Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KETIKA MENUNGGU MENJADI SEBUAH HUKUMAN

Salah satu adegan

Menunggu adalah Eksistensi?

Catatan kecil untuk pementasan "Pelukis dan Wanita" (naskah dan sutradara Adhyra Pratama Irianto) Teater Senyawa, Curup. Saya mengorbankan kegiatan pelatihan yang harus saya isi di sebuah lembaga pendidikan tinggi di Bengkulu, demi menyaksikan pementasan “Pelukis dan Wanita” (naskah dan sutradara Adhyra Pratama Irianto) yang disajikan oleh Teater Senyawa Curup. Lalu, saya kira pengorbanan saya pun tidak sia-sia, dengan sebuah kebahagiaan tersendiri saya pun bisa menyaksikan sebuah pementasan teater yang telah terencana dengan sangat baik.

Pementasan sendiri dilaksanakan di sebuah gedung pertemuan di Kota Curup. Tidak memiliki akustik ruang yang baik, sebagaimana gedung-gedung atau aula pertemuan lainnya, gedung ini jelas dibangun memang bukan direpresentasikan untuk pementasan teater. Namun, semangat dan keinginan untuk terus berproses, kiranya patut diberikan respek tinggi kepada kawan-kawan Teater Senyawa, bahwa tak ada sepetak tanah pun di bumi ini yang tidak bisa dijadikan panggung pementasan teater.

Dibuka dengan sebuah peristiwa realitas biasa, seorang wanita mendatangi sebuah galeri lukis dan minta dipotret kepada seorang pelukis pemilik galeri itu. Pengisahan selanjutnya mulai merambat perlahan menuju suasana surealistis. Alasan-alasan sepele, seperti salah cat atau penentuan komposisi sepertinya selalu menggagalkan usaha pelukis untuk melukis wanita. Alasan-alasan ini ternyata menjadi substansial bagi pelukis dan asistennya, yang menjadi alasan untuk selalu meminta kepada wanita harus menunggu. Namun, alasan-alasan itu juga dan keharusan menunggu ternyata menjadi sebuah suasana yang eksistensial bagi wanita. Menunggu telah menjadi sebuah hukuman.

Lumayan berat bobot tema yang diusung, walaupun dialog-dialognya masih bersuasana realisme yang jauh dari deskripsi puitik dan melankolik.

Suasana menunggu ini pun juga dialami oleh pelukis, dan asistennya. Pelukis menunggu cat, menunggu asisten. Asisten menunggu pelukis, menunggu wanita yang sendiri. Adegan yang mau menggambarkan, bahwa pada dasarnya dinamika kehidupan manusia merupakan sesuatu yang berputar secara giroskopik pada sumbunya, yakni pusat keinginan yang bernama menunggu. Pada akhirnya, baik pelukis, asisten dan wanita adalah manusia-manusia kesepian, di mana pencapaian kehendak-kehendak bisa membawa manusia ke suasana yang kehilangan makna, baik bagi dirinya maupun dunia. Pelukis-asisten-wanita akhirnya hanya bisa berhenti pada situasi ingin, karena untuk merealisasikannya harus menunggu banyak kelengkapan. Sebuah pelukisan yang dapat dilihat, bagaimana manusia dalam bingkai egois tak mampu lagi menemukan kebermaknaan dari kesederhanaan. Kesempurnaan yang seharus milik kelembutan hati telah direbut oleh - meminjam terminologi Nietzsche- hasrat kehendak berkuasa.

Mungkin seperti itulah yang mau disampaikan “Pelukis dan Wanita”. Ide-ide keabsurdan dicoba dituangkan oleh sutradara pada sebuah setting panggung yang minimalis dengan didominasi warna putih. Siapa yang mengira, bahwa menunggu hakikatnya bukanlah sebuah peristiwa biasa. Menunggu bukan lagi sebuah peristiwa diam dan menanti.

Saya sempat kesal, ketika menyaksikan satu adegan dimana wanita mencoba melawan kehendak-kehendak yang dipaksakan oleh pelukis untuk membuatnya dalam situasi menunggu. Di wilayah kiri depan panggung, Wanita pose hanya duduk diam, mematung, membiarkan lalu lalang percakapan antara pelukis dan asistennya yang sudah ia ketahui. Wanita bertahan untuk tidak diobyektiviskasi oleh pelukis. Namun, konstruksi adegan ini kemudian “hancur”, alih-alih wanita akan terus berpose diam hingga akhir adegan, namun ia melepaskan diri dari kediamannya itu lalu marah secara verbal sebagaimana adegan-adegan sebelumnya. Dari sisi prinsip dramaturgi, adegan ini telah hampir kehilangan sebuah keutuhan, empati penonton yang mulai mengalir kepada Wanita pun menjadi gagal atau memang digagalkan. Namun kemudian, saya mencoba menangkap, bahwa suasana destruktif ini memang telah direncanakan. Bahwa ketidakutuhan adalah keutuhan itu sendiri. Ini tindakan yang cukup berani, walau sadar atau tidak sadar sutradara telah menjadikan adegan ini memiliki bagian yang nyaris kehilangan frame-frame emotif yang "seharusnya" ditangkap oleh penonton.

Kemungkinan pesan-pesan itu semakin terproyeksi dengan adanya repetisi atau pengulangan-pengulangan peristiwa. Ada semacam ketegasan, bahwa dinamika kehidupan manusia sebenarnya adalah konstanta problematik. Perjalanan manusia yang bergerak lurus, simpang siur dan dinamis pada akhirnya akan membawa manusia ke titik mula yang selalu sama. Sebagaimana juga yang ditunjukkan wanita, keinginannya untuk mencari galeri lukis yang lain selalu menjebak langkahnya membawanya selalu ke galeri yang sama, untuk kembali bertemu dengan pelukis dan asistennya yang sama-sama menyebalkan. Kesebalan yang ia sadari dan akan dihadapinya, namun tak mampu ia hindari.

Sedikit yang nyaris menggugurkan “kekuatan” suasana “mencekam” dan teror bagi penonton, repetisi-repetisi ini ditampilkan dalam pengulangan-pengulangan adegan secara identik, baik pada karakter, suasana hingga pada dialognya. Tidak begitu terlihat adanya variabel pesan “baru” dalam masing-masing repetisi itu. Puncak-puncaknya terasa rendah, kurang saling melebihi tinggi dari lainnya. Mau tidak mau harus diakui, adegan-adegan mendatar ini memberikan gangguan kecil terhadap kesabaran penonton, alasan atau motivasi sutradara menyusun adegan-adegan pengulangan itu tak terkomunikasikan dengan kuat.
Pesan Sebuah Pementasan

Apakah pesan-pesan pementasan ini sampai kepada penonton?

Saya kira tema-tema absurditas pada kenyataannya sering tidak begitu berhasil memberikan sebuah sublimasi kepada banyak penonton (awam). Banyak drama absur, terutama yang kental dengan deskripsi filsafat, hanya imanensi/tersimpan dalam timbunan huruf di atas kertas, tetapi tidak begitu berhasil ketika dituangkan pesannya ke realitas panggung. Selain itu, penonton, mungkin juga termasuk saya, sering tidak mau banyak repot melibatkan pikiran dalam menyaksikan pementasan teater. Penonton mau datang, duduk, menggunakan mata dan telinga, lalu mencoba mendapatkan kebahagiaan, pesan bisa jadi menjadi seperti sebuah alternatif. Proses berpikir biasanya bahkan hanya terjadi pasca pementasan, seperti pada lingkaran diskusi. Namun, begitulah suasana apresiasi menyaksikan pementasan teater, dimana pesan bisa saja “mati”, namun dinamika yang (sebatas) “terlihat” dan “terdengar” dari sebuah peristiwa dramatik di atas panggung akan selalu tetap membuat penonton dalam suasana keasyikan dan membiarkan dirinya rela dalam ketidakmengertian asalkan bahagia.

Berkaitan dengan alur dan tempo pengisahan, saya memperhatikan, bahwa gaya "nge-rap" selalu menjadi style bawah sadar Adhyra sebagai seorang sutradara. Sebagai seorang sutradara yang juga berlaku sebagai seorang aktor sentral, kecepatan dalam dialog tanpa jeda panjang, pergantian adegan dan pendakian klimaks serta keasyikan bermain, Adhy sepertinya tak memberikan celah bagi penonton untuk komtemplatif. Saya hanya berharap, ke depannya Adhyra akan mau mempertimbangkan “kehadiran” penonton dalam garapannya. Mempertimbangkan pembiaran panggung kosong beberapa lama antar pergantian adegan, interupsi-interupsi kecil, dengan menghadirkan adegan-adegan sisipan atau karakter-karater sampingan masih penting diperlukan untuk lebih menaturalkan dan mengimitasi realita. Bagaimana pun menyaksikan sebuah pementasan teater akan bisa menjadi sebuah buku yang tengah dibaca, di mana pembaca akan selalu memerlukan waktu untuk singgah di terminal yang bernama pengendapan.

Lepas dari “tak ada gading yang tak retak” yang pasti selalu ada sisi-sisi lemah dari pementasan, namun, “Pelukis dan Wanita” saya telah melihatnya sebagai sebuah garapan Adhy yang paling berani dan paling dewasa. Sebagai seorang penonton yang cukup menyimak perjalanan karya Adhy, saya menemukan ada kebaruan yang ditampilkan, percobaan-percobaan yang semakin mengarahkan dia menjadi semakin matang dan tabah dalam mengarungi dunia teater.

Saya kira, di garapan-garapan berikutnya dia akan semakin “kurang ajar”. Semoga saja.
Brosur

Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

1 comment for "KETIKA MENUNGGU MENJADI SEBUAH HUKUMAN"

  1. Terima kasih sebesar-besarnya kak Emong. Saya kira, dari seluruh kritik pertunjukan (yang diarahkan ke karya saya), ini adalah kritik terbaik yang pernah saya baca. Dan saya pikir tulisan ini bisa menjadi "standar" penulisan kritik seni pertunjukan di Bengkulu. Alur penulisannya jelas, dimulai dari deskripsi karya, lalu dianalisis, dibedah, dan diinterpretasi, sebelum akhirnya memberikan "penilaian". Penilaian ini juga bersifat "observasional" untuk menghindari kesimpulan yang kerap konsepsional.

    Tabik penuh hormat.

    ReplyDelete

Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus