Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TAMBO KEJAI (BAGIAN 5)

Ilustrasi

VIII. KEJAI

Mengingat segala bahan telah terkumpul, Rajo Magek mengumumkan bahwa bimbang gedang akan dimulai pada malam purnama bulan depan.

"Raden, bagaimanakah bentuk dan corak perhelatan yang akan kita laksanakan ini? Adakah Raden mempunyai suatu rencana?" kata Rajo Magek ketika mereka sedang berunding untuk merencanakan acara perhelatan.

"Kejai", jawab Raden Cetang dengan singkat.

"Apakah Kejai itu dan bagaimana pula cara-caranya?"

"Adat dan cara Kejai ada di Wingin culo watu, dak peak sembilan tambun, penan diwo becelumok, duwate becelutau, nak Padang Gersik Bulan", jawab Raden Cetang menjelaskan.

"Kalau begitu, baiklah kita jemput adat dan cara kejai itu. Akan saya perintahkan ananda Setio Mengar untuk mengambilnya. Tak baik ananda Raden pergi jauh. Banyak nahas kalau sedang jadi penganten".

Demikian, Setio Megar diutus keseberang laut untuk mengambil adat dan cara kejai. Setio Mengar adalah anak laki-laki kedua Rajo Magek dengan Siti Rahmah.

Tiba di Wingin culo watu, para dewa mengatakan bahwa adat dan cara kejai untuk Bermani telah dibawa ke Mojopahit. Setio Mengar berangkat ke Mojopahit. Di Mojopahit didapatinya penjelasan, bahwa adat dan cara kejai untuk Bermani telah dibawa oleh Raden Cetang ke seberang laut. Entah di mana ia sekarang mereka tak tahu.

Mendengar penjelasan ini, kembalilah Setio Mengar ke Kutai Ukem dekat Muara Santan. Langsung dilaporkannya kepada ayahnya, bahwa adat dan cara kejai telah dibawa dan disimpan oleh adinda pengantin (Raden Cetang).

Rajo Magek menyampaikan berita ini kepada Raden Cetang dan memohon agar adat dan cara kejai itu dikeluarkan. 

"Janganlah Raden hendak menyusahkan kami juga. Bukankah perhelatan kita sudah dekat waktunya ?"

"Kalau begitu, baiklah", kata Raden Cetang sambil  menggores pusatnya yang selebar gendang itu dengan ujung kerisnya. Keluarlah dari dalam pusat selebar gendang itu segala macam/bentuk adat istiadat, seperti adat semendo, adat beleket, adat caro bekutai natet dan cara-cara kejai.

Adat semendo adalah peraturan-peraturan tentang tata kedudukan/status seorang laki-laki terhadap mertua. Ada beberapa macam adat semendo, yaitu semendo rajo-rajo, semendo an (lama), semendo menangkap burung terbang semendo dari bubung ke bubungan.

Kalau seseorang berstatus semendo rajo-rajo misalnya, maka laki-laki itu akan tinggal di rumah mertuanya sebagai seorang raja. Segala hasil pencahariannya mutlak menjadi miliknya. Kalau ia meninggalkan rumah mertua, semua hak miliknya itu boleh dibawanya.

Lain halnya dengan semendo menangkap burung terbang. Selagi lelaki itu masih di rumah mertuanya, boleh ia menikmati hasil pencahariannya. Tetapi kalau ia hendak turun dari rumah itu (pulang ke rumah orang tuanya) atau dengan perkataan lain tidak akan tinggal bersama mertuanya lagi, maka ia harus turun dari rumah itu seperti halnya datang dulu. Ia tidak berhak membawa segala hak milik yang diperolehnya selama di rumah mertuanya itu.

Adat beleket ialah seorang perempuan setelah kawin harus mengikuti suaminya. Pelaksanaannya seolah-olah sang perempuan dijual oleh saudaranya yang laki-laki. Jangankan pulang, menghadap muka ke rumah orang tuanya pun tidak boleh. Perempuan itu tidak berhak lagi menerima hak waris dari pihak orang tuanya.

Dengan lahirnya adat dan cara kejai itu, resmilah permulaan dan pembukaan kejai pertama dalam daerah suku Rejang. Menurut cara yang lelaki dan penari perempuan tidak boleh semarga. Satu marga berarti ditetapkan, kesenian kejai diiringi dengan gong kelintang dan dep. Penari satu keturunan biku.

Di daerah Lebong umpamanya, dibagi atas empat marga. Tapi untuk adat kejai yang diakui hanya tiga bahagian marga. Yaitu pertama Marga Bermani Juru Kalang, yang asalnya dahulu terjadi dari dua biku, kedua Marga Suku VIII/Suku IX dan ketiga Marga Selupuh Lebong. Namun demikian, kalau ada tamu yang akan menari datang dari luar daerah Lebong ini, maka marga yang ketiga itu tidak boleh saling berhadapan lagi.

Jumlah penari tidak terbatas. Bergantung kepada luasnya balai. Jumlah penari lelaki dan perempuan tidak harus sama banyaknya. Posisi penari berbaris lurus, berhadap-hadapan, dibatasi dengan kayu penyukung (garis tengah balai), sebuah tiang tengah balai.

Pada tiang tengah balai itu diikatkan bermacam-macam benda upacara, seperti tombak betepang, keris pendok, pedang, sirih pinang dengan gagangnya, tebu dan lain-lain.

Sebelum menari, penari lelaki minta izin kepada tua bujang, penari perempuan kepada tua gadis, dan menanyakan apakah ia boleh menari atau tidak. Kalau tidak ada hubungan keturunan tentu dibolehkan. Setelah diberi izin masuklah mereka ke balai dan mulailah mereka menari.

Gerakan yang pertama adalah menyembah kepada inang bati. Kemudian diteruskan dengan menari. Penari lelaki mengayunkan tangan dari samping kanan, kemudian menyusun jari di depan perut sebelah kiri. Sedangkan penari perempuan memegang setang, yaitu selendang yang diampaikan di punggung.

Ketika penari lelaki mengayunkan (menadahkan tangan) setinggi bahu, penari perempuan mengikutinya dan tak lama kemudian kembali memegang setang.

Setelah beberapa lama mundur maju, lalu bertukar tempat. Ketika melewati sukung, masing-masing penari mematah dayung.

Pada pertengahan menari, hampir pada pertukaran tempat yang kedua, tiba-tiba semua alat bunyi-bunyian dihentikan, penari pun duduk bersimpuh karena akan diadakan sambei andak, yaitu semacam pantun yang bersahut-sahutan. Isi sambei menceritakan suka duka penghidupan di dunia.

Setelah bersahut-sahutan kira-kira dua atau tiga kali, gong kelintang berbunyi lagi dan menari pun diteruskan.

Tidak setiap menari diadakan sambei andak. Biasanya apabila akan dilaksanakan sambei andak ini lebih dahulu ada persetujuan antara kedua pihak penari. Sebelum menari diumumkan, bahwa dalam tarian yang akan berlangsung itu ada sambel andak.

Maka bersiap-siaplah para petugas peralatan menyediakan tikar, pesanggen (sebangsa baki buah-buahan), lengkap dengan sirih sekapurnya, dan sebuah kipas untuk tiap pasangan yang akan digunakan untuk penutup muka ketika menyambei nanti.

Kadang-kadang sambei itu dilanjutkan dengan serambak, yang isinya tentang tambo atau silsilah. Acara serambak ini sering mengakibatkan salah satu pihak tidak dapat menjawab. Hal yang demikian itu dianggap kalah.

Pada hari yang ketiga atau keempat, turunlah anok sangai. Menurunkan anok sangai dari rumah kediamannya ke balai diiringi dengan kelintang acak, yaitu gong kelintang yang dibunyikan sambil berjalan. Arakan ini dikawali oleh beberapa orang pengawal dengan bersenjata pedang dan keris terhunus.

Jalan yang akan dilalui oleh anok sangai harus ditutup dengan tikar permadani atau yang sejenis dengan itu. Anok sangai akan berhadapan menari dengan salah seorang tamu yang dianggap sepadan, umpamanya anak pangeran, atau anak orang ternama lainnya.

Anok sangai boleh diartikan anak yang disayangi (mungkin inilah asal katanya). Sebab dikatakan demikian, karena pelayanan terhadap anok sangai sangat diutamakan. Apalagi anok sangai yang datang dari marga lain (tamu). Anok sangai beserta inang batin, tua bujang dan tua gadisnya dijamin oleh pelaksana kejai baik makanan maupun keselamatannya.

Apabila para tamu menginap di suatu ramah penduduk, maka tamu itu dijemput oleh bujang gadis, dari dusun yang mengadakan kejai. Penjemputan itu lengkap dengan sirih pinangnya (iben penaok = sirih penyapa).

Penjemput mengunjukkan sirih penyapa dan mulailah menyerambak:

"Ade iben kembuk ba iben,
Iben ade depicik nik, pinang ade depiok alus,
Temotoa adat istiadat, bekutai benatet, bekorong bebekapung,
Lamen ade mendeak besimeak,
Su ang beduai buliak nadeak, pat belemo buliak mbilang mun juak
Iben ngen pinang.
Adat ati ade da kelabua, rian ati ade da kelomon,
adát gimasiak nakei, rian gimasiak tenunggau,
Tapi sayup na ba kute, sep na ba sado.
Coa kulo sayup magea rambok bilang, coa kulo sep magea rambok kecek,
Sayup na magea mas pitis, sep na magea rto bendo.
Tebito kundei luca rureak, tebakar kundei luea kuto,
Ade mendeak besimeak lok temarap uleak penyuseak,
Mako munjuak iben pinang, iben penaok,
Tando arok tando suko.
Mujua magea keme, malang mage kumu o ".

Terjemahaannya :

"Ada sirih makanlah sirih,
Sirih ada secarik kecil, pinang ada sekikis halus,
Menurut adat istiadat, berkutai berkampung halaman,
Jika ada tamu datang.
Seorang atau berdua boleh dikata, empat berlima boleh dibilang,
Mengunjukkan sirih dengan pinang.
Adat belum ada yang samar/hilang, belum juga ada yang tercemar,
Adat masih dipakai, juga masih ditaati,
Tetapi semuanya segala berkurang.
Tidak pula kekurangan pada tutur bahasa,
Kurangnya pada mas dan uang, harta benda.
Terberita dari luar lurah, terkabar dari luar kampung,
Ada tamu yang akan menyertai perhelatan
Makanya diunjuk sirih pinang, sirih penyapa,
Tanda harap dan tanda suka.
Mujur (bergembiralah) kami, sungguh malang bagi kalian."

Selesai si penjemput berserambak maka dijawablah oleh tamu dengan serambaknya pula.

Biasanya serambak ini bersahut-sahutan, saling mengeluarkan kepandaiannya menyerambak. Serambak itu kadang-kadang diselingi dengan teka-teki dan permintaan-permintaan yang diucapkan dengan serambak berupa ibarat, sehingga tidak jarang salah satu pihak tidak dapat mengartikannya, sehingga para tamu yang dijemput belum berkenan pergi ke balai kejai.

Melihat hari telah petang, sedangkan penjemput belum juga pulang, maka pergilah orang yang dianggap cakap untuk menyongsong, karena orang telah tahu bahwa penjemput yang tadi telah terdesak kata.

Karena bantuan penyongsong tadi, maka terdapatlah kata sepakat dan tamu pun berkenan untuk pergi ke balai kejai untuk menari.

Selain sambei andak yang dilakukan pada pertengahan menari, ada lagi sambil yang dilakukan pada malam akhir kejai. Sambei itu bernama sambei gandei. Kalau pada sambei andak isinya hanya beriba-iba tentang kehidupan di dunia, maka sambei gandei adalah berisi tentang riwayat dan tambo, yang diselingi dengan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya menguji lawan. Apabila seseorang terdesak jawaban, maka dibantulah oleh orang di belakangnya. Bantuan ini kadang-kadang hanya dengan berbisik-bisik, kadang-kadang dengan suara keras. Pihak yang lain tidak mengetahuinya, karena lawannya menyambei tadi masih menutup muka dengan kipas. Masih disangkanya yang itu jugalah yang menjawab sambeinya itu.

Apabila sambei selesai dengan kata sepakat, maka diadakanlah acara mengisi buluh lemang yang dilakukan oleh bujang gadis. Tetapi bila sambei gandei tidak mendapat kata sepakat, maka tuan rumah (yang mendirikan kejai) didenda dengan menunda-penutupan kejai tiga hari lagi.

Demikianlah pelaksanaannya, masing-masing harus tunduk kepada adat istiadat. Siapa yang merasa dirinya kalah harus/mungkin didenda.

Kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para peserta didenda dengan sepasang punjung, yaitu sepiring punjung ketan (serawo) dan sepiring punjung nasi yang ditumpukkan pada piring seperti setengah bola, atau diganti dengan uang empat rupiah (maksudnya rupiah emas).

(bersambung)

Dikutip tanpa perubahan redaksi dan pembagian kisah, dari sumber:
Tambo Kejai, sebagaimana yang disusun oleh Djalaluddin, dalam Tambo Kejai. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1979.

Ikuti Juga:

Tambo Kejai (Bagian 1)
Tambo Kejai (Bagian 2)

 

Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "TAMBO KEJAI (BAGIAN 5)"