Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TRADISI MENYANGGUL DAN TUAI PADI DI TANAH REJANG

Ketem, ani-ani, circa 1925
Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman "keramat" di Tanah Rejang. Beberapa ritual diperlukan untuk memperlakukannya, dari mulai penyiapan lahan, sampai pada penyimpanan dan penumbukannya. Ritual untuk padi ditemui di Tanah Rejang ini, tak lepas dari penghormatan terhadap semangat pada padi itu sendiri.

Semanget (jiwa semangat) pada padi dipercaya sebagai jiwa yang mampu menjadikannya sebagai tanaman yang bisa memberi kehidupan kepada manusia. Manusia harus menjaga semangatnya ini, agar padi memberikan hasil yang terbaik. Beberapa pantangan dalam perlakuan itu jika dilanggar dapat berakibat tidak baik, seperti butir padi tidak bagus, hingga bisa terjadi gagal panen. Tentang jiwa semangat menurut pandangan orang Rejang, dapat disimak di salah satu tulisan di blog ini yang berjudul Gagasan Jiwa dan Tata Cara Sumpah Orang Rejang.

Tradisi Menyanggul Padi pada tulisan ini merupakan upacara yang dilakukan orang-orang di Tanah Rejang menjelang hari tuai, biasanya 5-6 hari sebelumnya. Lokus tradisi menyanggul padi pada tulisan ini adalah Marga Merigi di Kelobak-Kepahiang. 

Semgoah Pai, Upacara Menyanggul Padi

Padi di ladang telah tiba waktunya untuk dituai. Batang-batangnya runduk, menandakan buah padi telah masak, padat berisi dan bernas. Hari kelima sebelum penuaian, saatnya padi-padi akan disanggul. Dengan upacara menyanggul padi ini, maka pemilik atau masyarakat memberi tahu dan pamit kepada Dang Se'ei (Dewi Penguasa Padi) dan juga kepada padi itu untuk dituai. 

Penyanggulan padi dilakukan oleh seorang perempuan tua pemilik ladang. Jika pemilik ladang tidak bisa melaksanakannya, maka mereka akan meminta bantuan kepada pihak lain yang dipercaya dapat melakukannya, tetapi juga harus seorang perempuan tua.

Benda-benda sajian yang dibawa dalam sebuah talam untuk upacara menyanggul padi:
  1. Tiga lembar daun sirih segar (Piper betle) yang ditaruh dalam sebuah piring
  2. Semangkuk bubur jelai (Rejang: jawet; jali, enjelai, barley, Coix lacrima-jobi)
  3. Sebuah batu besar datar seukuran 4 kepalan
  4. Benang tiga warna merah hitam putih, yang disebut benang tigo semeragih)
  5. Air dalam ceker boloak (cangkir yang terbuat dari potongan batang bambu)
  6. Kalung-kalungan, berupa untaian 3 sebekoa (keong sawah hitam, Pila ampulacea)
  7. Lemang 9 potong

(Makna benda-benda sajian ini disajikan pada tulisan tersendiri)

Seorang perempuan tua dari keluarga pemilik ladang pagi-pagi telah tiba. Ia berdiri di tepi ladang, bersiap untuk melakukan upacara menyanggul padi, sebuah upacara yang lazim dilakukan orang Rejang menjelang menuai padi.

Orang di Tanah Rejang mempercayai, bahwa padi itu adalah sosok perempuan, maka diperlukan beberapa upacara untuk membujuknya agar rela untuk dituai. Padi tidak boleh dipanen dengan cara dipotong batangnya, karena itu akan menyakitinya. Perlakukan paling lembut saat menuainya dengan cara memotong tangkai padi itu dengan sebuah alat yang disebut ketem (ketam, ani-ani)

Setelah menyampaikan stabik atau permisi, perempuan tua tadi turun sendirian ke lahan ladang. Ia berjalan dengan perlahan-lahan sambil membawa talam sajian, menjaga langkah agar padi tidak terinjak, dan supaya padi tidak terganggu dengan kedatangannya. Di tengah sawah ia bersimpuh, menyanggul padi akan segera dimulai. 

Senandung yang diucap di upacara menyanggul padi:

cantik rambut, anak gadis
hiaskan sebeleng-beleng semgoa 
stabik, Dang Se'ei
menjamu baes ari iko
ko bantal kalu ndak tidoa
ko bubur kalu ndak makan
ko bioa kalu ndak menum

Pada hari pertama, serumpun padi dengan lembut dipilin. Setelah dirasa kokoh, pilinan itu disimpul seperti seorang perempuan menyimpul rambutnya untuk menjadi konde. Jika simpul itu telah selesai, maka padi pun telah selesai bersanggul. Setelah penyanggulan ini, pada tangkai padi paling bawah dililit benang tiga warna sebanyak tiga lilitan.

Setelah benang selesai dililitkan, padi kemudian digantungi kalung-kalungan. Ucap saat menggantung kalung-kalungan:

benang kain tigo warno
maniknyo anak suaso
cantik cerlik selapak diri
anak gadis umbai mandi
bedandan bekasih idak betikoh

Pada hari kedua, dari rumpun padi terdekat dengan padi yang telah disanggul, diambil 5 tangkai padi untuk diberikan lilitan dengan benang tiga warna sebanyak 5 lilitan. Hari ketiga, 7 tangkai yang dililit dan hari keempat sebanyak 9 tangkai di berikan lilitan. Hari kelima adalah hari tuai. 

Dari proses memilin hingga penyanggulan selesai, perempuan yang melakukannya tidak boleh berkata-kata, selain bersenandung untuk menenangkan padi, yang bisa jadi merasa sakit saat dipilin dan disimpul. Senandung diucapkan dengan lirih. Diceritakan, saat bersenandung ini sering terjadi perempuan yang bersenandung itu sampai menangis tersedu.

Setelah padi disanggul dan berkalung, dia pangkal batang, padi sedikit ditindih dengan batu, yang melambangkan tempat tidur bagi padi itu. Di sisi batu disandarkan cangkir bambu berisi air, sebagai minuman bagi padi. Lemang 9 potong di bagi tiga-tiga, diletakkan pada tiga sudut di sekeliling padi yang sudah disanggul.

Pada hari tuai, padi-padi yang disanggul adalah padi terakhir yang dituai. Ketiga padi ini tidak dicampur dengan padi-padi lain, tetapi akan dibawa untuk digantung di bawah atap pondok. Padi-padi ini akan menjadi induk padi untuk disemai menjadi bibit pada penanaman berikutnya. 

Hari Menuai

Pada pagi hari telah berkumpul orang-orang, baik keluarga maupun tetangga jauh-dekat, di sekitar ladang untuk membantu menuai padi. Makan pagi telah disajikan untuk disantap bersama sebelum memulai menuai.

Kegiatan akan dimulai, ketika orang-orang yang datang membantu itu selesai makan menanyakan kepada pemilik ladang, apakah menuai sudah bisa dilakukan. Sebagai bentuk kepatutan, pemilik ladang tidak boleh meminta apalagi memerintah orang-orang yang datang untuk mulai menuai, dia harus menunggu sampai orang-orang yang datang berbasa-basi untuk menanyakan kapan atau menyatakan untuk memulai penuaian.

Penuaian akan dilakukan pertama kali dilakukan oleh pemilik ladang. Setelah menyampaikan pamit kepada Dang Se'ei dan padi, dia memasuki petak ladang. Pemilik ladang akam mengetam sebanyak 5 tangkai padi dahulu, sebelum orang-orang lain turun membantu.

Di dalam petak, orang-orang yang menuai ini harus selalu dalam kelompok satu barisan. Menjadi larangan menuai padi terpisah-pisah dalam satu petak ladang. Tidak juga diperbolehkan menuai ke bagian lain, jika satu bagian dalam petak belum usai dituai semua. 

Ada dua cara menuai padi, pertama berbaris lurus dari tepi petak ladang menuju ke arah pondok. Cara ini dilakukan jika para menuai jumlahnya banyak. Cara kedua berbaris setengah lingkaran dari tepi ladang menuju ke tengah petak ladang. Cara kedua ini dilakukan jika petak ladang cukup luas.

Baik cara pertama, maupun dari kedua, saat tiba di tengah petak, tidak boleh menuai padi yang sanggul. Padi ini hanya boleh dituai oleh pemilik ladang, dan menjadi padi terakhir yang dituai. 

Bagaimana jika petak ladang cukup luas?

Orang-orang yang membantu menuai biasanya hanya sekali saja. Ada juga yang membantu itu pulang lebih dulu, karena ada kepentingan lain. Kalau kegiatan penuaian harus dilanjutkan keesokan hari, maka yang menuai biasanya dilakukan oleh pemilik ladang sendiri dibantu oleh-orang yang sengaja diupah untuk keperluan tersebut, atau orang-orang yang sengaja datang untuk mengambil upahan. 

Pantangan-Pantangan Saat Menuai

Membelakangi pondok
Menuai padi tidak boleh dilakukan dari arah pondok, sebaliknya harus dilakukan dari arah berseberangan petak ladang menuju ke arah pondok. Ini dapat dimaknai, hasil tuaian tidak diangkut mundur, namun dibawa maju ke arah pondok, semua rezeki yang telah keluar, dengan menuai ke arah pondok, maka rezeki-rezeki bersama padi itu akan digiring kembali kepada pemilik ladang.

Berbicara dengan suara keras
Hari tuai adalah hari perpisahan antara padi dengan batang petak ladang. Manusia harus menghormati suasana duka padi ini, karena itu para penuai harus menjaga suaranya, baik berbicara maupun memanggil tidak dengan suara keras.

Bersiul
Babi hutan merupakan musuh padi, dari mulai penanaman hingga pada penuaiannya. Bersiul di tengah petak ladang dipercayai sebagai panggilan bagi babi hutan itu, karena itu menjadi pantangan untuk dilakukan oleh orang-orang yang sedang menuai. 

Menunjuk dengan telunjuk
Telunjuk mengacung adalah posisi jari telunjuk sebelum menjepit padi sebelum dipotong dengan ketam (ani-ani). Posisi jari telunjuk teracung itu menjadi pantangan saat menuai untuk menunjuk apa pun. Jika memang harus menunjuk, saat di dalam petak ladang dilakukan dengan gerakan isyarat bibir, muka atau dengan gerakan lengan.

Menolak orang yang meminta ikut menulai
Menuai padi adalah kegiatan sosial, maka pelaksanaannya pun dilakukan dengan cara gotong royong. Orang-orang yang hadir untuk membantu menuai tidak mengharapkan bayaran, selain sarapan atau makan yang disajikan tuan rumah. Hal ini terjadi, karena orang-orang itu pun sebagian besar juga memiliki ladang. 

Hanya orang-orang tertentu yang berharap bayaran dalam kegiatan menuai itu. Mereka biasanya orang yang tidak memiliki ladang, atau memang dari kalangan yang tidak mampu. Janda-janda miskin bersama anak-anaknya, baik dari dalam maupun luar dusun merupakan pihak yang paling sering datang meminta membantu menuai.

Permintaan mereka itu menjadi sebuah pantangan untuk ditolak oleh pemilik ladang. Begitu mereka meminta, maka pemilik ladang segera memberikan ani-ani dan sebuah keranjang (Bahasa Rejang: kiding) kepada mereka. Sementara menuai, anak-anak mereka diberi makan oleh pemilik ladang. 

Wawasan

Penghormatan terhadap padi dan Dewi Sri merupakan ritual yang telah berakar di beberapa tempat di Nusantara yang agraris, termasuk di Tanah Rejang. Ritual ini diyakini telah berlangsung lama, dimulai dengan adanya interaksi Nusantara dengan kebudayaan Hindu. Namun, pada perkembangannya selanjutnya, kepercayaan terhadap Dewi Sri dan penghormatan terhadap padi tidak lagi berakar pada kebudayaan aslinya.

Begitu meluasnya ritual ini, hingga ke tempat-tempat yang tidak berinteraksi langsung dengan dengan agama Hindu-Budha. Orang-orang di Nusantara membentuk corak tersendiri terhadap ritual ini, yang kemudian menjadi tradisi asli di sekelompok masyarakat. Demikian juga dengan Tanah Rejang, sebagai wilayah bagian dari masyarakat Austronesia purba yang telah berpenghuni, orang-orangnya pun tetap menyimpan tradisi-tradisi generik Austronesia yang dipengaruhi kebudayaan Hindu, salah satunya penghormatan terhadap oknum yang dipercayai menguasai padi.

Dang Se'ei atau Indang Se'ei adalah sosok pelindung padi di Tanah Rejang. Sebagai bagian jejak tradisi generik Austronesia, juga memiliki rentang jarak yang panjang dengan agama Hindu, secara ikonografis, maka Dang Se'ei tidak lagi identik dengan Dewi Sri dalam tradisi Hindu.

Di Tanah Rejang, Dang Se'ei adalah oknum yang berdiri sendiri, bukan istri dari Dewa Wisnu, juga bukan sosok yang dimunculkan karena campur tangan dewa yang lebih tinggi. Dang Se'ei adalah eksistensi yang berdiri sendiri. (Pada tulisan lain, akan disajikan mitologi Dang Se'ei ini di blog ini).

Tidak/belum ditemukannya fragmen-fragmen arkeologis ritus sesembahan, memperlihatkan pengaruh kehinduan di Tanah Rejang tidak begitu kuat pada sistem religi. Dengan demikian, Dang Se'ei pun tidak disembah sebagai perwujudan Dewi Sri istri Dewa Wisnu. Dang Se'ei bukan Dewi Sri. Dia lebih diyakini sebagai sebuah jiwa dari sosok perempuan yang tidak berwujud, yang kemudian menyatu sebagai bagian dari jiwa manusia.

Orang di Tanah Rejang telah membentuk akar tradisi tersendiri bagi Dang Se'ei, dengan memberikan penghormatan terhadapnya yang dimanifestasikan dengan perlakuan khusus  terhadap padi. Upacara Semgoa Pai adalah salah satu bentuk penghormatan ini, yang walaupun memiliki makna-makna religiositas, namun sebenarnya tidak memiliki dimensi religi atau konsep keagamaan.

Penulis menduga, jauh dari tradisi penyembahan dan sistem religi Hindu, maka makna religiositas upacara ini mengarah kepada sisi psikologis, yang lebih ditekankan pada konsep penenangan jiwa pada diri orang-orang yang bertanam padi, khususnya di Tanah Rejang, juga merupakan ungkapan kesenangan, bahwa sebuah usaha (dalam hal ini bertanam padi) telah berhasil mencapai tujuannya. Tidak pula tertutup kemungkinan, bahwa upacara ini pun merupakan sebuah absurditas manifestasi rasa kasih sayang terhadap padi, yang memang dalam waktu yang panjang telah memberikan jaminan kehidupan bagi manusia di Tanah Rejang.

Upacara Semgoa Pai kemungkinan besar tidak ditemukan lagi dilaksanakan orang-orang di Tanah Rejang. Pergeseran fungsi ladang dari padi ke budidaya kopi, juga orang-orang Rejang telah lebih banyak bertanam padi sawah, menjadi faktor utama menghilangnya tradisi ini. Demikian juga dengan praktik-praktik yang mengandalkan teknologi modern yang dipandang lebih efisien dalam olah tanam padi hingga ke saat pemanenan, memastikan upacara ini akan benar-benar lenyap.

Tulisan ini dapat disajikan atas bantuan-bantuan sahabat-sahabat, yang sepantasnya penulis berikan ucapkan terima kasih: Intan, Pisman dan Heri. Terima kasih khusus kepada Intan, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk mengoreksi naskah tulisan ini.

Narasumber:
Ibu Hapia, Usia 68 tahun, domisili Desa Taba Tebelet, Kepahiang
Bapak Ujang Nasril, usia 67 tahun, domisili Desa Taba Tebelet, Kepahiang

Referensi:
Sumber-Sumber Primer/Kearsipan Asing (1926)
Danandjaja. Folkor Indonesia. Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta: Grafiti. 1984.
Drijarkara, N. Filsafat Manusia. Yogyakarta: Kanisius. 1992.
Ihromi, T.O. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1999.
Spradley, James P. The Etnographic Interview. California: Wadsworth Publishing. 1997.
van Peursen, C.A. Strategi Kebudayaan. Kanisius. 1988 
Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

11 comments for "TRADISI MENYANGGUL DAN TUAI PADI DI TANAH REJANG"

  1. kenapa mantera senandungnya ditutup, Pak

    ReplyDelete
  2. mungkin tidak dilakukan lagi saat ini, tapi dengan tulisan ini saya kira kita telah mendokumentasikan sebuah upacara yang pernah ada di tempat kita.
    Semangat terus, Pak, untuk menulis sejarah kita

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kita bersama-sama untuk terus menggali. Terima kasih sudah berkunjung

      Delete
  3. Catatan yang benar2 berharga. btw, kenapa manteranya ditutup, Pak? :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga bermanfaat. Terima kasih sudah berkunjung :)

      Delete
  4. orang tua kami dulu pernah cerita ttg upacara ini. saya suka denan bapak menulis kalu tradisi ini tidak memiliki kaitan dengan keagamaan, yg artinya ini hanyalah sebuah perhormatan terhadap alam dan ciptaan Tuhan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga bermanfaat. Terima kasih sudah berkunjung

      Delete
  5. Sebagai org rejang yang lama tinggal di luar, saya berterima kasih dengan tulisan ini. saya berasal dari curup, dulu sempat juga mendengar upacara ini dari orang tua saya. benar2 menghidupkan memory saya

    ReplyDelete
  6. tuai padi antara masak
    esok sudah layu-layuan
    intai kami antara nampak
    esok sudah rindu-rinduan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, menarik ini. Izin saya simpan
      Terima kasih untuk informasi dan kunjungannya.

      Delete

Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus