Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CATATAN PERJALANAN: DARI GYUGUN KE MEGALITIKUM KEBUDAYAAN DEMPO (BAGIAN II)

Situs Megalitikum Batu Gajah, Desa Belumai, Pagar Alam

SITUS CAGAR BUDAYA DESA BELUMAI

Hari telah menjelang sore ketika kami tiba di Desa Belumai, Kecamatan Pagar Alam Selatan. Desa dengan pemukiman yang padat, khas pemukiman tua di negeri-negeri Melayu, jalan-jalan dalam desa pun relatif sempit, hanya seukuran pas-pasan satu mobil, berbatasan langsung dengan bangunan rumah-rumah panggung yang berjejer sangat rapat.

Tidak banyak terlihat rumah yang memiliki halaman, baik di depan maupun samping rumah, sebagaimana yang ada di Kepahiang, yang dipergunakan untuk menjemur kopi. Ini seperti memperlihatkan, jika masyarakat di Desa Belumai kemungkinan besar adalah bersawah, sementara jika mereka berkebun kopi, maka untuk kegiatan menjemur kopi akan dilakukan di dekat kebun atau sawah.

Salah satu situs purbakala yang akan kami kunjungi di desa itu, Situs Batu Gajah, terletak di areal persawahan yang cukup jauh dari pemukiman warga, hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki atau dengan menggunakan kendaraan roda dua. Mengetahui hal ini, terniat oleh kami untuk jalan kaki ke lokasi, sebelum warga setempat dengan ramah memberikan saran untuk menggunakan sepeda motor saja. Karena itu memang usul yang baik kami kira, maka kami pun menerima tawaran itu. Dibantu warga kami bertemu dengan dua pemuda setempat, Reyen dan Redi, bersedia mengantarkan kami.

Aku dan Rendi digonceng oleh Redi dengan motor bebek, sementara Bang Ramdan bersama Reyen menggunakan motor matik. Segera keluar dari desa, pemandangan alam yang indah berupa wilayah persawahan yang sangat luas menyambut kami. Terdapat juga lahan-lahan yang tengah ditanami sayur-sayuran, berupa terung, sawi dan bawang daun. Apalagi dari arah selatan, tampak jelas Gunung Dempo yang menjulang tinggi menambah sexy pemandangan alam ini.

Sebaran batuan di persawahan Desa Belumai
Sumber Foto: BPCB Jambi

Hal yang unik dan membuat tempat itu menjadi eksotis, di wilayah persawahan itu bertebaran batu-batuan berbagai ukuran, dari ukuran sebesar bola basket ke ukuran sebesar ban mobil, hingga ada yang sama ukurannya dengan sebuah mobil jenis MPV. Bisa dikatakan, di tiap petak sawah pasti ada satu atau beberapa gundukan batu yang tertanam. Kami beruntung, karena sawah-sawah itu masih dalam persiapan untuk masa tanam baru, maka tanpa ada halangan kami pun bisa melihat sebaran batu-batu raksasa dan tua itu. Bahkan cuaca pun berpihak kepada kami, karena jika hujan sudah bisa dibayangkan bagaimana licinnya jalan tanah yang sempit di antara sawah itu; ada juga sebagian jalan itu telah dibuat menggunakan semen.

Ketika Redi menunjuk bangunan beratap rendah di kejauhan sebagai lokasi Situs Batu Gajah, aku merasakan tubuhku sedikit gemetar. Aku terdiam, sebuah buncah perasaan seperti saat-saat seorang pemuda akan melamar wanita yang dicintainya.

Situs Megalitikum Batu Gajah

Situs Batu Gajah, cagar budaya yang telah diakui UNESCO, dilindungi UU No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Perkiraan usia kurang lebih dari 1 milenium (1000 tahun). Berbentuk seorang laki-laki yang menunggang kerbau yang dipahat di sebuah batu andesit. Penyebutan Batu Gajah yang diberikan hanyalah berdasarkan ukuran batu itu yang besar, karena binatang dalam obyek itu sendiri sebenarnya adalah kerbau. Telah diregistrasi dalam Sistem Registrasi Nasional (Sisregnas) Cagar Budaya Indonesia, diawasi oleh Balai Pengkajian Cagar Budaya (BPCB) Jambi.

Depan Batu Gajah

Dengan gambaran posisi tubuh yang rapat dengan tubuh kerbau, seolah-olah menjaga diri agar tidak terjatuh dari tubuh kerbau, di mana tangan manusia juga tampak memegang erat tanduk kerbau, objek itu bukan lagi sekedar “potret” seorang laki-laki yang menunggang kerbau, namun lebih jauh lagi menyiratkan perkelahian antara manusia dengan kerbau liar (jalang) untuk menundukkan dan menjinakkan kerbau itu. Posisi tangan di tanduk juga memperlihatkan upaya lelaki di atasnya membuat kepala kerbau tertunduk yang artinya kerbau telah berhasil dikuasai (ditundukkan).

Kerbau sendiri menurut sebarannya tercatat bukanlah binatang endemik Indonesia, melainkan diperkirakan berasal dari daratan Asia. Pada masa-masa lampau, terutama pada masa kebudayaan batu, dipastikan belum ada kegiatan domestikasi kerbau, keberadaan kerbau masih sangat liar. Kerbau pun secara alami merupakan binatang yang agresif dan sulit untuk dijinakkan, tetapi jika telah berhasil dijinakkan kerbau akan menjadi binatang yang sangat patuh kepada tuannya.

Pada masa-masa dahulu, baik di Rejang maupun Pasemah, keberadaan kerbau di alam liar dalam satu teritorial tertentu secara incognitif dimiliki oleh penguasa. Kerbau dijinakkan untuk jadi kendaraan raja (sebagaimana juga gajah) atau alat angkut dan juga mata uang (sebagai alat barter), belum dipergunakan untuk membantu manusia dalam kegiatan mengolah sawah. Terkhusus lagi kerbau putih, merupakan binatang yang dikeramatkan dan hanya boleh dimiliki oleh raja.

Batu Gajah

Sebelum kedatangan orang-orang Eropa, orang-orang di pedalaman Rejang dan Pasemah belum mengenal teknologi olah sawah. Dalam laporan Kontrolir Kepahiang, D.G. Hooyeh, yang dibuatnya di Kepahiang, 31 Maret 1911 untuk Batavia, setelah Rejang dan Pasemah resmi dianeksasi pada 1870, maka untuk meningkatkan produksi padi masyarakat pada 1908 telah didatangkan beberapa bangsawan Sunda ke tanah Rejang dan Pasemah untuk mengajari masyarakat setempat mencetak dan mengolah sawah. Sementara pribumi setempat hingga saat itu masih bertanam padi darat dan padi rawa, yang jelas tidak membutuhkan kerbau, karena lahan tanamnya memang tidak perlu dibajak sebagaimana bertanam di sawah.

Dari Bapak Lubis, Juru Pelihara Situs Batu Gajah kita banyak mendapatkan keterangan tentang struktur anatomi objek. Begitu fasih dia menunjukkan kepada kita, yang mana bagian kepala, tanduk, badan manusia hingga jumlah kaki. Objek itu sendiri memang berada di areal persawahan milik dia, sehingga itu juga yang menjadi pertimbangan BPCB Jambi menunjuk dia menjadi Juru Pelihara. Tidak terlihat adanya tanda-tanda pemujaan, yang dipastikan juga oleh pernyataan Bapak Lubis, sejak dalam pengawasan dia, tidak ada lagi, dan memang terlarang, orang melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat klenik.

Berpose di batu dakon atau batu lesung terletak di dalam petak sawah
di antara padi-padi yang siap panen,
pada latar belakang bangunan tempat Situs Batu Gajah

Ingin berlama-lama di sini, tetapi mengingat masih ada beberapa situs lagi yang ingin kami kunjungi, membuat waktu kami cukup sempit. Kami harus meninggalkan situs ini, dengan suatu janji dalam hati, kelak - suatu saat - kami akan mengunjunginya lagi.

Situs Megalitikum Kubur Batu Belumai

Situs Megalitikum Kubur Batu Belumai, Pagar Alam

Dari Situs Batu Gajah, masih diantar oleh Redi dan Reyen, kita menuju ke Situs Kubur Batu Belumai. Masih dalam wilayah Desa Belumai, berbeda dengan Situs Batu Gajah yang berada di tengah areal persawahan yang tidak bisa dilalui kendaraan roda empat, Situs Kubur Batu Belumai walau berada dalam kebun kopi masyarakat namun berada di pinggir jalan raya yang beraspal hotmix.

"Assalamu'alaikum ya ahlul kubur", uluk salam kubisikkan. Bagaimana pun bentuknya dan siapa pun yang PERNAH terbaring mati di dalamnya tetaplah itu berupa jenazah yang harus dihormati. Karena dengan spirit penghormatan ini juga, manusia-manusia dahulu telah merekayasa upacara-upacara kematian dengan segala pernak-perniknya, lalu membangun rumah peristirahatan terakhir seorang manusia dengan semua kemegahannya.

Ruang kubur

Salah satu contoh bentuk kemegahan penghormatan itu, adalah yang berada di depan kami saat itu. Bagaimana orang-orang dulu telah bersusah payah mengambil batuan di suatu tempat, mengumpulkannya, lalu menyusunnya untuk sebuah keabadian dari ribuan tahun lalu hingga di saat kami mengunjunginya. Sungguh, hanya karena adanya sebuah kearifan kosmologi saja yang telah membuat subjektivitas manusia mampu melaksanakan kegiatan spritual yang penuh tenaga dan keringat itu.

Telah diregistrasi di Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya Indonesia, situs ini diperkirakan juga telah berusia lebih dari 1 milenium. Tersusun dari batu batuan andesit, secara umum berbentuk kubus, dengan ukuran 5 x 4 meter dan memiliki kedalaman hingga 2 meter. Dinding-dinding kubur dan lantainya berupa papan batu tebal yang dibentuk menjadi persegi empat. Untuk penutupnya berupa batu besar berbentuk bulat kurang lebih diameter 1,5 m. Tidak berpenyanggah dan berbentuk bulat, dengan penutup kubur itu seperti itu kemungkinan sekali tidak berfungsi sebagai dolmen; penutup kubur yang juga berfungsi sebagai meja persembahan atau pelinggih (dolmen secara umum berbentuk batu datar).

Situs Megalitikum Arca Manusia Belumai

Di depan Situs Cagar Budaya Arca Manusia Belumai

Situs Megalitikum Arca Manusia Belumai merupakan situs purbakala terakhir yang kami kunjungi di desa Belumai. Berada tak jauh dari lokasi Situs Kubur Batu Belumai, berada juga dalam kebun kopi milik masyarakat. Objek ini berupa arca manusia yang sedang membawa nekara, terbuat dari batuan kapur. Cukup menarik, jalan masuk ke arah arca di tandai dengan beberapa batu besar yang berbaris lurus.

Arca Batu Manusia Belumai

Arca Manusia Belumai berfungsi sebagai sarana pemujaan terhadap arwah leluhur. Dipahat di bongkah batu kapur dengan menggunakan pahat logam (penelitian memperlihatkan, walaupun masih pada masa megalitikum, tetapi manusia telah mengenal peralatan yang terbuat dari logam). Di dekat arca terdapat batu dakon berdiameter 80 cm dan sebuah batu bulat berdiameter kurang lebih 20 cm. Batu dakon adalah batu yang berlubang, fungsinya untuk meramu obat dan tempat saji, sedangkan batu bulat berfungsi sebagai penutup lubang batu dakon itu.

Batu dakon dan batu penutupnya, di dekat Arca Manusia Belumai

Secara pribadi, aku tidak begitu terasa aura mitisnya di situs ini, berbeda dengan Situs Batu Gajah dan Situs Kubur Batu yang kami kunjungi sebelumnya. Pada kedua situs sebelumnya, sangat terasa sekali ada bersit-bersit yang bersifat imajinatif, semacam katarsis pelepasan diri yang membawa kita ke suatu ruang dan masa yang sangat jauh.

SITUS CAGAR BUDAYA TEGUR WANGI

Bangunan komplek arca

Hari telah begitu sore ketika kami tiba di Situs Tegur Wangi. Hari juga semakin dingin, apalagi kami memang sudah begitu dekat dengan kaki Gunung Dempo (3154 mdpl). Pun, hampir-hampir kami mengarah ke gunung tertinggi keempat di Sumatera ini. Di sebuah simpang tiga, telah kami mengarah ke kanan, arah ke Gunung Dempo, karena masih ada keraguan, kami pun bertanya kepada ibu-ibu penjual buah-buah di dekat simpang itu. Dari ibu itu kami tahu, jika kami salah memilih arah.

Lokasi Situs Cagar Budaya Tegur Wangi relatif mudah dijangkau, berada di dekat jalan raya yang beraspal hotmix mulus, yang akan memudahkan orang-orang untuk mengunjunginya. Saat kami tiba, areal persawahan baru memulai masa tanam baru. Lagi-lagi situasi ini membuat kami bisa menikmati sebaran batu-batu yang ada tanpa halangan

Sebaran batu


Sebaran batu

Sama seperti Situs Batu Gajah, Situs Purbakala Tegur Wangi berada di areal persawahan, juga merupakan situs dengan sebaran batuan purba yang cukup luas. Namun, untuk ukuran, batu-batu yang tersebar di situs ini jauh lebih besar dibandingkan dengan yang ada di Situs Batu Gajah.

Tak tertutup kemungkinan batu-batu itu berasal dari letusan besar Gunung Dempo pada suatu masa. Dari luasan kaldera di puncak Dempo sendiri menunjukkan, bahwa gunung itu pernah meletus dengan begitu dahsyat.

Kubur batu

Deretan arca

Dari kejauhan, di bawah atap bangunan komplek arca terlihat sepasang sejoli tengah duduk mesra. Namun kedua orang ini pun segera meninggalkan lokasi dengan kedatangan kami. Hm, masa pacaran di dekat benda-benda tua dan dikitari banyak kuburan? Ya, uda, itu aja, hanya sebuah intermezo kecil.

Deretan arca

Objek-objek terpenting di sini adalah sebaran kubur batu dan satu komplek arca manusia. Kubur batu semuanya tersusun dari batuan andesit, sedangkan arca-arcanya dipahat dari bongkahan batu kapus. Kubur-kubur batu di sini juga hanya diberi berpagar atau tidak diatapi.

KEMBALI KE KEPAHIANG

Lelah dan haus setelah memuaskan diri menyaksikan kebesaran karya-karya agung masa lampau, sebelum kembali ke Kepahiang, kami beristirahat sejenak di “Cafe Nongkrong” di dekat alun-alun Kota Pagar Alam.

Suasana di Cafe Nongkrong, Alun-Alun Kota Pagar Alam

Di kafe kecil bersuasana begitu nyaman itu, aku menikmati kopi yang sangat enak. Sebagai orang yang minum kopi tentu saja aku paham bagaimana kopi yang enak itu. Penasaran dengan rasa kopi itu, hingga membuat aku pun tergerak untuk bertanya kepada pemuda yang melayani kami. Kopi apa dan merk apa yang mereka sajikan kepada kami itu. Jawabannya? Tidak begitu mengagetkan dan memang sebuah jawaban yang sudah kita tebak, itu adalah kopi asli Pagar Alam. 

Pantas. Mantap sekali rasanya.

Petang usai, malam pun menggulir, Pagar Alam harus kami tinggalkan. Dan, di regukan akhir kopi Pasemah yang sangat enak itu, aku akhiri catatan perjalananku ini di sini.

Kepahiang, 13 Desember 2019

Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "CATATAN PERJALANAN: DARI GYUGUN KE MEGALITIKUM KEBUDAYAAN DEMPO (BAGIAN II)"