Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TAMBO KEJAI (BAGIAN 1)



I. Penan Bagiak Mbago Bagai (Tempat Membagi Adat Lembaga)

Di zaman Mojopahit, adalah seorang raja yang sudah tua, mempunyai tujuh orang anak. Ketujuh anak itu laki-laki semuanya. Yang bungsu bernama Raden Cetang. 

Suatu ketika, Raja mengumpulkan ketujuh anaknya untuk meninggalkan wasiat. Wasiat raja itu ialah jika ia telah wafat kelak, penggantinya yang memegang pemerintahan adalah anaknya yang bungsu bernama Raden Cetang.

Raden Cetang adalah anak yang luar biasa. Bila dilihat sifatnya, ia adalah seorang yang pemalas. Bentuk badannya buruk, pendek, telinga selebar teleng (penampi beras), pusat selebar gendang. Tiap hari kerjanya selain melamun, ia itu penidur. Oleh sebab itu saudara-saudaranya mengejeknya dengan gelar RATU TURU.

Saudara-saudaranya yang berenam sangat benci kepadanya. Apalagi setelah mereka tahu bahwa Raden Cetang ini akan menggantikan ayahnya menjadi raja pada kerajaan Mojopahit. Mereka berusaha untuk melenyapkan Raden Cetang dari kerajaan Mojopahit. Bahkan mereka pernah merencanakan untuk membunuhnya. Mereka berpendapat bahwa di antara saudara-saudaranya yang berenam inilah yang patut menjadi raja.

Raden Cetang, walaupun kelihatannya seperti orang bodoh itu, sebenarnya memiliki watak dan kecerdasan yang luar biasa. Ia dapat memaklumi isi hati saudara-saudaranya. Perasaan dengki dan niat jahat saudara-saudaranya ini diketahuinya juga.

Ketika saudara-saudaranya sedang berkumpul, Raden Cetang meminta izin kepada mereka untuk pergi berdarmawisata keluar kota.

Pernyataan ini disambut baik oleh saudara-saudaranya, karena dengan bepergian seorang diri ini mungkin Raden Cetang tidak akan kembali lagi.

Dengan menyandang busur lengkap dengan anak panahnya, berangkatlah ia memudiki sebuah sungai yang bernama Sungai Bado. Di kiri-kanan sungai itu hutan semak yang tidak terlalu lebat.

Sepanjang perjalanan tak pernah ia menemui burung untuk dijadikan sasaran anak panahnya. Makin ke hulu hutan itu sangat indah. Sejauh mata memandang belukar itu ditumbuhi oleh beraneka macam bunga-bungaan. Seolah-olah sebuah taman yang dipelihara oleh bidadari dari kahyangan.

Dalam keterlenaan mengagumi taman yang indah itu, ia terkejut mendengar suara yang aneh. Suara itu seperti ada beberapa orang yang sedang memperbincangkan sesuatu. Kadang-kadang diselingi dengan tawa riang.

Pada mulanya Raden Cetang merasa takut. Apakah ia salah dengar. Mungkinkah di dalam hutan ini ada manusia ? Ia mulai berjalan dengan mengendap-ngendap. Dicarinya arab dari mana datangnya suara itu. Ia berhenti dengan tiba-tiba setelah melihat tidak jauh dari tempat
persembunyiaannya ada suatu tempat yang terang benderang.

Tidak salah penglihatannya. Di atas sebatang pohon beringin yang tumbuh di antara batu-batu besar, beberapa orang dewa dan bidadari sedang duduk pada dahan beringin dan bermusyawarah. Dengan hati-hati Raden Cetang menghampiri tempat itu lebih dekat lagi agar dapat mendengar pembicaraan dewa-dewa itu dengan jelas.

Salah seorang dari dewa-dewa itu (Raja Dewa) berkata: "Tidak salah lagi Raden Cetang itulah yang patut menggantikan raja Mojopahit'.

Dewa yang lain berkata pula: "Bagaimanakah caranya mengatasi saudara-saudaranya yang berenam itu?"

Yang lain menjawab pula: "Ada akal. Kita adakan nang-nang (teka-teki). Siapa di antara mereka yang dapat menjawab nang-nang itu, ialah yang akan menjadi raja. Untuk itu marilah kita bersama-sama memikirkan apakah nang-nang yang akan kita berikan itu."

Jawab Raja Dewa: "Baiklah. Pada malam ke 13 bulan depan kita berkumpul lagi di tempat ini untuk menetapkan nang-nang." Setelah permufakatan selesai, satu per satu dewa dan bidadari itu terbang ke langit. Raden Cetang menarik nafas panjang setelah para dewa itu hilang dari pandangannya.

Kesempatan yang baik ", katanya dalam hati. 

Ia melangkah lagi ke depan, ke bawah pohon beringin tempat para dewa bersidang tadi. Betapa ia kaget, melihat di bawah beringin itu terdapat sembilan tumpuk sampah sirih. Tiap-tiap tumpuk hampir sebesar bukit. Jadi dewa itu berjumlah sembilan orang. Dan tempat ini
telah lama mereka pergunakan untuk tempat bercengkerama dan berunding.

Dalam serambak tempat ini disebut :

Wingin culo watu
Das peak sembilan tambun
Penan diwo bedelomok
Duwate becelutau
Nak Padang Gersik Bulan

Artinya:

Beringin di atas batu.
di atas ampas sirih sembilan tumpuk
tempat dewa berunding
dewata bermufakat
di Padang Gersik Bulan.

Raden Cetang memutuskan sebelum tanggal 13 bulan depan ia akan mendahului datang ke tempat itu dan bersembunyi di bawah sampah sirih itu. Dengan demikian ia akan dapat mendengar percakapan para dewa lebih jelas.

Ia terus mengitari sekitar taman yang indah itu. Dalam ke heran-heranan melihat taman yang indah dan serba teratur itu, ia berbicara sendiri menanyakan siapa yang mempunyai taman ini dan taman apa namanya.

Tiba-tiba seekor burung terbang dan hinggap pada ujung jari kakinya lalu berkata: "Daulat tuanku. Inilah taman Ratu Bermani, yaitu taman tuan sendiri. Dimana tuan memerintah nanti, tuan akan digelari Ratu Bermani.

Setelah mendengar penjelasan burung itu ia meneruskan perjalanan pulang. Lega hatinya setelah mendapat keterangan dan data-data yang seolah-olah suatu ilham baginya. Setibanya di rumah, terus masuk kamar dan tidur. Penemuannya itu dirahasiakannya terhadap saudara-saudaranya.

(bersambung)

Dikutip tanpa perubahan redaksi dan pembagian kisah, dari sumber: 

Tambo Kejai, sebagaimana yang disusun oleh Djalaluddin, dalam Tambo Kejai. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1979.

Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "TAMBO KEJAI (BAGIAN 1)"