Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TAMBO KEJAI (BAGIAN 3)

ilustrasi

IV. KUBUAK HUKUM (Tak dapat menghukum)

Di bawah pemerintahan Raden Cetang Kerajaan Mojopahit mulai teratur kembali. Pemerintahan berjalan dengan lancar. Keadilan terasa sempurna. Kehidupan rakyat makmur. Seluruh lapisan masyarakat merasa puas karena dapat menikmati arti keadilan dan kemakmuran yang sebenarnya.

Lain halnya dengan saudara-saudaranya yang berenam. Perasaan dengki dan dendam tak hendak luput dari benak mereka. Setiap saat dan waktu mereka mencari ikhtiar untuk menjatuhkannya. Dengan jalan mengkhianati,mencemarkan nama baiknya dan sebagainya.

Melihat keadaan saudara-saudaranya yang makin hari makin nyata usahanya mereka menggulingkannya, maka Raden Cetang memutuskan untuk mencoba saudara-saudaranya memegang pemerintahan. Dimintanya kepada saudaranya yang tertua untuk memegang pemerintahan buat sementara, karena ia akan beristirahat. Ia akan bertamasya keluar kota untuk mencari hiburan. Permintaan ini disambut oleh saudara sulungnya dengan gembira. Ia mengharapkan dalam hatinya semoga Raden Cetang tidak akan kembali lagi.

Raden Cetang berangkat menuju ke sebuah danau. Di sana kerjanya memancing ikan. Di pinggir danau itu dibuatnya sebuah pondok untuk tempat berlindung.

Sepeninggal Raden Cetang, banyaklah terjadi huru-hara di kerajaan. Persengketaan rakyat tidak dapat diadili dengan sempurna. Suatu hari, ada dua orang ibu bersama-sama ke air ( ke sungai) hendak mencuci pakaian. Masing-masing membawa seorang anak perempuan yang sebaya, sama besar dan hampir serupa parasnya. Kedua anak itu baru pandai duduk.

Setibanya di tepian, masing-masing anak itu didudukan di atas batu di pinggir sungai. Kedua ibu mencuci pakaian sambil bercakap-cakap dengan asyiknya.

Tiba-tiba salah seorang anak itu jatuh ke dalam sungai dan hanyut di air yang deras lagi dalam itu.

Ketika mereka tahu peristiwa itu, mereka saling bertanya: "Anak siapakah yang hanyut ?"

Yang seorang menjawab: "Anak kamu. Ini anakku masih ada ".

Kata yang seorang lagi: "Bukan. Ini anakku. Anakmulah yang hanyut itu"

Terjadilah pertengkaran sejadi-jadinya di tepian itu. Mereka saling memperebutkan anak yang seorang itu. Akhirnya mereka mengambil keputusan akan mengadukan hal mereka kepada raja.

Di hadapan raja kedua perempuan itu saling bertahan, bahwa yang satu mengatakan anaknyalah yang tinggal ini, sedangkan yang seorang lagi mengatakan bahwa yang ini adalah anaknya.

Raja bingung. Tidak dapat ia memutuskan perkara ini. Sangat sukar untuk mengambil keputusan. Kedua perempuan beserta anak itu ditahan sementara dalam istana, karena raja beralasan akan mencari jalan damai. Raja memerintahkan hulubalang mencari Raden Cetang. Barangkali ia dapat mengadili peristiwa ini.

Setelah hulubalang mengangkat sembah, berangkatlah ia ke luar kota untuk mencari Raden Cetang. Sepanjang perjalanan ditanyakan kepada orang kampung, kalau-kalau ada yang dapat menjelaskan di mana tempat Raden Cetang, raja muda kerajaan Mojopahit.

Rakyat kampung pernah melihat Raden Cetang meliwati kampung-kampung beberapa minggu yang lalu. Arahnya menuju ke sebuah danau. Tapi setelah itu ia tak pernah muncul lagi.

Kebetulan di tepi sebuah danau kelihatanlah seorang yang sedang duduk di atas sebuah batu sambil memegang pancing. Memang benar, Raden Cetanglah yang sedang memancing itu. 

Hulubalang mengangkat sembah: "Wahai Tuanku, patik  diperintahkan untuk menjemput Tuanku, karena di istana ada suatu peristiwa, dua orang perempuan yang memperebutkan seorang anak. Sedangkan kakak sulung Tuanku yang mewakili menjadi raja tidak dapat memutuskan !!

Hulubalang itu menceritakan semua jalan terjadinya perkara.

"Baiklah", kata Raden Cetang. "Marilah kita pulang segera. Perkara yang semudah itu gampang saja diputuskan !!

Sesampai di istana, Raden Cetang memerintahkan kedua perempuan dengan anaknya supaya dibawa ke balai untuk diadili. Semua rakyat harus berkumpul untuk menyaksikan sidang pengadilan itu.

Raden Cetang menyuruh orang menelentangkan anak itu di atas meja yang terletak di tengah-tengah balai.

"Nah !" kata Raden Cetang sambil menghunus pedangnya. "Oleh karena anak ini kepunyaanmu berdua, terpaksalah anak ini dipotong menjadi dua bahagian yang sama untuk dibagikan kepadamu berdua".

Ketika Raden Cetang mengangkat pedangnya untuk memotong anak itu, salah seorang dari perempuan itu merebahkan badannya ke atas meja. Sambil menangis ia berkata: "Jangan dipotong anak itu Tuanku.Berikanlah ia kepada perempuan itu. Potonglah aku sebagai pengganti anak ini ".

Perempuan yang seorang lagi tidak bergerak dari tempatnya menunggu hukuman raja.

Dengan siasat yang demikian, Raden Cetang dapat mengambil keputusan, bahwa perempuan yang sanggup menggantikan hukuman itulah sebenarnya yang mempunyai anak tersebut.

Akibat peristiwa ini, saudara sulung diturunkan dari singgasana karena Kubuak Hukum (tidak dapat menghukum).

Selanjutnya pemerintahan diserahkan kepada saudaranya yang kedua, karena Raden Cetang akan melanjutkan istirahatnya di luar kota. Satu demi satu saudara Raden Cetang mengalami peristiwa yang sulit, diakhiri dengan Kubuak Hukum, dan dipecahkan oleh Raden Cetang.

Sampai kepada giliran saudaranya yang keenam (yang terakhir), Raden Cetang menyatakan bahwa ia akan pergi jauh dan mungkin tak akan kembali lagi. Dinasehatinya agar saudaranya memerintah dengan baik dan berlaku adil.

"Peganglah nasehat : Raja adil raja disembah, tak adil raja disanggah", kata Raden Cetang


V. PUTERI SERIMBANG BULAN (PUTERI SENGGANG)

Raden Cetang teringat janji dengan seorang perempuan tatkala mengikat janji di Luhmahfuz. Puteri itu bernama Puteri Serimbang Bulan.

Menurut perjanjian, mereka akan bertemu jodoh di dunia nanti. Sang puteri memberi pedoman, bahwa ia akan turun ke dunia nanti di hulu sungai yang airnya paling antan (berat).

Raden Cetang meninggalkan kerajaan Mojopahit.Ia menyeberang lautan dengan sebuah sampan. Arahnya ke barat menuju pulau Sumatera. Dari pantai Sumatera Selatan bahagian barat ia menyusur pantai terus ke utara dan menamai beberapa buah sungai yang bermuara ke laut. Tiap-tiap air sungai itu ditimbang beratnya.

Akhirnya ia menemui sebuah sungai yang airnya ternyata lebih berat dari yang lain. Bahkan (menurut pencerita) lebih berat dari air laut.

Dengan bertemunya air sungai itu akan ketahuanlah tempat kelahiran Puteri Serimbang Bulan. Dan sungai itu diberinya nama air Ketahun, kemudian akhirnya menjadi air Ketahun.

Dimudikinya air Ketahun. Semua anak sungai yang bermuara ke Air Ketahun ditimbang lagi beratnya, sampai akhirnya ia bertemu dengan sebuah anak sungai yang paling berat timbangannya. "Inilah air yang paling antan", katanya.

Selanjutnya air itu disebut air Antan dan akhirnya menjadi air Santan.

Dekat muara Air Santan ada sebuah ladang, yang didiami oleh seorang nenek.

Dihampirinya pondok di tengah ladang itu sambil memanggil-manggil siapa yang mempunyai ladang. Dari dalam pondok keluarlah nenek menjenguk orang yang memanggil-manggil.

"Silahkan ke pondok, Nak ", kata nenek setelah dilihatnya ada orang di pekarangan pondoknya.

Sambil mengucapkan terima kasih, naiklah Raden Cetang ke tangga yang terbuat dari bambu dan terus diajak oleh nenek masuk ke dalam pondok.

Raden Cetang tinggal bersama nenek di pondok itu, oleh desakan nenek untuk menemaninya. Nenek tersebut tinggal seorang diri di ladang yang terpencil itu. Beberapa bulan yang lalu suaminya meninggal. Jadi sekarang ia tinggal sebatang kara. Tidak ada teman bergurau, kawan berbicara atau lawan berunding, selain seekor kucing tua yang bersedia membersihkan rumahnya. Seekor ayam jantan kadang-kadang berkokok menyentakkan nenek dari lamunannya.

Tak jauh dari ladang nenek, ada sebuah kampung yang didiami oleh seorang bekas raja dari Pagaruyung. Namanya Raja Magek. Ia telah kawin dengan seorang perempuan anak Merejang Sawah.

Kampung ini bernama Kutai Ukem. Rajo Magek itulah yang memerintah kampung itu. Ia telah mempunyai tiga orang anak laki-laki. Yang seorang bernama Setio Kelawang, anaknya dengan Siti Rahmah, anak Merejang Sawah tadi. Sedangkan yang seorang lagi bernama Setio Sawang, adalah anaknya dari Pagaruyung, baru datang mencari ayahnya setelah ditinggalkan sejak kecil.

Kelak, empat orang anak Setio Kelawang mendiami lembah, yang sekarang dinamai dusun Ujung Tanjung. Itulah sebabnya sekarang di dusun Ujung Tanjung terdapat empat suku, yaitu Suku Muning Agung, Suku Tunggok Meriam, Suku Pantai Jeragan dan Suku Setio Bulen Tuai, Kepala Suku itu diwarisi secara turun temurun.

Pada saat itu isteri Rajo Magek akan melahirkan anak. Telah seminggu lamanya namun anak belum juga lahir. Telah banyak dukun yang dipanggil tapi tak satu pun obat yang mujarab. Sedangkan tanda-tanda akan melahirkan sudah ada.

Rajo Magek memerintahkan orang mencari kalau-kalau masih ada dukun yang belum dipanggil, atau siapa saja yang dapat membidani isterinya.

Melalui percakapan-percakapan orang kampung, ada seorang pendatang, entah dari mana, tinggal bersama nenek di ladang dekat muara Air Santan. Mungkin orang ini dapat menolong isteri Rajo Magek.

Beberapa orang disuruh oleh Rajo Magek untuk menjemput Raden Cetang, tetapi ia menolak karena ia tak dapat membidani orang bersalin.

Rajo Magek sangat gelisah hatinya, ia sendiri pergi menjemput.

Pada mulanya Raden Cetang tetap menolak permintaan Rajo Magek. Beberapa alasannya tidak dihiraukan oleh Rajo Magek.

Akhirnya Raden Cetang mengalah karena Rajo Magek menetapkan suatu perjanjian. Kalau anak itu nanti laki-laki maka Raden Cetang boleh mengambilnya menjadi anak atau budak yang akan menjadi pembawa buntil. Jika anak itu perempuan, maka anak itu akan dijodohkan dengan Raden Cetang kalau sudah dewasa kelak.

Berangkatlah mereka menuju ke rumah Rajo Magek. Raden Cetang mengeluarkan ramuan obatnya. Dengan obat dan isyarat yang mustajab, lahirlah seorang anak perempuan. Anak tersebut telah menampakkan bakat wajah yang cantik, laksana bulan purnama. Diberilah namanya ketika itu juga Puteri Serimbang Bulan. Tapi orang dusun sering memanggilnya Puteri Senggang, karena kelahirannya tersenggang beberapa lama hingga saat dibidani oleh Raden Cetang.

(bersambung)

Dikutip tanpa perubahan redaksi dan pembagian kisah, dari sumber:
Tambo Kejai, sebagaimana yang disusun oleh Djalaluddin, dalam Tambo Kejai. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1979
.
Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "TAMBO KEJAI (BAGIAN 3)"