Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MENGAPA AYAH SUKA BUNGA

Cattleya mantinii portia
Salah satu koleksi anggrek, hadiah dari ayah

Kontras memang. Di satu sisi ayah adalah seorang polisi (1994 lalu telah purnawirawan). Sebagai produk lama, ayah polisi yang keras, didukung juga latar belakangnya sebagai orang Menggala (Provinsi Lampung) asli. Sampai pernah aku mengatakan ayah itu bisa jadi tentara nazi, walau dia pun bisa seperti nabi. Aku dibesarkan dalam suasana kekerasan dan disiplin tinggi dari dia. 

Jika aku dan saudara-saudara punya salah, maka nasehat dari ayah adalah tendang atau dirotan. Sudah sangat beruntung sekali jika hanya telinga dijewer. Dalam hal menghukum, betul-betul ayah berpegang pada “sedikit bicara, banyak bekerja”. 

Tapi, nah ini, di sisi lain ayah adalah orang yang halus, sangat perhatian kepada anak-anaknya, dia juga senang musik, senang bercerita dan senang bertanam bunga. Ya, bertanam bunga. Jika orang-orang pensiunan memilih misalnya beternak ayam, memelihara ikan di kolam atau berkebun, maka ayah memilih bunga! 

Ayah sudah suka dengan bunga sejak dia bujang, dan kesukaan ini makin menjadi-jadi di hari tuanya. Berburu bunga kemana-mana, membeli bunga sampai ke luar kota. Ditambah juga ayah adalah seorang Pembina Pramuka Bhayangkara, yang banyak memiliki kesempatan mengikuti kegiatan-kegiatan kepramukaan hingga tingkat nasional, membuatnya berpeluang berburu bunga yang unik. Nah, kesempatan itu sangat dimanfaatkan oleh ayah untuk memburu bunga demi memperbanyak koleksinya. Seperti pernah di Brastagi, daerah yang memang sudah terkenal banyak bunga, ayah banyak membawa pulang bunga yang bahkan belum pernah aku lihat. 

Hobiku dulu yang senang keluar masuk hutan, berkemah atau mendaki gunung pun akan dimanfaatkan secara baik sekali oleh ayah. Dia tidak akan melarang aku melakukan aktivitas-aktivitas itu, dengan syarat ketika pulang harus bawa bunga, dalam hal ini biasanya adalah anggrek. Oportunis sekali dia melihat kesempatan mendapatkan bunga.


Dijual? Sama sekali tidak. Bahkan bisa dikatakan cuma menyemak-nyemak rumah saja dan jadi sarang nyamuk. Di mana rumah Pak Suwandi? Oh, itu rumah yang banyak bunganya, itulah rumah beliau. 

Apa alasan ayah suka bunga? Entahlah. Tak pernah ada jawaban dari ayah jika itu ditanyakan. Aku suka bunga, jawabnya, dan itu sudah cukup menjawab baginya. Apalagi kalau dipikir-pikir, bukankah lebih menguntungkan jika halaman rumah ditanami pohon-pohon buah, selain bisa dipetik buahnya, juga bisa menjadi penghias halaman rumah. Tapi, ya, begitulah, kita yang berpikir begitu, sementara dia tidak pernah mau memikirkannya. Mau buah, pergi beli ke pasar.

Tetapi, aku kira sama seperti hobi-hobi lainnya, maka memang tiap pehobinya pun akan selalu memiliki alasan yang “absurd”, yang bahkan tidak punya dasar argumentatif. Sama seperti seorang kenalan saya yang sangat bersemangat dengan hobinya berburu babi. Uang yang telah dikeluarkannya untuk membeli anjing-anjing saja mungkin sudah bisa untuk beli mobil. Anjing sudah mahal, daging babi juga tidak akan dibawanya pulang untuk dikonsumsi, pun tidak pula dijual. Jadi? Ya begitulah. Saya memang hobi berburu babi, saya memang suka bunga, saya memang suka memelihara ikan hias, saya memang suka mengumpulkan perangko, semua ini sudah cukup menjawab semua pertanyaan bagi banyak pehobi.

Sekuntum mawar  rawatan ayah
Dari rimbunannya, bunga yang kini setia kami taburkan di makam ibu

Harus diakui, setelah ibu tiada, kesukaan ayah terhadap bunga pun tampak tidak begitu besar lagi seperti semasa ibu masa ada. Perlakuan ayah terhadap bunga-bunga yang masih ada sekarang terkesan sekadarnya saja. Saat mengunjungi ayah, aku lihat banyak bunga di rumah sekarang hampir-hampir terlantar. Beberapa koleksi yang bagus-bagus telah merana lalu mati.

Ibu sendiri sebenarnya dulu pun tak banyak membantu ayah, bahkan ayah melarang kami ikut-ikut mengurus bunga. Pernah aku lihat sendiri, bagaimana ibu "dimarahi" ayah saat ibu mau memetik dahan-dahan atau daun-daun kering di sebuah bunga dalam pot. "Siram-siram sajalah, tidak usah ikut mengutak-atik bunga itu," semprot ayah. Ibu pun hanya tertawa sambil melenggang pergi, melanjutkan menyiram bunga lain.

Jadi, bukan karena tidak ada lagi yang membantu dia mengurus bunga, tetapi aku kira ayah sendiri yang memang telah berkurang mencintai bunga, setelah cinta yang nyatanya telah pergi.

Dan, setelah ibu pergi, aku semakin merasakan, jika memang bunga-bunga yang menyemak halaman rumah, yang setia dijaga dan dirawat oleh ayah, lebih dari sekedar penghias rumah, namun sebenarnyalah semua adalah persembahan dia untuk ibu.



Dari ayah juga, aku dan adik-adikku menyukai bertanam bunga, terutama sekali kami bertiga yang laki-laki, aku sendiri, Ardi dan Anca. Pun, kami bertiga punya aliran yang berbeda. Aku lebih menyukai bertanam anggrek, Anca memilih jalan bonsai dan mengoleksi begonia. Sepertinya Ardi yang masih mengikuti firqah ayah, mengoleksi apa saja, yang penting masih bunga.

Hobi kami bertiga terhadap bunga ini selanjutnya memang sedikit menjadi sebuah "musibah" bagi ayah. Walaupun kami telah banyak juga koleksi bunganya, bukan berarti bunga-bunga ayah akan selamat, atau kami akan memberi bibit bunga ke ayah. Sebaliknya, justru bunga-bunga ayah, setiap ada kesempatan kami datang, maka akan ada saja bunga yang kami culik. Apakah ayah melarang? Tidak, dia tidak akan melarang kami mengambil anakan atau men-split bunganya, karena dia tahu apa yang kami ambil itu akan benar-benar kami tanam dan rawat. Iya sih, pakai acara drama ngomel-ngomel juga dulu dia melihat aku "merusak" bunganya, tetapi itu tidak berarti sebuah lampu merah.

Mengapa kami masih juga mengambil bunga dari koleksi ayah, padahal bunga yang diambil itu bisa jadi sudah ada di halaman? Untuk mengambil berkahnya mungkin. Tetapi, jelasnya, lagi-lagi tak ada jawaban pasti. Mengambil bunga dari rumah orang tua sendiri, jika anda pencinta bunga akan ada sebuah perasaan yang tak bisa dijelaskan. Selalu saja ada hasrat membawa pulang bunga dari rumah orang tua.

Pun, apa yang telah ayah lakukan dulu, sering sadar atau tidak sadar aku lakukan juga. Ketika sekuntum anggrek mekar, maka aku akan berteriak-teriak memanggil istriku. Tak peduli dia lagi bergumul dengan cucian atau sibuk membabat ikan dan kangkung di dapur, aku panggil dia untuk segera datang, agar dapat aku pamerkan kepadanya bunga yang mekar itu.
Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

1 comment for "MENGAPA AYAH SUKA BUNGA"

Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus