Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PERTEMUAN RAFFLES DENGAN BUNGA RAKSASA, 21 MEI 1818

Rafflesia Arnoldi, 29 September 2020
in situ Padang Lekat, Kepahiang
(Foto: koleksi pribadi)

DARI MANNA KE PASEMAH ULU MANNA

Perjalanan ini adalah melalui residensi selatan, di mana Lady Raffles menemani Raffles. Jalan terutama terletak di sepanjang pantai-laut, dan sebagian besar di atas pasir. Namun, dari Manna, rombongan merambah ke pedalaman, berencana mengunjungi negeri Pasemah. Dari Manna menuju Pulau Lebar, sebelum menuju pedalaman Pasemah, diperkirakan berjarak 56-60 km. 

 

Raffles dan rombongannya meninggalkan Manna pada pagi hari, 19 Mei 1818. Dengan menunggang kuda perjalanan dilakukan sampai Dusun Tanjung Agung, di tepi Air Manna, tempat rombongan pertama berhenti di tengah hari.

Sore harinya perjalanan dilanjutkan melewati hutan menuju sebuah tempat bernama Merambung, kira-kira sepuluh mil lebih jauh ke atas. Jalan, jalan setapak belaka, sangat curam di banyak bagian, dan tidak bisa dilalui dengan menunggang kuda.

Raffles menulis, bahwa rumah-rumah di Merambung lebih besar dan dibangun lebih baik daripada di pantai. Di tengah desa ada bangunan yang menyerupai rumah merpati. Ini disebut "langgar", tempat yang disebut masyarakat sebagai tempat untuk penebusan dosa.

Karena ini tidak konsisten dengan Mahomedanisme (ajaran Islam), Raffles menyimpulkannya, bahwa anggapan penebusan dosa itu sebagai sisa dari kepercayaan yang lebih kuno di tempat itu. Kesimpulan ini kemudian sepenuhnya dikonfirmasi dari apa yang teramati lebih lanjut di tempat itu. Namun, sambutan kepala dusun dan penduduk desa kepada rombongan sangat ramah.

Dari Merambung, 20 Mei 1818, pada pukul setengah lima, rombongan memulai perjalanan lagi  dengan berjalan kaki. Rombongan itu terdiri dari Raffles sendiri, Lady Raffles, Dr. Arnold, dan Mr. Presgrave, Residen Manna, enam perwira pribumi dan sekitar lima puluh kuli yang membawa makanan dan barang bekal lainnya.

Perjalanan terbentang di dekat tepi sungai sepanjang hari, tetapi seringkali melewati tebing-tebing tinggi, dan hampir seluruhnya melalui hutan lebat. Saat mendekati Lebu Tappu (Lubuk Tapi?), di mana sebuah desa pernah berdiri. Mereka mencoba mengikuti sebarisan gajah yang sangat banyak. Terbukti, kata Raffles, bahwa gajah-gajah itu telah berjalan untuk mendahului mereka dalam waktu yang singkat saja.

Mereka melewati banyak tanah yang pada satu periode pasti telah pernah digarap, kemudian ditinggalkan. Tanah itu telah mulai kembali dalam keadaan alami.

Setelah sarapan di Lebu Tappu, di bawah naungan pohon besar, perjalanan dilanjutkan ke tempat yang disebut Pulo Lebar (Pulau Lebar, Dusun Kayu Ajaran, Bengkulu Selatan hari ini [?]). Di tempat ini rombongan merencanakan akan bermalam.

Ini juga merupakan lokasi sebuah desa dulunya, tetapi tidak ada jejak tempat tinggal atau budidaya manusia yang dapat ditemukan lagi. Sungai di dekat tempat itu sangat berbatu, tetapi pemandangannya sangat romantis dan indah.

Mereka tiba di sana pada pukul setengah empat sore, setelah berjalan selama lebih dari delapan jam. Begitu tiba, mereka segera mulai bekerja dan mendirikan dua atau tiga gubuk untuk tidur, mengumpulkan bahan-bahan dari tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar.

Pada malam hari Raffles dan rombongannya dibangunkan oleh sekelompok gajah yang mendekat, yang tampaknya "ingin menanyakan ada bisnis apa rombongan itu di wilayah mereka". Gajah-gajah itu seperti menjaga jarak dan tidak mengganggu rombongan.

"Di kalangan penduduk asli membagi ada dua jenis gajah; yakni "gajah berkampung", yang selalu berkelompok, dan jarang nakal, dan "gajah satunggal", atau gajah tunggal, yang jauh lebih besar dan ganas, berjalan sendiri-sendiri atau hanya dua atau tiga ekor dalam kelompok. Kemungkinan jenis yang terakhir ini hanya jantan dewasa."

Hal kecil, namun penting bagi Raffles adalah gangguan pacat lintah yang sangat merepotkan. Pacat-pacat itu masuk ke sepatu bot dan sepatu anggot rombangan, sehingga menjadi penuh dengan darah. Pada malam hari, pacat-pacat jatuh dari dedaunan yang melindungi mereka dari cuaca, lalu saat bangun di pagi hari mereka akan mendapati kaki berdarah deras. Raffles menggambarkannya sebagai spesies penyusup yang tidak pernah diperhitungkan.

Rekonstruksi ekspedisi Raffles menuju Pasemah,
21 Mei 1818, di Pulau Lebar, Dusun Kayu Ajaran, Raffles dan rombongannnya menemukan bunga raksasa yang sedang mekar

Pertemuan dengan Bunga Raksasa

Raffles melaporkan, bahwa penemuan paling penting di tempat ini  adalah bunga raksasa. Bunga ini telah membingungkannya dalam menuliskan deskripsinya. Baginya, ini adalah bunga terbesar dan terindah di dunia. Berbeda dengan bunga-bunga lainnya dan tidak ada  bandingannya. Dimensinya begitu mengejutkan, diukur dari ujung kelopak bunga lebih dari satu yard (kl. 1 m), lebar nektarium sembilan inci (kl. 23 cm), di dalamnya diperkirakan berisi satu galon setengah air. Berat seluruh bunga lima belas pon (kl. 7 kg)".

"The most important discovery throughout our journey was made at this place; this was a gigantic flower, of which I can hardly attempt to give any thing like a just description. It is perhaps the largest and most magnificent flower in the world, and is so distinct from every other flower, that I know not to what I can compare -its dimensions will astonish you-it measured across from the extremity of the petals rather more than a yard, the nectarium was nine inches wide, and as deep; estimated to contain a gallon and a half of water, and the weight of the whole  flower fifteen pounds" (p.316).

Lukisan pertama bunga raksasa yang disimpan oleh Linnean Society, 1818
kemungkinan dilukis beberapa bulan setelah ekspedisi Raffles
digambarkan berdasarkan deskripsi Dr. Arnold

Raffles melaporkan, bahwa nama Sumatera dari produksi luar biasa ini adalah Petimun Sikinlili, atau Kotak Sirih Setan. Ini bunga asli hutan Sumatera, khususnya Pasemah Ulu Manna. Raffles menyatakan, bahwa bunga ini secara umum tidak diketahui oleh sebagian besar penduduk asli

"The Sumatran name of this extraordinary production is Petimun Sikinlili, or Devil's-Siri (betle) box. It is a native of the forests, particularly those of Passumah Ulu Manna." (p.316)

Bunga raksasa ini parasit pada batang bawah dan akar Cissus Angustifolia. Mula-mula muncul dalam bentuk kenop bulat kecil, yang lama kelamaan membesar. Kuncup bunga ditumbuhi oleh banyak selubung membran, yang mengelilinginya dalam lapisan-lapisan yang berurutan dan mengembang saat kuncup membesar, sampai akhirnya membentuk cangkir di sekeliling pangkalnya.

Raffles mendeskripsikan: selubungnya besar, bulat, cekung, konsistensi membran padat dan warna coklat. Tunas sebelum pemuaian bersifat depresif, bulat, dengan lima sudut tumpul, berdiameter hampir satu kaki, dan berwarna merah tua kehitaman. Bunganya, ketika mengembang penuh, dalam hal ukuran, merupakan keajaiban kerajaan tumbuhan; lebarnya, dari atas satu kelopak ke atas yang lain, adalah tiga kaki. Cangkir itu diperkirakan mampu berisi dua belas liter, dan berat keseluruhannya adalah dari dua belas hingga lima belas pon.

Bagian dalam cangkir berwarna ungu pekat, dan kurang lebih kuning pekat, dengan duri fleksibel yang lembut dengan warna yang sama. Ke arah mulut ditandai dengan banyak bintik-bintik putih yang paling murni, sangat kontras dengan warna ungu zat sekitarnya, yang jauh lebih tinggi di sisi bawah.

Kelopaknya berwarna merah bata, dengan banyak bintik-bintik pustular dengan warna yang lebih terang. Seluruh substansi bunga tidak kurang dari setengah inci tebal, dan konsistensi berdaging yang kuat.

Segera setelah mekar sempurna mulai mengeluarkan bau materi hewan yang membusuk. Buahnya tidak pernah pecah, tetapi seluruh tanaman secara bertahap membusuk, dan bijinya bercampur dengan massa yang membusuk

"Jika saya berhasil mendapatkan juru gambar, saya ingin memiliki representasi yang sempurna bunga ini. Saya sendiri telah membuat sketsa yang sangat kasar, tetapi tidak dalam keadaan seperti itu saya akan berani mempresentasikannya".

Belantara Sumatra

Tidak ada yang lebih mencolok di hutan Sumatera daripada kemegahan vegetasi: besarnya bunga, tanaman merambat, dan pohon, sangat kontras dengan yang kekerdilan hutan Eropa. Raffles mengatakan, bahwa vegetasi di Inggris menjadi kerdil di sini.

"Dibandingkan dengan pohon-pohon hutan Inggris, pohon oak terbesar kita hanyalah kurcaci belaka di sini. Di sini kita memiliki tanaman merambat dan tanaman merambat yang melilit pohon yang lebih besar, dan menggantung digantung lebih dari seratus kaki, dengan ketebalan tidak kurang dari tubuh manusia, dan banyak yang lebih tebal; pohon jarang di bawah seratus, dan umumnya mendekati seratus enam puluh sampai dua ratus kaki tingginya. Satu pohon yang kami ukur adalah, keliling sembilan meter; dan ini membuat pohon-pohon yang pernah saya ukur di Jawa menjadi tidak ada apa-apanya di sini."

Perjalanan dalam Belantara

21 Mei 1818, dari Pulo Lebar rombongan kembali bergerak mulai jam setengah lima, lalu berhenti jam delapan untuk sarapan. Jam sebelas mereka tiba di Sungai Sindang (?), untuk beristirahat. Malamnya, sekitar jam setengah lima, mereka tiba sampai di Barong Rasam (?).

Raffles menggambarkan perjalanan ini yang paling melelahkan, tidak kurang dari tiga puluh mil, seluruhnya melalui hutan lebat, dan melewati gunung-gunung yang menakjubkan, salah satunya, yang disebut Gunung Sindangan (?), tingginya tidak kurang dari antara empat dan lima ribu kaki. Tak ada pemukiman, di mana-mana ada jejak gajah di segala arah, yang tampaknya telah menjelajahi seluruh ceruk hutan.

Perjalanan dilanjutkan dengan sangat baik, meskipun mereka semua kadang-kadang sangat lelah, namun mereka tidak mengeluh. Kata Raffles, Lady Raffles adalah pahlawan wanita yang sempurna.

Satu-satunya kemalangan pada tahap ini adalah hujan lebat pada malam hari, yang menembus tempat bermalam mereka di bawah pohon yang rimbun. Air jatuh dari segala arah dan membasahi pakaian sampai ke kulit tubuh. Mereka juga telah berjarak dua hari di luar jangkauan pasokan. Banyak dari kuli telah pulang; beberapa cukup lelah dan semuanya mulai berharap perjalanan segera berakhir.

Tulisan ini adalah suntingan dari surat yang ditulis oleh Raffles kepada Duchess of Somerset, yang menceritakan perjalanannya ke Pasemah. Surat ditulisnya di atas kapal Lady Rafles, tertanggal 11 Juli 1818. Surat ini kemudian bersama surat-surat Raffles lainnya, dikumpulkan oleh Sophia Raffles (istri Raffles) dalam satu bundel yang diberinya judul
Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles : particularly in the government of Java, 1811-1816, and of Bencoolen and its dependencies, 1817-1824 : with details of the commerce and resources of the Eastern archipelago, and selections from his correspondence, by HIs Widow. London: John Murray Aldemarble Street. 1830

Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

4 comments for "PERTEMUAN RAFFLES DENGAN BUNGA RAKSASA, 21 MEI 1818"

  1. caknyo raffles salah dengar ibeun sekedei jadi petimun sikinlili. atau salah ocr?

    ReplyDelete
    Replies
    1. ibeun sekedei bahasa Rejang, sementara lokasi Raffles bertemu bunga itu di wilayah berbahasa Serawai, jadi kemungkinan besar Raffles tidak salah rekam nama.

      Delete
    2. dalam baso serawai apo namonyo?

      Delete
    3. atau baso besemah. petimun = peti. tapi apo sikinlili. yang paling mungkin yo salah tulis sekedei (d jadi n+l). itu yang cocok jadi devil's betel box.
      kato pertamonyo betel box (kotak sirih). yang cocok bun (baso indonesia), ibeun (baso rejang). entah baso serawai dan besemah.
      kato keduonyo sikinlili tu pasti yang diartikan devil. yang terpikir cuma sekedei. ado kemungkin apo lagi dalam baso serawai dan besemah?

      Delete

Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus