CERITA RAKYAT REJANG: ASAL-USUL DANAU TES
![]() |
ilustrasi, by AI |
Di balik gugusan bukit yang diselimuti kabut pagi dan hutan lebat yang seakan menyimpan rahasia masa silam, berdirilah sebuah dusun tua bernama Kutei Donok—wilayah yang kelak dikenal sebagai Lebong. Di dusun itu, hidup seorang lelaki bersosok tegap, rambut memutih, dan mata tajam bagai mata elang. Namanya Jarung, tapi penduduk lebih mengenalnya dengan sebutan Si Lidah Pahit.
Julukan itu bukan tanpa alasan. Konon, setiap ucapan yang keluar dari mulutnya akan menjadi kenyataan. Bukan karena ia seorang dukun atau penyihir, tapi karena Tuhan sendiri, kata orang-orang, telah menitipkan kehendak alam lewat lidahnya. Karena itu, ia sangat berhati-hati berbicara. Lidahnya seakan disegel oleh kebijaksanaan yang dipupuk dari rasa takut akan akibat perkataannya.
Meski dihormati, orang-orang juga menjaga jarak. Banyak yang takut berbicara dengannya. Tapi bagi anak semata wayangnya, Darem, Jarung adalah ayah yang penuh kasih, penyayang, dan tak pernah meninggikan suara. Mereka hidup berdua sejak istri Jarung meninggal saat Darem masih bayi.
Suatu pagi, ketika embun masih menetes di ujung daun, Jarung memandangi pegunungan Baten Kawuk. Di sanalah ia berniat membuka sawah. “Tanah di sana subur, dan aku sudah bermimpi tiga kali tentang tempat itu,” katanya kepada Tuai Adat dalam sebuah pertemuan balai. Setelah mendapat restu adat, ia mulai bersiap.
Sebelum berangkat, ia memeluk Darem erat. “Anakku, tetaplah di rumah. Jaga api tungku dan jangan memanjat pohon seperti biasanya.”
“Baik, Ayah,” jawab Darem. Ia tidak tahu bahwa pelukan pagi itu akan menjadi yang terakhir.
Dengan membawa kapak warisan ayahnya, parang tajam, dan cangkul berat, Jarung berjalan menembus hutan menuju Baten Kawuk. Setibanya di sana, ia mulai menebang pohon, membabat semak, dan mencangkul tanah keras. Hari pertama berjalan lancar. Hari kedua, ia sudah membuka setengah hektar lahan. Ia merasa kuat, yakin lahan satu hektar bisa rampung dalam sepekan.
Namun, apa yang tak disadarinya, tanah hasil cangkulannya ia buang ke Sungai Air Ketahun. Tanpa ia sadari, gundukan tanah itu mulai menumpuk dan membendung aliran sungai.
Sementara itu, di Kutei Donok, para tetua adat mulai gelisah. Mereka melihat aliran Air Ketahun yang mulai meluap. Ikan-ikan terdampar di pinggiran, dan air menggenangi beberapa ladang. Setelah bermusyawarah, mereka memutuskan harus menghentikan Jarung sebelum bencana datang.
Namun, tak seorang pun berani menghadapnya dengan larangan langsung. Mereka tahu, jika Jarung merasa dihina atau ditantang, satu kalimat bisa membawa musibah. Maka, muncullah rencana licik: menyampaikan kabar bohong bahwa anaknya, Darem, telah meninggal dunia.
Tiga utusan adat berjalan kaki menuju Baten Kawuk. Mereka mendapati Jarung sedang mencangkul di bawah sinar matahari siang yang terik.
“Lidah Pahit, kami datang membawa kabar duka,” kata salah satu dengan suara berat.
Tanpa menoleh, Jarung menjawab, “Apa yang begitu duka hingga kalian berjalan sejauh ini?”
“Anakmu... ia jatuh dari pohon, kepalanya membentur batu. Ia sudah tiada,” ujar yang lain.
Tangannya yang mencangkul tiba-tiba terhenti. Nafasnya tertahan. Tapi setelah beberapa detik, ia menggeleng pelan. “Itu tidak mungkin. Darem anak yang cermat, dan sebelum aku berangkat, aku telah berkata padanya agar tidak memanjat.”
“Kami menyaksikan jenazahnya sendiri,” desak utusan.
Jarung menatap mereka dengan mata mencurigai. “Pergilah. Aku tak percaya pada lidah kalian.”
Utusan pun kembali ke dusun dengan tangan hampa. Tapi mereka tidak menyerah. Dua hari berikutnya, kelompok kedua dikirim. Lalu kelompok ketiga. Namun hasilnya tetap sama: Jarung menolak percaya.
Akhirnya, ketua adat sendiri turun tangan. Ia membawa seluruh tetua adat dan pemuka masyarakat. Ketika rombongan itu tiba, Jarung terdiam. Ia menghormati para sesepuh.
“Kami tak ingin berdusta padamu, Jarung. Tapi anakmu telah pergi. Kami harap kau pulang dan menguburnya dengan tenang.”
Kata-kata itu menembus ke dalam hatinya. Jarung mematung, lalu berbisik lirih, “Jika kalian yang mengatakan... aku percaya.”
Ia menunduk, mencangkul satu kali, dua kali, tiga kali. “Aku akan menyelesaikan beberapa ayunan lagi, lalu pulang.”
![]() |
Ilustrasi by AI |
“Tidak...” bisiknya lirih, lalu berubah menjadi teriakan penuh amarah. “TIDAK!!!”
Dengan murka dan putus asa, ia mencangkul tanpa kendali. Air sungai memercik, tanah bertambah menumpuk, suara cangkul menghantam bumi bersaing dengan raungan duka seorang ayah.
Langit mendung. Hujan turun seketika. Sungai Air Ketahun meluap deras, dan dari gundukan tanah itu, terbentuklah cekungan besar. Air tergenang, dan tak pernah surut. Dalam waktu singkat, tempat itu berubah menjadi danau luas.
Jarung pulang dalam hujan, tubuhnya penuh lumpur dan luka. Di rumah, ia mendapati anaknya terbujur kaku. Darem benar-benar jatuh dari pohon pagi tadi. Kepalanya terbentur batu. Orang-orang yang menyusun kebohongan itu tak tahu, bahwa ucapannya—yang mengiyakan kematian itu—telah mengunci takdir sang anak.
Jarung menangis semalaman. Tiga hari kemudian, ia hilang. Ada yang bilang ia menenggelamkan diri ke danau buatan tangannya. Ada pula yang percaya, ia menjadi roh penjaga danau, menyesali ucapannya seumur hidup.
Dan danau itu, hingga kini, masih ada. Orang-orang menyebutnya Danau Tes, saksi bisu dari kutukan seorang ayah yang lidahnya terlalu sakti... dan terlalu pahit.
Post a Comment for "CERITA RAKYAT REJANG: ASAL-USUL DANAU TES"
Berkomentarlah dengan bijak. Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus