CERITA RAKYAT SERAWAI: PAK TEKI
![]() |
Ilustrasi |
Di sebuah hutan yang sunyi dan teduh, hiduplah sepasang burung tua yang dikenal sebagai Pak Teki dan Bu Teki. Mereka sudah melewati masa muda dan kini hidup dengan damai di sebuah pohon rindang. Namun di usia senja itu, Pak Teki merasa ada satu hal yang belum ia tuntaskan dalam hidupnya.
"Kita sudah tua, Bu," kata Pak Teki suatu hari. "Aku ingin melihat anak kita menikah sebelum ajal menjemput."
Bu Teki mengangguk. Ia pun mendukung keinginan suaminya. Mereka memanggil anak semata wayangnya, Teki muda.
"Kami berdua sudah sepakat," ujar Pak Teki kepada anaknya. "Sudah saatnya kau beristri."
Teki muda menerima permintaan orang tuanya. Ia pun segera terbang, melintasi pepohonan, naik-turun, mengepakkan sayap ke sana kemari. Setelah beberapa lama, ia hinggap di tunggul sebuah pohon tinggi yang kokoh. Di pohon itu, tinggal seekor burung enggang muda yang rupawan.
![]() |
Ilustrasi |
Teki muda pun menyapa dengan sopan. Mereka berbicara dengan bahasa burung yang halus dan penuh penghormatan.
"Enggang," kata Teki, "apakah engkau sudah bersedia mencari pasangan hidup?"
Enggang muda tersenyum malu. "Sebenarnya sudah, tapi aku tak bisa menikah sembarangan. Orang tuaku punya syarat."
"Syarat apa itu?" tanya Teki penasaran.
"Mereka meminta agar calon suamiku membuat lubang rumah di kayu Bukul Inggris, tempat tinggal yang kokoh untuk mereka."
Teki terdiam sejenak. Ia tahu betapa kerasnya kayu Bukul Inggris—sejenis kayu rimba yang kuat dan hampir tak bisa ditembus. Tapi demi cintanya, ia memberanikan diri menjawab, "Akan aku usahakan."
Teki pun kembali pulang menemui orang tuanya. "Pak, Bu, aku sudah menemukan calon istri. Anak enggang. Tapi ada syaratnya."
"Apa syaratnya?" tanya Pak Teki.
"Ayah dan ibu burung enggang meminta dibuatkan rumah dari kayu Bukul Inggris. Kita harus melubangi pohon itu."
Pak Teki tersenyum. "Ah, itu urusan mudah," katanya. "Kita burung pematuk. Kerja kita memang mematuk-matuk kayu. Mari kita kerjakan bersama."
Maka keesokan harinya, berangkatlah tiga beranak itu—Pak Teki, Bu Teki, dan anaknya—menuju pohon Bukul Inggris yang besar dan kuat. Mereka mulai mematuk dengan semangat. Pagi ke sore, hari demi hari. Tapi ternyata kenyataan tak semudah bayangan. Kayu itu amat keras. Jangankan menembus, meninggalkan bekas pun tidak.
Hari ketiga, paruh Pak Teki patah. Ia terdiam, lemah. Tak sanggup melanjutkan. Melihat itu, Teki muda berkata, "Biar aku lanjutkan, Pak." Ia melanjutkan pekerjaan yang berat itu seorang diri.
Namun tak lama, paruh Teki muda juga patah. Kepalanya luka parah akibat benturan dengan kayu keras itu. Ia jatuh tergolek di tanah. Mati.
Pak Teki dan Bu Teki menangis sedih. Anak satu-satunya telah tiada, mati demi memenuhi syarat cinta. Dengan hati hancur, Pak Teki memutuskan untuk mengadukan peristiwa ini kepada pihak berwenang di hutan: sang Pasirah, kepala hutan yang adil.
Ia tak peduli pada aturan biasa. Tanpa melalui punggawa dan dipati, ia langsung menghadap Pasirah yang bernama Simpai. "Tolong, anak saya mati karena syarat yang tak masuk akal dari keluarga burung enggang," keluhnya.
Simpai segera memanggil anak buahnya: Landak, Biawak, Harimau, Gajah, dan beberapa hewan besar lainnya. Tapi keputusan tidak bisa diambil tanpa kehadiran dua pejabat penting: Dipati dan Punggawa. Dipati di hutan itu adalah Kancil yang cerdik, sementara Punggawa adalah Anjing yang setia.
Menjelang senja, barulah Kancil datang.
"Maaf, saya terlambat," katanya sopan. "Tadi saya membantu kadal naik ke gunung."
Simpai mengernyitkan dahi. "Apa? Kadal naik ke gunung?"
Tak lama kemudian, datang juga Anjing sang punggawa. "Ampun, Pasirah. Saya terlambat karena melerai pertengkaran antara Katak dan Ular."
"Katak melawan ular?" Simpai semakin heran.
Kancil berkata, "Di gunung tadi juga saya mendengar bahwa Pipit menelan buah simbar badak."
Simpai akhirnya tertawa getir. "Tidak masuk akal. Bagaimana mungkin kadal naik gunung, pipit menelan buah sebesar kepalan tangan, atau katak mengalahkan ular?"
Ia pun menatap semua yang hadir dan membuat keputusan.
"Begitu pula halnya dengan syarat anak enggang. Tidak masuk akal meminta burung teki melubangi kayu Bukul Inggris yang sekeras batu. Karena itulah, pernikahan itu seharusnya tidak terjadi. Kematian Teki muda adalah akibat dari paksaan yang tak wajar. Maka aku nyatakan keluarga enggang bersalah."
Semua yang hadir diam. Mereka menyadari bahwa cinta, meski mulia, tak seharusnya dibebani syarat-syarat yang di luar batas kemampuan. Dan para orang tua, sudah sepatutnya mendidik anak untuk menimbang hati dan akal, bukan hanya menaati keinginan tanpa pertimbangan.
Post a Comment for "CERITA RAKYAT SERAWAI: PAK TEKI"
Berkomentarlah dengan bijak. Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus