CERITA RAKYAT REJANG: PUYANG EMPAT BERADIK
Kopiah Sakti
Setelah mendengar berita itu, ketiga saudaranya membuat rakit untuk berlayar mencari adik yang hilang itu. Setelah rakit selesai dibuat, ketiganya berlayar siang malam, berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun di laut lepas.
Di suatu tempat, mereka berhenti karena saudara tertua, Rio Senigan, ingin melakukan sembahyang lohor. Namun, saudara nomor dua, Mincang Sakti, ingin terus berlayar. Sama halnya, saudara nomor tiga juga berkata bahwa ia ingin meluncur lebih dahulu. Ulu Balang Singo berusaha meluncur ke tengah, tetapi angin puting beliung datang dan mendorongnya ke tepi. Hal yang sama terjadi berulang-ulang, angin puting beliung selalu mendorongnya ke pinggir.
Ulu Balang Singo berkata, "Coba kamu berdua duluan meluncur ke laut."
Mincang Sakti menjawab, "Aku akan sembahyang dulu." Setelah sembahyang, Mincang Sakti berkata, "Mari, naiklah ke dalam kupiahku!"
Adiknya merasa bingung, tetapi ia meletakkan kupiahnya di atas air. Kupiah itu tiba-tiba melebar dan berubah menjadi sebuah sampan. Ketiganya naik ke dalam sampan tersebut dan melanjutkan perjalanan, berlayar lagi berhari-hari dan berbulan-bulan.
Tiba di Banten
Pada akhirnya, mereka tiba di negeri Banten. Ketiganya turun dari perahu dan pergi ke istana Kerajaan Banten. Di istana Banten, mereka mendengar bahwa adik mereka ditawan oleh Raja Banten. Ulu Balang Singo merasa marah dan ingin mengamuk. Ia menantang untuk berkelahi, tetapi orang banyak tidak mau ikut serta. Mereka baru saja menyelesaikan pernikahan adiknya dengan Raja Banten. Uang dari pernikahan tersebut telah terkumpul.
Ulu Balang Singo memerintahkan, "Hai, kumpulkan semua besi-besi buruk, kumpulkan juga padi dan sorai!"
Orang banyak mengikuti perintahnya, dan besi-besi buruk pun dikumpulkan. Ulu Balang Singo membuat senjata besi dari besi-besi tersebut untuk berlatih silat. Ia juga membawa pulang padi dan serai.
Ketika pulang ke kampungnya, Ulu Balang Singo singgah di suatu tempat yang banyak terdapat kayu merbau. Akhirnya, ia memutuskan untuk menetap di sana dan mendirikan dusun yang diberi nama dusun Merbau. Dusun ini kemudian berganti nama menjadi dusun Padang Genting. Sementara itu, Puyang Banten tetap tinggal di Banten dan menikah dengan raja, sehingga digelari Puyang Banten.
Rio Senigan, saudara tertua, juga memilih untuk berdiam di sebuah dusun yang diberi nama dusun Tangga Batu. Di sana, ia menggeluti usaha menanam padi dan serai sehingga menjadi.
Adapun cerita tentang Puyang Mincang Sakti agak panjang. Puyang ini terkenal karena memiliki kesaktian. Langkahnya luar biasa, setiap kali melangkah, ia bisa menempuh jarak enam puluh kilometer. Oleh karena itu, Puyang ini tidak pernah diam di satu tempat. Ia kadang berada di dusun Tangga Batu dan kadang di Merbau, tempat saudara-saudaranya. Tidak jarang juga ia pergi ke Banten dengan naik kupiahnya. Pernah juga ia pergi ke Bengkulu dan berpijak di tempat yang sekarang dihuni oleh seorang paderi. Sekali waktu, ia melangkah masuk ke daerah Pasemah. Puyang Mincang Sakti merasa belum puas hanya menjelajahi sekitar dusun. Ia memiliki hasrat untuk menyeberangi lautan.
Mincang Sakti Mencari Nabi Khidir
Pada suatu hari, Mincang Sakti berkata kepada kedua adik dan kakaknya, "Rio Senigan dan Ulu Balang Singo, saya ingin berbicara tentang sesuatu kepada kalian. Kak Rio Senigan telah menetap dan memiliki dusun sendiri, yaitu Tangga Batu. Kakak, kamu juga sudah menetap dan memiliki dusun Merbau. Rakyatmu sangat menyukaimu. Namun, bagiku belum ada ketetapan. Aku belum memanfaatkan kesaktianku sepenuhnya. Aku ingin mengamalkan ilmuku, belajar agama, dan mengaji. Sehingga, aku ingin melakukan perjalanan melintasi lautan untuk menemui Nabi Khaidir. Aku berharap kepada kalian untuk menjaga anakku yang masih kecil ini dan memberi nasihat kepada isteriku."
"Baiklah, Mincang Sakti," kata kedua saudaranya.
Mincang Sakti menambahkan, "Jika aku tidak pulang atau tidak ada berita dariku setelah satu tahun, berarti aku tidak akan kembali. Tidak perlu mengejarku!"
Demikianlah pesan Mincang Sakti. Persiapan diadakan untuk jamuan makan dan mendoakan keselamatan Mincang Sakti dalam perjalanannya.
Pada hari yang telah ditentukan, Mincang Sakti berangkat. Seluruh sanak keluarganya mengantarnya ke Kuala Sungai, tempat Mincang Sakti akan meluncurkan kupiahnya sebagai sampan untuk berlayar. Kembang tujuh warna dinyalakan, dupa dinyalakan dengan kemenyan, dan mantera serta doa dibacakan. Pada cuaca yang cerah, Mincang Sakti menghamparkan kupiahnya di atas air. Kemudian, ia mengambil kupiahnya dan meletakkannya di air. Tiba-tiba, kupiah tersebut berubah menjadi sebuah sampan yang besar, lengkap dengan peralatan seperti layar, pendayung, kemudi, tempat air, dan tali temali. Barang-barang makanan dan keperluan sehari-hari dinaikkan ke dalam sampan. Ketika Mincang Sakti akan naik ke perahu itu, dia memeluk anak lelakinya dan merangkul badan istrinya yang meneteskan air mata.Setelah puas memeluk anaknya, Mincang Sakti naik ke dalam perahunya. Perahu mulai bergerak perlahan-lahan, menuju tengah lautan dengan ditiup angin laut. Seiring berjalannya waktu, perahu semakin mengecil dan akhirnya hilang di cakrawala. Yang tersisa hanyalah bekas ombak dan beberapa burung camar yang terbang ke sana kemari.
Pelayaran Mincang Sakti berlangsung berbulan-bulan lamanya. Persediaan makanan di laut hampir habis. Namun, ia belum melihat tanda-tanda pulau. Beberapa kali ia menghadapi badai dan taufan, mengakibatkan layar perahunya robek. Pakaian dan kainnya pun mulai rusak, badannya merasa lemah. Satu-satunya yang masih utuh adalah tikar sembahyangnya.
Di suatu tempat, perahu Mincang Sakti terombang ambing seolah dilanda badai, meskipun angin kencang tidak bertiup dan ombak laut tetap tenang. Tiba-tiba, tampaklah sebuah kepala dengan tujuh cabang sebesar batang kelapa, sementara badannya menyerupai kerbau. Kepala tersebut adalah kepala naga tujuh. Mincang Sakti sudah bersiap-siap menjaga kemungkinan apa pun.
Namun, akhirnya naga itu tidak melakukan apa-apa dan berkata, "Hai Mincang Sakti, engkau telah mencapai tujuanmu. Saya adalah pengawal Nabi Khaidir."
Mincang Sakti bertanya, "Di mana Nabi Khaidir sekarang?"
Naga menjawab, "Saat ini dia berada di dasar laut ini."
Mincang Sakti berkata, "Bawalah aku kepada Nabi Khaidir, saya ingin belajar agama."
Naga memuji, "Kamu luar biasa, Mincang Sakti. Saya jarang bertemu seseorang seperti kamu yang masih ingin belajar meskipun telah memiliki ilmu."
Mincang Sakti menyatakan, "Betul, naga. Saya selalu mengikuti pedoman ayat suci. Bahkan, ketika saya berada di dalam kubur, saya masih ingin terus belajar. Sudah cukup lama kita berbicara. Tolong bawa saya sekarang. Apakah ada persyaratan khusus?" Mincang Sakti bertanya.
Naga menjawab, "Tidak ada persyaratan apa pun. Nabi Khaidir tidak meminta upah atau pujian. Ia melakukan amal dengan kerendahan hati, dan segala puji adalah milik Allah."
Kemudian, naga mengingatkan Mincang Sakti tentang keluarganya. Mincang Sakti menjawab, "Tentu, tetapi saya tetap memiliki tekad yang kuat untuk meninggalkan mereka demi mencapai cita-citaku."
Naga memberi nasehat, "Bagus sekali, Mincang Sakti." Naga mendekatkan mulutnya ke Mincang Sakti dan berkata, "Namun, niatmu untuk tidak kembali adalah kesalahan. Jika nyawamu masih ada, mohon ampunlah kepada Tuhan, Mincang Sakti. Keluargamu masih membutuhkan bimbinganmu, karena di akhirat, yang pertama kali akan ditanyakan oleh Khalik adalah tanggung jawabmu terhadap keluargamu selama hidupmu."
Mincang Sakti memohon ampun, "La haula wala quwwata illa billah. Astaghfirullah."
Naga memberitahu Mincang Sakti bahwa adiknya yang dulu hanyut di laut telah diselamatkannya dan didamparkan di pantai Banten. Sekarang adiknya telah menjadi permaisuri di Banten.
"Makasih banyak, naga," ujar Mincang Sakti dengan rasa kagum.
"Tidak perlu engkau berterimakasih kepadaku. Aku hanyalah alat. Bersyukurlah dan berterimakasihlah kepada Yang Maha Menjadikan dan Yang Maha Kuasa, yaitu Allah subhanahu wataala," kata naga.
Kekaguman Mincang Sakti semakin bertambah. Binatang bahkan memiliki budi luhur, apalagi manusia seharusnya memiliki sifat tersebut. Begitu pikir Mincang Sakti. Hasratnya untuk belajar dari Nabi Khaidir semakin kuat.
"Mincang Sakti, lipatlah kupiahmu ini, nanti mulutku sakit. Melompatlah ke dalam mulutku, kita akan segera menemui Nabi Khaidir," kata naga.
"Baiklah!" sahut Mincang Sakti. Tanpa ragu dan takut, ia melompat ke dalam mulut naga seolah-olah ia akan naik perahu. Perahu yang tadinya telah menjadi kupiah. Naga itu menyelam ke dasar laut. Tidak lama setelah itu, Mincang Sakti berada dalam gua mulut naga. Tidak ada rasa menjijikkan di sana, malah sebaliknya, ia merasa nyaman dan bahkan lebih nyaman daripada berada di rumahnya sendiri. Udara di dalamnya nyaman dan harum.
Naga itu sampai di pintu rumah Nabi Khaidir, lalu membuka mulutnya dan Mincang Sakti keluar. Ketika sampai di pintu rumah Nabi Khaidir, Mincang Sakti memberi salam, "Assalamualaikum!"
"Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh," jawab Nabi Khaidir.
Mendengar jawaban itu, Mincang Sakti merasa malu dalam hati karena memberi salam hanya sepotong, sementara jawaban Nabi Khaidir sangat lengkap.
Akhirnya, Mincang Sakti memulai belajar dan berguru kepada Nabi Khaidir. Lama masa pembelajaran itu tidak kurang dari sepuluh tahun. Orang-orang di kampung Mincang Sakti telah melupakan keberadaannya. Mereka bahkan mengira Mincang Sakti sudah meninggal. Anaknya sudah tumbuh besar dan dewasa.
Mincang Sakti Pulang dan Menjadi Ulama
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Mincang Sakti diinstruksikan oleh Nabi Khaidir untuk kembali ke kampungnya. Rasa sedih memenuhi hati Mincang Sakti karena harus berpisah dengan gurunya. Sebelum berpisah, Mincang Sakti menerima wejangan terakhir dari Nabi Khaidir, yaitu kewajiban untuk menyebarkan ilmunya kepada orang lain. Ia juga diberi selembar sejadah.
Nabi Khaidir mengatakan, "Sejadah ini hadiah dari aku, Mincang Sakti. Ingatlah, jika engkau dalam kesulitan, sejadah ini akan menjadi penolongmu. Misalnya, dalam kebakaran, kibarkan sejadah ini. Semoga dengan izin Allah, api akan padam. Juga, jika engkau perlu menyeberang sungai atau laut, gunakan sejadah ini, engkau akan dapat menyeberang. Bahkan, engkau bisa terbang dengan sejadah ini. Jangan biarkan dirimu dipenuhi kesombongan dan iri hati, karena sifat-sifat ini tidak disukai oleh Tuhan. Sekarang, ubahlah namamu menjadi sebuah nama yang baik. Ingatlah, kekuatan sejati berasal dari Tuhan. Manusia tidak memiliki kekuatan kecuali dengan izinNya. Ubahlah namamu menjadi Malik Ibrahim!"
Demikianlah kisah Puyang Mincang Sakti yang akhirnya berubah menjadi Malik Ibrahim. Ia pulang kembali ke kampung halamannya setelah bertahun-tahun mencari ilmu di dalam laut. Sampai akhir hayatnya, ia mendidik manusia dalam ilmu agama, tidak hanya di kampungnya, tetapi juga di luar kampung. Ia tidak pernah diam di rumah, melanjutkan perjalanannya seperti saat ia masih muda dulu.
Ketika masih muda, ia mengajarkan ilmu silat, dan sekarang, ia mengajarkan ilmu agama. Sampai akhirnya, kisahnya menjadi samar tentang keberadaan kuburannya.
Post a Comment for "CERITA RAKYAT REJANG: PUYANG EMPAT BERADIK"
Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus