Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ABDUL KARIM OEI TJENG HIEN

Verdi Solaiman sebagai Abdul Karim Oei Tjeng Hien dalam film "Buya Hamka"
sumber foto: diadona.id


Mungkin bagi sebagian umat Islam nama Abdul Karim Oei Tjeng Hien masih sulit didengar. Lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 6 Juni 1905. Ia adalah putra dari Oey Tiang Seng dan Gho Soean Nio. Oei Tjeng Hien dikenal sebagai anak yang pintar. Ia memulai pendidikannya di Hollands Chinese School (HCS), geografi dan mata pelajaran sejarah adalah spesialisasinya. Setelah menyelesaikan pendidikannya di HCS, ia mengambil kursus termasuk kursus perdagangan untuk menjadi pedagang yang sukses. Ketika dia masih muda, dia sangat aktif dalam kegiatan remaja. Bersama teman-teman China-nya, dia mendirikan organisasi Hiapsianghwe. Dia adalah komisaris. Kegiatan Hiapsianghwe termasuk sepak bola, pelajaran tari, musik, piknik, dan sebagainya.

Visi masa depan ini membuat Oei Tjeing Hien memutuskan untuk meninggalkan tanah airnya. Pada usia 20 tahun ia merantau ke Kota Bintuhan, Bengkulu. Sebagai orang yang mudah bergaul dalam waktu singkat dia membuat banyak teman dan sahabat. Semangat geraknya juga membuatnya banyak berteman di antara tokoh masyarakat setempat. Padahal, dia berteman sangat baik dengan Asisten Demang, Demang, dan Pengendali. Sebagai pedagang yang sudah mahir, Oei Tjeing Hien memiliki bisnis yang berkembang pesat di Bintuhan. Hasil panen warga dijual kepadanya dan kemudian dijual ke kota-kota lain termasuk Jawa dan Jakarta. Dari situ, ia semakin dikenal di masyarakat luas. Ia adalah sosok di semua tingkatan, dari pejabat tinggi hingga kelas bawah.

Di Bintuhan, dia menemukan ketidakadilan. Penduduk setempat ditangkap oleh lintah darat dari kapitalis Belanda dan Cina. Mereka dipaksa membayar bunga berlipat atau menjual hasil kebunnya dengan cara terikat sistem penjualan hasil kebun sebelum masa panen yang merugikan petani. Sifatnya yang tegas dan terus terang membela yang lemah, membuatnya tergerak untuk meyakinkan petani agar tidak lagi menjual hasil produksinya seperti itu. Sebisa mungkin ia bisa membantu jika memang ada petani yang membutuhkan bantuan atau pinjaman uang tanpa bunga. Keberaniannya dalam membela yang lemah membuat para kapitalis mulai menganggapnya sebagai orang yang berbahaya. Sampai dia mulai mendekati Oei Tjeing Hien untuk membujuknya bergabung dengan mereka. Namun, Dua tahun tinggal di Bintuhan dan berhasil menjadi pengusaha sukses dan kaya raya serta selalu membela yang lemah. Namun, hatinya masih terasa hampa. Jiwanya bergolak. Cengkeraman batin yang dibawanya dari Padang adalah keyakinannya kepada Yesus Kristus.

Meski sudah berteman lama dengan umat Islam, ia belum sempat memahami apa itu Islam. Hingga pada akhirnya perlawanan di jiwanya semakin kuat. Diam-diam, dia mulai mengalihkan perhatiannya ke Islam. “Benarkah Islam itu buruk? Benarkah Islam hanya untuk orang Arab dan Indonesia?” Apakah memang ada kelemahan dalam Islam dan di mana letak mereka? Benarkah Islam merendahkan martabat manusia? Benarkah Islam hanya untuk orang Arab atau Melayu? Pertanyaan itu terus membekas di benak dan hatinya. Hingga pada akhirnya sebuah ayat dalam Alquran menunjukkan kepadanya tentang nilai-nilai kemanusiaan yang membawanya pada kesimpulan bahwa dia memeluk Islam.

Sehingga pendiriannya semakin teguh pada kebenaran Islam dan kekuasaan Tuhan. Ia menyadari bahwa Islam adalah agama untuk seluruh umat manusia. Tidak ada diskriminasi. Tidak benar bahwa orang Arab lebih mulia dari bangsa lain. Sejak saat itu ia melanjutkan studi keislaman dengan dibimbing oleh seorang guru bernama Fikir Daud, lulusan Tawalib Padang Panjang. Semua pertanyaan yang mengganggunya telah terjawab. Berkat dakwahnya itulah ayahnya menjadi seorang Muslim yang taat. Beberapa tahun kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah Bengkulu. Selain belajar dengan pemikiran daud, ia juga belajar dari ayahnya Buya Hamka, Syekh Abdul Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Haji Rasul.

Sejak pertemuannya dengan kebenaran esensial dalam hidupnya, yaitu Islam dan pengetahuan agamanya yang lebih luas, ia menjadi pejuang yang hebat. Semangat membela yang lemah dan dakwahnya semakin membara di dadanya. Setelah agresi militer Belanda, dia adalah orang yang paling dicari. Diketahui beberapa kali bahwa ia juga harus mendekam di penjara untuk memperjuangkan kebenaran. Belanda terus berusaha membujuk Oei Tjeng Hien untuk bergabung. Sejumlah tawaran kekuasaan dan posisi ditawarkan. Tetapi sekali lagi mereka menemukan kegagalan dengan tegas. Abdul Karim Oey Tjeng Hien berkata kepada agen Belanda Van Den Berg ""Saya berterima kasih banyak atas nasihat dari tuan yang baik. Tapi saya tidak bisa menerimanya. Saya telah berjuang untuk membela agama, bangsa dan negara dari usia muda hingga sekarang. Saya telah melalui berbagai kesulitan dan dipenjara beberapa kali. Sampai-sampai mereka ingin dilempar ke Digul. “Pasca revolusi dia terus berjuang, kali ini perjuangannya terfokus pada dakwah. Kepeduliannya pada bangsa Tionghoa membuatnya dan teman-temannya mendirikan Persatuan Islam Tionghoa (PIT) pada 15 Desember 1972. Nama PIT kemudian diubah menjadi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Karena nama PITI dianggap eksklusif, maka singkatan PITI berubah menjadi Pembina Iman Tauhid Indonesia.

Di usia 83 tahun, perjuangannya sebagai mujahid terhenti. Ia meninggal pada tanggal 16 Oktober 1988. Perjuangan panjangnya mempertahankan agama dan tanah airnya menjadi contoh bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Nasibnya sebagai orang Tionghoa tidak menghalangi dia untuk melakukan jihad di negeri ini. Menurut Ridwan Saidi, Oey Tjeng Hien membakar mobil fiat miliknya yang kala itu menjadi barang yang sangat mewah. Dia membakar mobil fiatnya sebagai bentuk solidaritas dengan hukuman mati Omar Mukhtar di Libya. Mungkin dia satu-satunya yang melakukan itu pada masanya.

Dalam rangka mengenang Haji Karim Oei, beberapa tokoh organisasi kemasrayakatan, yaitu NU, Muhammadiyah, KAHMI, Al-Washliah, ICMI, dan beberapa tokoh muslim Tionghoa mendirikan sebuah Yayasan Haji Karim Oei, sebagai pusat informasi Islam khususnya bagi kalangan etnis Tionghoa pada tahun 1991. Yayasan tersebut mendirikan dan mengelola Masjid Lau Tze yang terletak di daerah Pecinan Jakarta. Menerima Bintang Mahaputera Utama sesuai Keppres No.056/TK/TH. 2005, Tanggal 9-8-2005.
Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "ABDUL KARIM OEI TJENG HIEN"