Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LITERAT GENERALIS DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0


Literasi Kita dalam Sejarah

Baik kata statistik maupun data kualitas mengatakan, bahwa orang Indonesia itu rendah sekali minat bacanya. Membaca tidak masuk dalam kategori hobi yang disukai orang Indonesia.

Singkatnya, orang Indonesia malas membaca.

Pernyataan ini bukanlah sesuatu yang baru, bahkan telah menjadi semacam stigma yang menggambarkan bagaimana kehidupan berliterasi orang Indonesia.

Saat menyusun skripsi, bahkan tesis S2, ketimbang membeli sebuah buku, banyak mahasiswa yang cukup menyalin (fotokopi) beberapa halaman saja dari sebuah buku yang dipinjam di perpustakaan, sesuai dengan tema yang kertas ilmiahnya. Bisa dipastikan lembaran-lembaran itu saat nanti, setelah ujian sidang, akan terlupakan.

Benarkah separah itu kita?

Mengapa? Sejak kapan orang Indonesia ini tidak suka membaca, atau kapan orang Indonesia suka membaca kemudian menjadi tidak suka? Ataukah sebenarnya kita ini hanya kehilangan tradisi membaca? Kehilangan, ya, bahwa suatu masa membaca pernah menjadi aktivitas penting orang kita, yang kemudian dengan atau atau beberapa alasan aktivitas itu ditinggalkan.

Baiklah. Mari kita dengar suara sejarah yang mengatakan, bahwa

“untuk memperoleh salinan suatu naskah atau kitab, orang-orang di Nusantara Klasik (Campa dan Melayu) tidak segan-segan melepaskan sebuah gerobak penuh padi untuk mengupah seorang penulis menyalinnya....”.

Dari disertasi linguis dan etnolog G. Moussay ini, memperlihatkan sebenarnya bangsa Melayu telah lama memiliki antusiasme tinggi terhadap kegiatan literasi. Walaupun patut disayangkan, bahwa ada kekurangan informasi yang sampai ke kita pada hari ini bagaimana gambaran perpustakaan kuno di Indonesia dulu, serta berapa pula banyak koleksi kepustakaan atau non-kepustakaan yang dimiliki.

Lahirnya padepokan-padepokan, pesantrian-pesantrian (pesantren) atau sangga-sangga di masyarakat "lama" pun berangkat dari motivasi "membaca" dan meng(k)aji kitab-kitab dan naskah-naskah.

Bukankah kita juga telah lama memiliki kosa kata "asli", seperti pustaka, tambo, aksara, tulis dan baca, jauh sebelum kata “buku” dan “literasi” datang. Tentu saja, lahirnya kosa kata-kosa kata itu sebagai akibat sebuah kegiatan atau obyek yang kemudian memerlukan nama atau istilah.

Teknologi merekam juga sudah lama kita miliki, dengan adanya aksara-aksara kuno yang dipergunakan dalam tradisi menulis. Saatnya kemudian tradisi ini semakin canggih dengan diterapkannya modifikasi aksara Arab yang disebut dengan aksara Jawi atau Arab-Melayu, yang bisa lebih “membunyikan” fonologi orang-orang Nusantara. Dengan adalah “teknologi merekam” berupa aksara inilah, maka para leluhur pun mampu memberikan gambaran kehidupan mereka kepada kita, generasi hari ini.

Bahkan untuk daerah-daerah yang tidak mengenal aksara, mereka masih mampu mempertahankan kebiasaan “membaca” ini dengan tradisi tutur. Minangkabau misalnya, mereka telah berhasil mempertahankan dan mengabadikan “sejarah“ mereka melalui tradisi bakaba.

Buku mahal saat itu karena memang langka dan produksinya yang sulit. Buku hanya buat dengan tulis tangan dan jika dicetak menggunakan sistem kuno, yakni litografi (cetak batu) yang rumit dan lama, serta dengan biaya yang sangat mahal. Percetakan litografi pun hingga menjelang 1900-an hanya ada di Temasik atau Singapura, milik pemerintah kolonial Inggris.

Tahukah kita, jika banyak diceritakan bagaimana seorang "sarjana" sanggup menempuh perjalanan jauh, menahan perih lapar dan haus, pakaian tercabik-cabik badai, onak dan duri hanya untuk melihat sebuah buku atau kitab yang ia dengar kabarnya ada berada di negeri yang jauh, lalu dengan menangis bahagia ia mendapat kesempatan bisa membacanya dan menyalinnya dengan penuh ketekunan. Bagaimana juga perjuangan seorang ulama Melayu, yang bertahun-tahun mukim di Masjidil Haram di Mekah dan di negeri-negeri Arab lainnya, demi menyalin sebuah kitab. Lalu, setelah pulang ke Nusantara, agar dapat dipahami oleh masyarakat, maka kitab itu diterjemahkannya lagi ke bahasa Melayu. Sebuah perjuangan yang panjang dan tak kenal lelah!

Kita hari ini telah dipersiapkah jauh di masa lampau oleh leluhur dengan literasi. Membaca adalah tradisi asali kita.

Perkembangan Literasi

Beranjak pada hari ini, perkembangan aktivitas literasi telah jauh berkembang serta telah lebih canggih, dibandingkan dengan apa yang telah dipaparkan di atas. Literasi, bukan lagi sekedar menulis sebuah buku-teks atau reportase perjalanan untuk disimpan di perpustakaan istana, atau dibaca di padepokan. Menulis pada hari ini bahkan telah lebih banyak menyentuh ke situasi yang bersifat emosional dan personal, lebih dari sekedar penuangan ide dan keilmuan semata. Sementara membaca yang sebelumnya hanya bersifat pada kisaran mengumpulkan atau mempelajari sebuah informasi, maka pada hari ini telah berkembang untuk menjadi sebuah gaya hidup dan populis dan juga komersial.

Perkembangan teknik cetak, publikasi, media, dan sumber ketersediaan referensi atau kepustakaan telah membuat aktivitas literasi menjadi murah, yang disertai dengan kemudahan aksesibilitas. Dengan kondisi ini, maka setiap orang akan memiliki kesempatan yang banyak untuk melaksanakan aktivitas literasi.

Namun, apakah setiap orang pun akan mau memanfaatkan kesempatan untuk melakukan aktivitas literasi itu? Berapa banyakkah orang yang mau memanfaatkan gawainya untuk mengunduh e-book? Berapa banyakkah orang yang mengisi waktu liburannya untuk mengunjungi perpustakaan atau museum? Hingga pada sebuah pertanyaan mendasar, seberapa sadarnya kita akan pentingnya literasi.

Bahasa, secara ontologis merupakan akar dari literasi. Dengan adanya bahasa maka kegiatan baca, tulis dan interpretasi dapat dilaksanakan. Informasi dengan segala sistemnya dibangun dengan menggunakan bahasa dan berbentuk bahasa itu sendiri.

Bahasa telah menjadi sebuah senjata dalam wujud kata dan tulisan serta menyusun lambang untuk semua ide manusia. Dengan senjata ini, manusia melakukan ofensif dan defensif. Kata polemik, propaganda, argumentasi, retorika, replik dan lain-lainnya adalah bentuk ungkapan yang menggambarkan kegiatan manusia menggunakan senjata berupa bahasa. Bahkan kesalahan penggunaan senjata ini, seperti ambiguitas atau pun kesalahan tata bahasa dapat mengakibatkan konflik.

Memahami bahasa sebagai pengejawantahan yang “terkatakan” tentang dunia adalah lingkaran yang tak henti dalam kegiatan literasi. Untuk mendapatkan sebuah informasi, maka kita akan membaca. Untuk memahami informasi yang telah kita dapatkan kita kembali harus membaca dari sumber-sumber lain. Untuk mengkonfirmasi (tabayyun) informasi kita harus membaca lagi. Demikian juga menulis, kita harus membaca, mendapatkan bahan untuk menulis harus membaca, untuk menjawab sebuah informasi kita harus menulis dan membaca.

Rangkaian tersebut memang seharusnya terjadi secara natural dan manusiawi, yang sesuai dengan filosofis manusia adalah mahluk yang peragu-ragu lalu mencari kebenaran. Apalagi pada hari ini, di mana arus ide, pemikiran dan informasi tak dipungkiri dapat menjebak kita pada kesalahan perspepsi atau kesalahan pemahaman (kita semua pasti tak asing lagi dengan kata “hoax” pada saat ini), menuntut kita untuk memiliki kemampuan membuat rangkaian baca-tulis dengan baik.

Begitulah terjadinya aktivitas literasi, siklus kegiatan untuk mendapatkan kebenaran dan memahami kebenaran. Literasi berada dalam diri kita sendiri, sebuah potensi untuk mendapatkan hakikat kehidupan.

Apa itu revolusi industri 4.0

Literasi lama mencakup kompetensi calistung (baca, tulis, hitung). Sedangkan literasi baru mencakup literasi data, literasi teknologi dan literasi manusia. Literasi data terkait dengan kemampuan membaca, menganalisis dan membuat konklusi berpikir berdasarkan data dan informasi (big data) yang diperoleh. Literasi teknologi terkait dengan kemampuan memahami cara kerja mesin. Aplikasi teknologi dan bekerja berbasis produk teknologi untuk mendapatkan hasil maksimal. Literasi manusia terkait dengan kemampuan komunikasi, kolaborasi, berpikir kritis, kreatif dan inovatif.

Kita memasuki era revolusi industri 4.0. Era digital sebagai paradigma dan referensi untuk tatanan kehidupan. Pada bidang telekomunikasi atau basis data, teknologi mekanik dan analog telah lama ditinggalkan. Komputer pada hari ini mutlak bukanlah komputer masa lalu lagi yang berbasis prosesor 86, apatah lagi dengan komputer-komputer mainframe buatan ENIAC tahun 1940-an dulu. Pelayan-pelayan semacam GPRS (General Packet Radio Service), EDGE (Enhance Data rate for GSM Evolution), bahkan HSDPA (High-Speed Downlink Packet Access) untuk teknologi digital berkecenderungan telah mulai tak dipilih lagi dan akan segera ditinggalkan.

Pada era ini, disrupsi (perubahan besar-besaran) pun secara determinisme mau tak mau akan terjadi, terutama sekali pada produksi informasi, dengan kecepatan dunia internet yang semakin tinggi, kondisi monologis sebuah informasi telah bertransformasi secara secara cepat menjadi virtual dialogis. Secara digital dan virtual, manusia (seperti) dapat melakukan berdialog hadap-berhadapan!

Teknologi lisan, cetak dan elektronika telah tidak mampu lagi melayani laju informasi yang sudah semakin kompleks, sebagai akibat dari perkembangan teknologi itu sendiri. Setiap orang sudah bukan lagi sekedar reseptor, namun sudah menjadi seorang produsen yang saling berkompetisi untuk memproduksi informasi.

Untuk menghadapi revolusi industri 4.0 atau era disrupsi diperlukan “literasi baru” selain literasi lama. Literasi lama yang ada saat ini digunakan sebagai modal untuk berkiprah di kehidupan masyarakat.

Sering laju teknologi melindas abilitas literasi. Teknologi yang seharus menjadi obyek, justru mengobyektivikasi manusia. Kekurangan daya serap dan interpretasi terhadap informasi membuat seseorang hanya jadi reseptor, tanpa ada kemampuan untuk menyaring kebenaran dari informasi yang diterima, yang kemudian semakin diperparah dengan menyebarkan informasi itu.

Saatnya siapa pun harus mampu untuk saat ini menjadi reseptor informasi yang kritis, interpretator, melakukan filtrasi kritis, pembuat konten informasi yang benar dan individu menyebarkannya. Berhadapan dengan informasi di era ini tak bisa lagi seseorang menjadi "spesialis" yang tergagap berhadapan kederasan informasi, namun sebaliknya, dengan dukungan "keinginan menemukan" referensi sedikit banyak mau menjadi seorang generalis.
Salam Literasi

Kepahiang, Oktober 2019

*Dipersiapkan sebagai materi pada Seminar Sastra di IAIN Bengkulu, 30 Oktober 2019

pranala:











Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "LITERAT GENERALIS DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0"