Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PERANG TERBUKA RAKYAT DI SURO

Taman Makam Pahlawan Rejang Lebong

Malam, Letnan Kolonel Santoso Gugur

Perang terbuka rakyat Suro, perang-rakyat melawan tentara Jepang yang pertama di Rejang Lebong/Kepahiang setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sebuah perang “liar” rakyat jelata, yang sama sekali tidak terkoordinasi, serta perang yang jauh dari teori atau teknik-teknik militer. Sebuah perang yang semata-mata terjadi karena aksi pembelaan atas nama harga diri.

Kepahiang, malam 23 November 1945, terjadi perang militer pertama antara gabungan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Kompi I Curup dan Kompi II Kepahiang melawan balatentara Jepang yang berada di Kepahiang. TKR dipimpin oleh Letnan Kolonel Santoso, yang saat itu memegang jabatan sebagai Komandan TKR Batalyon Keresidenan Bengkulu. Pertempuran dini hari ini tidak berlangsung lama, karena keterbatasan amunisi dari pihak TKR. Saat serangan dari TKR mulai melemah, Letnan Kolonel Santoso, yang bersarung putih, berbaju jas pelekat putih dan berikat kepala putih, dengan sebilah pedang maju menyerang. Namun, ia gugur di depan markas tentara Jepang, setelah diserang dengan rentetan peluru dari senapan mesin tentara Jepang.

Subuh, 23 November 1945, Di Jembatan Suro

Rencana menyerang markas Jepang di Kepahiang, baru diberi tahu Letnan Kolonel Santoso kepada pasukan TKR pada tengah malam menjelang penyerangan. Sejak perjalanan pasukan dari Curup menuju Kepahiang pada sore 22 November 1945, Santoso sama sekali belum memberi tahu rencananya itu. 10 orang anggota Kompi I Curup, yang hampir semuanya tidak memiliki pengalaman militer, sama sekali tidak tahu apa tujuan mereka ke Kepahiang. 

Pada pukul 00.00, setelah menyatakan rencana untuk menyerbu markas Jepang, Santoso memerintahkan kepada Vandrieg Zamhari Abidin, sebagai Komandan TKR Kompi II Kepahiang untuk mengumpulkan anggotanya. Atas perintah ini, Zamhari Abidin sempat bingung, bagaimana mengkonsolidasi pasukan di tengah malam itu, pertama karena memang tidak ada perintah perang sebelumnya, dan kedua, demi menghindari konflik dengan pihak Jepang, markas TKR Kepahiang sendiri berada jauh di luar kota, yakni di Daspetah.

Letnan Kolonel Santoso memerintahkan Vandrieg Zamhari Abidin untuk mengutus kurir ke Pasirah Merigi, agar bersiap menghadang tentara Jepang dari arah Curup, atau menghambat serangan Jepang dari arah Kepahiang ke Curup, usai penyerbuan nanti. Penghadangan yang dimaksud ini adalah memasang brikade-brikade di jalan atau di jembatan-jembatan.

Karena Pasirah Merigi yang berdomisili di Daspetah tidak berada di tempat, maka kurir meneruskan perintah itu kepada Penggawo Merigi yang bernama Sedin yang tinggal di Dusun Suro. Pesan itu disampaikan juga kepada Ginde Suro yang bernama Jelinggan (informasi terakhir yang diterima [November 2021] dari pihak keluarga nama yang benar adalah Jeringgan).

Saat subuh, di jembatan Desa Suro, mobil yang membawa TKR Kompi Curup pulang ke Curup, setelah pertempuran malam di Kepahiang yang menggugurkan Letnan Kolonel Santoso, terhadang brikade-brikade dari bambu dan batu-batu besar. Sementara di belakang brikade-brikade itu berkumpul rakyat dari Dusun Suro dengan membawa senjata-senjata tradisional, dipimpin langsung oleh Penggawo Sedin dan Ginde Jelinggan. Terdapat informasi, bahwa kedua orang ini, Sedin dan Jelinggan, adalah dua saudara kandung (?).

Selain karena perintah dari Letnan Kolonel Santoso sendiri, alasan lain rencana penghadangan itu, tidak lepas dari kemarahan rakyat atas tindakan tentara Jepang yang sering merampas padi-padi rakyat di Suro, Pungguk Meranti, Bumi Sari hingga Durian Depun atau Bakmoi. Berita kemerdekaan Indonesia dan berita tentang penyerangan malam terhadap tentara Jepang di Kepahiang, telah melahirkan keberanian rakyat untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang.

TKR Curup yang melihat kerumunan warga itu segera menghentikan kendaraan, kemudian turun dari mobil dan membaur dengan rakyat. Setelah mendapat penjelasan apa yang terjadi dari rakyat, Komandan TKR Kompi Curup, Vandrieg Zainal Arifin Djamil dengan menggunakan bahasa Rejang, segera memberikan keterangan kepada rakyat apa yang terjadi malam tadi di Kepahiang.

Kepada rakyat, Zainal Arifin Djamil juga memberikan pengertian, bagaimana jika yang benar-benar datang adalah tentara Jepang? Dapat dipastikan rakyat yang memang sama sekali tidak memiliki pengalaman berperang, apalagi dengan cara menghadang tentara Jepang dengan cara terbuka seperti itu akan menjadi korban yang sia-sia diberondong peluru-peluru tentara Jepang, yang masih diliputi kemarahan atas pertempuran malam tadi.

Zainal Arifin Djamil, seorang putra Rejang yang pernah mendapatkan pendidikan militer Gyugun di Pagar Alam memahami, jika warga yang dihadapinya sama sekali buta taktik militer, juga belum pernah mengalami perang sekali pun. Dengan kebutaan itu, maka warga-warga pun bertindak ceroboh, menghadang musuh dengan cara terbuka seperti itu.

Setelah mendapatkan penjelasan dan pengertian, rakyat kemudian diminta untuk bubar. Rakyat diminta untuk tenang, jangan sekali-sekali untuk melakukan pernyerangan kepada tentara Jepang, serahkan semua masalah keamanan kepada TKR dan polisi. Semua brikade di jembatan lalu dibongkar. TKR Curup pun melanjutkan perjalanannya pulang ke Curup.

Perang Pun Terjadi

Imbauan TKR tidak begitu diperhatikan oleh rakyat. Sekitar pukul 09.00 pagi harinya, seregu tentara Jepang yang menggunakan jeep terbuka melewati Suro dalam perjalanan ke Curup, setelah pembersihan di Kepahiang, mendapat serangan gelap. Sebuah tombak untuk berburu babi dilemparkan seorang warga dari arah pemakaman umum yang berada di atas tebingan jalan ke arah jeep itu. Lemparan tombak itu hampir mengenai seorang tentara Jepang. Tentara Jepang segera menghentikan kendaraan dan melakukan pengejaran, namun tidak berhasil menemukan penyerang itu. Penyerang gelap itu sendiri setelah melemparkan tombak, segera melarikan diri, tanpa ingin tahu apakah tombaknya itu mengenai sasaran atau tidak.

Atas keterangan warga yang mendapat ancaman dari tentara Jepang, diketahui pelaku itu bernama Durisan, warga Dusun Suro. Ketika pulang kembali ke Kepahiang tentara Jepang pun mencari Durisan. Dari dalam rumah, Durisan diseret keluar. Karena memberikan perlawanan, di depan rumahnya itu juga, dia kemudian ditembak mati oleh dua orang serdadu Jepang.

Mendengar bunyi tembakan itu masyarakat Dusun Suro keluar dari rumahnya masing-masing. Setelah melihat mayat Durisan yang terbujur di depan rumahnya, segera menimbulkan protes dari rakyat yang kemudian berkembang menjadi kemarahan. Tentara-tentara Jepang menanggapi kemarahan rakyat itu dengan ancaman.

Mendapatkan ancaman itu, warga tidak mundur, justru kemudian tanpa komando spontan warga Dusun Suro yang sedang diliputi kemarahan itu menyerang tentara-tentara Jepang itu. Kemarahan akibat terbunuhnya anggota keluarga dan warga telah membuat senapan dan sangkur yang diarahkan tentara-tentara Jepang kepada mereka jadi tidak menakutkan lagi.

Dalam sebuah perang terbuka yang tidak terkendali, rakyat dengan menggunakan senjata-senjata tradisional dengan penuh kemarahan menyerang tentara Jepang. Walaupun kalah dalam hal persenjataan, tetapi rakyat menang dalam hal jumlah kekuatan dan semangat.

Warga Gugur Sebagai Syuhada

Seorang tentara Jepang terluka parah dalam amuk massa itu. Dari pihak rakyat, akibat tembakan dan tusukan sangkur, gugur di tempat pada waktu itu adalah Duramin dari Desa Suro dan Ahmad bin Jelidan, warga Suro yang berdomisili di Dusun Durian Depun. Sementara yang terkena tembakan dan kemudian cacat seumur hidup adalah Mansyur dan Mad Dusa, keduanya dari Dusun Suro.
Pusara Durisan di TMP Tabarenah, Rejang Lebong
Tentara Jepang kemudian menarik diri, mundur dan melarikan diri sambil menyeret serdadunya yang luka parah dari arena perang terbuka itu. Dengan dikejar-kejar oleh rakyat sambil dilempar dengan batu-batuan, tentara-tentara Jepang itu berhasil menaiki kendaraannya dan kembali ke Kepahiang.

Selama beberapa hari, warga Dusun Suro siap siaga, berjaga-jaga atas kemungkinan serangan balasan dari tentara Jepang, baik yang datang dari Kepahiang maupun dari Curup. Namun, pembalasan itu tidak terjadi. Situasi tentara-tentara Jepang yang telah lesu, akibat kalah dalam perang melawan sekutu, dipastikan memang tidak memiliki keinginan untuk berperang lagi.
Deretan pusara Durisan, Ahmad, Duramin dan Sedin
di TMP Tabarenah Rejang Lebong

Jenazah Durisan, Duramin dan Ahmad bin Jelidan dimakamkan di pemakaman umum Dusun Suro, pada sore harinya. Segenap warga Dusun Suro, ditambah juga banyak warga dari desa-desa sekitar mengantar jenazah-jenazah itu ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Sebagai penghormatan atas pengorbanan mereka, dengan sebuah upacara militer, 1984 lalu kerangka jenazah Durisan, Duramin dan Ahmad bin Jelidan itu telah dipindahkan untuk disemayamkan kembali lagi ke Taman Makam Pahlawan Tabarenah, Rejang Lebong. Ikut dipindahkan waktu itu juga jenazah Jelinggan dan Sedin. Atas permintaan keluarga, jenazah Sedin tidak dipindahkan, tetapi pusaranya diizinkan untuk dibuat juga di Taman Makam Pahlawan Tabarenah. Saat ini, makam Sedin berada di pemakaman keluarga di Desa Suro.

Sumber utama kisah ini adalah dari hasil-hasil wawancara dengan Bapak Zainal Arifin Djamil, mantan Komandan TKR Kompi I Curup 1945. Kegiatan wawancara berlangsung pada April-Juni 2000, dalam rangka penyusunan buku Sejarah Perjuangan Rakyat Kota Curup.

Kisah ini tertuang dalam:
Emong Soewandi. Sejarah Perjuangan Rakyat Kota Curup. Curup: Pemda Rejang Lebong. 2000
----------------------. Kepahiang Di Lintas Waktu, Tribute To Letnan Kolonel Santoso & Mayor Salim Batubara. Kepahiang: Pemerintah Kabupaten Kepahiang. 2020.

Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

16 comments for "PERANG TERBUKA RAKYAT DI SURO"

  1. Cerita dari ayah kami dulu, Ahmad bin Jelidan itu kakek kami mati dibunuh Jepang. terima kasih, pak, sudah menulis ttg dusun kami.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga bermanfaat. Terima kasih telah berkunjung

      Delete
  2. Saya orang suro, tapi idak tahu kisah ini. Ternyata desa kami punya andil penting dalam sejarah. Terima kasih, sanak, sudah meneliti dan menulis ttg dusun kami.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga bermanfaat, sanak. Mohon maaf kalu ado kesalahan dan kekurangan. Terima kasih telah berkunjung

      Delete
  3. Replies
    1. Iya, Mas. Masih terus berbenah.
      Terima kasih kunjungannya, Mas. Siap berkunjung balik

      Delete
  4. Sedin..itu kakek kami..saya cucunya..m

    ReplyDelete
  5. sayo pernah berdomisili di suro, bahkan pernah ber KTP suro...ada rasa bangga jadi warga suro.. alfatihah untuk para pahlawan .

    ReplyDelete
  6. Kalau kata keluarga nama jelinggan itu salah..tapi jeringgan kanda..

    ReplyDelete

Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus