tebing Tinggi,
Parasidenan Palembang, 4 Oktober 1892",
Almanak Prijai, Jilid 1, 1897 (hal. 257)

Almanak Prijai, disusun oleh Albrecht Wiggers, merupakan buku yang merangkum semua peristiwa penting di Hindia Belanda. Dalam peristiwa kebakaran di Kepahiang, 1892, hampir seluruh bangunan, yang mencakup gedung-gedung pemerintahan, barak militer, barak kuli dan gudang-gudang terbakar habis. Bangunan-bangunan itu semua berbahan kayu, beratap rumbia atau sirap dan berdinding papan atau pelupuh bambu, membuat api dengan dengan cepat melahapnya. Tak ada yang bisa dilakukan oleh orang-orang, kecuali menyelamatkan dokumen-dokumen, beberapa barang berharga dan senjata atau meriam, selebihnya adalah membiarkan saja api menghanguskan semuanya.

Memasuki abad baru, saat distrik Kepahiang dan Curup mulai ramai, pada setiap tengah malam atau waktu-waktu tidur, akan selalu ada agen-agen polisi yang berpatroli keliling kota, untuk memastikan setiap rumah yang masih menggunakan penerangan berbahan minyak atau damar telah memadamkan pelitanya. Agen-agen polisi yang tidak pernah menggunakan alas kaki itu akan menggedor pintu rumah warga yang masih terlihat pelita menyala di dalam rumah. Ini memang diperlukan, untuk mewaspadai bahaya kebakaran, sebagaimana yang pernah terjadi beberapa tahun lalu.

Hingga 1925, di wilayah-wilayah pasar Kepahiang dan Curup, sesuai aturan dari pemerintah, rumah-rumah tidak boleh dibangun rapat. Harus ada celah, berupa sebidang tanah, antara satu bangunan dengan bangunan lainnya. Untuk rumah-rumah warga Tionghoa, yang biasa membangun rumah saling berdempetan dengan rumah keluarga lainnya, diatur tidak boleh lebih dari 3 pintu kepala keluarga untuk satu bangunan.

Listrik Tiba, 1927

Secara umum, kehidupan masyarakat di Pasar Kepahiang berlangsung normal, walaupun memang kota saat malam akan terasa begitu gelap sepi. Penerangan hanya ada di rumah-rumah warga, berupa lampu yang berbahan bakar minyak tanah atau damar. Suasana sedikit berbeda ada di Curup, karena di jalan-jalan pusat kotanya telah dibuat lampu-lampu jalan berbahan bakar minyak tanah, yang bisa sedikit memberikan penerangan pada malam hari.

Setelah beroperasinya PLTA Tes dan listrik telah dapat disalurkan lebih luas, rumah Kontrolir Onderafdeling Rejang, yang berada di Kepahiang (dalam komplek SDN 1/2/4 Kepahiang sekarang), adalah rumah pertama di Onderafdeling Redjang yang dialiri listrik. Berikutnya, di tahun yang sama, menyusul rumah Demang Rejang, Abdul Kadir, yang juga berada di Kepahiang, juga menerima pasokan listrik.

Masyarakat yang telah terbiasa dengan kegelapan, di mana kegelapan malam hanya diterangi cahaya lampu yang suram, menanggapi kehadiran lampu listrik dengan keheranan. Seorang narasumber, Ibu Maryam (usia 95 tahun) menerima cerita dari orang tuanya, mengatakan, bahwa selama beberapa malam menjelang magrib warga-warga berkerumun di depan rumah pembesar berbangsa Belanda itu, hanya untuk melihat bola lampu dinyalakan. 

Setelah hilang keragu-raguan terhadap cahaya lampu listrik, mulailah orang-orang di Kepahiang pun meminta untuk berlangganan listrik. Tidak setiap warga bisa berlanggananan listrik ini, terutama sekali karena mahal biaya berlangganannya. Hanya keluarga yang kaya bisa menikmati listrik. 

Setelah beberapa lampu jalan dipasang dan beberapa rumah diterangi cahaya listrik, malam di Kepahiang dan Curup pun menjadi sedikit lebih hidup. Namun, tetap saja kota masih begitu gelap gulita saat malam hari, karena masih lebih banyak keluarga yang belum menggunakan listrik. Sementara hanya beberapa tempat diberikan penerangan lampu jalan

Cahaya-cahaya lampu listrik di rumah-rumah masyarakat itu terlihat suram, karena pemerintah Hindia Belanda membatasi pendistribusian daya listrik. Banyak tempat gelap gulita karena tidak ada penerangan, yang menjadikan masyarakat yang umumnya saat itu masih begitu percaya takhayul enggan untuk melaluinya. Tidak ada tempat yang tidak angker di Kepahiang, kata seorang narasumber.

Cahaya Listrik yang Redup

Listrik dipasok oleh sebuah perusahaan listrik dan gas milik negara bernama Overzeese Gas en Elektriciteits Maatschappij (OGEM) di PLTA Tes. Dari tempat ini, listrik akan didistribusikan melalui gardu transmisi. Untuk Kepahiang gardu itu terletak di jalan menuju Tebat Monok, di pinggir Sungai Musi. Sekarang nama “Ogem” masih ditemui di masyarakat kota Kepahiang, Curup, Tes dan Muara Aman, yang dipakai untuk penyebutan fasilitas-fasilitas milik PLN.

Gardu Traksi PLTA Tes, circa 1910-1917
sumber gambar: KITLV

PLTA Tes merupakan salah satu PLTA tertua di Indonesia. PLTA Tes merupakan pembangkit listrik yang memanfaatkan energi potensial cairan yang pertama yang didirikan di wilayah Sumatera. Pusat listrik ini menggunakan pola kolam tando dengan gedung pembangkit mempunyai di permukaan tanah yang memanfaatkan saluran Sungai Ketahun yang dibendung dalam kolam tando sebelum dialirkan melewati saluran penyuplai ke turbin. PLTA Tes terdiri dari 2 sentral unit dimana yang pertama merupakan unit PLTA Tes Lama yang mulai didirikan pada tahun 1912-1923 oleh pemerintahan kolonial Hindia-Belanda dan beroperasi mulai tahun 1923 di Desa Turan Tiging, Onderafdeling Lebong, Afdeling Lebong, Keresidenan Bengkulu. Pembangunan PLTA tersebut dilatarbelakangi industri pertambangan emas di kawasan Lebong, baik untuk kegiatan penambangan, maupun trasportasi, di mana hasil-hasil tambang akan diangkut dengan lori yang ditarik lokomotif bertenaga listrik (wikipedia)

 

Lori pengangkut batuan emas bertenaga listrik di Lebong Simpang, circa 1930
terlihat pantograf di atas lokomotif sebagai penyalur listik dari kawat ke lokomotif
sumber foto: KITLV

Sampai 1930-an, listrik di wilayah Keresidenan Bengkulu hanya ada di Bengkulu, Rejang dan Lebong. Namun, di ketiga tempat ini listrik juga masih sangat mahal, yang tidak bisa dijangkau oleh setiap warga.

Kondisi mahalnya listrik ini disadari oleh pemerintah Hindia Belanda, sehingga mengeluarkan aturan yang memungkinkan masyarakat dapat berlangganan listrik sesuai dengan kemampuannya. Masyarakat diberikan kesempatan untuk mendapatkan daya listrik 25 volt (konversi sama dengan satu bola lampu 25 watt) dengan biaya abonemen f 0,75. Voltase listrik yang bisa dipakai oleh masyarakat paling rendah adalah 25 volt dan maksimal 500 volt, dengan biaya f 0,75/25 volt. Untuk daya dihitung f 0.12 untuk tiap 1 kwh.

Berdasarkan Keputusan Residen Bengkulu Nomor 560, Tanggal 30 Desember 1930, tentang Hooge Algemeene Tarieven Voor Levering van Electrischen Arbeid (Aturan Umum untuk Mendapatkan Tenaga Listrik), listrik di Bengkulu, Rejang dan Lebong dibagi dalam tiga jenis listrik berdasarkan tarif, yakni listrik siang dan listrik malam, listrik malam dan listrik 24 jam.

Listrik Siang dan Listrik Malam

Berdasarkan pasal 3 dalam aturan, listrik campuran untuk pelanggan listrik siang dan malam (24 jam) berdasarkan jumlah pemakaian kawat, dengan minimal 2 kawat biayanya f 2,50 (biaya abonemen) per bulan dan f 4 untuk empat kawat per bulan serta f 0,75 per 25 volt. Penghitungan pemakaian tipe ini akan memiliki nilai yang berbeda antar jumlah pemakaian siang dan jumlah pemakaian malam. Pembayarannya adalah akumulasi jumlah semua pemakaian daya.

Pelanggan bisa saja mematikan satu saluran di satu hari, tergantung pemakaian, apakah hari itu akan memakan saluran malam saja atau siang saja. Tidak banyak saluran tipe ini dipilih oleh warga di Kepahiang, karena biaya langganannya terhitung sangat mahal.

Listrik Malam

Berdasarkan pasal 4 dalam aturan, listrik malam hari saja (dari jam 6 sore hingga jam 6 pagi) pelanggan dikenakan biaya f 1 per bulan dan f 1 per 25 volt.

Tipe ini yang paling banyak dipilih oleh warga, selain lebih murah, juga lebih efektif pemakaiannya, karena pada malam hari warga juga lebih banyak berada di rumah. Salah satu perlengkapan rumah yang menggunakan listrik, terutama di keluarga-keluarga kaya, adalah radio. Pemakaian listrik pada radio untuk tipe ini lebih cocok, karena radio sendiri lebih banyak siarannya yang bersifat hiburan mulai sore hari hingga tengah malam.

Listrik 24 Jam

Berdasarkan pasal 5 dalam aturan, listrik untuk 24 jam dengan pemakaian daya sekurang-kurangnya 25 volt dan paling banyak 500 volt, dengan uang langganan f 1,25 per bulan dan f 1,25 per 25 volt.

Tipe ini lebih banyak dipergunakan oleh pabrik-pabrik atau kantor yang bekerja 24 jam. Walaupun relatif tidak begitu mahal, namun warga sendiri tidak banyak yang memilih saluran tipe ini, karena pemakaiannya kurang efektif. Pada siang hari listrik di rumah tidak banyak dipakai, karena warga banyak yang bekerja di luar rumah.

Aturan Lain:

Fatsal 7: TARIP LOEAR BIASA: Bagi orang jang hendak memakai kekoetan lesterik banjak sekali dengan denjoet (gentar) jang lebih koeat dan dengan bajaran dan perjanjian lain dari jang ditetapkan dalam atoeran ini, boleh diboeat perdjandjian (contract) lain dengan maatschappij lesterik

Fatsal 8: Kalau hendak mengobah tarip atau djika hendak mengobah (menambahi atau mengoerangi) banjaknja Voltampère dari jang soedah diminta, mesti membajar f 2.50

Fatsal 11. Kalau sipemakai hendak menambah penerangan diroemahnja oentoek keperloean pesta (bimbang, lelang dan lain-lain) bolêh ia minta 3 hari lebih dahoeloe kepada Pengoeasa lesterik; oentoek ini ia mesti membajar tiap-tiap satoe malam f 2.50 kalau memakai tarip tjampoeran; f 1.50 kalau memakai tarip berlangganan tetap.

Referensi:

Kiagoes Hoesin. Reglementen, Keuren van Politie en Ordonanties betrekiing hebbende op gewest Benkoelen. Padang: Radio. 1926.

Reglementen, Keuren van Politie en Ordonanties betrekiing hebbende op gewest Benkoelen.Dell II. Bewerkt en in het Maleisch vertaald door Kiagoes Hoesin, Commies o/h Residentiekantoor Benkoelen. 1931.. 

Wigger, F. Albrecht’s . Almanak Prijai. Djilid I. Keloearan Taon Jang Kesatoe.. Betawi: Albrecht & Co. 1897.

Sumber lisan:

Ibu Maryam, usia 95 tahun, pekerjaan ibu rumah tangga (janda Datuk Pasar Kepahiang Zahari), domilisi Pasar Kepahiang. Wawancara pada 15 Oktober 2022.

Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

3 comments for "LISTRIK SIANG DAN LISTRIK MALAM DI KEPAHIANG, 1927-1930"

  1. Woow, asyiknyo baco tulisan ini. Mokasih sanak utk tulisan yg menarik ttg kepahiang ini

    ReplyDelete
  2. saran dong kak kalau ada pengen baca sejarah irigasi air sengak

    ReplyDelete

Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus